Laman

Jumat, 23 Agustus 2013

Ladies Program


Saya agak terkejut ketika mendengar kabar akan diadakan kegiatan ladies program dalam rangkaian Diklatpim I. Terakhir kali saya mengetahui program ini tahun 1994 saat saya baru saja diangkat menjadi CPNS dan ditempatkan di LAN Perwakilan Jawa Barat, di Bandung. Kebetulan sekali, saat itu ayah saya mengikuti Diklat Sepadyanas, dan di akhir program, Ibu sayapun mengikuti ladies program. Setelah itu, saya tidak pernah mendengar lagi LAN mengadakan acara untuk istri para peserta diklat ini. Hanya lembaga diklat di daerah yang nampaknya masih terus mentradisikannya sebagai additional activity yang terpisah dari program Diklat Penjenjangan. 

Maka, terus terang saya bertanya-tanya, apa latar belakang, tujuan, dan landasan berpikir dari penyelenggaraan ladies program di Diklatpim I ini? Sayangnya, saya tidak memperoleh jawaban yang memuaskan dari setiap orang yang saya Tanya. Salah seorang peserta yang kebetulan seorang perempuan dan berasal dari LAN juga tidak paham mengapa program ini muncul, selain “menjalankan perintah pimpinan”. 

Saya pribadi memiliki pendapat yang terbelah tentang ladies program. Disatu sisi, saya menolak, namun disisi lain saya dapat memberikan dukungan pula. Saya menolak atas dasar beberapa argumentasi. Pertama, program ini tidak dijelaskan sejak awal serta tidak memiliki urgensi dan framework yang jelas. Apa tujuan besar dari program ini, apa sasaran kompetensi yang dibangun, mengapa hanya dilakukan setengah hari, mengapa materi yang dipilih adalah tentang keprotokolan, mengapa desainnya berupa ceramah, dan banyak pertanyaan lainnya, terus menjadi misteri hingga akhir program. Intinya, kemanfaatan program ini dalam pandangan saya teramat kecil, untuk tidak mengatakan nol besar. Kedua, program ini memberi “beban” tambahan bagi peserta karena seluruh pembiayaan dibebankan kepada peserta. Ketika sebuah program lembaga berjalan diluar kerangka institusional, maka sulit bagi saya untuk menerimanya.

Sebaliknya, saya sangat mendukung program ini dengan syarat kedua situasi yang menjadi keberatan diatas dapat diatasi. Artinya, ladies program harus dikemas sebagai bagian tidak terpisahkan dari Diklat Kepemimpinan, yang desainnya telah matang jauh hari sebelum program tersebut berjalan. Penyelenggara harus sudah memiliki analisis kebutuhan yang dapat dipertanggungjawabkan mengapa mengusulkan penyelenggaraan ladies program ini. Sebagai bagian dari Diklat Kepemimpinan, maka ladies program harus diarahkan untuk memperkokoh kapasitas kepemimpinan dari para suami peserta ladies program. Seperti kata pepatah: dibalik kesuksesan seorang suami, ada peran dan kontribusi istri yang hebat. Maka, substansi kurikulumnya pun juga didesain bukan semata-mata meningkatkan keterampilan teknis istri, melainkan lebih memperkuat peran istri sebagai pendamping suami, pengatur manajemen rumah tangga, pendidik anak, dan mitra sejajar suami. Atas dasar pemikiran seperti inilah saya menilai materi keprotokolan adalah salah besar. Hal ini terutama berlaku untuk istri saya yang sehari-hari mengurus rumah dan anak, yang jauh sekali denan urusan protokoler yang penuh basa-basi, namun “terpaksa” dijejali dengan teori keprotokolan. Mengapa tidak dipilih materi lain yang lebih aplikatif seperti smart parenting, psikologi remaja dan anak-anak (untuk mencegah sejak dini perilaku menyimpang para remaja seperti tindakan bullying di sekolah, narkoba, pergaulan bebas, dan seterusnya), atau bahkan materi untuk meng­-guide istri menjadi konsultan bagi suaminya sehingga lebih betah di rumah, tidak terjangkit stress karena beban kerja di kantor, dan sejenisnya. Semua materi itu – sekali lagi – merupakan prasyarat keberhasilan seorang suami. 

Oleh karena ladies program mrupakan bagian integral dari Diklat Kepemimpinan, maka skema pembiayaannya juga harus terintegrasi dengan anggaran Diklat Kepemimpinan tersebut. Ini berarti pula, ladies program menjadi program wajib (compulsory program) bagi istri-istri peserta Diklat Kepemimpinan. Kedudukan, peran, dan tanggungawab suami dengan istri menjadi dua komponen yang saling melengkapi dan memperkuat dalam konfigurasi bertemunya sistem domestik kekeluargaan dengan sistem publik (profesi suami).  

Pandangan kesisteman inilah yang saya lihat sangat lemah dalam ladies program saat ini. Dikotomi antara “urusan rumah tangga” dan “urusan kantor” sebaiknya ditiadakan. Suami harus tahu apapun yang terjadi dengan rumah tangganya, sebaliknya istripun layak tahu apa yang dilakukan suaminya di kantor lengkap dengan problematika yang muncul. Tentu saja, untuk urusan-urusan yang masuk kategori “rahasia jabatan” tidak boleh diceritakan kepada siapapun termasuk kepada istri maupun anggota keluarga yang lain. 

Bung Karno sendiri dalam buku Penyambung Lidah Rakyat karya Cindy Adams pernah mengkritik tradisi masyarakat tradisional kita yang menganggap wanita (para istri) hanya sebagai kanca wingking, yang hanya memiliki tiga tugas yakni macak, masak, dan manak (Jerman: Kleider, Küche, Kinder). Wanita seolah-olah diposisikan sebagai “pundi-pundi” yang tidak boleh dilihat orang lain dan tidak boleh ditampilkan di depan khalayak ramai. Maka, dengan meminjam pemikiran Bung Karno ini, pendidikan bagi perempuan adalah sebuah hak asasi yang harus dihormati, dilindungi, dan dipenuhi oleh pemerintah. Dalam konteks ini, ladies program bisa dikatakan sebagai wujud tanggungjawab mencerdaskan para perempuan Indonesia, sekaligus memperkuat sinergi istri-istri dengan para suaminya. 

Dari kamar B-315
Kampus Pejompongan, 16 Mei 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar