Pengantar
Dewasa ini bangsa Indonesia sedang berada ditengah-tengah proses perbaikan – bahkan penggantian sistem – disegala bidang kehidupan, yang lebih dikenal dengan istilah reformasi.. Tentu saja, reformasi, perbaikan atau penggantian sistem kehidupan tadi memiliki latar belakang yang cenderung negatif dan membawa dampak merugikan bagi masyarakat, sehingga perbaikan atau penggantian sistem kehidupan memang merupakan suatu takdir politik yang harus dijalani oleh bangsa Indonesia. Dalam kerangka asumsi inilah proses reformasi harus ditempatkan serta dilaksanakan. Sebab, reformasi yang tidak didorong oleh asumsi untuk mengeliminasi sesuatu yang negatif dan merugikan, akan dapat membelokkan arah dari proses reformasi itu sendiri.
Tiga bidang yang selama ini paling gencar terkena arus reformasi adalah bidang ekonomi, politik serta bidang hukum. Dan berdasarkan asumsi diatas, dapat disimpulkan bahwa sistem yang berlaku pada tiga bidang tersebutlah yang paling negatif dan merugikan seluruh lapisan masyarakat, terutama yang berada pada lapisan bawah dan atau di pinggiran (marginal).
Di bidang ekonomi misalnya, instrumen kebijakan yang memungkinkan berkembangnya monopoli diatas penderitaan pengusaha kecil pribumi, jelas sangat bertentangan dengan jiwa Ekonomi Pancasila yang “konon” dianut oleh negara kita. Sementara di bidang politik, pemberangusan kebebasan berpendapat, berserikat, dan mengeluarkan pendapat, menunjukkan dipakainya mekanisme komunikasi satu arah yang top down serta kurang memberdayakan potensi warga negara sebagai manusia. Adapun di bidang hukum, pengabaian terhadap tata urutan peraturan perundang-undangan dan fenomena penciptaan perangkat hukum untuk kepentingan kekuasaan, jelas merupakan distorsi yang menjadi sumber ketidakpercayaan masyarakat kepada pemerintahnya.
Meskipun demikian, jika masyarakat dan pemerintah telah sepakat untuk melaksanakan reformasi menyeluruh (total), maka gerakan tersebut perlu diperluas tidak hanya pada tiga bidang yang telah disebutkan, tetapi juga meliputi reformasi di bidang-bidang lain, misalnya reformasi moral dan etika, reformasi sosial budaya, reformasi administrasi, serta reformasi manajemen.
Dalam kaitan dengan reformasi total – khususnya dibidang politik dan administrasi negara – ini, Presiden Habibie sendiri telah menginstruksikan secara tegas dalam Sidang Pertama Kabinet Reformasi Pembangunan tanggal 25 Mei 1998, sebagai berikut:
“…….. tanpa keraguan kita perlu melaksanakan tugas dan amanat yang kita emban untuk melaksanakan reformasi dalam bidang politik, termasuk dalam bidang pemerintahan dan administrasi negara. …… prioritas reformasi dalam bidang pemerintahan dan administrasi negara terutama diarahkan untuk memberantas korupsi, kolusi dan nepotisme sebagai langkah mendasar penciptaan pemerintahan yang baik”.
Diantara berbagai bidang yang perlu direformasi tersebut, bidang manajemen perlu mendapat perhatian yang serius pula. Sebab, dinamika dan kinerja suatu organisasi (publik maupun privat) tidak dapat dilepaskan dari pola-pola manajemen yang diterapkannya.
Reformasi Indonesia
Diatas telah disinggung bahwa gerakan reformasi di Indonesia dipicu oleh praktek-praktek di bidang politik, ekonomi dan hukum yang negatif dan merugikan masyarakat banyak. Tokoh sentral yang dianggap bertanggung jawab atas terjadinya berbagai praktek bobrok tersebut adalah pemerintahan Orde Baru yang mengejawantah pada sosok Soeharto. Oleh karena itu, tuntutan pokok dari gelombang reformasi ini adalah membubarkan pemerintahan Orde Baru yang sangat identik dengan “melengserkan” Soeharto dari kursi kepresidenan.
Ketika tuntutan ini telah menjadi kenyataan pada tanggal 20 Mei 1998, ternyata gerakan reformasi tidak ikut berhenti. Sasaran berikutnya adalah tuntutan-tuntutan antara lain sebagai berikut: turunkan harga (sembako), ganti UU Paket Pemilu, basmi KKN, dan sebagainya. Bahkan tuntutan tadi makin melebar kepada perlunya dilakukan pembersihan (reshuffle) kabinet, pengusutan harta kekayaan mantan pejabat (termasuk Soeharto), dan sebagian lagi menuntut mundurnya Presiden Habibie. Singkatnya, tidak ada satu aktivitaspun yang dapat lepas dari tuntutan reformasi.
Fenomena yang berkembang selanjutnya adalah maraknya pembentukan partai-partai politik baru, pembebasan napol dan tapol, hujatan dan tuntutan mundur kepada pejabat-pejabat sampai ke tingkat daerah (lurah, camat, bupati, gubernur), pengungkitan kasus-kasus lama, suburnya parlemen jalanan, dan sebagainya. Keadaan seakan berbalik: dari ketakutan rakyat kepada pemerintah semasa Orde Baru, menjadi “ketertundukan” pemerintah “Orde Reformasi” atas setiap keinginan dan aspirasi rakyat maupun pihak-pihak tertentu yang mengaku “mengatasnamakan” rakyat. Dalam kondisi seperti ini, pemerintah menjadi serba kebingungan, dianggap tidak memiliki konsep yang jelas, serta sering disalahkan dalam setiap kebijakan yang ditempuhnya.
Keadaan ini menyiratkan adanya “dikotomi” baru dalam sistem politik di Indonesia, yakni keterpisahan secara tegas antara pemerintah dengan yang diperintah (rakyat). Artinya, disatu pihak pemerintah seolah-olah bukan lembaga kenegaraan yang menjalankan amanat rakyat, sedang di pihak lain rakyat seakan-akan tidak pernah memberikan amanat kepada pemerintah untuk menyelenggarakan kepentingannya. Keadaan demikian dengan mudah dapat diterka dampaknya, yakni sulitnya menyamakan visi dan persepsi antara pemerintah dan masyarakat dalam menghadapi krisis yang melanda. Padahal, persamaan visi dan persepsi sangat penting untuk menentukan strategi yang tepat dalam mengatasi problema yang berkepanjangan ini.
Sementara beberapa pihak tetap gencar memperjuangkan reformasi, rakyat kecil di pedesaan telah berada pada posisi yang sangat mengkhawatirkan. Ketiadaan pekerjaan dan penghasilan, serta ditambah lagi dengan terjadinya bencana alam yang silih berganti, menyebabkan kelaparan dan kematian menjadi pemandangan sehari-hari. Pertanyaan yag menggema kemudian adalah: dapatkah gerakan reformasi memberi makan rakyat yang kekurangan? Untuk apa rakyat menyalurkan aspirasi politiknya ke salah satu partai jika untuk memikirkan sekolah anak-pun masih kebingungan?
Akhirnya, sadarlah sebagian masyarakat bahwa hakekat perjuangan mereka selama ini tidak berada pada jalur yang benar. Reformasi yang diharapkan memecahkan masalah justru menimbulkan masalah baru. Kasus-kasus penjarahan atau pemerkosaan (meskipun belum terbukti) yang nota bene adalah keliru dan brutal, jelas tidak identik dengan reformasi yang notabene adalah baik dan damai. Disisi lain, muncul pula kesadaran bahwa kemapanan kehidupan ekonomi menjadi prasyarat untuk berhasilnya reformasi. Sebaliknya, reformasi tidak boleh menjadikan kehidupan ekonomi rakyat semakin berat.
Oleh karena itu, salah pulalah seseorang jika mengatakan bahwa penjarahan dan perkosaan (atau kasus lain yang tidak kita inginkan) adalah biaya yang harus dibayar demi berhasilnya reformasi. Proses perbaikan dari satu kondisi tertentu kepada kondisi lain yang lebih baik dengan membutuhkan biaya (baca: korban) banyak bukanlah reformasi, melainkan revolusi. Sebagai contoh, reformasi di bidang administrasi negara (modernisasi birokrasi) yang telah dilaksanakan olehi negara-negara maju, seperti Public Service 2000-nya Kanada atau Misi 2000 Malaysia, tidak mensyaratkan korban untuk keberhasilannya. Justru, jika program reformasi ini berhasil, maka salah satu manfaatnya adalah dapat dihematnya biaya-biaya yang tidak perlu. Dengan kata lain, korupsi akan hilang dengan sendirinya seiring dengan proses reformasi yang terus menerus dan konsisten.
Sehubungan dengan hal tersebut, pertanyaan yang perlu diajukan adalah: bagaimana cara untuk menjamin agar proses reformasi tersebut dapat berhasil? Dalam hal ini, penulis mengajukan dua upaya yang harus dilakukan secara simultan dan sinergis, yaitu reformasi manajemen dan manajemen reformasi.
Ruang Lingkup Manajemen
Mengacu kepada pengertian yang dikemukakan oleh George Terry, manajemen dapat diartikan sebagai: “distinct process consisting of planning, organizing, actuating, controlling, utulizing in each both science and art and follow in order to accomplish predetermined objectives” (proses yang khas yang terdiri dari tindakan-tindakan perencanaan, pengorganisasian, penggerakan dan pengawasan dimana pada masing-masing bidang digunakan baik ilmu pengetahuan maupun keahlian dan yang diikuti secara beruntun dalam rangka usaha mencapai sasaran yang telah ditetapkan semula).
Atas dasar pemahaman tersebut, kita dapat menentukan bentuk reformasi yang tidak didasarkan pada substansinya (ekonomi, politik, hukum), melainkan berdasarkan dimensinya, yaitu perencanaan, pengorganisasian, penggerakan, dan pengawasan dalam berbagai bidang / substansi kehidupan. Dengan kata lain, reformasi bidang politik hendaknya tidak hanya menyentuh pada praktek atau pelaksanaan di lapangan saja, tetapi juga harus memperluas cakupannya sampai permasalahan tentang sistem politik apa yang cocok untuk masyarakat Indonesia masa depan (perencanaan), sistem politik apa yang dapat mengakomodir heterogenitas masyarakat Indonesia (penggerakan), sistem politik apa yang dapat memberikan pendidikan dan penyadaran kepada masyarakat Indonesia (penggerakan), serta sistem politik apa yang dapat mencegah terjadinya kecenderungan memperkokoh kekuasaan (pengawasan).
Dalam bentuk konkrit, reformasi politik hendaknya tidak hanya bertujuan untuk mengganti 5 paket UU Politik, tetapi juga harus dilandasi oleh konsepsi filosofis, yuridis maupun sosiologis yang kuat. Tanpa dasar konseptual ini, maka reformasi sesungguhnya hanya terjadi di permukaan belaka. Hal ini harus diberlakukan untuk seluruh bidang reformasi yang kita inginkan.
Manajemen Reformasi
Inti gagasan manajemen reformasi adalah bagaimana menjamin proses reformasi berjalan sesuai harapan melalui pengelolaan yang baik dan benar. Sebab, reformasi yang berjalan tanpa didahului oleh perencanaan yang baik, pengorganisasian yang matang, atau pengawasan yang tepat, maka hasil yang tercapai bisa jadi tidak optimal, atau bahkan melenceng. Masih banyaknya kasus korupsi, keluhan masyarakat, atau demo-demo terhadap kebijakan publik yang ditempuh pemerintah, menunjukkan bahwa program reformasi sesungguhnya masih jauh sekali dari kondisi ideal yang diharapkan.
Beberapa poin utama dari gagasan manajemen reformasi ini dapat dikemukakan sebagai berikut:
· Apabila reformasi manajemen mensyaratkan bergulirnya perubahan sistem perencanaan (change the planning system), maka manajemen reformasi lebih membutuhkan perencanaan yang kuat dan akurat terhadap perubahan yang diinginkan (plan changing procesess).
· Ketika reformasi manajemen menginginkan perubahan atas sistem organisasi dan pengorganisasian (change the organization and organizing functions), maka manajemen reformasi lebih mengarahkan pada upaya mengorganisasikan perubahan (organizing the changes).
· Jika reformasi manajemen mempertanyakan bagaimana merubah sistem penggerakan (change the actuating patterns), maka manajemen reformasi lebih menekankan pada persoalan bagaimana menggerakkan perubahan (actuating the changes).
· Apabila reformasi manajemen memilih melakukan perubahan sistem pengawasan (change the controlling mechanism), maka manajemen reformasi lebih cenderung untuk mendahulukan mekanisme pengawasan terhadap perubahan tersebut (controlling the changes).
Dari sedikit paparan diatas dapat disimak bahwa reformasi manajemen disatu pihak, dan manajemen reformasi di pihak lain, hádala dua sisi yang berbeda dari satu koin yang sama. Keduanya harus dilakukan secara sinergis, konvergen, dan simultan, sehingga proses reformasi total benar-benar akan menghasilkan perubahan yang sesuai dengan cita-cita dasar kehidupan masyarakat dalam konteks berbangsa dan bernegara.
Bandung, September 2008
Kenapa harus serba membungkam ham Soeharto, dia terlalu rakus kekuasaan dan korupsi merajalela.
BalasHapusTapi itulah hebatnya kotak beasiswa yang dapat menyediakan info beasiswa berbarengan dengan sainsologi