Laman

Selasa, 07 Desember 2010

Kerangka Umum Hukum Administrasi Negara (KUHAN)


Butir-butir Pemikiran sebagai Masukan dalam Pembahasan Kerangka Umum Hukum Administrasi Negara (KUHAN)


1.       Dibanding dengan rezim hukum yang lain seperti Hukum Perdata, Hukum Pidana, dan Hukum Niaga, HAN (Hukum Administrasi Negara) memang jauh tertinggal. Jika 3 (tiga) lapangan hukum pertama telah memiliki kodifikasi dan unifikasi hukum, maka HAN adalah satu-satunya lapangan hukum yang belum terkodifikasi dan/atau terunifikasi. Pertanyaannya: perlukah dilakukan kodifikasi dan unifikasi HAN? Mengingat HAN di Indonesia dewasa ini adalah hukum yang bergerak sangat dinamis, terdorong oleh perubahan sistem ketatanegaraan (ranah HTN) yang begitu cepat[1], nampaknya sangat sulit untuk melakukan upaya kodifikasi/unifikasi HAN tersebut.

2.       Apakah Kerangka Umum HAN (KUHAN) nampaknya dapat dijadikan sebagai sebuah langkah awal untuk menyusun Kitab Undang-Undang HAN (KUHAN)? Namun sebaiknya KUHAN ini tidak bersifat kompilatif terhadap aturan-aturan yang mengatur hal tertentu, namun lebih baik diarahkan untuk menemukan filosofi atau esensi dasar yang melatarbelakangi lahirnya sebuah kebijakan (aturan atau keputusan), serta pola perilaku pejabat/badan pemerintah dalam menetapkan kebijakan.
Hal ini sesuai dengan definisi HAN yang dikemukakan oleh Rijksoverheid, yakni: Het bestuursrecht, ook bekend als administratief recht, beschrijft de regels waaraan de overheid zich moet houden bij het nemen van besluiten. (Administrative law describes the rules that the government must consider when making decisions).[2]
Kaidah-kaidah perilaku yang harus diacu oleh pejabat/badan pemerintahan, atau disebut juga kaidah HAN, di Belanda tertuang dalam Algemene wet bestuursrecht (Awb) atau General Administrative Law Act (GALA). Dalam Awb ini diatur mengenai bagaimana sebuah keputusan disiapkan (hoe een besluit moet worden voorbereid), bagaimana keputusan tersebut diundangkan dan/atau dilaksanakan (hoe het moet worden bekendgemaakt), serta dalam periode kapan kebijakan tersebut harus dibuat dan/atau dijalankan (binnen welke termijn een besluit genomen moet worden).

3.       Dengan demikian, penyelenggaraan pemerintahan, perlindungan masyarakat, sumber daya pemerintahan, fungsi sektoral pemerintahan, struktur kekuasaan negara sebagaimana tersistematisasi dalam Draft KUHAN, sesungguhnya lebih menggambarkan wilayah bekerjanya HAN, namun bukan merupakan substansi dari HAN itu sendiri. Mengacu kepada definisi Rihksoverheid diatas (ditambah referensi lainnya), maka substansi HAN dapat ditafsirkan meliputi 2 (dua) hal pokok, yaitu:

a.       Ilmu yang mempelajari tentang atau seperangkat norma yang berkenaan dengan kewenangan (competentie) pejabat/badan pemerintahan. Bahkan Prof. Dr. Marbun menyatakan bahwa HAN adalah ajaran tentang kewenangan (competentie-leer).
b.      Ilmu yang mempelajari tentang atau seperangkat norma yang berkenaan dengan perbuatan hukum (rechtshandelingen) pejabat/badan pemerintahan.

4.       Jika disepakati, maka KUHAN sebaiknya tidak berisi kompilasi terhadap materi peraturan perundangan sektoral, namun lebih mengelaborasi 2 (dua) esensi diatas. Secara pribadi bahkan saya menyarankan agar HAN produk LAN adalah HAN yang memiliki ciri khas , yakni HAN yang secara esensial berisi tentang ajaran detil tentang kewenangan (competentie) dan perbuatan hukum (rechtshandelingen) pemerintah. Beberapa uraian detil tentang kedua dimensi pokok HAN tersebut dapat disarankan sebagai berikut:

a.       Dimensi kewenangan (competentie) antara lain berisi tentang:
·         Jenis-jenis wewenang: konstitutif (wewenang asli atau pokok), atributif (delegasi legislatif), delegatif, dan mandat. Termasuk dalam kewenangan disini adalah kewenangan dalam pembatalan peraturan / keputusan (ic. Perda).
·         Sumber wewenang atau cara mendapatkan wewenang: penyebutan dalam konstitusi, delegasi oleh perundang-undangan, delegasi dan/atau mandat oleh pejabat diatasnya, dll.
·         Bentuk-bentuk penyimpangan terhadap kewenangan: onrechtmatige overheidsdaad (perbuatan melanggar hukum yang dilakukan pemerintah), detournement de pouvoir (perbuatan menyalahgunakan atau melampaui wewenang), serta abus de droit (perbuatan sewenang-wenang).
·         Bentuk-bentuk ketidakwenangan (onbevoegdheid).
·         Kewenangan diskresi (discretionary power atau ermessen) dan batas-batasnya.
·         Larangan keberpihakan (netralitas) dan kemungkinan terjadinya konflik kepentingan dalam penggunaan kewenangan.
·         Hubungan antar lembaga / instansi pemerintah.

b.      Dimensi perbuatan hukum (rechtshandeling) antara lain berisi tentang:
·         Bentuk-bentuk perbuatan hukum: mengeluarkan peraturan (regeling), mengeluarkan keputusan (beschikking), melakukan perbuatan nyata (feitelijke rechtshandelingen), serta menafsirkan hukum (rechtsinterpretatie; droit function).
·         Perbuatan hukum di lapangan publik (menurut hukum publik) dan di lapangan privat (menurut hukum privat).
·         Urutan / hierarkhi peraturan perundang-undangan.
·         Asas-asas pemerintahan yang layak/baik (ABBB).
·         Fiksi hukum positif dan negatif (jo. Pasal 144 UU No. 32/2004 dan Pasal 3 UU No. 5/1986).
·         Jenis-jenis Keputusan: Perijinan dan Non-Perijinan, Dispensasi dan Pemutihan, Konsesi dan Lisensi, restitusi, pemberitahuan atau pengumuman, edaran atau sirkuler, dll.
·         Upaya administratif (administratief beroep) dan upaya hukum (administratief rechtspraak).
·         Kaidah dan mekanisme Pencabutan, Penarikan, Pembatalan dan Revisi Keputusan.
·         Bentuk-bentuk sanksi terhadap perbuatan pemerintah yang dinyatakan keliru.
·         Hak bagi masyarakat: dengar pendapat, akses dokumen publik.

5.       Saran bahwa KUHAN sebaiknya tidak berisi kompilasi mempertimbangkan pula bahwa meskipun sudah terkodifikasi, bukan berarti bahwa KUH Pidana maupun KUH Perdata berisi kompilasi. Artinya, masih banyak peraturan perundang-undangan sektoral di ranah pidana maupun ranah perdata, namun berlaku bersama-sama dengan KUH Pidana dan KUH Perdata. Di ranah hukum pidana, misalnya, banyak sekali Undang-Undang sektoral yang memuat “Ketentuan Pidana”, antara lain:
·         UU No. 8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal, Bab XV Pasal 103-110 memberikan ancaman pidana kepada siapapun yang melakukan kegiatan di Pasar Modal tanpa izin, persetujuan, atau pendaftaran, serta kepada siapapun yang dengan sengaja bertujuan menipu atau merugikan Pihak lain atau menyesatkan Bapepam, menghilangkan, memusnahkan, menghapuskan, mengubah, mengaburkan, menyembunyikan, atau memalsukan catatan dari Pihak yang memperoleh izin, persetujuan, atau pendaftaran.
·         UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, menetapkan 13 (tiga belas) macam tindak pidana yang diatur mulai dari Pasal 46-50A. Ketiga belas tindak pidana itu dapat digolongkan ke dalam empat macam, yaitu: 1) Tindak pidana yang berkaitan dengan perizinan; 2) Tindak Pidana yang berkaitan dengan rahasia bank; 3) Tindak pidana yang berkaitan dengan pengawasan dan pembinaan; dan 4) Tindak pidana yang berkaitan dengan usaha bank.
·         UU No. 40 Tahun 1990 tentang Pers, pada Bab VIII Pasal 18 juga mengatur ketentuan pidana Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan kemerdekaan pers dan hal-hal yang ditentukan dalam UU tersebut.
·         Hal yang sama berlaku juga dalam UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan (Minerba), dan sebagainya.
Sementara di lapangan hukum perdata, Undang-Undang sektoral yang mengatur soal kontrak (perjanjian), antara lain:
·         UU No. 20 Tahun 1961 Tentang Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda yang Ada di Atasnya, menegaskan bahwa pada azasnya jika diperlukan tanah dan/atau benda lainnya kepunyaan orang lain untuk sesuatu keperluan haruslah lebih dahulu diusahakan agar tanah itu dapat diperoleh dengan persetujuan yang empunya, misalnya atas dasar jual-beli, tukar-menukar atau lain sebagainya.
·         UU No. 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan, Bab V Pasal 10-23 mengatur tentang perjanjian ketenagakerjaan. Dalam hal ini, terdapat penekanan bahwa hubungan kerja terjadi hanya karena adanya perjanjian antara pengusaha dan pekerja, yang dibuat atas dasar kemauan bebas kedua belah pihak, kecakapan kedua belah pihak, dan lain-lain.
·         Hal yang sama dapat ditemukan dalam UU No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dan sebagainya, yang pada intinya menegaskan tidak adanya paksaan dalam hubungan keperdataan, dan segala bentuk transaksi harus berdasarkan pada konsensus para pihak.

6.       Bab II à Asas-asas HAN. Bagaimana hubungan dengan AUPB / ABBB yang selama ini kita kenal?
7.       Maladministrasi à lihat Slide terpisah.

8.       Draft yang ada saat ini menurut hemat saya tetap dapat dipertahankan sebagai dokumen hasil dari sebuah kerangka pikir yang bersifat umum. Namun, yang perlu disusun adalah pola pikir umum yang melatarbelakangi lahirnya dokumen hasil tersebut. Alternatif lain: draft yang ada dipecah. Bagian Pertama menjadi dokumen terpisah yang bersifat umum (HAN Umum), dengan pengayaan dan penambahan materi yang belum terakomodir. Sedangkan Bagian Kedua menjadi dokumen hasil yang besifat sektoral (HAN Sektoral).

9.       Demikian beberapa pokok pemikiran yang dapat kami sampaikan, semoga ada gunanya dan dapat melengkapi konsep yang sudah ada. Terima kasih.

Bogor, 1 Oktober 2010


[1]   Hukum Tata Negara sesungguhnya adalah salah satu kecabangan ilmu hukum yang mempelajari negara dalam keadaan diam atau berhenti (Oppenheim). Namun kasus Indonesia agak unique karena sistem ketatanegaraan yang terus bergerak. Dimulai dari amandemen konstitusi empat tahun berturut-turut (1999-2002), dilanjutkan dengan perubahan sistem pemilu dan sistem kepartaian yang terus berubah-ubah, juga perubahan sistem kabinet dalam kerangka hubungan antar lembaga negara. Perubahan pada ranah ketatanegaraan ini jelas memberikan pengaruh terhadap perubahan sistem dan hukum administrasi negara yang dinamis pula.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar