Laman

Jumat, 02 Juli 2010

Keterkaitan Aspek Fisik, Ekonomi, Sosial Budaya, dan Hukum dalam Proyek Pembangunan Bumi Serpong Damai


Pendahuluan


Pembangunan, dalam segala dimensinya selalu mengandung nilai positif, tetapi sekaligus juga sering membawa dampak negatifnya. Nilai positif biasanya terletak pada peningkatan kesejahteraan ekonomis manusia, pertumbuhan industri, maupun pengembangan wilayah. Sedangkan nilai negatifnya terutama terjadi pada aspek lingkungan, dimana sumber daya alam dan carrying capacity atau daya dukungnya menjadi semakin berkurang, sehingga muncullah beragam penyakit pembangunan (development pain) yang diderita alam seperti banjir diwaktu hujan namun gersang dimusim kering, peningkatan suhu bumi, longsor, pencemaran, dan sebagainya.

Sehubungan dengan hal tersebut, maka untuk meminimalisir dampak pembangunan, pemerintah telah mengeluarkan kebijakan pengelolaan lingkungan sebagaimana tertuang dalam UU No. 4 tahun 1982 tentang Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (diperbaharui dengan UULH 1997), PP No. 51 tahun 1983 tentang AMDAL, dan sebagainya. Berbagai kebijakan itu harus diimplementasi-kan pada seluruh bidang pembangunan, baik industri, perumahan, sarana perhubungan / transportasi, maupun saluran irigasi, sehingga setiap program pembangunan diharapkan tidak memunculkan trade off yang pincang, sekaligus dapat menjamin konsepsi pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development).

Untuk itu, bahasan singkat ini mencoba mengungkapkan dampak-dampak yang terjadi dari adanya proyek pembangunan – khususnya pembangunan Kota Mandiri Bumi Serpong Damai (BSD) – dari aspek fisik, ekonommi, sosial budaya, dan sisi hukumnya. Dengan adanya kajian dan analisis ini, maka diharapkan dampak positif akan dapat dioptimalisasikan, sementara dampak negatif dapat dieliminasi atau paling tidak diminimalisasi.


Gambaran Umum Pembangunan BSD


Pembangunan kawasan BSD secara umum dilatarbelakangi oleh perkembangan kota-kota besar yang dipicu oleh laju urbanisasi yang sangat tinggi. Keadaan ini secara langsung mengakibatkan tuntutan akan permukiman makin meningkat baik kuantitas maupun kualitasnya, yang sebagian dapat dipenuhi dengan peran serta para pengembang swasta. Khususnya bagi kelompok masyarakat yang kuat secara finansial, kebutuhan akan perumahan selalu paralel dengan kebutuhan fasilitas atau sarana pelayanan umum lain seperti rumah sakit, pasar swalayan, sekolah, jogging track, tempat hiburan, dan sebagainya. Dengan kata lain, kelompok masyarakat ini menginginkan suatu kawasan yang menganut konsep “perumahan mandiri” sebagai suatu miniatur dari sebuah kota jasa (service city).

Permintaan (demand) masyarakat yang demikian “ditangkap” oleh indera bisnis konsorsium swasta yang kemudian membangun pemukiman BSD tersebut. Dan oleh karena konsep “kota mandiri” ini membutuhkan lahan yang sangat luas, maka tidak mengherankan jika dalam pelaksanaannya membawa berbagai implikasi yang rumit dan mengandung potensi konflik tingkat tinggi. Dalam kaitan ini, pembangunan kawasan terpadu atau kota mandiri dalam perspektif kedepan selalu membawa “paradoks”, dimana pemenuhan kebutuhan bagi kelompok masyarakat tertentu akan selalu berarti terjadinya penggusuran bagi kelompok masyarakat lainnya.

BSD sendiri dibangun diatas tanah dengan luas 6000 ha, yang sebelumnya merupakan bekas perkebunan karet yang tidak produktif lagi dan banyak dihuni oleh penduduk asli. Pada tahun 1987 telah dilakukan Penyajian Informasi Lingkungan yang melaporkan beberapa issu pokok yang berpotensi menimbulkan dampak penting jika tidak dilakukan pengelolaan lingkungan dengan baik. Artinya, pembangunan perumahan BSD disatu pihak akan menimbulkan dampak positif, namun dipihak lain juga menimbulkan dampak negatif pada berbagai aspek yang terkait, sebagaimana dijelaskan pada paparan dibawah ini.


Dampak Fisik, Ekonomi, Sosial Budaya, dan Hukum Pembangunan BSD


Pembangunan fisik pada umumnya selalu mengakibatkan suatu perubahan kontur dari lingkungan fisik, sekaligus juga struktur dari lingkungan non fisik. Dari sisi kontur lingkungan fisik, jelas terjadi perubahan dalam fungsi lahan dari pertanian atau perkebunan menjadi lahan industri atau perumahan. Kondisi ini akan mempengaruhi daya dukung tanah tadi terhadap fenomena-fenomena alamiah seperti erosi dan gersang. Sementara dari sisi struktur lingkungan non fisik, akan terjadi perpindahan pemukiman sekelompok masyarakat, perubahan status kepemilikan tanah, peralihan mata pencaharian penduduk, dan sebagainya.

Dari dua dampak secara umum diatas dapat diperinci lagi kedalam dampak-dampak yang spesifik menurut aspeknya, yakni aspek fisik itu sendiri, aspek ekonomi, sosial budaya, dan hukum. Implikasi dan atau dampak (langsung maupun tidak langsung) selengkapnya yang mungkin timbul dari masing-masing aspek ini dapat diidentifikasikan sebagai berikut:

1.     Aspek Fisik
a.      Penurunan daya tahan atau daya dukung lingkungan (tanah, udara, air sungai atau air laut, hutan).
b.      Erosi dan banjir.
c.       Pencemaran lingkungan.
d.      Kekeringan dan peningkatan suhu / iklim bumi.
e.      Penipisan lapisan ozon yang membahayakan kulit dan kesehatan manusia.

2.     Aspek Ekonomi
a.      Makin mahalnya harga tanah dan berbagai biaya hidup di sekitar kawasan yang baru.
b.      Munculnya kondisi kesenjangan ekonomi antara pendatang dengan penduduk asli.
c.       Merupakan push factors bagi berkembangnya sektor tersier (industri, jasa) disekitar wilayah tersebut.
d.      Perlunya dialokasikan secara khusus anggaran untuk meremajakan atau melestarikan lingkungan.

3.     Aspek Sosial Budaya
a.      Penyebaran penyakit tertentu akibat pencemaran lingkungan.
b.      Pergantian mata pencaharian penduduk yang tidak didukung oleh keterampilan khusus.
c.       Transmigrasi yang mengakibatkan terjadinya kontak lintas budaya dan adat istiadat.
d.      Munculnya pengungsi lingkungan.
e.      Makin langkanya satwa-satwa liar dan biota perairan (fauna) serta tanaman-tanaman langka (flora), dan sebaliknya akan muncul suatu pola lansekap baru.

4.     Aspek Hukum
a.      Perubahan status hak atas tanah dan peralihan kepemilikan / pemegang hak atas tanah.
b.      Keharusan untuk memberikan ganti rugi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
c.       Munculnya konflik sosial antara pelaksana proyek dengan masyarakat yang terkena proyek (baca: tergusur).
d.      Tuntutan terhadap akuntabilitas pemerintah atau negara sebagai penanggungjawab utama kebijakan pengelolaan lingkungan.
e.      Perlunya penegakan saksi secara pidana dan perdata bagi perusahaan pencemar lingkungan.

 

 

Rekomendasi Kebijakan Pengelolaan Lingkungan


Pembangunan yang mengakibatkan dampak-dampak seperti diatas, jelas tidak dapat dikatakan sebagai suatu proses kemajuan peradaban. Sebaliknya, hal tersebut justru merupakan indikator dari merosotnya kualitas hidup kemanusiaan. Sebab, kemajuan yang diperoleh sesungguhnya tidak sebanding dengan social cost  dan recovery cost yang harus dikeluarkan untuk membiayai berbagai dampak negatif tersebut.

Dalam kerangka seperti itulah maka untuk setiap proyek pembangunan (khususnya perumahan seperti kasus BSD), diharapkan agar pemerintah, kalangan pengembang dan berbagai pihak terkait dapat memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

1.      Secara makro perlu menyadari adanya keterkaitan suatu proyek pembangunan dengan aspek-aspek ekonomi, sosial budaya dan hukum, disamping aspek fisiknya. Dengan kata lain, perlu lebih ditekankan konsepsi “membangun tanpa merusak” dalam setiap proyek, sehingga pelaksanaan proyek itu sendiri tidak mengganggu konservasi sumber daya lingkungan dan regenerasi komponen-komponen lingkungan lainnya.
2.      Perlu dilaksanakannya Studi Evaluasi Lingkungan (SEL) terhadap setiap rencana pembangunan dalam rangka mencapai maximum benefit dengan minimum risk, sekaligus pula untuk menekan munculnya kerugian-kerugian sosial (social disadvantage) atau ongkos-ongkos lain akibat dampak eksternalitas.
3.      Secara berkala pemerintah perlu melakukan audit lingkungan, mengawasi pelaksanaan AMDAL secara ketat, dan memfungsikan keberadaan penyidik lingkungan, sehingga setiap “tindak pidana lingkungan” dapat digugat ke pengadilan. Dalam kaitan ini, instumen hukum perlu lebih dipertajam lagi.
4.      Untuk menghindari dampak sosial ekonomi dan budaya, perlu melibatkan penduduk sekitar sebagai salah satu unsur pelaksana proyek, sehingga akan memberikan manfaat atau efek menetes kebawah (trickle down effect) seperti kesempatan memperoleh pekerjaan, tambahan penghasilan, dan sebagainya.


Bandung, Desember 1996

Tidak ada komentar:

Posting Komentar