Laman

Jumat, 17 Juni 2011

Sudah Belajarkah pemerintah Kita?


Sebagai pembelajar pemula systems thinking, saya mendapat banyak sekali wawasan dan inspirasi tentang bagaimana suatu pemerintahan mengelola kebijakannya. Salah satu hal yang menarik minat saya adalah tentang “Hukum Disiplin Kelima” yang terdiri dari 11 kaidah. Namun dalam refleksi ini saya hanya akan menyinggung hukum pertama dan kedua.

Hukum pertama adalah “Permasalahan hari ini berasal dari solusi kemaren”. Masalah yang kita hadapi saat ini, seringkali merupakan hasil solusi masalah yang kita lakukan pada masa lalu. Pemecahan seperti ini – katanya – hanya mengalihkan masalah dari satu bagian ke bagian lain dari sistem itu, tanpa dapat dideteksi atau diketahui. Sebagai contoh, jika polisi menangani suatu masalah peredaran narkoba di suatu wilayah, akan menyebabkan pindahnya peredaran barang terlarang itu ke wilayah lain yang dilakukan secara lebih rapi, baik dalam pengorganisasiannya maupun dalam pendistribusiannya (Sumber: Modul 1.A-2, hal. 20).

Praktek kebijakan di Indonesia secara umum, nampaknya tidak memperhatikan hukum tersebut, sehingga banyak kebijakan yang dapat mengurangi masalah tertentu namun menimbulkan masalah yang sama di tempat berbeda. Sebagai contoh, Pemerintah Kota Tangerang Selatan mengalami masalah baru berupa kemacetan khususnya di sepanjang Jalan Raya Serpong, akibat kebijakan Pemerintah Provinsi DKI yang melarang truk masuk tol dalam kota dan memaksa truk-truk untuk mengambil jalan memutar ke wilayah Tangerang Selatan. Pemerintah DKI dapat berbangga dan mengklaim bahwa kebijakannya telah mengurangi kemacetan di wilayahnya, tanpa mempedulikan efek negatif di wilayah tetangganya.

Contoh dengan pola agak berbeda adalah kasus pelemparan batu dan aksi pengrusakan penumpang kereta api di beberapa stasiun akibat kebijakan PT. KAI yang menyemprotkan cat kepada penumpang yang naik keatas gerbong. Akibatnya, penumpang marah dan menimbulkan kerusakan dengan tingkat kerugian yang tidak kecil, dan memaksa pihak manajemen untuk mencabut kebijakan tersebut dan mencari alternatif pengganti yang lebih baik dan lebih humanis. Dalam kasus PT. KAI ini, kebijakan baru ternyata menimbulkan masalah berbeda di tempat yang sama. Persamaan dengan kasus pertama, keduanya sama-sama tidak mampu mengatasi masalah yang ada, namun hanya memindahkan masalah, menimbulkan masalah baru, atau sekedar menunda masalah. Dalam ilmu systems thinking, solusi seperti itu disebut symptomatic solution, bukan fundamental solution.

Dua ilustrasi diatas ini menunjukkan bahwa pemerintah (cq. Pemprov DKI dan PT. KAI) dapat dikatakan tidak menggunakan pendekatan dan cara berpikir sistem dalam perumusan kebijakan. Mereka juga dapat disebut tidak mengalami proses pembelajaran, atau mengalami kegagalan dalam proses pembelajaran. Kegagalan mereka untuk belajar, bisa jadi disebabkan oleh kegagalan mengenali perubahan disekitarnya. Pemerintah DKI mungki tidak menyadari bahwa penambahan penduduk dan pemukiman, peningkatan jumlah kendaraan, perkembangan sektor-sektor ekonomi tumbuh teramat pesat sehingga menimbulkan kesenjangan yang semakin parah dibandingkan dengan kemampuan Pemprov DKI menyediakan infrastruktur jalan, kapasitas polisi untuk mengatur ruas jalan, atau kemampuan anggaran dan petugas Dinas Perhubungan dalam menata rambu dan marka lalu lintas.

Ketika perubahan lingkungan lebih cepat dan lebih besar dibandingkan proses pembelajaran aparatur, maka dapat dipastikan terjadi bottlenecking kebijakan seperti kedua kasus diatas. Ironisnya, saat terjadi bottlenecking kebijakan, yang ditempuh adalah paradigma pragmatis untuk menyelesaikan masalah pada jangka pendek. Sekali lagi, ini membuktikan bahwa cara berpikir serba sistem (systems thinking) belum dipraktekkan dalam manajemen kebijakan publik.

Selanjutnya, hukum kedua adalah “Semakin keras kita menekan, yang kita hadapi juga semakin luas”. Contoh hukum ini misalnya terjadi di AS tahun 1960-an, dimana ada kebijakan pembangunan perumahan bagi kalangan bawah dan kebijakan peningkatan ketrampilan kerja masyarakat di kota-kota yang dianggap lemah ekonominya. Satu dekade setelahnya, keadaan di kota-kota tersebut justru semakin memburuk, meskipun bantuan pemerintah ditingkatkan. Penyebabnya adalah orang-orang yang berpendapatan rendah dari kota lain dan pedesaan berbondong-bondong pindah ke kota yang mempunyai program insentif tersebut. Akhirnya, program perumahan baru menjadi sangat sesak, dan program pelatihan kerja dibanjiri oleh pelamar. Pada saat yang sama, penerimaan pajak mulai terkikis, sehingga mengakibatkan lebih banyak orang terperangkap dalam kemiskinan (Sumber: Modul 1.A-2, hal. 21).

Naga-naganya, bangsa Indonesia-pun terjangkiti oleh penyakit serupa. Di bidang pendidikan, misalnya, terdapat kebijakan bahwa guru harus memiliki kualifikasi minimal sarjana dan jika memungkinkan tersertifikasi. Atas nama desentralisasi, banyak pemerintah daerah yang mengalokasikan dana besar untuk peningkatan kualifikasi guru. Namun yang kemudian terjadi, para guru yang telah mencapai jenjang pendidikan tinggi cenderung pindah ke daerah yang memberikan tunjangan atau insentif lebih besar kepada guru. Akibatnya, investasi pemerintah daerah asal untuk menyekolahkan para guru membawa manfaat secara tidak seimbang bagi daerah maupun bagi masyarakat umum pengguna jasa layanan pendidikan dasar di daerahnya sendiri. Kasus pemberian BLT (bantuan langsung tunai) juga mencerminkan berlangsungnya hukum kedua tadi. Peningkatan jumlah penerima BLT dan anggaran yang dialokasikan, mengilustrasikan terjadinya kasus yang sama seperti di AS periode 1960-1970an.

Kedua kasus diatas juga menggambarkan secara gamblang bahwa kebijakan yang ditempuh tidak berbasis pada pendekatan serba sistem. Sebagian besar kebijakan kita nampaknya masih lebih bersifat linier dan reaktif terhadap masalah yang ada. Akibatnya, masalah yang dihadapi tidak dapat dipecahkan secara holistik dan komprehensif. Masalah yang berhasil diatasi hanyalah masalah yang ada di permukaan, sementara inti masalah yang sebenarnya tidak pernah teruraikan secara tuntas.

Adapun sembilan “Hukum Disiplin Kelima” yang tidak saya elaborasi lebih jauh adalah “Perilaku berkembang membaik, sebelum memburuk”; “Pemecahan masalah yang mudah umumnya menggiring kembali ke masalah tersebut”; “Upaya penyembuhan dapat lebih buruk dari pada penyakitnya sendiri”; “Sesuatu yang lebih cepat biasanya akan lebih lambat”; “Sebab dan akibat tidak begitu erat terkait dengan ruang dan waktu”; “Perubahan yang kecil dapat menghasilkan hasil yang besar, namun wilayah dengan kemampuan daya ungkit terbesar itu biasanya tersembunyi (tidak jelas)”; Anda dapat memiliki kue anda, dan juga memakannya, tetapi jangan sekaligus”; “Membelah seekor gajah tidak akan menghasilkan dua ekor gajah kecil”; “Jangan saling menyalahkan dan jangan menghujat”.

Bayangkan saja, jika kita bisa mengambil banyak pelajaran dari dua hukum, berapa banyak perbaikan dan kemajuan yang dapat kita raih dengan belajar pada hukum-hukum lainnya? Sumber belajar ada dimana-mana, tersebar dilingkungan dimanapun kita berada. Setiap orang yang kita temui-pun, pada hakekatnya juga adalah sumber belajar yang potensial. Maka, tidak ada alasan untuk tidak belajar atau menunda untuk belajar. Belajarlah mulai sekarang, dan mulailah dari diri kita masing-masing …

Kampus Pejompongan Jakarta
Jum’at, 17 Juni 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar