Laman

Minggu, 12 Mei 2013

5 Menit yang Menentukan Keberhasilan


Tulisan ini mungkin sedikit provokatif. Sebab, keberhasilan seseorang seringkali diraih dengan kerja keras selama puluhan tahun tanpa rehat. Bagaimana mungkin waktu yang hanya 5 menit memberi kontribusi signifikan bagi keberhasilan seseorang? Nah, disinilah menariknya menafsirkan makna “5 menit” ini. Bagi saya, 5 menit sesungguhnya identik dengan total waktu hidup seseorang. Bagaimana logikanya? Saya akan mencoba menguraikan dalam konteks kediklatan, karena inspirasi tulisan inipun saya peroleh selama mengikuti Diklatpim I. 
 
Harus diakui bahwa penugasan kepada peserta sudah sangat banyak dan memberatkan. Dalam satu kajian saja misalnya, kelompok harus melakukan dua kali diskusi untuk menghasilkan dua paparan. Kelompok yang sama juga harus membaca buku wajib, meringkasnya, kemudian mempresenatsikan. Tidak cukup sampai disini, peserta juga masih harus membuat analisis kasus – yang lagi-lagi – harus dipaparkan. Diakhir kajian, peserta masih harus melakukan aktivitas yang disebut pembulatan, yang tentu saja juga wajib disajikan di depan kelas. Ini belum termasuk tugas-tugas lain seperti membuat jurnal harian, visitasi, simulasi dan laporannya, bahkan juga menulis KKA dan KTP-2. 

Meskipun frekuensi, jumlah, dan beban dari tugas-tugas tersebut nampak sedikit tidak logis, tetap saja ada waktu-waktu yang saya lihat kurang produktif. Pada jam makan malam, misalnya, banyak peserta yang melanjutkan dengan ngobrol-ngobrol dan ber-karaoke. Ada juga yang memilih jalan-jalan ke luar kampus untuk mencari makan atau minum di tempat-tempat favorit mereka. Atau saat ada materi yang kosong karena pembicara berhalangan. Atau saat kami harus menunggu cukup lama di bandara menunggu pesawat yang delay yang akan mengantarkan kami ke lokasi Observasi Lapangan atau mengantar kami pulang kembali ke Jakarta. Bahkan, saya melihat banyak waktu-waktu emas yang dibiarkan oleh peserta sebagai waktu yang terbuang sia-sia atau mubadzir, yakni waktu menjelang subuh dimana kita sudah harus bangun namun kita malah menikmati kehangatan selimut. 

Katakanlah dalam satu hari kita ambil 5 menit dari waktu ngobrol kita, ditambah 5 menit dari waktu tidur kita, dan 5 menit dari ketidakjelasan agenda kita, maka dalam 1 hari kita memiliki 15 menit extra dari biasanya. Jika sebulan terdiri dari 30 hari, maka waktu ekstra yang kita miliki adalah 15 menit x 30 = 450 menit = 7,5 jam. Jika rata-rata menulis jurnal harian seperti ini adalah 1 jam, maka dalam satu bulan bisa dihasilkan 7 hingga 8 jurnal. Dalam satu tahun, maka kita dapat membuat 96 jurnal. Inilah perbedaan yang dibuat oleh waktu yang hanya “5 menit”. Bayangkan seandainya kita bisa invest lebih banyak waktu, berapa banyak karya-karya baru yang bisa kita buat dibanding jika kita hambur-hamburkan waktu tersebut. 

Disisi lain, jangan lihat “5 menit” sebagai akumulasi dari 300 detik. Lihatlah juga “nilai mutu” yang sering muncul dalam waktu yang sedemikian singkat itu. Ide-ide besar seringkali tidak muncul dari sebuah diskusi panjang dan analisis yang melelahkan, namun justru terlahir dari renungan sekejap mata atau exercise pikiran secara tidak disengaja. Inilah yang disebut ilham, yang bisa datang tanpa dicari dan susah ditemukan meski terus digali. Namun, probabilitas datangnya ilham jauh lebih besar pada kumparan otak yang terus berputar, dibanding otak yang diistirahatkan dalam tenang. Maka, siapkan otak kita untuk menerima ilham, wahyu, wangsit, pulung, atau inspirasi, dengan “mencuri-curi” 5 menit dari setiap aktivitas kita yang tidak produktif.

Tentu saja, jangan seluruh waktu ngobrol kita curi untuk berpikir, jangan pula kita curi seluruh waktu tidur kita untuk kontemplasi dan menuliskan hasil kontemplasi. Silakan anda akan ngobrol apapun bahkan omong-omong kosong, silakan pula anda hang-out untuk menikmati dunia luar sambil makan minum bersama teman, bahkan silakan anda untuk istirahat dan tidur senyenyak mungkin. Namun ketika berbagai aktivitas tadi sudah menghambat anda untuk menjadi lebih produktif, segeralah berhenti, dan curilah 5 menit diantaranya untuk berolah-pikir, berolah-rasa, dan berolah-karsa agar anda selalu membuat perbedaan dan kemajuan dalam hidup anda. 

Ingatlah bahwa sesungguhnya setiap manusia memiliki “mata uang” yang selalu dibelanjakan setiap harinya. Ada yang mendapatkan sesuatu yang bernilai tinggi melampaui nilai “mata uang” yang dimiliki, namun banyak diantara manusia yang justru hanya membuang-buang “mata uang”nya tanpa mendapatkan apapun yang bermanfaat bagi dirinya dan orang lain. “Mata uang” itu adalah usia. Setiap hari kita membuang usia hanya untuk ngobrol, jalan-jalan, atau tidur dan tidak mendapat apapun. Bukankah lebih baik manakala usia kita sama-sama berkurang, namun kita dapat menghasilkan sesuatu yang mengandung nilai lebih tinggi baik secara agamis, ekonomis, akademis, maupun humanis?  

Inilah barangkali tafsir mbeling terhadap Surat Al-Ashr … Sungguh merugilah orang-orang yang membuang waktu dalam hidupnya secara sia-sia, yang bicara sia-sia, melakukan sesuatu yang sia-sia, dan akhirnya membuat hidup mereka sia-sia. Naudzubillahi min dzalik. 

Dari kamar B-315
Kampus Pejompongan, 14 Mei 2013

Jumat, 10 Mei 2013

Pembulatan


Di dua minggu terakhir Diklatpim I yang tidak lagi ada keharusan menulis jurnal harian, saya mencoba untuk tetap menulisnya, terutama untuk mengangkat issu-issu yang cukup penting namun terlewat karena terkalahkan oleh agenda lain yang lebih penting. Sama seperti catatan saya sebelumnya (#36 Kasus), jurnal yang saya tulis kali inipun juga upaya me-recall kembali pengalaman yang telah lewat pada kajian pertama hingga ketiga. Kali ini saya ingin bicara soal Pembulatan. 

Pembulatan adalah elemen terakhir dari sebuah tahap yang disebut dengan kajian. Dari namanya saja kita bisa menebak bahwa pembulatan dimaksudkan untuk merangkum dan mencari keterhubungan antara satu elemen dengan elemen lainnya, sehingga diperoleh pemahaman yang utuh dan tepat terhadap seluruh agenda pembelajaran. Dengan pembulatan, yang masih bengkok dapat diluruskan, kesalahan tafsir dapat diperbaiki, dan kekurangan pemahaman dapat ditutupi.  

Namun faktanya, pembulatan justru sering memunculkan konsep baru, pemahaman baru, dan bahkan kebingungan baru. Hal ini bermula dari ketiadaan panduan yang jelas tentang makna pembulatan, cara/teknik melakukan pembulatan, dimensi substansial yang dibulatkan, serta output dan format pembulatan. Sebagaimana pada penulisan “analisis kasus”, widyaiswara-pun memiliki pandangan yang berbeda tentang pembulatan, sehingga materi paparan kelompok berbeda-beda meski elemen yang dipelajari sejak awal hingga akhir sama. Selain itu, muncul juga “protes” dari salah seorang peserta yang menyatakan bahwa pembulatan tidak sama dengan “kasus”. Jika dalam pembulatan hanya bicara satu issu spesifik dan dengan tool of analysis yang spesifik pula, apa bedanya dengan analisis kasus? 

Bagi saya, pembulatan hakikatnya adalah upaya untuk mengevaluasi apakah seluruh rangkaian materi yang diberikan dapat dipahami oleh peserta. Dalam melakukan evaluasi ini, penyelenggara dan/atau widyaiswara mencari umpan balik (feedback) dari peserta, antara lain melalui kuis yang terstruktur, menanyakan issu-issu utama secara acak (random), atau dengan diskusi interaktif antara peserta dengan penyelenggara/widyaiswara. Selain melakukan evaluasi, penyelenggara/widyaiswara juga dapat meggali sejauhmana peserta memiliki rencana untuk menerapkan ilmu yang telah diperoleh kedalam praktek kepemimpinan dan organisasional di instansinya. Dengan demikian, pembulatan sesungguhnya bukan aktivitas sepihak peserta, namun lebih merupakan aktivitas segi tiga (triangle activity) antara peserta, widyaiswara, dan penyelenggara. Tercapainya tujuan instruksional diklat bukan hanya urusan dan kebutuhan peserta semata, namun juga menyangkut kepentingan penyelenggara. 

Sehubungan dengan hal tersebut, agar pembulatan benar-benar bisa “kunci” terakhir dalam memahami ilmu secara benar, beberapa prakondisi berikut ini sangat mungkin harus dipenuhi. Pertama, harus tersedia kerangka pikir logis (logical framework) tentang diklat secara keseluruhan. Konsep besar ini singkatnya berisi alasan mengapa diklat diperlukan, dan apa yang akan terjadi jika diklat tersebut tidak dilakukan. Selanjutnya, pada level messo diperlukan pula framework yang menjadi dasar mengapa sekelompok materi pembelajaran diberikan pada kajian tertentu, dan bagaimana berbagai materi tersebut secara bersama-sama dapat membangun kompetensi yang diharapkan. Kemudian pada level mikro-pun harus ada framework mengapa sebuah materi/mata diklat/agenda diberikan dan seperti apa posisinya terhadap rancang bangun program diklat secara holistik? 

Kedua, ketiga framework tadi harus dikomunikasikan sejak awal diklat dan dipahami secara sama oleh peserta, widyaiswara, dan penyelenggara. Tanpa adanya kesamaan dalam memahami kerangka pikir ini, maka pembulatan tidak akan pernah terwujud, dan selalu menjadi bangun persegi yang asimetris. 

Dari kamar B-315
Kampus Pejompongan, 13 Mei 2013

K a s u s


Ada yang terlewat dari proses pembelajaran pada kajian 1, 2, dan 3 yang belum sempat saya angkat dalam jurnal, padahal merupakan elemen penting dalam diklatpim untuk membangun kompetensi tertentu peserta diklat. Elemen tersebut adalah Kasus. Penyelenggara dan widyaiswara nampaknya belum firm betul mengenai pengertian kasus, komponen minimal sebuah kasus, serta format laporan dan expose analisis kasus. Karena pemahaman penyelenggara dan widyaiswara yang belum bulat ini, maka praktek yang diberikan pada setiap kajian juga berbeda-beda dan menimbulkan perdebatan yang cukup “panas”.  

Pada kajian kedua misalnya, widyaiswara memberi daftar issu terkait ASEAN Community yang dibagi menjadi tiga kelompok, yakni politik keamanan, ekonomi, serta sosial budaya. Tidak ada sama sekali data pendukung berupa opini, fakta, permasalahan, ataupun statistik terkait ketiga elemen ASEAN Community tersebut. Widyaiswara mempersilahkan peserta untuk memilih satu atau beberapa issu yang ada dalam daftar untuk dikembangkan sebagai kasus, yang tentu membuat sebagian peserta bingung. Kontan saja salah seorang peserta menyatakan dengan tegas bahwa issu bukanlah kasus, sementara tugas peserta adalah menganalisis kasus, bukan membuat kasus.  

Kebingungan lain adalah soal penggunaan istilah yang saling bertukar antara kasus dengan studi kasus, padahal keduanya jelas memiliki makna yang jauh berbeda. “Kasus” adalah peristiwa atau kumpulan persitiwa, fakta atau kumpulan fakta, masalah atau kumpulan masalah yang belum dianalisis sehingga belum diketahui pokok/inti masalahnya serta solusi yang dibutuhkan untuk menyelesaikan masalah tersebut. Sedangkan “studi kasus” adalah salah satu metode yang sering digunakan terutama pada penelitian kualitatif yang bersifat spesifik dan berskala lokal. Adapun definisi baku tentang studi kasus Robert K. Yin (“Case Study Research: Design and Methods”, dalam Applied Social Research Method Series, Volume 5, California: Sage Publications, 2002) sebagai berikut: A Case study is an empirical inquiry that investigate a contemporary phenomenon within its real-life context, when the boundaries between phenomenon and context are not clearly evident, and in which multiple sources of evidence are used. Singkatnya, “kasus” pada setiap kajian di Diklatpim I bukanlah “studi kasus”, cukup disebut dengan “analisis kasus” atau “bedah kasus”. 

Untuk itu, agar tidak terjebak pada debat yang berkepanjangan, maka perlu dibuat kriteria tentang makna “kasus” ini. Dalam hal ini, saya menyarankan beberapa kriteria kasus yang baik seperti dibawah ini, siapa tahu dapat diterapkan untuk pembelajaran Diklatpim I yang akan datang.  

·         Kasus harus memiliki keterkaitan dengan tema;
·         Kasus harus faktual dan aktual (bukan kasus imajiner) sehingga hasil analisis harus sedekat mungkin memenuhi kebutuhan ;
·         Kasus sebaiknya bersifat kronologis agar dapat diketahui hubungan antar peristiwa dalam kasus tersebut;
·         Hindar keragu-raguan dalam analisis dan pemaparan kasus (“katanya”, “konon”, “mungkin”, dan lain-lain) agar tidak menjadi fitnah atau sarat dengan konflik kepentingan;
·         Jika kasusnya kompleks, lebih baik dipilih dan difokuskan pada bagian tertentu dari kasus tersebut.
·         Kasus dapat bersumber dari berita media, laporan, hasil penelitian, pengaduan masyarakat, kasus hukum, dan lain-lain. 

Masalah selanjutnya mengenai cara penyajian. Widyaiswara membebaskan format, metode yang dipakai, atau tentang apapun, sementara penyelenggara juga tidak memiliki panduan yang jelas bagaimana menganalisis hingga mempresentasikan “kasus” tersebut. Alhasil, sempat timbul perdebatan yang semestinya tidak diperlukan. Untuk menghindari disorientasi pada penyelenggaraan Diklatpim angkatan yang akan datang, maka terkait dengan sistematika penyajian “kasus” ini saya sarankan sebagai berikut: 

1.      Ringkasan Kasus, merupakan intisari dari rangkaian peristiwa/deretan angka statistik/ kumpulan fakta dan opini yang belum terstruktur, menjadi paparan yang lebih singkat namun condensed, compact, dan systemic. Dalam pembelajaran Diklatpim II, ini bisa disamakan dengan story line;
2.      Pokok Permasalahan, adalah masalah terbesar yang akan dipecahkan atau situasi paling pro blematis yang akan ditingkatkan sesuai dengan prioritas dan kemampuan dari policy maker dan policy implementator;
3.      Kerangka Berpikir / Rujukan Teoretik (jika dibutuhkan dan jika waktu yang tersedia mencukupi);
4.      Analisis / Pembahasan, antara lain berisi jawaban terhadap pertanyaan tentang:
·         Faktor apa saja yg menjadi penyebab masalah?
·         Apa dampak masalah tersebut (sekarang dan masa mendatang)?
·         Langkah apa saja yang pernah dilakukan?
·         Siapa saja yang terlibat dan/atau bertanggung jawab terhadap masalah tersebut baik secara individu maupun institusional)?
·         Mengapa upaya-upaya diatas belum berhasil sehingga masalah belum terpecahkan?
5.      Alternatif Pemecahan Masalah. Pada bagian ini dapat digunakan metode atau teknik analisis tertentu seperti soft system methodology, scenario planning, problem tree analysis, SWOT analysis, force field analysis, dan sebagainya, sesuai kebutuhan analisis dan judgment dari analis;
6.      Lesson Learned / Policy Implication, berisi hal-hal yang diperlukan untuk mencegah agar masalah yang sama tidak terjadi lagi di kemudian hari. 

Dengan sistematika yang bernuansa sangat academic ini, maka tidak mungkin kasus hanya disusun dalam waktu 1 sessi (3x45 menit). Analisis kasus sebaiknya tidak hanya menjadi formalitas belaka, namun harus didesain untuk benar-benar menjadi “laboratorium semu” dari pusat-pusat perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan. 

Hal terakhir yang dapat dipertimbangkan adalah, apakah analisis kasus benar-beanr dibutuhkan untuk mengasah kemampuan analitis peserta? Atau kemungkinan lain, analisis kasus dipertahankan namunelemen pembelajaran lain yakni diskusi 1 dan 2 pada setiap kajian yang ditiadakan. Faktanya, apa yang terjadi pada diskusi 1 dan 2 dengan analisis kasus tidak ada bedaya sama sekali alias setali tiga uang. Secara pribadi, saya mendukung jika diskusi 1 dan 2 dihapus, sehingga dalam satu kajian akan terdapat elemen Ceramah Isu Aktual (CIA). Tugas Baca, Analisis Kasus, Pembulatan, serta Evaluasi. Dengan demikian, maka durasi Diklatpim dapat dipersingkat tanpa mengurangi esensi dan kualitas proses pembelajaran. 

Dari kamar B-315
Kampus Pejompongan, 10 Mei 2013

Senam 4 Dimensi


Menulis jurnal harian selama Diklatpim I itu gampang-gampang susah. Gampang, karena kita bisa menulis apapun yang terkait langsung maupun tidak langsung dengan kediklatan, bisa menulis tentang ide-ide besar hingga perasaan sentimental, bisa menulis fakta atau fiksi, juga bisa menulis tentang siapapun dengan gaya tulisan apapun. Namun, menulis juga susah, karena menulis itu butuh inspirasi. Tanpa inspirasi, penulis sekaliber Gunawan Mohammad sekalipun akan kesulitan merangkai kata-kata penuh makna. Nah, ketika kita sedang blank alias tidak punya ide apapun yang akan ditulis sementara kita dibatasi deadline harus menyetor satu catatan harian, kita tidak bisa menunggu sang ide untuk datang. Kita harus menjemput, mencari, bahkan kalau perlu mengais-ngais di setiap sudut dan di sepanjang jalanan kompleks asrama. Ini pula yang saya lakukan. Begitu kehabisan ide, maka saya “turba” (dalam arti denotatif benar-benar turun ke bawah dari lantai 3 asrama) untuk menemukan ide yang tak kunjung datang. Tapi lucunya, saya baru bisa meralisasikan eksplorasi saya pada saat keberangkatan dan selama observasi lapangan. 

Sasaran saya adalah ingin menggali apakah motif dari teman-teman yang rajin jogging setiap hari. Hal ini saya anggap penting untuk saya explore karena saya sangat tidak tertarik untuk melakukannya. Sehabis shalat Subuh berjamaah yang dilanjutkan dengan kultum (kuliah tujuh menit), saya jauh lebih memilih untuk membuat jurnal harian dari pada capek dan keringatan jalan-jalan. Toh selama ini saya merasa sehat, dan beberapa kali general checkup juga menunjukkan hasil yang menggembirakan. 

Hasil eksplorasi saya cukup mengejutkan. Ternyata teman-teman melakukan olahraga ringan di pagi hari bukan sekedar melatih otot agar lebih kuat dan mampu menghasilkan reflex secara lebih cepat. Mereka melakukan itu juga untuk memperkuat pikiran atau melatih konsentrasi, karena mereka menghitung berapa putaran yang telah diselesaikan, dan setiap putaran bisa menghasilkan berapa ratus dzikir. Mereka juga melatih perasaan karena dalam setiap gerakan dilakukan dengan perasaan bahagia. Dan yang paling mengejutkan, dalam setiap langkahnya,mereka sertai dengan dzikrullah. Saking khusyuknya berdzikir, mereka mengaku kadang lupa bahwa mereka sedang berjalan. Kaki-kaki mereka telah berjalan seolah tanpa perintah dari pusat kendali manusia, yakni otak. Baik fisik, hati, pikiran, dan jiwa mereka sudah menyatu kedalam kalimat-kalimat dzikir yang mereka lantunkan seiring dengan langkah yang mereka ayunkan. Itulah sebabnya, saya memberi istilah “senam 4 dimensi” untuk aksi kecil mereka di pagi hari. 

Dari temuan hasil eksplorasi saya ini, kemudian memberi dua inspirasi kepada saya. Pertama, saya ingin mengikuti langkah mereka untuk “senam religi” di hari-hari terakhir Diklatpim I. ketidaktertarikan saya terhadap senam fisik tetap tidak berubah, namun saya ingin mencoba melakukan senam religi tadi. Intinya adalah beribadah, namun kemasannya saja yang berbeda. Jika selama ini ibadah dilakukan dengan memperbanyak shalat sunah atau dzikir secara bersila seperti orang sedang bermeditasi, sekarang dilakukan dengan gerak yang lebih dinamis dan secara berpindah-pindah sesuai track yang kita inginkan sendiri. Inilah “meditasi” gaya baru yang sangat menantang untuk dicoba dan ditradisikan. Kedua, apapun yang kita lakukan, sejak pergi ke kantor hingga pulang ke rumah, sejak bangun pagi hingga terlelap di malam hari, bisa terjadi dalam satu dimensi atau dalam empat dimensi sekaligus. Semuanya tergantung kepada diri kita sendiri, apakah kita cukup puas hanya hidup dalam satu dimensi saja, ataukah kita ingin memberi nilai tambah terhadap segala aktivitas kita, kapanpun dan dimanapun. 

Menulis jurnal inipun sesungguhnya juga mengandung empat dimensi, ketika kita mengeluarkan tenaga/energi untuk menghasilkan tulisan, melakukan olah pikiran, menikmati dan terdorong untuk terus menulis, serta menjadikan aktivitas menulis sebagai bagian dari menunaikan perintah agama untuk menuntut ilmu. Maka, merugilah peserta diklat yang hanya menghasilkan catatan harian sebagai olah fisik belaka tanpa landasan intelektual, emosional, dan spiritual. 

Dari kamar B-315
Kampus Pejompongan, 8 Mei 2013

Rabu, 08 Mei 2013

"Fragmented State" (Negara Dasamuka)


Issu tumpang tindih tugas, fungsi, dan kewenangan antar instansi pemerintah sudah teramat sering kita dengarkan. Begitu pula kabar tentang sulitnya koordinasi dan sinergi antar lembaga karena kuatnya egoisme sektoral dan institusional, seperti menjadi menu wajib dalam penyelenggaraan pemerintahan. Meskipun demikian, saya cukup terperanjat saat mendengarkan paparan Kadin Kota Batam yang begitu lugas mengupas tuntas persoalan dunia usaha yang bersumber dari tidak efektifnya kelembagaan pemerintah serta tidak jelasnya mekanisme tatalaksana birokrasi. 

Pengusaha pelayaran yang kebetulan sedang menjadi formatuur untuk menyusun pengurus Kadin Kota Batam ini melempar pertanyaan, apakah di Indonesia ada Administrasi Maritim? Peraturan perundangan yang mengatur kelautan mungkin sudah terlalu banyak, namun hal ini tidak cukup untuk mengatakan bahwa kita sudah memiliki maritime administration. Sebab, administrasi maritim tidak hanya berhubungan dengan payung hukum atau regulasi semata, namun juga mencakup kelembagaan kemaritiman yang terpadu, business process atau tatakelolanya, SDM yang kompeten dari policy maker hingga coast guard-nya, juga mengenai sumber-sumber daya dan fungsi manajemennya (budgeting, planning, controlling, networking, empowering, etc.). Kitapun sudah memiliki Akademi Pelayaran, namun administrasi maritim nampaknya menghendaki cakupan yang lebih luas dibanding sekedar teknis pelayaran, meliputi hukum internasional, sistem politik/ekonomi/pemerintahan/sosial budaya sebuah negara, issu pertahanan/kedaulatan/HAM/nasionalisme, dan seterusnya.  

Dari ketiadaan administrasi maritim ini, berdampak pada munculnya gesekan yang makin menguat antar instansi. Ibu dari Kadin tadi memberi contoh misalnya terjadinya friksi antara Bea Cukai dengan BP. Batam. Bea Cukai tidak mengakui Batam sebagai free trade zone, sehingga tetap memungut cukai atau bea masuk terhadap produk-produk barang impor, sementara BP Batam tetap bersikukuh bahwa semua barang impor tidak boleh lagi dipungut pajak atau bea masuk. Friksi serupa terjadi antara BP Batam dan pemkot Batam, dimana ada tuntutan dari sekelompok masyarakat (baik tuntutan murni maupun ada unsur penunggangan) untuk membubarkan BP Batam. Ironisnya, Kementerian Perhubungan juga terlibat friksi dengan BP Batam, dimana jasa sandar kapal di pelabuhan semestinya masuk atau dibayarkan kepada Perhubungan Laut, namun justru dipungut oleh BP. Batam. Apakah friksi ini berhenti sampai disini? Ternyata tidak. Ibu dari Kadin masih bercerita bahwa selama ini terjadi kasus penghentian atau penyetopan kapal di tengah laut oleh Angkatan Laut, Bea Cukai, Kehutanan, Kelautan dan Perikanan, dan lain-lain, yang ujung-ujungnya diselesaikan dengan “cara damai”. 

Sekali lagi, hal-hal yang mengemuka dari pelaku usaha di Batam tadi sungguh membuat saya terperanjat. Bukankah selama ini ada Dewan Nasional Kawasan Ekonomi Khusus, yang diketuai oleh Menko Perekonomian, dengan anggota tujuh Menteri (Keuangan, Pedagangan, Perindustrian, Perhubungan, Pekerjaan Umum, Nakertrans, Dalam Negeri) ditambah Kepala Bappenas dan Kepala BKPM. Ketika mereka sudah terkumpul dalam satu wadah, mengapa overlap dan duplikasi tadi masih saja tidak terhindarkan? Lebih-lebih saat ini Menko Perekonomian dan Menteri Keuangan dijabat orang yang sama, masihkah ada alasan tentang sulitnya koordinasi? Apakah para pembesar negeri ini benar-benar tidak mengetahui ada permasalahan dibawah, ataukah memang tidak memiliki kepedulian dan membiarkan masalah tanpa alasan yang tidak jelas? 

Banyaknya lembaga yang menangani suatu urusan secara “keroyokan” tanpa didukung oleh sistem komunikasi dan koordinasi yang baik, menjadi indikator negara yang terfragmentasi (fragmented state), bukan dalam konteks geografis atau kewilayahan, namun fragmentasi secara kelembagaan dan kebijakan. Negara menjadi “berwajah banyak” (Dasamuka) di hadapan warganya, yang jelas membuat warga bingung bahkan frustasi. Setiap institusi selalu meng-claim dirinya sebagai representasi negara yang memiliki otoritas berdasarkan peraturan hukumnya masing-masing, namun tidak peduli dan tidak berinteraksi dengan institusi diluar dirinya. Kesan yang muncul kemudian adalah negara ini menciptakan banyak institusi dan bekerja berdasar prinsip “semua mengerjakan semua”. Hubungan antar lembaga menjadi benang kusut yang mustahil terurai, kecuali dengan memotong benang tersebut. 

Situasi kontras kami peroleh saat berkunjung ke PT. Bintan Resort Cakrawala. Kedatangan kami disambut oleh seorang manajer, dan ternyata dia pula yang memberi paparan tentang berbagai hal terkait perusahaannya. Tidak disangka-sangka, dia juga yang mengantar dan memandu kami berkunjung ke lapangan seperti ke pelabuhan, Nirwana Garden, padang golf, dan sebagainya. Tidak berhenti sampai disini, dia juga yang menyiapkan makan siang dan menemani rombongan. Hingga akhirnya, dia pula yang melepas rombongan kami melanjutkan perjalanan. Cara bekerjanya begitu efisien, tidak ada duplikasi, gesit dan cekatan, dan tuntas. Kesan yang muncul adalah “sesedikit mungkin orang, mengerjakan sebanyak mungkin urusan”. 

Dalam konteks birokrasi, semestinya prinsip one institution with multiple functions juga harus dilakukan. Arsitektur kelembagaan pemerintahan yang banyak dan gemuk, tidak terikat oleh visi besar yang sama, serta banyaknya atribut khas yang mencirikan keangkuhan institusional, harus dipangkas menjadi kelembagaan yang sedikit, ramping, menjalankan visi besar yang jelas, serta costumer friendly atau ramah terhadap pelanggan. Wajah-wajah yang banyak harus dioperasi dan dilebur menjadi satu wajah, sehingga warga negara tidak kehilangan banyak waktu dan banyak biaya saat berhubungan dengan entitas bernama “negara”. 

Dari kamar B-315
Kampus Pejompongan, 7 Mei 2013

Selasa, 07 Mei 2013

ASEAN Community: Wujud Kekalahan Indonesia Dalam Perang Kebijakan?


Minggu, 5 Mei 2013 kemaren, kami berangkat menuju lokasi OL (observasi lapangan). Saya mendapat bagian ke Batam untuk mengkaji soal ASEAN Economic Community. Sore kami tiba di hotel Novotel, hanya beristirahat sejenak, malamnya kami langsung berdiskusi untuk membahas persiapan hari ini. Dalam diskusi inilah muncul pertanyaan dalam hati sekaligus rasa penasaran saya, apakah mungkin ASEAN Community ini merupakan wujud kekalahan Indonesia dalam perang kebijakan global? (catatan: untuk memahami apa makna “perang kebijakan”, silakan baca kembali Jurnal #26 tentang Perang Kebijakan, Korporatokrasi, dan Krisis Negara Kesejahteraan). 

Rasa curiosity saya ini bersumber pada prinsip-prinsip yang biasa berlaku dalam zona perdagangan bebas. Salah satu prinsip perdagangan bebas adalah reciprocity (timbal balik). Ilustrasinya, dalam skema pasar tunggal tadi, Singapore Airlines boleh masuk ke bandara manapun di Indonesia, dan sebaliknya maskapai penerbangan Indonesia juga boleh masuk ke Changi Airport. Permasalahannya, kapasitas SQ untuk beroperasi dan menciptakan jalur-jalur baru di Indonesia dan menghubungkannya dengan Changi jauh lebih besar dibanding kapasitas maskapai domestik untuk melakukan hal yang sama. Dalam kasus lain, perdagangan bebas juga memungkinkan akuntan publik, dokter, atau pengacara Singapura, Malaysia, atau Thailand masuk ke Indonesia. Meskipun akuntan publik, dokter, atau pengacara Indonesia juga boleh masuk ke negara tetangga, namun tingkat penguasaan teknologi, kemampuan berbahasa asing, dan tingkat profesionalismenya jauh dibanding kolega mereka dari negara lain. 

Prinsip lain dalam perdagangan bebas adalah non discrimination, yang menghendaki dihapuskannya hambatan tariff maupun non tariff (tariff and non-tariff barriers). Sebagai contoh, harga gas harus sama tanpa membedakan asal negara pembelinya. Artinya, jika harga gas di Indonesia lebih murah dari pada di Singapura, maka pihak Singapura boleh membeli gas di Indonesia dalam volume berapapun dengan harga sama di Indonesia. Ini akan “mengancam” terpenuhinya kebutuhan dalam negeri jika stok yang ada terbatas dan “diborong” Singapura. Kemungkinan lain, jika harga pasar harus sama sementara pasarnya adalah pasar ASEAN, maka harga di seluruh negara ASEAN menjadi sama. Implikasinya, ada kemungkinan harga gas di Indonesia akan melonjak mengikuti harga pasar, karena selama ini harga gas di dalam negeri masih disubsidi oleh pemerintah. Dengan kata lain, pasar tunggal ASEAN mensyaratkan pencabutan subsidi komoditas tertentu, dan ini akan berdampak buruk bagi masyarakat yang masih hidup dibawa garis kemiskinan. Dilihat dari indikator jumlah pengeluaran, maka kenaikan harga komoditas akan menyebabkab bertambahnya penduduk miskin. Ini berarti pula pemberlakuan ASEAN Community berpotensi meningkatkan tingkat kemiskinan di Indonesia. 

Demikian pula untuk komoditas lain seperti rumput laut. Jika Malaysia atau Thailand memborong rumput laut yang belum diolah dari Indonesia dengan harga lokal tanpa bea masuk dan kendala tariff lainnya, kemudia membawa ke negaranya untuk diolah menjadi produk-produk dengan nilai tambah lebih, maka yang akan mendapat keuntungan adalah mereka, sementara petani rumput laut hanya mendapat margin keuntungan minimal. Sekali lagi, masyarakat dan pelaku ekonomi dalam negeri tidak akan mampu meraih manfaat dari sistem pasar tunggal ASEAN.  

Dengan demikian, “bahaya” yang sesungguhnya dari ASEAN Community adalah tiadanya batas-batas administratif maupun kedaulatan negara ASEAN, sehingga “wilayah ekonomi” Singapura, Malaysia, dan Thailand juga meliputi wilayah Indonesia, sementara “wilayah ekonomi” Indonesia mungkin saja tidak pernah melebar dari wilayah spasial Indonesia. 

Jika ilustrasi-ilustrasi diatas benar terjadi, maka jelas sekali bahwa ASEAN Community hanya memberi dampak buruk untuk bangsa kita. Dan jika ini yang terjadi, tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa Indonesia telah kalah dalam perang kebijakan, bahkan jauh hari sebelum perang itu dimulai. Mestinya, sejak muncul ide awal tentang masyarakat ASEAN ini, para tokoh politik, intelektual, dan pejabat pemerintahan sudah mampu menghitung kekuatan diri dan menakar kekuatan “lawan”, untuk kemudian menentukan “jurus-jurus maut” (baca: kebijakan publik yang unggul) guna menaklukkan para “musuh” dan menempatkan mereka dibawah hegemoni kita. 

Namun bisa saja kekhawatiran diatas tidak terbukti. Yang pasti, “prediksi” diatas tidak dimaksudkan sebagai bentuk pesimisme memasuki era ASEAN Community, melainkan sebagai early warning system agar semua kalangan di negeri ini lebih berhari-hati sehingga dapat mengambil kebijakan dan langkah yang lebih jitu untuk self positioning ditengah konstelasi ekonomi politik dan geo politik Asia Tenggara tahun 2015 mendatang. 

Dari kamar B-315
Kampus Pejompongan, 6 Mei 2013

Dokumentasi Diklatpim I di Arsip Nasional


Di awal penyelenggaraan Diklatpim I, khususnya pada saat pengarahan program, saya menyampaikan usulan agar proses pembelajaran selama Diklatpim I dapat didokumentasikan secara digital/elektronik, dan disimpan di Arsip Nasional. Dasar pemikiran saya adalah bahwa dari 30 peserta yang ada, dapat dipastikan diantaranya akan menduduki posisi-posisi strategis di berbagai Kementerian/Lembaga dan instansi lainnya. Apapun yang terjadi di sepanjang proses pembelajaran, saya yakini memiliki nilai historis yang cukup tinggi. Pemikiran-pemikiran individual, kesepakatan dalam kelompok, pro dan kontra dalam memandang sebuah situasi, jurnal-jurnal yang dibacakan secara harian, dan sebagainya, sangat boleh jadi adalah mutiara-mutiara yang dibutuhkan generasi mendatang.  

Bagi generasi era 2050 atau sesudahnya, tentu keberadaan kami adalah para pendahulu yang dianggap berkontribusi atas baik buruknya situasi negara pada tahun 2050-an tersebut. Dengan demikian, baik buruknya masa depan akan sangat ditentukan oleh cara berpikir para pelaku kebijakan di era sekarang. Sebagaimana bunyi salah satu hukum dalam learning organization, masalah saat ini datang dari keputusan masa silam (today’s problem comes from yesterday’s solution or decision). Ini sama artinya, masalah pada masa depan adalah hasil dari solusi atau keputusan hari ini.  

Nah, jika dinamika para pejabat tidak direkam, akan terjadi keterputusan informasi, mengapa sebuah keputusan lahir dan bagaimana prosesnya dijalankan, siapa yang bertanggungjawab terhadap kebijakan tersebut, adakah vested interest dalam perumusan kebijakan tersebut, dan sebagainya. Tanpa adanya dokumentasi, sangat sulit bagi generasi mendatang untuk memahami dan melacak masa silam. 

Intinya, apapun yang terjadi selama Diklatpim I, adalah sebuah rangkaian mengukir sejarah. Maka, kesadaran tentang nilai historis (historical sense and awareness) dari program diklat ini harus dimiliki oleh penyelenggara. Dengan kesadaran ini, penyelenggara akan melakukan segala upaya untuk menempatkan diklatpim kedalam simpul-simpul sejarah pembangunan aparatur. Tanpa adanya kesadaran historis ini, maka diklatpim jenjang apapun dan berapapun angkatan yang dilakukan, hanya berhenti sebagai proyek yang tidak bermakna apa-apa, bahkan hanya menjadi by product dari sistem administrasi negara. Disisi lain, peserta secara individual juga harus memiliki kesadaran sejarah bahwa dirinya adalah pelaku sejarah. Apalagi jika seseorang ingin menulis biografi, maka setiap aktivitas dalam diklat dan interaksi antar peserta rasanya sangat layak untuk dituangkan dalam biokrafi tersebut. 

Sekilas memang tidak ada yang istimewa dengan aktivitas peserta selama Diklatpim I, Namun seiring dengan berlalunya waktu, sesuatu yang biasa-biasa saja bisa berubah menjadi luar biasa. Bayangkan pada masa lalu ketika Jepang menyerah kepada Sekutu, yang disusul oleh hasrat yang menggebu-gebu dari kalangan pemuda agar Soekarno segera mendeklarasikan kemerdekaan Indonesia. Pada waktu itu, para pemuda yang terlibat pastilah tidak berpikir bahwa apa yang dilakukan adalah sebuah sejarah besar negeri ini. Sayangnya, negeri ini tidak punya dokumentasi siapa saja para pemuda itu selengkapnya dan peran apa saja yang mereka jalankan, apa yang telah mereka lakukan dan ungkapkan, faktor apa yang menginspirasi mereka sehingga memiliki keinginan merdeka begitu kuat, rumah-rumah siapa saja yang pernah mereka gunakan untuk menggelar rapat atau merencanakan aksi, bagaimana rencana detil dari gerakan mereka, dan sebagainya. Karena tidak ada dokumentasi tadi, maka terjadilah “keterputusan sejarah” seperti saya katakan diatas. Ini hanyalah satu contoh kecil, tentu saja masih banyak contoh-contoh lain yang lebih besar yang bisa diangkat. 

Belajar dari sejarah masa lalu, maka mestinya kita yang hidup masa kini tidak lagi mengulang kesalahan yang sama. Keterputusan sejarah masa silam dapat dipahami karena masih terbatasnya teknologi komunikasi dan informatika, namun jika hal itu terjadi pada masa kini rasanya hanya menunjukkan kebodohan kita. Apalagi, merekam persitiwa pada masa sekarang tidak membutuhkan tumpukan kertas yang jika ditumpuk bisa setinggi gedung bertingkat 10, namun cukup disimpan dalam sekeping CD. Pada saat yang bersamaan, ANRI siap untuk memfasilitasi penyimpanan dokumen penyelenggaraan Diklatpim I dalam folder/depo/group series khusus.  

Jadi, yang harus dilakukan LAN (cq. Pusdiklat SPIMNAS Bidang Kepemimpinan) hanyalah menjalin kerjasama dengan ANRI dan menyiapkan memorandum of understanding berisi hak dan kewajiban masing-masing pihak. Semoga saja, apa yang saya pandang sebagai nilai strategis dan nilai historis dari program Diklatpim I ini sama seperti pandangan pimpinan LAN atau pandangan para peserta dan alumni Diklatpim I, sehingga ide saya untuk mendokumentasikan setiap dinamika pada Diklatpim di ANRI mendapat dukungan dari berbagai pihak. 

Dari kamar B-315
Kampus Pejompongan, 4 Mei 2013

Senin, 06 Mei 2013

Desentralisasi Dipertanyakan


Mendengarkan ceramah Prof. Emil Salim dua hari yang lalu, membuat saya menengok kembali issu desentralisasi yang cukup lama saya tinggalkan. Terakhir saya menggeluti issu desentralisasi saat masih menjabat Kepala Bidang Kajian Aparatur hingga tahun 2010. Secara substantif, sebenarnya tidak ada hal baru yang disampaikan Prof. Emil, namun tetap saja menarik untuk diperbincangkan, terutama karena beliau mengkritik konsep dasar desentralisasi baik berdasarkan UU No. 22/1999 maupun UU No. 32/2004.  

Salah satu yang diungkapkan Ketua Wantimpres ini adalah bahwa desentralisasi telah mengakibatkan beralihnya berbagai perijinan ke daerah, misalnya sektor pertambangan. Sejak era desentralisasi luas, berbagai daerah seperti Kalimantan ibarat wilayah yang di bom yang menyebabkan lobang besar. Melihat fenomena ini, Pemerintah Pusat gemas karena daerah seolah melakukan obral perijinan, dan tidak memperhatikan kepentingan yang lebih besar. Uniknya, salah seorang peserta yang berasal dari daerah justru menyalahkan Pemerintah Pusat yang dianggap tidak mengambil kebijakan yang tepat untuk menyelamatkan kerusakan lingkungan yang semakin parah oleh semakin tidak terkendalinya perijinan di daerah. Sistem desentralisasi di masa reformasi ini, menurut Prof. Emil, mengakibatkan hilangnya back bone pemerintah hingga ke daerah (desa). 

Selanjutnya, Prof. Emil juga mengatakan bahwa desentralisasi telah mengakibatkan daerah ingin memberi perhatian besar kepada putra daerah, sehingga Keluarga Berencana dianggap sebagai program depopulasi yang mengancam tumbuhnya pada putra daerah. Itulah sebabnya, laju pertumbuhan penduduk di era otonomi luas melonjak lagi, setelah berhasil dikendalikan pada masa Orde Baru. Laju pertumbuhan yang tidak terkendali ini, meski ada nilai positifnya seperti memberikan bonus demografi bagi bangsa Indonesia, namun juga menyimpan time-bomb seperti makin terbatasnya lapangan kerja, makin tingginya tuntutan pelayanan dasar (pendidikan, kesehatan, infrastruktur), makin lemahnya daya dukung lingkungan (carrying capacity), makin sempitnya lahan untuk permukiman, makin tingginya beban anggaran, dan sebagainya.

Hal lain yang menarik dari ceramah Prof. Emil adalah soal perbandingan masa lalu dan sekarang. Pada jaman Suharto dulu, ketika Presiden mengeluarkan perintah, maka seluruh Menteri dan Gubernur langsung melaksanakan dan tidak menafsirkan secara berbeda. Kesatuan komando dari pucuk pimpinan hingga lapisan terbawah, begitu kuat dan mudah dikontrol. Namun di era desentralisasi sekarang ini, perintah Presiden seringkali tidak bisa langsung dilaksanakan karena para Menteri dan Gubernur masih menunggu arah kebijakan dari partai politiknya masing-masing. Jika garis politik Parpol berbeda dengan arah kebijakan Presiden, sangat boleh jadi kepentingan Parpol yang lebih diprioritaskan. 

Dari ketiga issu yang disampaikan diatas, saya mengambil kesimpulan bahwa Prof. Emil menginginkan resentralisasi urusan-urusan yang telah didesentralisasikan. Sayangnya, beliau tidak secara eksplisit menyatakan hal tersebut. Maka, ketika sessi ceramah sudah selesai, saya temui beliau dan menanyakan apa konsep beliau terhadap tiga issu yang dilontarkannya. Ternyata jawabannya cukup sederhana dan sudah banyak diwacanakan, yakni bahwa otonomi semestinya tidak diberikan di tingkat kabupaten/kota, namun di tingkat provinsi. 

Ide ini dilihat dari berbagai argumentasi sangat masuk akal. Sebagai negara kesatuan (unitary state) yang telah berpuluh tahun menerapkan prinsip dekonsentrasi (baca: sentralisasi), terlalu jauh untuk melakukan giant leap atau leap-froging dengan langsung memberi otonomi kepada daerah tingkat kedua. Secara empirik faktual, perjalanan lebih dari satu dekade desentralisasi luas juga menyajikan banyak kegagalan seperti rendahnya kinerja daerah otonom baru, porsi anggaran daerah yang sebagian besar terserap untuk belanja aparatur, merebaknya kasus korupsi yang melibatkan Kepala Daerah dan DPRD, dan sebagainya. 

Namun persoalannya, apakah mungkin Pemerintah Pusat menarik kembali urusan yang telah didesentralisasikan? Mungkin saja hal ini dianggap sebagai langkah resentralisasi yang sangat tidak populer dikalangan akademisi dalam dan luar negeri. Bisa juga hal ini dicap sebagai “menjilat ludah sendiri” dan mengingkari tuntutan reformasi 1998 yang melahirkan UU No. 22/1999. Resiko melakukan “resentralisasi” tentu harus diantisipasi secara cermat, misalnya kemungkinan munculnya perlawanan dari kabupaten/kota. Penarikan otonomi ke tingkat provinsi juga bukan jaminan akan dapat diselesaikannya semua masalah. Mungkin saja yang terjadi kemudian hanya sekedar memindahkan masalah. 

Untuk itu, melihat kebijakan desentralisasi yang sudah kadung seperti sekarang haruslah seimbang antara perspektif pusat terhadap daerah dan perspektif daerah terhadap pusat. Jika yang terjadi selalu pemaksaan dari satu perspektif atau dari satu pihak saja, dapat dipastikan kebijakan itu tidak berumur lama dan rentan terhadap gugatan judicial review. Daerah harus menahan diri untuk tidak “berulah” yang akan merepotkan Pusat. Jika daerah diibaratkan anak, dan pusat adalah orang tua, harus dihindarkan jangan sampai terjadi pepatah Jawa anak polah bapa kepradah (anak berulah, orang tua yang menanggung akibat). Sebaliknya, jangan sampai pula pepatah tadi berbalik menjadi bapa polah, anak kepradah. Sebab faktanya, sudah terlalu banyak kasus pusat berulah dan daerah yang menanggung beban. Contohnya, banyak instansi pusat yang membuat aturan yang saling bertentangan dan membingungkan daerah. Banyak pula permintaan data yang sama dari berbagai kementerian, sehingga menghabiskan energi pejabat daerah. Belum lagi soal struktur kelembagaan pusat yang berubah-ubah seperti dalam kasus Kementerian Pendidikan Nasional menjadi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, atau bergabung dan berpisahnya Kementerian Perdagangan dan Perindustrian, yang sedikit banyak mempengaruhi interaksi antara daerah dengan kementerian yang bersangkutan. 

Oleh karena itu, akan lebih bijaksana jika gagasan-gagasan reformasi dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan dan hubungan pusat-daerah dikaji lebih seksama agar tidak terjebak pada situasi trial and error yang tidak berkesudahan. Pergantian UU No. 22/1999 menjadi UU No. 32/2004, serta telah dilakukannya uji materiil oleh MK terhadap UU No. 32/2004 sebanyak 36 kali, menunjukkan sangat mentahnya materi yang diatur dalam UU Pemerintahan Daerah tersebut. Saya pribadi dapat menyetujui ide Prof. Emil Salim untuk membawa otonomi ke level provinsi, namun saya lebih mendukung untuk mempertahankan “keterlanjuran” yang terjadi dengan memperbaiki sisi-siai yang masih bermasalah. 

Berwacana memang menyenangkan, melempar gagasan-gagasan out of the box juga selalu menantang. Namun menciptakan produk hukum yang mampu bertahan lama di tengah dinamika lingkungan yang turbulent, yang mampu memuaskan secara relatif kepentingan berbagai kelompok, serta yang mampu menjabarkan nilai-nilai dan semangat Konstitusi, adalah sebuah pekerjaan yang teramat berat. Tugas pemerintah adalah melayani, bukan membebani masyarakat. Fungsi pemerintah adalah untuk mempermudah, bukan mempersusah dan memperlemah masyarakat. Maka, harus dijamin bahwa setiap peraturan perundang-undangan yang dihasilkan pemerintah benar-benar merupakan cerminan dari kebutuhan dan harapan masyarakat kebanyakan, bukan kepentingan segelintir golongan tertentu. Meminjam kalimat dalam sebuah iklan televisi: masyarakat kok dibuat coba-coba  

Dari kamar B-315
Kampus Pejompongan, 3 Mei 2013

Rabu, 01 Mei 2013

Meneladani yang Tua


Mendengarkan ceramah Prof. Emil Salim kemaren cukup membuat saya berdecak kagum. Diluar dugaan saya, ternyata beliau masih sanggup bicara hampir satu jam dengan berdiri. Beliau juga masih begitu logis, sistematis dan penuh makna dalam mengungkapkan pemikiran beliau. Lebih mengagumkan lagi, saat sessi tanya jawab saya perhatikan beliau tidak mencatat pertanyaan para peserta. Namun saat menjawab, sepertinya semua pertanyaan terjawab dengan baik tanpa ada yang terlewat. Dalam usia beliau yang 81 tahun, ternyata tidak mengurangi sama sekali kebugaran, konsentrasi, daya tahan, dan kecerdasannya. Saya sangat heran, bagaimana cara beliau menyimpan berbagai pertanyaan (storing), kemudian mengolah untuk menemukan jawaban yang tepat (processing), dan memanggil satu per satu (recalling) dalam bentuk jawaban yang runtut dan bahkan menjadi saling terkait dan saling menjelaskan (enriching). Sungguh beliau adalah sosok manusia langka dan asset nasional yang masih sangat layak untuk mengemban amanah strategis. Jangankan posisi Menteri, jabatan Wakil Presiden, bahkan Presiden sekalipun rasanya tidak akan memberatkan bagi orang sekaliber Emil Salim. 

Uniknya, selama penyelenggaraan Diklatpim 1 ini kami juga berhadapan dengan tokoh-tokoh sepuh yang hanya tua dari aspek biologisnya, namun tetap enerjik dan muda dari spirit dan dedikasinya. Dr. Purnaman Natakusumah yang sudah berusia 82 tahun dan Dr. Nusyirwan Zen yang berusia 78 tahun adalah contoh dari sosok istimewa tersebut. Dalam kamus hidup belian-beliau sepertinya tidak ada istilah pikun, manja, lelah, atau mengeluh. Cara bicara yang mengalir rapi, daya ingat yang tinggi terhadap teori dan konsep-konsep kontemporer, cara menjawab pertanyaan yang analitik, kecepatan dalam memberi respon atas respon, optimisme yang terpancar dari aura dan raut muka, dan sebagainya, mencerminkan kualitas pikiran mereka yang mengagumkan. 

Saya yakin, bukan hanya saya yang iri dengan beliau-beliau. Semua peserta tanpa kecuali, pasti memimpikan berumur panjang, yang bukan sekedar umur panjang, namun umur yang disertai dengan keunggulan pribadi yang tidak kalah dari anak-anak muda yang usianya puluhan tahun dibawah usia beliau. Mungkin ada baiknya jika dari seluruh alokasi waktu yang tersedia, beliau menyisihkan 10 persen saja untuk berbagi tentang tips dan rahasia untuk bisa menjalani hidup yang stabil selama puluhan dekade.  

Saya jadi berpikir bahwa selama ini kita terlanjur mendikotomikan antara tua – muda. Seolah-olah generasi tua adalah mereka yang hanya senang bernostalgia dengan kejayaan masa silam, yang tidak mau berubah dan tidak mau disaingi oleh generasi muda, yang telah kehilangan sebagian besar energinya sehingga menjadi sosok yang rapuh dan loyo, yang mudah lupa dan mudah emosi, yang gagap teknologi, serta sederet atribut lain yang terlanjur menjadi stigma. Dengan stigma itu, kemudian muncul “gugatan” terhadap orang-orang tua yang masih berambisi maju sebagai Presiden atau Kepala Daerah, misalnya. Seorang Presiden yang memilih para pembantunya dari kalangan tua juga sering dikritik sebagai anti pembaharuan dan memnunjukkan kegagalan melakukan kaderisasi calon pemimpin nasional.  

Dalam proses reformasi birokrasi, kita juga sering mendengar gagasan tentang “potong satu generasi”. Seolah-olah, generasi tua adalah generasi korup yang menjadi benalu dan parasit bagi pemerintahan nasional, yang harus dipotong beramai-ramai. Bahkan dalam pemerintahan ada konsep tentang Gerontocracy, yang didefinisikan sebagai masyarakat yang dikendalian oleh orang-orang berumur. Dalam pengertian yang lebih sempit, gerontokrasi juga bisa berarti “pemerintahan yang kekuasaannya berpusat pada dan dikendalikan oleh orang-orang tua”.  

Dalam kaitan ini, Eep Saifullah Fatah dalam tulisannya berjudul Melawan Gerontokrasi, menyatakan bahwa Setelah menjalani reformasi lebih dari delapan tahun, salah satu agenda yang belum dituntaskan hingga saat ini adalah perlawanan atas gerontocracy. Secara umum, politik Indonesia masih dikuasai oleh apa yang bisa kita sebut ”generasi pertama politisi reformasi”. Inilah generasi yang menerima tongkat estafet dari Orde Baru dan kemudian mengelola era baru demokrasi. Usia mereka sekarang 50 tahun ke atas. Selanjutnya Eep menulis bahwa gerontocracy juga melanda kehidupan partai politik secara sangat tegas. Umumnya partai politik dikuasai oleh politisi tua. Tak hanya itu, partai juga kerapkali dikendalikan secara personal sehingga anasir-anasir partai seolah-olah menjadi milik dari sang ketua umum. 

Nah, dengan melihat figur seperti Prof. Emil Salim, Dr. Purnaman, dan Dr. Nusyirwan, saya tidak terlalu mendukung pemikiran Eep. Sebab, faktanya tidak semua orang tua memenuhi kriteria gerontokrasi seperti disebut diatas. Sebaliknya, tidak semua anak muda selalu menyukai tantangan dan perubahan, selalu lebih kreatif dan inovatif, lebih cepat dan akurat dalam bekerja, lebih tahan banting, dan seterusnya. 

Soal tua – muda nampaknya tidak menjadi issu penting. Ini adalah soal mentalitas. Tidak ada jaminan bahwa yang muda selalu memiliki mentalitas lebih kuat. Boleh jadi justru orang tua yang memiliki mentalitas jauh lebih baik dan positif dibanding yang muda. Mentalitas ini terbentuk dan terbangun tidak dalam semalam, namun melalui proses yang panjang. Maka, sesungguhnya wajar belaka jika semakin tua seseorang maka semakin memiliki peluang untuk memiliki mentalitas lebih baik. Sosok seperti pak Emil, pak Purnaman, dan pak Nus, saya nilai telah lulus dari ujian sejarah kehidupan sehingga menjadi figur yang sangat pantas diteladani. 

Dari kamar B-315
Kampus Pejompongan, 2 Mei 2013

Antara OL dan Simulasi


Pada pembacaan jurnal hari ini, banyak sekali kekecewaan teman-teman terhadap pelaksanaan Observasi Lapangan (OL) dan Simulasi. Kekecewaam terhadap OL bersumber dari beberapa hal, misalnya alasan pemilihan daerah lokus, waktu yang terlalu singkat, serta “larangan” untuk menyeberang ke luar negeri (Kuching, Malaysia untuk kelompok 1 dan Singapura untuk kelompok 2). Sedangkan kekecewaan terhadap simulasi disebabkan oleh persiapan yang kurang matang, pemilihan peran yang kurang tepat, penunjukan pemeran yang mendadak, dan ketidakjelasan tujuan simulasi. 

Kekecewaan teman-teman sangat beralasan. Saya sendiri melihat bahwa dalam penyelenggaraan Diklatpim 1 ini banyak hal yang kurang direncanakan secara baik, rinci, dan matang, termasuk soal OL dan Simulasi tersebut. Untuk OL misalnya, idealnya tema diklat sudah dirancang jauh hari sebelum pembukaan diklat, dan dari tema ini kemudian bisa ditentukan pula lokasi OL yang paling tepat, sehingga OL bukan hanya sekedar program untuk menyerap DIPA dan menjadi kegiatan yang mubah, bahkan cenderung makruh. Selain itu penyelenggara harus memiliki konsep yang kuat apa dasar filosofis dan akademis dari OL ini, dan apa bedanya Diklat dengan OL dan tanpa OL? Jika tidak ada bedanya, maka sama artinya OL hanya sebuah kesia-siaan karena “membuang” biaya, tenaga, dan waktu yang cukup besar tanpa menghasilkan sesuatu yang signifikan.  

Sayangnya, baik penyelenggara maupun Widyiswara sering terlihat belum memiliki pemahaman yang utuh tentang hakekat OL, dan terkesan masih mencari bentuk OL yang terbaik. Sebagai contoh, pertanyaan: “jika KKA adalah kertas kerja berskala nasional, apakah data daerah bisa mencerminkan kondisi nasional?” selalu muncul di setiap angkatan. Selain itu, agenda OL sering didesain dengan sangat mendadak, sementara aspek substansi yang ingin digalipun relatif lemah. Dengan situasi seperti ini, saya merasakan bahwa OL dan laporan hasil analisisnya kurang mampu menelorkan rekomendasi dan gagasan brilian, cerdas, dan orisinal dalam rangka menyelesaikan permasalahan yang dihadapi. Paparan hasil OL dari banyak kelompok dalam berbagai jenis dan jenjang diklat tidak jarang hanya bersifat superficial belaka, dan hampir tidak pernah disampaikan secara langsung kepada pihak-pihak yang berkepentingan.  

Sangat boleh jadi, penyelenggara perlu untuk memperjuangkan agar OL dilakukan di luar negeri sebagaimana pada penyelenggaraan Spati (Sekolah Pimpinan Administrasi tingkat Tinggi, model diklat aparatur sebelum berubah menjadi Diklatpim Tingkat 1). Hal ini terkait dengan standar kompetensi yang harus dikuasai oleh pejabat Eselon I, yakni memiliki wawasan global, mampu berpikir visioner, dan sanggup untuk menjadi pemimpin perubahan. Dengan kompetensi yang sudah sangat makro, memang pemilihan lokus Diklatpim 1 di tingkat daerah (terutama kabupaten/kota) terasa sangat kecil dan sempit. Meskipun saya bisa menjelaskan kepada teman-teman bahwa itu adalah manifestasi dari ungkapan small is beautiful atau think globally, act locally, tetap saja saya melihat urgensi peserta Diklatpim 1 untuk melihat secara langsung kondisi negara lain, terutama pada aspek manajemen pemerintahan tertentu yang menjadi concern peserta. Sepanjang pengetahuan saya, tidak selalu pejabat Eselon II sering bertugas ke luar negeri. Bahkan untuk pegawai LAN seperti saya, tugas ke luar negeri diluar tugas belajar dan mencari peluang secara mandiri untuk mengikuti seminar atau konferensi, sangatlah jarang dan menjadi kemewahan tersendiri. Dari kunjungan itu, diharapkan peserta dapat mencari dan menemukan lesson learned, best practice, benchmark, dan inovasi-inovasi yang berkembang, untuk selanjutnya dipikirkan probabilitasnya untuk direplikasi atau diadopsi di Indonesia.  

Senada dengan OL, Simulasi-pun harus didasarkan pada argumentasi filosofis akademis yang jelas dan kuat. Kompetensi apa yang ingin dibangun dengan simulasi ini, dan apa manfaat yang ingin dihasilkan? Dari dua kali pelaksanaan simulasi, meskipun meriah namun secara konseptual aktivitas ini terasa hambar karena tidak ada pemahaman dan kesadaran baru yang muncul dari kegiatan role play ini.  

Agar lebih menggigit, perlu dilakukan redesain terhadap rancangan kegiatan simulasi ini. Beberapa hal yang bisa saya sarankan adalah sebagai berikut. Pertama, simulasi sebaiknya tidak dilakukan di dalam kelas, namun cukup dalam kelompok. Dengan simulasi yang melibatkan banyak orang seperti yang kami alami, maka yang terjadi hanya penggiliran kesempatan bicara untuk 30 orang, tanpa debat yang alot, tanpa analisis terhadap opsi-opsi atau pemikiran yang diajukan peserta, dan tanpa fokus yang jelas. Diskusi menjadi melebar kemana-mana, sangat sulit dan bahkan mustahil untuk disimpulkan. Sebaliknya jika simulasi terjadi di tim kecil, maka waktu yang tersedia bisa dioptimalkan, dan interaksi antar peserta bisa terjadi lebih intens dan alamiah, dalam arti tidak mengada-ada dan tidak asal bicara. Kedua, simulasi sebaiknya didukung dengan kasus yang kompleks. Dalam hal ini, diskusi kasus pada setiap Kajian Diklatpim I dapat dikombinasikan dengan Simulasi, sehingga simulasi tidak bersifat imajiner melainkan membumi dan kontekstual dengan situasi dunia yang sebenarnya (real world). Ketiga, simulasi sebaiknya tidak dilakukan secara instan. Paling tidak 2-3 hari sebelumnya, peserta sudah harus mengetahui perannya, dan sudah membaca rincian kasus yang akan disimulasikan, sehingga peserta memiliki tenggang waktu yang lebih luas untuk mempelajari lebih dalam karakter dan tugas/fungsi jabatan yang diperankan, serta mencari data-data pendukung yang relevan. Dengan mekanisme seperti ini, saya membayangkan simulasi bisa mencerminkan dinamika di permanent system. Dan setelah selesai melakukan simulasi, seyogyanya dilakukan refleksi tentang mengapa di permanent system sebuah perubahan begitu sulit dilakukan, mengapa pejabat begitu angkuh untuk mendobrak rintangan koordinasi lintas lembaga, mengapa kebijakan sering terlambat dan tidak bisa mengantisipasi tuntutan publik, dan sebagainya. 

Terlepas dari berbagai kekurangan yang ada, sebenarnya saya dapat memaklumi adanya kekurangan tersebut. Usulan tentang lokus OL apakah di dalam atau luar negeri, sangat berkaitan dengan pagu anggaran LAN yang diterima dari Kementerian Keuangan setiap tahunnya. Persepsi pejabat Kemkeu tentang tingkat kepentingan OL di luar negeri seringkali jauh lebih menentukan dibanding proposal dari LAN dengan seabreg argumentasinya. Beban pekerjaan penyelenggara yang teramat tinggi juga menjadi kendala serius hingga mereka seringkali tidak sanggup mengawal setiap agenda pada level yang idealnya. Belum lagi faktor sulitnya mendesain kasus. Dalam hal ini, para Widyaiswara sebaiknya dikumpulkan pada sebuah workshop untuk diberi keterampilan menyusun kasus-kasus yang akan diangkat sebagai materi diskusi kelompok maupun simulasi. 

Namun, dengan kesadaran adanya kelemahan ini, akan mempermudah upaya untuk melakukan perbaikan. Berbagai kendala bukanlah alasan untuk membenarkan rendahnya kinerja diklat, sehingga continuous improvement harus tetap menjadi spirit terbesar bagi pengelola diklat. “Tiada hari tanpa perbaikan”, itulah semboyan bagi seluruh penyelenggara diklat yang harus ditaati selamanya. 

Dari kamar B-315
Kampus Pejompongan, 29 April  2013