Laman

Senin, 19 September 2011

Makna Sebuah Asa


Apa yang kita pikirkan ketika kita hanya memiliki setetes air di padang pasir yang terik dan tandus? Atau, apa sikap kita saat menyadari bahwa kita hanya mempunyai sepercik api ditengah dingin dan gelap gulitanya malam?  

Sangat mungkin sekali kita menjadi pesimis dan putus asa, menganggap segalanya adalah akhir yang mengenaskan. Tidaklah mungkin setetes air akan menghilangkan dahaga kita, sebagaimana setitik api yang tidak mungkin memberikan penerangan dan kehangatan. Ditengah kesulitan yang sedemikian besar sementara kita tidak cukup memiliki sumber daya, sangatlah wajar jika pesimisme yang muncul. Saat pesimisme dan putus asa mengiringi kesulitan hidup dan keterbatasan sumber daya, maka yang terjadi sesungguhnya adalah kematian.  

Padahal, selalu ada harapan dibalik perjuangan panjang dan menyakitkan sekalipun. Selalu ada jalan dibalik berbagai kebuntuan, dan akan selalu muncul kemudahan dibalik setiap kesulitan. Meski hanya setetes air, bisa jadi akan dapat memperpanjang nafas kita untuk mencari sumber air yang berlimpah. Meski hanya setitik api, akan dapat dikobarkan jika kita mampu menemukan bahan bakar yang cukup.  

Ilustrasi diatas dapat dianalogikan dengan upaya memberantas korupsi. Ketika dihadapkan pada sebuah sistem kenegaraan dan tata hubungan kemasyarakatan yang sarat dengan praktik penyimpangan, mungkin membuat kita miriss. Korupsi seolah-olah telah menjadi bagian dari budaya dan gaya hidup manusia Indonesia, sehingga hampir mustahil untuk menghapus korupsi dari bumi Indonesia. Dari kacamata pesimisme, kasus korupsi yang menggurita hingga ke pori-pori dan urat nadi bangsa akan membuat kita menyerah. KPK dan alat penegak hukum lainnya mulai diragukan, pendidikan moral dan budi pekerti tidak lagi mempan, dan niat berbuat baikpun seringkali dilecehkan. 

Maka, dibutuhkan adanya cara berpikir yang positif disertai dengan optimisme bahwa mewujudkan bangsa Indonesia yang bersih, jujur, dan berkeadaban adalah sebuah kemungkinan, yang meskipun teramat kecil namun terbuka peluang untuk menjadikannya makin besar dan semakin besar. Bagaimanapun kinerja aparat dan institusi hukum saat ini, selalu ada harapan untuk perbaikan. Seburuk apapun perilaku politisi, birokrat dan pelaku usaha, selalu terbersit harapan untuk perubahan yang mengarah pada kebaikan. Sebanyak apapun kasus korupsi dan sebesar apapun kerugian negara yang ditimbulkan, selalu tersisa ruang untuk membuat perbaikan. 

Untuk melakukan perubahan tersebut, syarat awal yang dibutuhkan adalah asa atau harapan tentang kondisi ideal yang ingin dicapai dimasa depan. Tanpa sebuah asa, maka segala sesuatu tak mungkin bertenaga. Bukankah seorang petani yang rajin menyiangi sawahnya senantiasa memendam asa akan masa panen yang berlimpah dimasa depan? Bukankah seorang ibu yang menyusui bayinya siang malah disemangati oleh asa bahwa anaknya akan menjadi manusia berguna dikemudian hari? Maka, kita wajib memupuk harapan akan sebuah negara yang bersih dan bebas KKN pada suatu hari nanti. Selanjutnya, asa tadi harus diperkuat dengan kepercayaan diri bahwa harapan itu bukanlah hal yang hampa, namun sebuah kenyataan yang belum diraih. Terakhir, harapan yang kuat dan konfidensi yang tinggi akan efektif jika ditopang oleh aksi yang cerdas dan konkrit. Tiga prakondisi inilah (harapan, konfidensi, dan aksi) yang menurut saya akan menjadi kunci mewujudkan visi sebuah organisasi atau sebuah bangsa.

Dengan perspektif seperti ini, tidak ada sesuatu yang sia-sia. Termasuk adanya training PRIMA yang dilaksanakan oleh KPK, adalah sebuah aksi yang mungkin kecil, namun bisa menghasilkan efek perubahan yang besar jika dikelola dengan baik. Pengelolaan training ini dimulai sejak rekrutmen calon peserta yang harus benar-benar menghasilkan kader-kader pilihan yang berintegritas bulat dan memiliki optimisme tinggi untuk terwujudnya Indonesia yang unggul dimasa depan. Selanjutnya, pasca-training juga harus disiapkan dengan program-program nyata yang kontinyu dan terukur. Minimal, alumni training harus menjadi agent of change atau penggerak perubahan dan dinamisator lingkungan kerja yang positif.  

Saya sendiri sangat berharap dapat memerankan perubahan seperti itu. Atau paling tidak, saya ingin menjadi role model tentang sosok seorang aparatur yang berintegritas dalam pengabdian bukan hanya kepada organisasi, namun kepada Ibu Pertiwi. Keberadaan seorang warga belumlah berarti sampai ia memberikan sumbangsihnya yang utama untuk Tanah Air tercinta. 

(Catatan ini disiapkan untuk syarat wawancara mengikuti seleksi Training PRIMA KPK)
Jakarta, 24 September 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar