Laman

Senin, 01 November 2010

Kebijakan Investasi dan Kinerja Sektor Ekonomi di Kalimantan Timur: Prospek dan Retrospek


Dalam skala regional dan global, persaingan antar sesama negara di kawasan Asia seperti China, India, Thailand dan Vietnam dalam menarik investasi ke negaranya masing-masing menjadi semakin berat. Dengan latar belakang situasi ekonomi dalam dan luar negeri seperti saat ini, maka diperlukan serangkaian upaya-upaya untuk memperbaiki iklim investasi agar Indonesia kembali menjadi tempat tujuan investasi yang menarik, baik bagi investor dalam negeri maupun luar negeri.

Sementara itu dalam skala nasional, Kalimantan Timur dikenal sebagai salah satu daerah terkaya di Indonesia dalam hal potensi sumber daya alam dan potensi ekonomi lainnya. Hal ini diindikasikan oleh tingginya PDRB per kapita di Kalimantan Timur serta di Kabupaten/Kota di Provinsi ini. Namun dilihat dari kinerja pembangunan sosial ekonomi, masih kurang menggembirakan, dilihat dari fenomena kemiskinan yang cukup tinggi, fasilitas pendidikan dan kesehatan yang kurang memadai, jaringan transportasi darat yang belum dapat menghubungkan seluruh daerah, dan sebagainya.

Kondisi diatas menggambarkan adanya kebijakan pengelolaan sumber daya alam yang kurang optimal. Oleh karena itu, perlu terus dipelihara dan ditingkatkan pada masa-masa mendatang melalui penciptaan iklim investasi yang kondusif terhadap pencapaian visi dan misi daerah. Dengan kata lain, terdapat hubungan timbal balik (reciprocal) antara potensi sumber daya alam dengan kebijakan investasi. Dalam hal ini, faktor SDA merupakan pull factor yang dapat merangsang atau mengundang investasi; sebaliknya investasi bisa dipandang sebagai push factor yang dapat memberi nilai tambah (value added) terhadap potensi SDA yang berlimpah. Dan jika hal ini dapat dilakukan, maka investasi telah mampu mebawa proses transformasi dari basis keunggulan berbanding (comparative advantage) suatu daerah menjadi keunggulan bersaing (competitive advantage).

Untuk mempercepat terciptanya iklim investasi yang kondusif tadi, maka diperlukan adanya langkah kebijakan strategis yang dapat mempercepat penciptaan iklim investasi yang kondusif khususnya di Kalimantan Timur dan di Indonesia pada umumnya. Termasuk dalam upaya pembenahan sektor ekonomi makro ini adalah perlunya kajian ulang dan/atau desain ulang konsep kelembagaan pelayanan investasi; sinkronisasi peraturan perundang-undangan khususnya antara Peraturan Daerah dengan peraturan di tingkat Pusat; revitalisasi sistem kepabeanan, perpajakan, ketenagakerjaan; dan sebagainya.

Dalam kaitan itulah, belum lama ini pemerintah telah mengeluarkan serangkaian kebijakan dalam rangka memperbaiki iklim investasi di Indonesia. Salah satu langkah yang cukup penting adalah keluarnya Inpres No. 3 Tahun 2006 tentang Paket Kebijakan Investasi, yang bertujuan untuk memperkuat kelembagaan pelayanan investasi dan sinkronisasi peraturan di tingkat daerah dan pusat; pembenahan aspek kepabeanan, ketenagakerjaan, Usaha Kecil Menengah dan Koperasi, perpajakan, dan sebagainya. Pada saat yang bersamaan, telah lahir pula Perpres No. 42 tahun 2006 tentang Komite Kebijakan Percepatan Penyediaan Infrastruktur (KKPPI) dengan tujuan untuk mendorong investasi asing dan domestik pada sektor infrastruktur.

Selain kedua produk regulasi diatas, upaya mendorong iklim investasi yang sehat dan kompetitif juga dilakukan melalui pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus Indonesia (KEKI) atau Special Economic Zone (SEZ). Wilayah-wilayah di Kalimantan Timur sendiri sangat potensial untuk dikembangkan menjadi basis-basis pertumbuhan, seperti wilayah Kawasan Industri Kariangau, Teluk Balikpapan, Simanggaris (Nunukan), Kawasan Industri Pupuk Kaltim (Bontang), Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu Sasamba (Sanga-sanga, Samarinda, dan Balikpapan), dan sebagainya. Ini belum termasuk wacana kerjasama regional yang melibatkan propinsi lain bahkan negara lain, seperti Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia and Philippines – East ASEAN Growth Area (BIMP-EAGA); kawasan berikat KASABA (Kalimantan, Sarawak, dan Sabah), dan sebagainya.

Berbagai pusat pertumbuhan atau “pusat investasi” tadi bukan saja dimaksudkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi di Indonesia, namun juga untuk meningkatkan kesempatan kerja, meningkatkan penghasilan masyarakat, dan mengurangi kemiskinan. Ini berarti pula, paket kebijakan investasi dan penetapan kawasan pertumbuhan sesungguhnya ditujukan untuk menghasilkan multiplier effect dan snowball effect secara sektoral, serta spreading effect secara spasial. Dengan kata lain, kebijakan tadi bukan tujuan, melainkan alat atau stimulan untuk menggerakkan perekonomian daerah menuju terciptanya kesejahteraan masyarakat yang makin baik.

Namun dalam prakteknya, banyak sekali ditemukan persoalan yang menghambat tumbuhnya investasi di daerah secara progresif. Kajian Ray and Redi (2003, dalam Effendi, 2006) menunjukkan 4 (empat) faktor yang menjadi penyebab lemahnya kinerja investasi, yakni faktor perijinan dan birokrasi, pungutan formal, pungutan informal, dan pelayanan. Dari 12 provinsi yang disurvei, 2 daerah buruk dalam proses perijinan usaha, 9 daerah berkinerja rendah dalam indikator pungutan formal dan 5 daerah indikator pungutan informal, serta 5 daerah menunjukkan performa buruk dalam aspek pelayanan. Kalimantan Barat sebagai satu-satunya provinsi di Kalimantan, memiliki skor negatif pada 2 (dua) indikator, yakni perijinan usaha dan pungutan formal.

Diluar variabel-variabel diatas, iklim investasi dan kinerja ekonomi daerah juga sangat dipengaruhi oleh variabel lainnya seperti kepastian hukum, kejelasan aturan, efektivitas kelembagaan perijinan, dikotomi dan benturan kewenangan Pusat dan Daerah, issu ketenagakerjaan, kinerja kepabeanan, kemanan dan stabilitas politik, dan sebagainya. Ironisnya, kinerja pemerintah pada variabel-variabel inipun menunjukkan fenomena yang sangat tidak menggembirakan. Tidaklah aneh jika kemudian Jetro (dalam Effendi, 2006) menemukan bahwa iklim investasi di Indonesia jauh lebih buruk dibanding China, Thailand, Vietnam dan negara ASEAN lainnya.

Tingkat kinerja yang rendah dalam menarik investasi dan menciptakan iklim berusaha yang kondusif tadi, secara langsung menghasilkan dampak negatif berupa rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat di daerah. Predikat Kaltim sebagai salah satu daerah terkaya di Indonesia, ternyata tidak dapat menjelma menjadi kemakmuran bagi penduduknya. Ini berarti pula, keunggulan berbanding (comparative advantage) daerah ini tidak mampu ditransformasikan menjadi keunggulan bersaing (competitive advantage). Dan kegagalan mengubah keunggulan berbanding menjadi keunggulan bersaing ini tidak terlepas dari rendahnya kinerja institusional pemerintah daerah, yang ditopang pula oleh rendahnya kinerja para pelaku ekonomi dan lembaga-lembaga khusus seperti manajemen kawasan berikat (Kapet). Selanjutnya, beberapa faktor yang berpotensi menghambat laju investasi di daerah antara lain sebagai berikut:

1.      Belum jelasnya pembagian kewenangan investasi antara Pusat dan Daerah, yang ditandai oleh lambatnya pengesahan RUU Penanaman Modal. Dalam tataran empirik, hingga saat ini pemerintah Pusat masih nampak ragu-ragu untuk menyerahkan kewenangan bidang investasi kepada daerah, yang jelas sekali sangat bertentangan dengan semangat Otonomi Daerah.

2.      Pemerintah Pusat agak lamban dalam mengimplementasikan Inpres No. 3/2006, dimana empat tindakan dalam Paket Kebijakan Perbaikan Iklim Investasi untuk periode Maret-Mei 2006 belum terselesaikan, yakni:
  • Penerbitan Peraturan Presiden tentang Surat Izin Usaha Pasar Modern yang konsepnya masih disempurnakan di Departemen Perdagangan. Penerbitan PP ini ditargetkan Maret 2006.
  • RUU Ketenagakerjaan yang masih dikaji secara akademis oleh lima perguruan tinggi.
  • Penyempurnaan Peraturan Menteri Dalam Negeri yang terkait dengan perizinan bagi usaha kecil menengah dan mikro (UMKM) dan pengembangan sistem pelayanan perizinan satu atap satu pintu yang tenggat waktunya April 2006.
  • Peraturan Menteri terkait penurunan pungutan pajak/retribusi daerah untuk menara telekomunikasi, jembatan timbang dan lalu lintas barang.

3.      Pemerintah Daerah belum menunjukkan dan membuktikan komitmennya untuk mendukung pengembangan dunia usaha di kawasan ekonomi khusus Indonesia (KEKI), antara lain untuk mempermudah dan menyederhanakan perijinan (baik melalui pola pelayanan satu atap maupun sistem online), penyediaan lahan yang sudah benar-benar bersih, menyediakan prasarana paling mendasar untuk pengembangan kegiatan usaha, dan sebagainya.

4.      Ada pencitraan bahwa daerah seolah-olah tidak mampu menjalankan urusan investasi dan pelayanan perijinan investasi. Pada saat yang bersamaan, terdapat banyak regulasi di tingkat daerah yang dipandang bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi atau tidak sejalan dengan semangat desentralisasi fiskal. Kondisi ini jelas makin menyudutkan posisi daerah sebagai institusi publik yang kurang siap dengan konsekuensi globalisasi ekonomi mondial.

Mengingat adanya kendala yang cukup serius seperti dikemukakan diatas, maka upaya yang sistematis dari seluruh pilar pembangunan menjadi sebuah keniscayaan. Dari unsur pemerintahan daerah, perlu dilakukan reformasi birokrasi perijinan investasi yang diarahkan pada beberapa prakondisi antara lain: 1) mampu menyediakan formula kebijakan yang memberikan insentif bagi investor; 2) mampu meningkatkan efisiensi birokrasi melalui pengurangan pungutan tidak resmi, pengkajian perda yang tidak ramah investasi, dan penyederhanaan perijinan investasi; serta 3) mampu membuat masterplan jangka panjang pengembangan investasi dan promosi daerah. Sementara itu dari unsur pelaku usaha (termasuk di dalamnya manajemen kawasan berikat), perlu terus dilakukan revitalisasi manajemen untuk mencapai 2 (dua) prakondisi, yakni kemampuan meningkatkan kapasitas produk unggulan dan memperkuat daya saing daerah, serta kemampuan untuk menghasilkan multiplier effect bagi masyarakat daerah.

Selain upaya diatas, penciptaan iklim investasi yang bersih, efektif, dan kondusif di daerah juga membutuhkan prasyarat dasar, yakni adanya integrasi pembangunan lintas sektoral. Artinya, pengembangan sektor investasi harus memiliki link and match langsung dengan sektor-sektor penunjangnya baik infrastruktur, ketenagalistrikan, pelabuhan laut/udara/sungai, jaringan komunikasi, jalur pemasaran produk-produk unggulan, dan sebagainya. Bahkan dunia investasi juga sangat membutuhkan adanya dukungan positif dari aspek kepastian hukum, stabilitas politik, serta konsistensi kebijakan publik.

Pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus Indonesia (KEKI) atau Special Economic Zone (SEZ) juga perlu diapresiasi sebagai upaya mempertemukan elemen-elemen industri dari hulu hingga hilir. Meski demikian, kita perlu belajar dan bercermin dari pengalaman masa lampau dalam pengelolaan kawasan khusus atau kawasan berikat. Kelemahan-kelemahan yang ada selama ini, serta kegagalan dalam menghasilkan multiplier effect bagi peningkatan kesejahteraan masayarakat dan pertumbuhan ekonomi daerah, harus dicarikan solusi terbaik agar tidak terulang dikemudian hari.

Akhirnya, dalam konteks otonomi daerah, dibutuhkan adanya pembagian kewenangan yang tepat dan proporsional antara Pusat dan Daerah (Provinsi dan Kabupaten/Kota). Pemerintah Pusat dituntut untuk berbesar hati dengan memberi kepercayaan yang lebih luas kepada daerah untuk mengurus masalah investasi (domestik maupun asing). Dengan demikian, otonomi daerah diharapkan mampu mendorong daerah-daerah lebih kreatif menarik investor, antara lain melalui perbaikan sistem birokrasi perizinan, penetapan peraturan / kebijakan yang pro-investasi, serta peningkatan kemampuan SDM sektor publik.


Tulisan ini merupakan ulasan terhadap pemikiran dan diskusi yang berkembang pada Seminar “Evaluasi Kebijakan Investasi, Kawasan Berikat, dan Kinerja Sektor Ekonomi di Kalimantan Timur”, diselenggarakan oleh PKP2A III LAN
Samarinda, tanggal 1 Agustus 2006.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar