Laman

Kamis, 02 September 2010

Pengukuran Kinerja Sebagai Upaya Membangun Pemerintah Daerah Berbasis Manajemen Kinerja


Pendahuluan
Hampir satu dasawarsa sejak bergulirnya Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah, mulai dari UU No 22/1999 yang kemudian diganti dengan UU No 32/2004 dan terakhir mendapat revisi dengan keluarnya UU No 12/2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, kurang memberikan hasil yang menggembirakan berkenaan dengan otonomi yang diberikan kepada daerah.
Kran otonomi daerah yang dibuka seluas-luasnya merupakan peluang yang di dalamnya juga mengandung suatu ancaman. Peluang dalam arti otonomi memberi kesempatan kepada daerah untuk meningkatkan pelayanan kesejahteraan masyarakat dengan memberdayakan masyarakat, melakukan pengembangan kreativitas dan prakarsa yang berbasis local wisdom, pengembangan peran dan fungsi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dll. Namun ternyata tidaklah mudah mengelola urusan pemerintah yang menjadi kewenangan daerah. Dalam laporan Departemen Dalam Negeri per 2006, dari 148 daerah otonom sejak tahun 1999 yang dievaluasi, lebih dari 80 persen daerah yang telah dievaluasi masuk kategori bermasalah dan gagal. Demikian juga bila menganalisis data yang dikeluarkan oleh Departemen Keuangan pada Januari 2007 sewaktu memetakan kemajuan keuangan daerah, terlihat bahwa mayoritas daerah-daerah pemekaran tergolong pada klasifikasi rendah. Demikian juga berdasarkan analisis BPK April 2007 bahwa pemekaran berdampak negatif pada perekonomian atau membebani keuangan negara. Lalu sebenarnya kinerja seperti apa yang telah dilakukan pemerintah daerah, sehingga menyebabkan kegagalan mengurus “kamar baru” dari satu rumah besar yang dinamakan Indonesia ini?
Pemerintah Daerah mempunyai kewenangan yang cukup besar untuk mengelola daerahnya secara akuntabel dan bertanggung jawab (PKKOD LAN RI;2004). Makna akuntabel dan bertanggung jawab ini dapat dilihat dari ukuran capaian kinerjanya. Artinya berbagai program yang dijalankan atau dilaksanakan daerah diarahkan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Selain pengelolaan program, mekanisme lain yang tidak kalah penting adalah menjamin akuntabilitas dan transparansi pengelolaan daerah. Untuk itulah manajemen kinerja dipandang mampu menjembatani berbagai tuntutan tersebut. Dalam sistem manajemen kinerja dapat dijumpai berbagai fungsi seperti perencanaan, monitoring, evaluasi, diagnosis, improving dan reporting yang jika diterapkan akan dapat digunakan untuk menilai keefektifan suatu program.
Kinerja dalam ”kacamata” Veithzal Rivai dan Dato’ DR Ahmad Fawzi Mohd. Basri (2005;14), adalah hasil atau tingkat keberhasilan seseorang secara keseluruhan selama periode tertentu didalam melaksanakan tugas dibandingkan dengan berbagai kemungkinan, seperti standar hasil kerja, target atau sasaran atau kriteria yang telah ditentukan terlebih dahulu dan telah disepakati bersama. Kemudian bila kita mencermati tulisan DR. Wan (2006;1) dalam ‘’Membangun Kinerja”, disebutkan bahwa kinerja mencakup tiga komponen penting yaitu hasil kerja, proses kerja dan satuan waktu kerja. Sejalan dengan itu Russel (1993) menambahkan bahwa kinerja merupakan catatan tentang outcome atau hasil akhir dari suatu aktivitas dalam satuan waktu tertentu. Hasil kerja merupakan perbandingan antara target normatif organisasi dengan realisasi yang dicapai. Sedangkan proses kerja berkaitan dengan serangkaian aktivitas dalam organisasi. Satuan waktu kerja berkaitan dengan kapan dilakukan pengukuran kinerja. Dalam implementasi semangat penyelenggaraan pemerintahan berparadigma otonomi daerah yang berbasis kinerja diperlukan instrumen dalam bentuk pendekatan, metode dan alat/teknik (Karhi Nisjar; 1997).
Sesuai ketentuan umum Permen-PAN No; PER/09/M.PAN/5/2007 tentang Pedoman Umum Penetapan Indikator Kinerja Utama Di Lingkungan Instansi Pemerintah, pasal 1 disebutkan bahwa kinerja instansi pemerintah adalah gambaran mengenai tingkat pencapaian sasaran ataupun tujuan instansi pemerintah sebagai penjabaran dari visi, misi dan strategi instansi pemerintah yang mengindikasikan tingkat keberhasilan dan kegagalan pelaksanaan kegiatan-kegiatan sesuai dengan program dan kebijakan yang ditetapkan. Hasil akhir dari semua itu adalah terciptanya pelayanan kepada masyarakat yang memuaskan. Hal ini yang sering menyulitkan instansi pemerintah untuk menentukan indikator kualitas pelayanan yang diberikan, apakah memuaskan atau tidak. Aparatur mempunyai tingkatan kinerja tertentu dalam memberikan layanan. Setiap pimpinan instansi pemerintah pasti menghendaki pencapaian kinerja yang optimal. Ekspetasi ini akan menjadi sulit dicapai jika tidak adanya suatu pengukuran dan evaluasi kinerja yang dilakukan secara terus menerus.
Disini, pengawasan kinerja pemerintah harus mempunyai alat ukur yang jelas. Dalam prakteknya pengawasan mempunyai tiga tahapan, sebagaimana diungkapkan Welsh (1984;16), yaitu (1) menetapkan standar prestasi (2) mengukur prestasi yang sekarang serta sekaligus membandingkan dengan standar yang telah ditetapkan dan (3) mengambil tindakan untuk memperbaiki semua penyimpangan yang terjadi pada pelaksanaan dari standar yang telah ditetapkan tersebut. Adapun Prajudi Atmosudirdjo (1982;226-227) mengemukakan bahwa pengawasan ataupun pengendalian terdiri atas tiga komponen, yaitu; (1) pengukuran penyelenggaraan (measure of the performance); (2) membandingkan penyelenggaraan dengan standar; dan (3) mengadakan tindakan koreksi. Mengukur dan menilai kinerja pemerintah daerah memang dapat dilakukan melalui berbagai macam pendekatan. Namun pada akhirnya melakukan pengukuran kinerja akan dapat meningkatkan obyektifitas dalam mengidentifikasi pemerintah daerah yang berkinerja baik. Ini juga akan membantu dalam mengenali aspek-aspek di mana bantuan dapat diberikan kepada pemerintah daerah untuk meningkatkan kinerjanya, dengan bantuan pemerintah pusat maupun donor. Dengan cara demikian, rakyat dapat mulai menuntut dan memperoleh lebih banyak dari pemerintah daerahnya dengan memberikannya sebuah rapor dan umpan balik.”

Pengukuran Kinerja Sebagai Elemen NPM
            Konsep New Public Management (NPM) erat terkait dengan kinerja sektor publik dengan alasan bahwa pengukuran kinerja merupakan salah satu prinsip yang dikandung NPM. Berangkat dari semangat untuk mereformasi kinerja sektor publik yang di gambarkan tidak produktif, tidak efisien, selalu rugi, rendah kualitas, miskin inovasi dan kreativitas, maka oleh Christopher Hood pada tahun 1991, istilah New Public Management (NPM) mulai dikenalkan. Sebenarnya NPM lebih cenderung beranggapan bahwa manajemen sektor swasta lebih baik dibandingkan praktik manajemen sektor publik. Oleh karena itu, untuk memperbaiki kinerja sektor publik perlu diadopsi beberapa praktik dan teknik manajemen yang diterapkan di sektor swasta kedalam organisasi sektor publik. Implikasi dari penerapan NPM adalah berubahnya manajemen sektor publik dari sistem manajemen tradisional yang kaku, birokratis dan hirarkis menjadi model manajemen sektor publik yang fleksibel dan lebih mengakomodir pasar. Penerapan konsep NPM dapat dipandang sebagai bentuk modernisasi manajemen sektor publik. Perubahan tersebut juga telah mengubah peran pemerintah terutama dalam hal hubungan antara pemerintah dengan masyarakat (Hughes dalam Mahmudi;2005). NPM memiliki doktrin antara lain: berfokus pada kinerja dan penilaian kinerja; akuntabilitas berbasis hasil (result-based accountability); pemecahan birokrasi publik kedalam unit-unit kerja; penerapan mekanisme pasar melalui pengontrakan atau outsourcing untuk membantu perkembangan persaingan sektor publik; pemangkasan biaya (cost cutting) dan efisiensi; kompensasi berbasi kinerja (performance-based pay); dan kebebasan manajer untuk mengelola organisasi. Hal tersebut diatas semakin menegaskan bahwa NPM sangat terkait dengan semakin pentingnya pelayanan kepada pelanggan (customer service); devolusi; reformasi regulasi; reformasi proses anggaran menuju penganggaran kinerja (performance budgeting) dan accrual budgeting.
Konsep NPM mensyaratkan organisasi memiliki tujuan yang jelas dan adanya penetapan target kinerja. Setelah dirasa jelas tujuannya, maka perlu ditetapkan target kinerja yang harus dicapai dalam rangka menyelaraskan dengan tujuan organisasi yang telah ditetapkan. Target kinerja tersebut merupakan kewajiban yang dibebankan kepada manajer atau personel untuk dicapai. Penetapan target kinerja harus dikaitkan dengan standar kinerja dan ukuran (indikator) kinerja. Penetapan standar kinerja dimaksudkan untuk memberikan nilai terbaik (best value) dan praktik terbaik (best practice), sedangkan penetapan ukuran kinerja adalah untuk menilai kesuksesan atau kegagalan dalam mencapai target kinerja dan tujuan organisasi yang ditetapkan. Selain itu ukuran kinerja dimaksudkan untuk memberikan arah atau tonggak (milestone) sejauh mana tujuan organisasi tercapai. Dalam konsep NPM, setiap unit kerja diharapkan dapat mengembangkan indikator kinerja sebagai alat untuk mengukur kemajuan dalam pencapaian tujuan organisasi yang telah ditetapkan. Pengukuran kinerja hendaknya juga diperluas tidak hanya unit, tapi juga kepada pengukuran kinerja individu. Doktrin NPM menghendaki pengukuran kinerja dibuat secara formal dan tersistem. Sistem penilain kinerja dengan pendekatan informal menurut NPM tidaklah efektif dan tidak mampu menjadikan organisasi mencapai hasil terbaik. Pengukuran kinerja yang tersistem dengan baik memungkinkan manajer untuk memonitor dan mengontrol kemajuan bawahan dan unit kerja dalam mencapai tujuan.
Sebagai elemen penting dalam NPM, sistem pengukuran kinerja sektor publik harus menjadi thematic issue yang harus dimunculkan dibenak para pemegang otoritas publik (Rogers dalam Mahmudi;2005). Hal tersebut disebabkan pengukuran kinerja bukanlah sesuatu yang bersifat netral, akan tetapi memberi dampak yang besar pada perilaku individu, kelompok dan organisasi. Pengukuran kinerja juga merupakan latihan teknokratik sederhana, karena merupakan konsep yang dinamik dan bersifat multidimensional.Tujuan NPM yang penting diperhatikan adalah menjadikan sektor publik sebagai organisasi penyedia jasa layanan publik yang efektif dan efisien.

Mengukur Kinerja Menggunakan Pendekatan Pengukuran Kinerja Sektor Publik

Budaya Kerja Aparatur
Image tentang rendahnya kinerja sektor publik tentu sudah tidak asing lagi. Selain kinerja yang rendah, diwarnai juga birokrasi yang sulit, berbelit-belit dan intrik praktik suap yang selalu mewarnai dan menjadikan citra aparatur di sektor publik semakin buruk. Untuk itulah kedepan budaya organisasi yang tidak kondusif harus dirubah menjadi organisasi yang berkinerja tinggi dan terukur dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Lemahnya budaya organisasi pada kebanyak sektor publik atau pada kebanyakan organisasi pemerintah menurut Dewi Sartika (dalam LAN-RI;2004) disebabkan antara lain oleh faktor:
§         Aparat pemerintah kebanyak berorientasi pada peraturan, bukan pada visi dan misi organisasinya
§         Ketidak jelasan visi dan misi organisasi
§         Sistem kompensasi yang kurang layak dan kuran adil
§         Lebih melayani atasan daripada melayani masyarakat
§         Promosi yang didasari senioritas daripada kompetensi
§         Membudayakan korupsi, kolusi dan nepotisme dilingkungan kerja
Melihat rendahnya kinerja tersebut sedikit banyak akan berpengaruh terhadap kinerja pegawai, kegiatan organisasi, pelayanan, dan image masyarakat sebagai costumer terhadap aparat, dengan gambaran sebagai berikut:
§         Kebanyakan pegawai merasa puas ketika sudah mematuhi aturan, terlepas apakah dia sudah memberikan kontribusi terhadap pencapaian tujuan organisasi;
§         Bagi pegawai yang memiliki prestasi dan kompetensi, kondisi semacam ini menyebabkan menurunnya motivasi kerja (demotivasi), dapat menyebabkan frustasi dan pada akhirnya memunculkan sikap-sikap yang apatis;
§         Ketidak jelasan visi dan misi menyebabkan kegiatan yang tidak mempunyai relevansi langsung dalam mencapai tujuan organisasi. Banyak program yang dibuat tidak berdasarkan atas skala prioritas, sehingga menyebabkan pemborosan dan menguras energi;
§         Pegawai mempunyai kecenderungan lebih loyal dan berlebihan dalam melayani atasan daripada melayani masyarakat. Sehingga masyarakat akan menyebabkan sikap enggan dan sinisme dari masyarakat untuk berhubungan dengan organisasi pemerintah;
§         Bila akhirnya harus berhubungan dengan organisasi, maka masyarakat lebih memilih untuk membayar uang jasa alias menyuap agar urusan cepat, lancar dan tidak bertele-tele.
Upaya untuk merubah aparatur dari budaya organisasi semacam itu sebenarnya sudah dilakukan dengan menerapkan program budaya kerja aparatur, dengan maksud meningkatkan produktivitas kerjanya. Namun memang dirasakan belum bisa optimal. Bertitik tolak dari hal tersebut, maka dalam mewujudkan organisasi berkinerja tinggi dari aspek budaya, diperlukan komitmen tinggi dan konsensus bersama sebagai hal penting yang menjadi prasyarat untuk mewujudkan organisasi yang berkinerja tinggi.

Urgensi Serta Arah Pengukuran Kinerja Sektor Publik
Kita mampu mengukur kinerja bila sebelumnya telah ditetapkan kriteria ukuran keberhasilan yang akan dicapai. Kriteria ukuran tersebut harus sesuai dengan tujuan dan target tertentu, karena hanya dengan menetapkan tujuan dan target akan dapat ditetapkan tolok ukur keberhasilannya. Meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap penyelenggaraan administrasi publik memicu timbulnya gejolak yang berakar pada ketidak puasan. Masyarakat kini mulai pandai dalam mengkritisi kinerja penyelenggara pemerintahan tentang manfaat yang mereka peroleh dari pelayanan yang diberikan. Kondisi ini mendorong peningkatan kebutuhan adanya suatu pengukuran kinerja terhadap para penyelenggara pemerintahan yang telah menerima amanat dari rakyat. Pengukuran tersebut akan melihat seberapa jauh kinerja yang telah dihasilkan dalam suatu periode tertentu dibandingkan dengan yang telah direncakan. Elemen pada suatu pengukuran kinerja antara lain:
1.     Menetapkan tujuan, sasaran dan strategi organisasi
Tujuan merupakan pernyataan secara umum tentang apa yang ingin dicapai. Sasaran merupakan tujuan organisasi yang sudah dinyatakan secara eksplisit dengan disertai batasan waktu yang jelas. Strategi merupakan teknik yang digunakan organisasi untuk mencapai tujuan dan sasaran. Ketiganya dikaitkan dan berpedoman pada visi dan misi organisasi. Selanjutnya dapat ditentukan indikator dan ukuran kinerja secara tepat.
2.       Merumuskan indikator dan ukuran kinerja
Indikator kinerja mengacu pada penilaian kinerja secara tidak langsung yaitu hal-hal yang sifatnya hanya merupakan indikasi-indikasi kinerja. Ukuran kinerja mengacu pada penilaian kinerja secara langsung. Indikator kinerja dapat berbentuk faktor-faktor keberhasilan utama (critical success factors) dan indikator kinerja kunci (key performance indicator). Faktor keberhasilan kunci merupakan area yang menggambarkan preferensi manajerial dengan memperhatikan variabel-variabel kunci finansial dan non finansial pada kondisi waktu tertentu. Indikator kinerja kunci merupakan sekumpulan indikator yang dapat dianggap sebagai ukuran kinerja kunci baik yang bersifat finansial maupun non finansial untuk melaksanakan operasi dan kinerja unit layanan.
3.       Mengukur tingkat ketercapaian tujuan dan sasaran-sasaran organisasi
Bila sudah ditetapkan indikator dan ukuran kerja, maka pengukuran kinerja bisa diterapkan. Mengukur ketercapaian kinerja adalah dengan membandingkan hasil aktual dengan indikator dan ukuran kinerja yang telah ditetapkan. Analisis antara hasil aktual dengan indikator dan ukuran kinerja ini menghasilkan penyimpangan positif, penyimpangan negatif atau penyimpangan nol. Penyimpangan positif berarti pelaksanaan kegiatan sudah berhasil mencapai serta melampaui indikator dan ukuran kinerja yang ditetapkan. Penyimpangan negatif berarti pelaksanaan kegiatan belum berhasil mencapai indikator dan ukuran kinerja yang ditetapkan. Penyimpangan nol berarti pelaksanaan kegiatan sudah berhasil mencapai atau sama dengan indikator dan ukuran kinerja yang ditetapkan.
4.       Evaluasi kinerja
Melalui evaluasi kinerja akan dihasilkan gambaran dan informasi mengenai nilai kinerja yang berhasil dicapai organisasi. Capaian kinerja organisasi dapat dinilai dengan skala pengukuran tertentu. Informasi capaian kinerja dapat dijadikan feedback dan reward-punishment, penilaian kemajuan organisasi dan dasar peningkatan kualitas pengambilan keputusan dan akuntabilitas.
Dengan demikian menjadi jelas urgensi pengukuran kinerja yang merupakan tahapan sangat vital bagi keberhasilan implementasi manajemen strategis. Rencana strategis yang telah ditetapkan oleh organisasi membutuhkan wadah untuk mewujudkannya dalam bentuk aktivitas keseharian organisasi.
Pengukuran kinerja akan mengarah pada suatu fokus pada: a) pelakunya (pegawai), b) perilaku (proses), c) hasilnya. Perbedaan penekanan ini akan mempengaruhi pendekatan pengukuran kinerja yang dipilih, apakah berfokus pada orangnya, prosesnya ataukah pada hasilnya.

1.     Pengukuran kinerja berbasis pelaku
Penilaian kinerja berfokus pada pelaku dengan atribut-atribut, karakteristik dan kualitas personal yang dipandang sebagai faktor utama kinerja. Fokus penilaian ini memandang tokoh pelaksana kinerja sebagai penentu keberhasilan organisasi. Organisasi cenderung mengabaikan apa yang dilakukan orang itu dan hasil yang ia capai. Dengan fokus penilaian berbasis pelaku mendasarkan penilaian kinerja pada kualifikasi dan kinerja individual, misalnya:
a.       Penampilan
b.       Disiplin dan ketaatan terhadap aturan
c.       Kemauan dan kemampuan belajar
d.       Hubungan dengan pelanggan, bawahan, rekan kerja dan atasan
e.       Motivasi diri
f.        Kecermatan dan ketelitian
g.       Produktivitas/kecepatan dalam kerja
h.       Kualitas kerja
i.         Pengetahuan dan ketrampilan kerja
j.         Kemampuan beradaptasi
k.       Kemampuan bekerjasama dan kerja tim
l.         Kemampuan mengatasi masalah
m.     Kemampuan berkomunikasi lisan dan tulisan
n.       Kemampuan memimpin dan mengorganisasi
o.       Loyalitas
Tiap atribut kinerja personal diberi bobot tertentu untuk menentukan total nilai kinerjanya.

2.       Pengukuran kinerja berbasis perilaku
Pengukuran kinerja berbasis perilaku lebih berkonsentrasi pada perilaku atau proses yang dilakukan seseorang dalam melakukan kerja. Disini tidak lagi didasarkan pada pertanyaan siapakah orang ini, namun bagaimana orang tersebut bekerja. Untuk menilai kinerja berdasarkan perilaku, organsasi biasanya menentukan faktor kinerja sebagai dasar untuk menilai. Faktor kinerja tersebut tidak menunjuk secara langsung kepada pelaku, namun proses dan perilaku yang terlihat dalam proses. Faktor-faktor kinerja tersebut misalnya:
a.      Manajemen operasional, meliputi: Perencanaan dan pengendalian keuangan, Manajemen aset, dan Pengendalian internal.
b.      Manajemen staf dan pengembangan SDM, meliputi: Perencanaan, seleksi dan pengembangan staf, Perencanaan kinerja, pembimbingan dan penghargaan kinerja, dan Pengembangan tim dan hubungan staf.
c.       Kualitas barang atau jasa yang dihasilkan, meliputi: Estetika produk yang diberikan, Kemudahan dalam penggunaan atau pengaksesan, Ketersediaan/keberadaan barang, jasa atau orang pada saat dibutuhkan, dan Kebersihan dan kerapian produk yang diberikan.
d.      Kualitas pelayanan, meliputi: Kecepatan pelayanan, Kebersihan dan kerapihan staf dan fasilitas, Keramahan dan kesabaran staf dalam melayani masyarakat, dan Keamanan dan kenyamanan.
Penilaian kinerja berbasis perilaku menggunakan beberapa metode untuk menilai kinerja, misalnya dalam bentuk skala likert, model BARS (Behaviorally Anchored Rating Scales) atau skala frekuensi. Skala likert digunakan untuk mendeskripsikan tingkatan nilai suatu perilaku atau proses dalam bentuk skala misalnya: baik sekali, baik, cukup, buruk dan buruk sekali. Ekspresi tersebut kemudian dinotasikan dalam bentuk angka antara 1 sampai 5. Model BARS berbeda dengan skala likert. Model ini memberikan alternatif penilaian lebih fleksibel dan fair karena tidak membatasi nilai secara kaku yang dikombinasikan dengan grafik.

3.       Pengukuran kinerja berbasis hasil
Dua pendekatan diatas hanya berfokus pada pengukuran kinerja input dan output. Terdapat kelemahan pada model pengukuran input-output, karena tidak mengukur hasil, dampak dan manfaat yang lebih luas. Oleh karena itu dikembangkan penilaian kinerja dan teknik yang berbasis pada pengukuran hasil. Beberapa pendekatan penilaian kinerja berbasis hasil seperti management by objective (MBO), result oriented management (ROM), result based management, outcome based performance, dll. Namun demikian tetap saja ada beberapa kelemahan yakni terlalu berlebihan dalam menilai hasil dan cenderung mengabaikan proses. Oleh karena itu perlu adanya kombinasi ketiga pendekatan tersebut. Selain bermuara pada hasil, tapi tetap memperhatikan proses input-nya.

Manajemen Kinerja Dalam Penyelenggaraan Pemerintah Daerah

Manajemen Kinerja sebagai sebuah paradigma
Sebagai sebuah paradigma, manajemen kinerja diartikan sebagai suatu proses. Proses yang dimaksud adalah proses perumusan tujuan atau outcomes yang disertai dengan ukuran kinerja (performance measurement) dari outcomes tersebut. Asumsi yang digunakan tentang manajemen kinerja adalah suatu program yang dijalankan atau dilaksanakan untuk mencapai suatu tujuan, sehingga dengan memonitor pelaksanaan program tersebut keefektifan penggunaan resources dapat dilihat. Manajemen kinerja digunakan dalam sektor publik untuk meningkatkan kualitas pengambilan keputusan pemerintah,meningkatkan kualitas pemerintah dan meningkatkan accountability.
Kegiatan manajemen kinerja diarahkan pada pengintegrasian berbagai fungsi manajemen sehingga semua pihak dalam organisasi mengetahui dan termotivasi untuk berpartisipasi dalam mencapai tujuan organisasi. Kejelasan rencana akan mempermudah pemilihan strategi dan pelaksanaan program dan kegiatan. Sedangkan proses monitoring, evaluasi yang terencana, jelas, terbuka dan melibatkan partisipasi semua pihak dalam organisasi akan memudahkan proses perbaikan, baik pada tahap perencanaan, pelaksanaan, tindak lanjut dan pelaporannya. Dalam State Of Oklahoma Performance management Process Handbook 1999-Publications Clearinghouse of The Oklahoma Department Of Libraries, bahwa manajemen kinerja merupakan sebuah proses membangun pemahaman bersama tentang apa yang dicapai dan bagaimana mencapainya.
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, kejelasan rencana akan mempermudah pemilihan strategi dan pelaksanaan program dan kegiatan. Perencanaan merupakan hal memilih dan menghubungkan fakta-fakta serta hal membuat dan menggunakan dugaan-dugaan mengenai masa yang akan datang dalam hal menggambarkan dan merumuskan kegiatan-kegiatan yang diusulkan, yang dianggap perlu untuk mencapai hasil-hasil yang diinginkan. Sementara pemantauan (monitoring) adalah proses untuk memastikan bahwa aktivitas sebenarnya sesuai dengan aktivitas yang direncanakan. Evaluasi dilakukan setelah proses monitoring dimana di dalamnya dilakukan pengukuran kinerja dan pencatatan serta pembandingan antara kinerja aktual dengan standar kinerja. Tahap selanjutnya adalah diagnosis. Diagnosis dimaksudkan untuk mengetahui capaian dan kesalahan/penyimpangan yang terjadi. Apabila kinerja yang dicapai sesuai/tidak menyimpang dari standar yang telah ditentukan maka proses berlanjut ke pelaporan, sedangkan bila terjadi penyimpangan akan dilakukan perbaikan (improving). Tahap terakhir dari proses manajemen kinerja adalah pelaporan (reporting), yaitu segenap kegiatan menyusun dan menyampaikan keterangan tertulis menganai segala sesuatu dalam organisasi kepada pimpinan (Terry & The Liang Gie dalam PKKOD-LAN;2004).
Jika kita ingin mendapatkan hasil yang maksimum dari manajemen kinerja, maka kita harus memandangnya sebagai sebuah sistem yang beroperasi dalam sistem yang lebih luas. ”Sistem” menunjuk pada sesuatu yang memiliki bagian atau komponen-komponen yang berinteraksi dan bekerja bersama secara interdependen untuk mencapai sesuatu. Semakin baik sistem manajemen kinerja dirangkaikan dengan hal-hal lain dalam organisasi, semakin besar kemungkinan orang memahami bahwa hal ini mempunyai manfaat yang penting.

Praktik Pengukuran Kinerja di Daerah
Untuk melakukan pengukuran kinerja suatu organisasi harus ditentukan terlebih dahulu tujuan yang akan dicapai. Pengukuran kinerja dimaksud untuk mengukur kesesuaian realisasi dengan tujuan yang ditetapkan. Tujuan organisasi pada umumnya di-breakdown dari perencanaan strategis, yaitu dimulai dari visi dan misi, falsafah dan kebijakan. Selanjutnya perumusan tujuan, sasaran, penyusunan program dan anggaran serta penetapan tugas dan fungsi harus mengacu pada perencanaan strategis yang sudah ditetapkan.
Dalam menjalankan kewenangan di daerah, pemerintah membagi kedalam satuan kerja perangkat daerah yang terdiri dari sekretariat daerah, dinas, badan dan lembaga teknis lainnya. Tujuan pemerintah daerah dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu:
1.     Memberikan pelayanan kepada masyarakat
2.     Mengumpulkan dan mengalokasikan/mendistribusikan sumber daya.
Pengukuran kinerja pemerintah daerah harus mencakup pengukuran kinerja keuangan dan non keuangan. Indikator kinerja pemda meliputi indikator input, indikator proses, indikator output, indikator outcome, indikator benefit dan indikator impact.
1.     Indikator masukan (inputs), misalnya: Jumlah dana yang dibutuhkan; Jumlah pegawai yang dibutuhkan; Jumlah infra struktur yang ada; Jumlah waktu yang digunakan.
2.     Indikator proses (process), misalnya: Ketaatan pada peraturan perundangan; Rata-rata yang diperlukan untuk memproduksi atau menghasilkan layanan jasa.
3.     Indikator keluaran (output), misalnya: Jumlah produk atau jasa yang dihasilkan; Ketepatan dalam memproduksi barang atau jasa.
4.     Indikator hasil (outcome), misalnya: Tingkat kualitas produk dan jasa yang dihasilkan; Produktivitas para karyawan atau pegawai.
5.     Indikator manfaat (benefit), misalnya: Tingkat kepuasan masyarakat; Tingkat partisipasi masyarakat.
6.     Indikator dampak (impact), misalnya: Peningkatan kesejahteraan masyarakat, Peningkatan pendapatan masyarakat
Karakteristik pemerintah daerah sebagai pure nonprofit organization berimplikasi pada tanggung jawab besar di bidang ekonomi dan sosial secara bersamaan.
Berikut ini ilustrasi pengukuran kinerja yang pernah dilakukan dalam suatu kajian pengukuran kinerja pada Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) di Provinsi Kalimantan Timur, yakni pada Badan Kepegawaian Daerah Kota Bontang.
Menggunakan teknik yang dikembangkan dari buku ”Membangun Kinerja; Langkah Cerdas Menuju Sukses Organisasi” (DR. Wan; 2006), secara sederhana bisa dilihat kinerja yang telah dihasilkan oleh BKD Kota Bontang. Melihat visi BKD Kota Bontang yang berbunyi Terwujudnya sumber daya aparatur pemerintah yang profesional dan sejahtera”. Visi tersebut mengandung beberapa makna sebagai berikut:
§         Sumber daya aparatur adalah Pegawai Negeri Sipil dan tenaga kontrak yang ada di lingkungan Pemerintah Kota Bontang.
§         Profesional adalah melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai aparatur secara sistematis yang dilandasi ilmu pengetahuan.
§         Pegawai yang sejahtera adalah pegawai yang cukup materiil dan non materiil bagi Pegawai Negeri Sipil dan keluarganya.
Untuk mewujudkan visi Badan Kepegawaian Daerah Kota Bontang perlu digariskan misi yang harus dilaksanakan oleh Badan Kepegawaian Daerah Kota Bontang sebagai berikut:
1.     Meningkatkan kualitas dan kinerja sumber daya aparatur Pemerintah Kota Bontang yang profesional.
2.     Meningkatkan kesejahteraan aparatur Pemerintah Kota Bontang
3.     Meningkatkan akurasi data dan informasi kepegawaian dalam rangka meningkatkan kinerja organisasi.
Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Bontang Nomor 15 Tahun 2002, tentang Perubahan Peraturan Daerah Kota Bontang Nomor 3 Tahun 2001 tentang Pembentukan Organisasi Lembaga Teknis Daerah, dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam pasal 20 mempunyai fungsi:
a.      Penyiapan penyusunan Peraturan Perundang-Undangan Daerah di bidang kepegawaian sesuai dengan norma standar dan prosedur yang ditetapkan pemerintah.
b.      Perencanaan dan Pengembangan Kepegawaian Daerah.
c.      Penyiapan kebijaksanaan teknis pengembangan kepegawaian daerah.
d.      Penyiapan dan pelaksanaan pengangkatan, kenaikan pangkat, pemindahan dan pemberhentian Pegawai Negeri Sipil Daerah sesuai dengan norma, standar dan prosedur yang telah ditetapkan Peraturan Perundang-Undangan.
e.      Pelayanan administrasi kepegawaian dalam pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian dari jabatan struktural dan fungsional sesuai dengan norma, standar dan prosedur yang telah ditetapkan Peraturan Perundang-Undangan.
f.       Penyiapan dan penetapan pensiun Pegawai Negeri Sipil Daerah sesuai dengan norma, standar dan prosedur yang telah ditetapkan Peraturan Perundang-Undangan.
g.      Penyelenggaraan administrasi Pegawai Negeri Sipil Daerah.
h.      Penyampaian informasi Kepegawaian Daerah kepada Badan Kepegawaian Negara.
Langkah pengukuran kinerjanya adalah sebagai berikut:
1.      Menetapkan Standar Kinerja (SK). Merupakan ukuran kuantitatif dan normatif kegiatan pada awal periode ditetapkan dan diharapkan tercapai diakhir periode. Paling banyak ditetapkan sebanyak 20 SK untuk pengukuran kinerja
2.      Menetapkan Hasil Kerja Nyata (HKN). Merupakan ukuran kuantitatif dan normatif kegiatan yang telah dicapai pada akhir periode atau merupakan realisasi kegiatan.
3.      Menetapkan Nilai Kinerja (NK). Menetapkan angka NK didapat dari rumus HKN dibagi NK dikali 100% atau NK= HKN/SK x 100%
4.      Menetapkan Bobot Standar Kinerja (BSK). Merupakan skala nilai yang menunjukkan tingkat pengaruh dari suatu standar kinerja terhadap kinerja organisasi. Skala BSK antara  >0 - <1,00. Nilai BSK didapat dari nilai peringkat (NP) dibagi dengan Jumlah Nilai Peringkat (JNP) dikali 1 atau BSK= NP/JNP x 1.
5.      Menetapkan Nilai Capaian Kinerja (NCK). NCK dihitung dengan cara Nilai Kinerja (NK) dikalikan dengan Bobot Standar Kinerja (BSK) atau NCK = NK x BSK
6.      Menetapkan Nilai Capaian Kinerja Akhir (NCKA). NCKA didapat dari penjumlahan seluruh NCK.
7.      Menetapkan Hasil Kinerja.
Dari visi, misi dan fungsi BKD ditetapkanlah standar pengukuran kinerjanya dengan menetapkan maksimal 20 standar, namun dalam hal ini hanya diambil 18 kriteria akan diukur yang mencerminkan visi, misi dan fungsi BKD. Pada akhir nya, Nilai Capaian Kinerja Akhir yang dicapai oleh BKD Kota Bontang adalah 83,38. bila dituliskan performa kinerja nya masuk kedalam kinerja yang “Baik”. Dari gap yang muncul bisa dilihat program atau kegiatan yang belum optimal tercapai. Untuk itu bisa dilakukan improvement berupa janji perbaikan kinerja oleh BKD Kota Bontang dimasa mendatang. Disamping itu juga perlu diperhatikan hubungan pengukuran kinerja tersebut terhadap manfaat dan dampak yang bisa diambil oleh masyarakat, baik yang bersifat nyata (tangible) dan tidak nyata (intangible).

Penutup
Pada prinsipnya pengukuran kinerja harus dilakukan baik oleh pemerintah pusat dan daerah. Namun demikian, pemerintah daerah sebagai gerbang pertama yang melayani secara langsung masyarakat didaerahnya seharusnya mampu memberikan pelayanan yang optimal dengan dukungan berbagai pendekatan pengukuran kinerja sebagai tools, mengukur sejauh mana dampak dan manfaat yang telah dirasakan masyarakat dari hasil kinerjanya. Pengukuran kinerja sebagai salah satu prinsip dalam New Public Management (NPM) dan bagian dari sebuah sistem manajemen kinerja yang terus berinteraksi harus bisa bermuara pada peningkatan kualitas kinerja dengan beban kerja maksimal dan hasil optimal untuk memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat dan terus mengevaluasi diri (inward looking) agar terjaga kinerjanya.

Daftar Pustaka
Argyris, C. 1997. Double Loop Learning in Organizations. Harvard Business Review, September-Oktober, pp.59-72
Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan. 2000. Pengukuran Kinerja: Suatu Tinjauan Pada Instansi Pemerintah. Jakarta: Tim Studi Pengembangan Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah
Davis, O. A. And Larkey, P. D. 1980. Measuring the Effeciency and Effectiveness Of Government Activities, From Improving the Financial Discipline of State and Cities: David Solomons (Editor)
DR. Wan, 2006. Membangun Kinerja, Sukabumi: Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Mandala Indonesia
Godfrey, J.,Hodgson, A., and Holmes, S. 1997. Accounting Thery. Queensland: John Wiley & Sons
Keban, Yeremias T. 2004. Enam Dimensi Strategis Administrasi Publik; Konsep, Teori dan Isu. Yogyakarta: Penerbitan Gava Media
Kloot, Louise. 1999. Performance Measurement and Accountability in Victorian Local Government. The International Journal of Public Sector Management, Vol 12, No 7,pp.565-584
LAN-RI . 2004. Teknik Penyusunan Organisasi Berbasis Kinerja. Jakarta
Mahmudi. 2005. Manajemen Kinerja Sekator Publik. Yogyakarta: UPP AMP YKPN
Mulgan, Richard. 1997. The Processes of Public Accountability. Australian Journal of Public Administration 56 (1) March 1997, pp. 26-36
Mwita, J.I. 2000. Performance Management Model: A Systems-Based Approach to Public Service Quality. The International Journal of Public Sector Management, vol. 13, pp. 19-32
Nisjar, Karhi S. Ak. MM. 1997. Beberapa Catatan tentang Good Governance. Dalam jurnal Administrasi dan Pembangunan
PKKOD LAN-RI. 2006. Pengukuran dan Evaluasi Kinerja Daerah. LAN-RI: Jakarta
PKP2A I-LAN, 2007, Kajian Kinerja Lembaga Pengawasan Daerah. Bandung: PKP2A I-LAN
Prajudi Admosudirdjo, Prof. MR. DR, 1982. Dasar-Dasar Administrasi Negara. Seri Pustaka Ilmu Administrasi IV
Rivai, Veithzal & Dato DR. Ahmad Fawzi Mohd. Basri. 2005. Performace Appraisal: Sistem Yang Tepat Untuk Menilai Kinerja Karyawan dan Meningkatkan Daya Saing Perusahaan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Robbins, Stephen, 1996, Perilaku Organisasi, Jakarta: Prenhallindo
Robertson, Gordon. 2002. Loka Karya Review Kinerja. Jakarta: BPKP dan Executive Education
Rogers, Steve. 1990. Performance Management in Local Government. Essex: Longman
Schacter, Mark. 1999. Means..Ends.. Indicators: Performance Measurement in the Public Sector. Policy Brief No. 13 (April 1999). Ottawa: Institute on Government
Sorensen, J. E dan dan Grove, H. D. 1977. Cost-Outcome and Cost-Effectiveness Analysis: Emerging Nonprofit Performance Evaluation Techniques. The Accounting Review, Vol. LII, No. 3 (July 1997), pp. 658-675
Smith, Peter (Editor). 1996. Measuring Outcome in the Public Sector. London: Taylor&Francis
Watts, R.L. and Zimmerman, J.L. 1986. Positive Accounting Theory. Englewood Cliffs. NJ: Prentice Hall.

*) Ditulis bersama Fani Heru Wismono, SE

Tidak ada komentar:

Posting Komentar