Laman

Sabtu, 18 Juni 2011

Desentralisasi Dalam Kacamata Learning Organization


Entah bagaimana mulanya, tiba-tiba materi Systems Thinking yang dibawakan Dr. Sudarsono Hardjosukarto berkembang menjadi diskusi tentang otonomi daerah. Banyak yang menginginkan agar urusan pertanian ditarik lagi menjadi urusan pusat mengingat kegagalan negara untuk memperkuat ketahanan pangan dan kembali ber-swasembada beras. Ada juga yang mengemukakan bahwa sejak big bang desentralisasi 1999, kasus deforestrasi menjadi tidak terkendali. Dalam bidang pendidikan-pun, muncul kritik bahwa desentralisasi gagal membangun sumber daya manusia yang unggul. Singkatnya, forum pembelajaran tadi berubah menjadi ajang pengadilan terhadap desentralisasi. Desentralisasi menjadi tersangka utama atas berbagai masalah yang muncul sejak tumbangnya rezim Orde Baru.

Diskusi menjadi semakin menarik karena baru saja peserta diberikan materi tentang learning dan Learning Organization (LO). Ada tiga bentuk pembelajaran dalam organisasi, yakni learning how to learn, learning how to unlearn, dan learning how to relearn. Bentuk pertama adalah pembelajaran terhadap hal-hal baru yang diyakini mampu memberi leverage effect terhadap peningkatan kinerja organisasi. Bentuk kedua merupakan kemauan dan kesadaran untuk menanggalkan atau meninggalkan hal-hal dimasa silam yang sudah jelas tidak membawa manfaat. Adapun bentuk ketiga adalah kemampuan untuk mengambil nilai atau hikmah dari pengalaman diri sendiri atau orang lain, untuk kemudian dijadikan sebagai bahan pembelajaran organisasi. Pada saat yang sama, peserta juga diasumsikan sudah memiliki pemahaman tentang teori Seven Learning Dissabilities dari Peter Senge, yakni: I am my position, The enemy is out there, The illusion of taking charge, The fixation on events, The parable of the boiled frog, The delusion of learning from experience, dan The myth of the management team.

Dengan bekal teori LO dan tujuh ketidakmampuan belajar tadi, maka agak janggal rasanya ketika kelas menjadi ajang “pembantaian” terhadap desentralisasi. Aneh rasanya ketika cara berpikir tidak diarahkan pada mencari solusi terhadap akar masalah yang dihadapi, namun lebih mencari “kambing hitam” terhadap masalah tersebut. Tanpa disadari, kita justru terjerumus dalam sindrom ketidakmampuan belajar no. 2, the enemy is out there. Bahwa kebijakan dan proses desentralisasi saat ini masih menyisakan persoalan besar, adalah fakta yang sulit dibantah. Namun, terhadap fakta negatif desentralisasi tadi, ada dua opsi cara berpikir yang dapat dipilih: menyalahkan desentralisasi sebagai biang persoalan, atau mencari solusi kreatif atas masalah yang ada. Pilihan pertama jelas bukan pilihan bijak, terutama bagi setiap orang yang telah menguasai lima disiplin dalam LO. Pilihan pertama juga tidak akan pernah mampu menghasilkan pemikiran inovatif dalam bentuk tawaran solusi. Hasil yang muncul dari pilihan seperti ini hanya saling menunjuk hidung orang lain, saling mengelak, saling merasa benar, saling menuduh, dan saling memojokkan. Ironisnya, cara berpikir “mencari kambing hitam” adalah cara berpikir termudah dan oleh karenanya, paling banyak diterapkan oleh para pejabat publik, politisi, hingga akademisi dan pengamat sekalipun.

Padahal, kalau mau dirujuk ke belakang, desentralisasi adalah pilihan dan keputusan kolektif bangsa Indonesia untuk mengkoreksi berbagai penyimpangan dalam praktek pemerintahan pada masa sebelumnya. Artinya, pada tahun 1999 lalu, bangsa Indonesia sudah melakukan proses learning how to unlearn, yaitu meninggalkan dan menanggalkan jauh-jauh praktek pemerintahan yang sentralistis dan menghambat tumbuhnya kemandirian daerah. Kekayaan ragam budaya nusantara, tidak mungkin dikemas dalam sistem manajemen yang seragam, karena hal itu bertentangan dengan semangat Bhinneka Tunggal Ika.

Dengan menanggalkan sistem yang jelas-jelas tidak membawa perbaikan, maka pada saat itu pula bangsa Indonesia telah berhasil menjalani proses learning how to learn, yaitu menciptakan sistem baru yang belum pernah terjadi di masa sebelumnya dan diyakini akan membawa perbaikan di berbagai sektor pemerintahan. Keberadaan Kantor Wilayah yang overlap dengan urusan rumah tangga daerah, dihapuskan. Wewenang pemerintahan yang sangat luas diberikan kepada daerah lengkap dengan instrumen fiskal dan SDM-nya.

Setelah desentralisasi berjalan 10 tahun, sebuah evaluasi yang komprehensif adalah hal yang wajar, bahkan sangat diperlukan. Kalaupun ternyata ada wisdom dan best practices masa lalu yang patut dikembangkan lagi, juga bukan suatu kemustahilan atau harus dipandang sebagai hal yang tabu. Sebagai contoh, peran pemerintah pusat dan provinsi yang melemah akibat desentralisasi luas, ternyata menimbulkan banyak persoalan di lapangan. Maka, peran pemerintah pusat dan provinsi perlu diperkuat tanpa harus melakukan upaya resentralisasi ataupun mengurangi wewenang kabupaten/kota. Ini berarti, proses learning how to relearn sesungguhnya telah terjadi tanpa harus menuding desentralisasi sebagai akar masalah bangsa. Desentralisasi sudah terlanjur menghantarkan bangsa Indonesia pada posisi seperti saat ini dan berada pada point of no return, sehingga problematika yang ada bukanlah pembenar untuk berbalik arah ke masa silam.

Dari kasus desentralisasi tersebut, saya pribadi menangkap sebuah kesan dan keyakinan bahwa mempelajari dan menguasai teori maupun disiplin-disiplin LO akan membawa sangat banyak manfaat untuk menelaah kompleksitas kebijakan di sekitar kita. Dengan LO ini kemungkinan keliru dalam pengambilan keputusan dapat diminimalisir, sehingga secara tidak langsung turut meningkatkan kualitas kebijakan itu sendiri.

Kampus Pejompongan Jakarta
Jum’at, 17 Juni 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar