Laman

Minggu, 07 September 2014

Inovasi dan Reformasi Birokrasi

Jika ditanya apa hubungan antara inovasi dengan reformasi birokasi, jawabannya justru munculnya pertanyaan-pertanyaan baru. Bukankah reformasi itu adalah juga sebuah inovasi? Apakah kita masih harus berinovasi pada saat yang sama kita sedang melakukan reformasi? Jika ya, dalam hal apa kita dapat berinovasi dan dalam hal apa reformasi perlu dijalankan? Apa yang membedakan inovasi dari reformasi, atau sebaliknya? Mungkin masih banyak lagi pertanyaan yang bisa diajukan untuk “menjawab” pertanyaan dasar diatas.

Saya pribadi berpendapat bahwa perbedaan bahwa perbedaan istilah “reformai” dan inovasi” sudah menunjukkan adanya perbedaan konsep dan makna keduanya. Oleh karena itu, meskipun dalam sebuah reformasi terkandung adanya unsur inovasi, bukan berarti tidak ada lagi ruang-ruang inovasi dalam kebijakan dan program reformasi. Keduanya memang berbeda, namun memiliki filosofi yang sama untuk mendorong perubahan dan pembaruan dalam sistem organisasi dimana kita berada. Inovasi dan reformasi bisa saling melengkapi, saling membutuhkan, dan saling menguntungkan. Tanpa adanya inovasi, reformasi akan terasa kering, kaku, dan terlalu formal, tidak memiliki sentuhan seni dan kreativitas. Sebaliknya tanpa program reformasi (birokrasi) yang terstruktur, inovasi menjadi kurang bertenaga karena tidak didukung oleh kerangka kebijakan yang kuat.

Reformasi birokrasi (RB) sendiri adalah program nasional yang tertuang dalam Peraturan Presiden No. 81/2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi. Sebagai sebuah program nasional, RB telah memiliki skema pencapaian lima tahunan yang jelas (roadmap), area perubahan yang definitive, serta target yang-target yang terukur. Dalam panjang panjang, RB ditargetkan dapat mewujudkan birokrasi kelas dunia (world class bureaucracy), sedangkan dalam kurun waktu lima tahun pertama semenjak Perpres diundangkan (2010-2014), paling tidak ada tiga target besar yang harus dicapai, yakni pemerintahan yang bersih dan bebas KKN, peningkatan kualitas pelayanan publik, serta peningkatan kapasitas dan akuntabilitas kinerja birokrasi. Ketiga target tersebut kemudian dirinci dalam satuan target yang lebih spesifik. Sayangnya, hingga akhir periode roadmap 2010-2014 hampir semua target tidak tercapai, terutama target yang merupakan dampak dari pelaksanaan RB, seperti Indeks Persepsi Korupsi, peringkat kemudahan berusaha (ease of doing business), efektivitas pemerintahan (government effectiveness index), dan integritas pelayanan publik.

Kalaupun ada peningkatan pada indikator daya saing (competitiveness index) Indonesia atau indikator lainnya, tidak berarti ada perbaikan langsung dalam masyarakat. Hal ini dikatakan oleh Wakil Ketua KADIN, Bambang Sujagad, bahwa kenaikan peringkat daya saing Indonesia tidak mencerminkan realitas, karena kalangan pengusaha di Indonesia tidak merasakan perbaikan kualitas layanan pendukung industri dan perdagangan. RB nampaknya masih lebih banyak dinikmati hasilnya oleh kalangan dalam atau para PNS, yang diindikasikan dari besarnya ongkos untuk membayar belanja pegawai. Gejala high cost bureaucracy ini bisa dilihat dari proporsi belanja pegawai terhadap total APBD di 20 provinsi yang lebih dari 50 persen. Sebaliknya, rasio belanja modal terhadap APBD di 21 provinsi rata-rata dibawah 25 persen, yang menyiratkan lemahnya fungsi investasi di sektor publik.

Dengan demikian, meskipun RB telah membawa perubahan terhadap pelayanan publik, namun kurang signifikan. Dalam hal ini, harus disadari bahwa RB saja tidak cukup ampuh untuk mencapai target-target besar yang telah ditetapkan. Mau tidak mau, harus ada “variabel” lain yang harus didorong untuk dapat mengakselerasi RB, yakni inovasi.

Nah, cara kerja inovasi ini agak berbeda dibanding kakaknya yang bernama reformasi. Jika reformasi telah memiliki delapan area perubahan yang telah ditentukan, maka inovasi dapat terjadi di seluruh aspek atau dimensi organisasi. Jika reformasi memiliki pedoman yang baku dengan format-format yang cenderung kaku di setiap areanya, maka inovasi memberi keleluasaan kepada setiap orang dan setiap instansi untuk melakukan perbaikan sesuai dengan ide-ide kreatifnya. Jika reformasi hanya terjadi di dan untuk instansi tertentu, maka inovasi menghendaki adanya replikasi sebuah inovasi ke berbagai instansi lain. Sebagai contoh, jika instansi A memiliki keunggulan atau best practice dalam bidang pengelolaan informasi, maka keunggulan ini hendaknya bisa dikloning dan ditanamkan ke instansi B hingga Z. Demikian pula, jika instansi C memiliki inovasi tentang pelayanan, misalnya, maka seluruh instansi yang lain seyogyanya tinggal mengadopsi untuk instansinya masing-masing. Dengan demikian, energi instansi dapat dihemat untuk fokus memikirkan dan menggulirkan inovasi tertentu, sementara inovasi dalam bidang lain cukup dilakukan dengan cara memodifikasi dari inovasi instansi lainnya. Artinya, inovasi (begitu pula reformasi) semestinya tidak selalu harus dimulai dari awal atau dari nol, sehingga proses perubahan dapat berjalan dengan jauh lebih cepat, sementara manfaatnya lebih luas bisa dirasakan orang banyak.

Mumpung saat ini pemerintah mulai memikirkan penyusunan roadmap RB 2015-2019, alangkah baiknya jika spirit inovasi bisa dimasukkan sebagai pendongkrak (leverage) reformasi agar lebih gesit jalannya. Dalam hal ini, ketentuan yang kaku dan cenderung menghambat kreativitas sebaiknya ditiadakan. Ruang-ruang inovasi atau area perubahan lebih baik dibuka selebar-lebarnya sesuai kebutuhan instansi yang akan menjalankan reformasi. Bentuk dokumen dan cara dokumentasi proses perubahan-pun tidak perlu dibuah secara sama dalam bentuk template. Proses monitoring dan evaluasipun sebaiknya tidak diseragamkan.

Reformasi yang memberi keleluasaan untuk berkreasi itu sangat penting sebab esensi reformasi adalah perbaikan dan pembaharuan. Oleh karena itu, jangan sampai ada inisiatif dan gagasan yang brilian namun gagal berkembang karena terbentur aturan-aturan formal dan artifisial. Pendekatan top down dalam reformasi sudah saatnya diubah menajdi pendekatan bottom up. Kita harus belajar dari pengalaman lima tahun ke belakang, dimana reformasi substansial terkerdilkan oleh reformasi dokumentasi belaka. Betapa banyak dokumen RB sudah disiapkan dan betapa besar energi (terutama biaya) yang dikeluarkan untuk menghasilkan berbagai dokumen tadi, namun belum ada dampak singnifikan yang dirasakan oleh masyarakat.

Dengan demikian, reformasi tetaplah sebuah kewajiban bagi setiap pegawai maupun instansi pemerintah, namun tidak dilakukan dengan cara yang sama, format yang sama, tahapan yang sama, area yang sama, ataupun hasil yang sama. Reformasi hanya akan menjadi proses yang memenuhi harapan kita semua jika dilakukan secara kreatif dan inovatif. Penyeragaman dalam format, tahapan, area, hasil atau dalam aspek lainnya hanya akan mematikan inovasi, yang pada gilirannya akan memperlemah reformasi itu sendiri. Inovasi adalah ruh dan bahan bakar untuk reformasi. Semakin murni dan bertenaga ruh itu, serta semakin banyak bakar itu, maka akan semakin kencanglah reformasi.

Jakarta, 8 September 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar