Laman

Jumat, 23 Agustus 2013

Ujian KTP-2


Terus terang, hari ini saya agak kecewa dengan ujian KTP-2 yang saya jalani. Persiapan yang sungguh-sungguh sejak hunting data selengkap mungkin dari berbagai sumber, pendalaman secara mandiri buku-buku tentang SSM karya Sudarsono dan Peter Checkland, membuat tampilan slide sebagus yang saya mampu, hingga tidur menjelang fajar, rasanya menjadi sia-sia ketika hal yang saya yakini kebenarannya dinyatakan secara berbeda oleh widyaiswara penguji.
 
Yang membuat saya kecewa sebenarnya bukanlah perasaan subyektif saya yang belum bisa menerima pernyataan widyaiswara yang mengoreksi KTP-2 saya, melainkan pemahaman antar widyaiswara yang tidak bulat sehingga seorang widyaiswara menyalahkan sementara yang lainnya membenarkan. Hal kedua yang membuat saya kecewa adalah bahwa analisis SSM dan Scenario Planning yang jelas-jelas bagian ilmu sosial di­-treat sebagai ilmu matematika dengan rumus-rumus bakunya. Beberapa diantaranya bisa saya contohkan sebagai berikut. Namun sebelumnya perlu saya ungkapkan judul KTP-2 saya yakni “Penguatan Peran Deputi III LAN (P) Melalui Penajaman Kajian Hukum Administrasi Negara (Q) Guna Meningkatkan Kualitas Peraturan Perundang-Undangan dan Kebijakan Nasional di Bidang Administrasi Negara (R).
 
Pertama, T (Transformation) pada analisis CATWOE penguji mengharuskan diambil dari unsur Q, sementara saya mengambil dari unsur P dan Q secara sekaligus. Dalam bukunya Dr. Sudarsono disebutkan bahwa makna T tersirat dari deskripsi berupa pertanyaan “apa input dan output dari transformasi tersebut?”. Terhadap pertanyaan tadi, saya menafsirkan inputnya adalah Penguatan Peran Deputi III LAN (P), sedangkan outputnya adalah Penajaman Kajian Hukum Administrasi Negara (Q). Sementara pada W (weltanschauung, World-view), menurut rumus penguji adalah kombinasi P dan R, sedangkan “rumus” saya adalah kombinasi Q dan R. Alasan saya, Dr. Sudarsono menyebutkan dalam bukunya bahwa W dapat dideskripsikan dalam pertanyaan “Apa yang membuat transformasi bermakna secara kontekstual?”. Makna transformasi tersebut menurut saya terlalu rendah jika dilihat dari unsur input (P).
 
Kedua, penguji mengharuskan isi bulatan-bulatan pada Conceptual Model (CM) harus sama persis dengan situation considered problematic (SCP), sedangkan saya mengubah bahasa masalah pada SCP menjadi bahasa aktivitas pada CM. Masih menurut Sudarsono, CM berhubungan dengan apa yang harus dilakukan oleh sistem supaya menjadi seperti apa dinyatakan dalam root definition. Selanjutnya, Sudarsono juga menyatakan bahwa CM yang dibuat dalam SSM bukanlah gambaran utuh tentang dunia nyata, melainkan hanyalah duplikat (notional) dari sistem atau serba sistem aktivitas manusia yang relevan dan dipilih. Tidak ada model yang benar atau salah, yang ada adalah model yang relevan dengan situasi problematis. Dari pernyataan itu saja sudah eksplisit bahwa CM tidak sama dengan SCP, namun relevan dengan SCP.
 
Ketiga, ketika penulis beralih ke analisis Scenario Planning (SP), tahap pertama yang harus dilakukan adalah mengidentifikasi Focal Concern (FC). Saat mengaitkan FC dengan SSM, penguji mengharuskan mengambil dari unsur T pada analisis CATWOE, sementara saya justru mengambil dari unsur W. Pertimbangan saya, FC mencerminkan situasi yang ingin kita deskripsikan pada jangka panjang, bukan sebuah proses menuju kepada ujung dari masa depan yang kita deskripsikan tadi. Lebih parah lagi, penguji juga menyatakan bahwa pada tahap kedua SP yakni mengindentifikasi Driving Force (DF), harus sama dengan SCP dan CM. Padahal secara anatominya menurut saya ketiganya berbeda meski memiliki keterkaitan satu dengan lainnya. Dalam DF misalnya, harus dirumuskan dalam wujud variabel/indikator sehingga dapat diukur secara kuantitatif. Hal ini tentu berbeda dengan SCP yang merupakan pernyataan masalah, atau CM yang merupakan aktivitas manusia (Holon).
 
Keempat, rekomendasi yang dihasilkan pada SSM dan rekomendasi hasil SP juga dikatakan harus sama. Saya lantas bertanya-tanya: jika rekomendasi harus sama, buat apa kita melakukan analisis dengan kedua tool yang berbeda? Bukankah setiap tools of analysis memiliki karakteristik dan tujuan yang spesifik, namun bisa saling memperkuat satu dengan lainnya?
 
Uniknya, ketika dispute saya dengan penguji pertama ini saya kemukakan kepada penguji kedua dan ketiga, mereka membenarkan pekerjaan dan argumentasi saya. Saya jadi sampai pada kesimpulan bahwa pengusaan metodologi mereka masih sangat mentah. Sayapun juga merasa tidak menguasai teknik SSM, namun posisi saya saat itu adalah siswa yang dibimbing, sehingga wajar jika pemahaman saya belum bulat dan banyak melakukan kekeliruan. Namun kekeliruan bagi seorang pembimbing, tentulah bukan sesuatu yang dapat dimaklumi.
 
Dari kamar B-315
Kampus Pejompongan, 15 Mei 2013

1 komentar:

  1. salam Pak TWU..
    saya Dudi, mhsw S2 STIA LAN Jkt Smstr II. Wkt Smstr I lalu Bpk sempat ngisi di kelas kami MK Man. Kinerja gantikan Pak Asropi. Saat ini saya sedang ambil MK Metodologi Penelitian, kebetulan dosen pengajar Ibu Rachma Fitriati (RF) beliau sangat menekankan metode SSM ini. Terus terang saya yg berlatar belakang S1 bukan ilmu sosial merasa cukup kewalahan utk memahami metode ini. Apalagi Ibu RF jg belum memberikan bahan ajar yg memadai, khususnya buku pegangan ttg SSM. Kesulitan saya bisa dibilang sangat mendasar pak, yaitu sejak dari konsep dasar SSM itu sendiri. Kiranya Bpk bisa merekomendasikan buku apa yang bisa memberikan penjelasan yang sederhana tapi mencerahkan ttg materi ini. Terima kasih dan sukses selalu.

    BalasHapus