Laman

Sabtu, 17 Agustus 2013

"Mempermasalahkan" lagi Reformasi Birokrasi


Pada tulisan saya sebelumnya berjudul “Anomali Dalam Reformasi Birokrasi (Tabukah PNSMengkritik Birokrasi?)”, saya telah mengemukakan 5 hal yang saya pandang sebagai anomali dalam reformasi. Sesungguhnya saat itu saya sudah berniat untuk menghentikan tulisan tentang RB, namun ternyata hati saya terus tergelitik untuk mencatat berbagai hal yang dalam pandangan saya menajdi faktor pelemah atau penghambat pelaksanaan RB di Indonesia. Maka, dengan “terpaksa” saya memutuskan untuk melanjutkan kembali “pembedahan” terhadap makhluk baru bernama reformasi birokrasi ini. 

Hal pertama yang harus saya katakana adalah bahwa RB nampaknya tidak bersifat sistemik. Sebagai contoh, RB di K/L dan RB di Pemda tidak berjalan simultan. Pedoman-pedoman teknis yang dikeluarkan Menpan mengenai RB untuk K/L (pemerintah pusat) berbeda dengan RB untuk pemerintah daerah. Bahkan di Kementerian PAN ada pejabat yang membidangi urusan RB untuk pemerintah pusat, namun ada juga yang membidangi khusus untuk RB Pemda. Seolah-olah birokrasi dan upaya reformasinya bisa dipenggal-penggal atau didikotomikan menajdi birorkasi pusat dan birokrasi daerah. Hingga saat inipun, di daerah hanya ada percontohan yang terdiri dari seluruh provinsi, serta 1 Kota dan 1 Kabupaten untuk setiap provinsi. Saya masih belum mendapat jawaban yang mengesankan, mengapa daerah yang lain harus ditunda dari kewajiban melakukan RB? Saya juga berpikir, jika indikator Indonesia di dunia internasional jeblok seperti IPM/HDI, government effectiveness, ease of doing business, dan sebagainya, bukankah itu cermin dan akumulasi kinerja yang rendah dari seluruh jajaran birokrasi baik di pusat maupun daerah? Lantas mengapa hanya K/L saja yang “dikejar-kejar” untuk melakukan RB? Karena RB Daerah masih sekedar menjadi percontohan (itupun baru tahap awal), maka terjadi variasi yang sangat tajam antar daerah, misalnya dalam kebijakan menetapkan remunerasi/tunjangan daerah. Daerah dengan PAD/APBD besar akan cenderung memberikan tunjangan yang besar pula kepada pegawai daerahnya. Maka, situasinya menjadi turunan dari situasi di pusat, dimana ada daerah yang memberi tunjangan besar, ada yang memberi tunjangan relatif kecil, serta ada yang belum memberikan tunjangan tambahan penghasilan sama sekali. 

Tidak sistemiknya RB juga bisa dilihat misalnya antara wilayah perubahan dengan monitoring dan evalausi RB. Pada 8 area perubahan, tidak ditentukan secara eksplisit tentang kepemimpinan, yang antara lain terdiri dari sub-kriteria perencanaan strategis (Renstra) dan Kemitraan. Nah, dalam PMPRB (Penilaian Mandiri Pelaksanaan RB), justru kepemimpinan dijadikan sebagai aspek pengungkit utama dalam monev RB. Kasarnya, apa yang dilaksanakan tidak dimonitor dan dievaluasi, apa yang dimonitor dan dievaluasi malah tidak dilaksanakan. 

Contoh lain yang sederhana dan bisa mengilustrasikan pendekatan kesisteman yang lemah dalam RB adalah penggunaan “norma waktu” pada dokumen SOP dan pada Analisis Beban Kerja (ABK). Pada ABK, perhitungan aktivitas seseorang/suatu unit kerja dihitung berdasarkan “menit”, sedangkan dalam SOP cenderung menggunakan satuan “hari”. Selain itu, makna “hari” dalam SOP dan ABK bisa berbeda 360o. pada ABK, 1 hari ekuivalen dengan 5 jam atau 300 menit. Asumsinya, jam kerja 1 hari adalah 8 jam, sementara jam kerja efektif (JKE = total jam kerja dikurangi aktivitas tidak produktif seperti istirahat, makan, shalat, menerima telpon, ke belakang, dan lain-lain). Sedangkan dalam SOP, 1 hari dapat bermakna 24 jam karena memungkinkan aktivitas tertentu dilakukan di malam hari atau diluar kantor, misalnya penandatanganan dokumen kerja. 

Padahal jika norma waktu pada SOP dan ABK ini bisa dibuat seragam, maka begitu sebuah instansi selesai menyusun SOP, pada saat itu pula mereka telah selesai melakukan ABK dan langsung dapat diketahui adanya kelebihan atau kekurangan pegawai pada instansi tersebut. Tidak compatible-nya norma waktu pada SOP dan ABK selain berdampak pada inefisiensi dalam penyiapan kedua dokumen tersebut, juga berpotensi menimbulkan “konflik” antar keduanya. Jika ini terjadi, maka esensinya tidak terjadi sebuah proses reformasi, namun sebaliknya. 

Hal kedua yang harus dikritik dari RB adalah bahwa RB dapat dinilai sebagai sebuah langkah ahistoris alias tidak memperhatikan jalinan kesejarahan (historical nexus). Artinya, ada kesan bahwa RB dimaknakan sebagai sebuah perubahan menuju perbaikan yang berdiri sendiri, terpenggal-penggal (piecemeal), dan tidak berkelanjutan dari program sejenis pada masa-masa sebelumnya. Padahal, RB sesungguhnya bukanlah program musiman dari rezim pemerintahan tertentu, namun memiliki saling keterkaitan dan kesinambungan antar rezim. Oleh karena itu, agar tidak ahistoris, RB harus melihat kebelakang apa saja yang pernah dilakukan dan apa hasil-hasil yang sudah dicapai. Dan faktanya, reformasi sesungguhnya sudah berjalan baik pada pemerintahan Orde Lama maupun Orde Baru. Pada masa Orla misalnya, setelah keluarnya Dekrit Presiden 1959 dibentuklah Panitia Retooling Aparatur Negara (PARAN) yang antara lain, menghasilkan Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 1962 tentang Pokok-pokok Organisasi Aparatur Pemerintah Negara Tingkat Tertinggi. Dua tahun kemudian dibentuk Komando Tertinggi Retooling Aparatur Revolusi (KONTRAR) dengan Keppres Nomor 98 Tahun 1964.

Sementara pada masa Orba, RB sudah dimulai sejak Repelita I hingga Repelita VI. Pada masa Repelita V, misalnya, telah lahir Keputusan Menpan No. 90/1989 tentang Program Pemacu sebagai prioritas PAN, atau sering dikenal dengan 8 Program Pemacu PAN. Program pemacu ini meliputi 8 sasaran pokok yakni: 1) Pelak­sanaan Pengawasan Melekat; 2) Penerapan Analisis Jabatan; 3) Penyusunan Jabatan Fungsional; 4) Peningkatan Mutu Ke­pemimpinan Aparatur; (5) Penyederhanaan Prosedur Kepegawaian; 6) Penyederhanaan Tata Laksana Pelayanan Umum; 7) Sistem Informasi Administrasi Pemerintahan; dan 8) Penitikberatan Otonomi di Daerah Tingkat II. Dikaitkan dengan 8 area perubahan yang diusung pada Permenpan No. 20/2010 tentang Roadmap RB, pertanyaan yang harus dijawab adalah: 1) Adakah hubungan antara 8 program pemacu PAN dengan 8 area perubahan RB?; 2) Jika ada, bagaimana bentuk hubungan diantara kedua dokumen tersebut, apakah kelanjutan / penajaman terhadap dokumen yang lebih lama, ataukah saling mengisi / saling memperkuat?; 3) Mengapa muncul area perubahan yang berbeda, atau mengapa ada area perubahan pada dokumen yang lama yang hilang dan tidak dilanjutkan, apakah sasarannya sudah tercapai atau memang dinilai tidak prioritas? 

Hal ketiga yang sangat mendasar adalah lemahnya kepercayaan (trust) birokrasi di pusat maupun di daerah terhadap program RB. Penyebab utamanya justru karena tidak konsistennya pelaksanaan program RB tersebut. Di berbagai kesempatan misalnya, para pejabat Kementerian PAN dari Menteri hingga Eselon III-nya sering melempar wacana bahwa kedepan tidak dimungkinkan lagi ada Sarjana Agama yang dapat diangkat menjadi Kepala Dinas PU, Sarjana Sastra sebagai Kepala Dinas Kesehatan, dan seterusnya. Pengangkatan jabatan harus benar-benar berbasis pada kompetensi, yang salah satu indikatornya adalah kesesuaian latar belakang pendidikan dengan karakteristik jabatan, dan pengalaman jabatan seseorang. Namun yang terjadi saat ini, ada seorang Pejabat Eselon I di Kementerian yang berlatar belakang teknik namun didudukkan pada urusan SDM. Pada kasus yang lain, seseorang yang sepanjang karirnya menangani urusan pemeriksaan keuangan, didudukkan pada posisi yang mengurusi pelayanan publik. Fakta seperti inilah yang akan membuat hilangnya kepercvayaan dan munculnya keraguan terhadap keseriusan pemerintah dalam menjalankan reformasi. Salah-salah, inkonsistensi antara retorika para pejabat dengan tindakan nyata yang dilakukan ini hanya akan menimbulkan persangkaan tentang hipokritas dalam program reformasi. 

Yang menarik, meskipun secara disiplin keilmuan maupun pengalaman jabatan tidak sesuai dengan jabatan yang diduduki saat ini, namun proses seleksi dan pengangkatan jabatan tadi dilakukan melalui open bidding atau lebih populer dikenal dengan lelang jabatan. Dengan asumsi bahwa proses open bidding tadi berjalan secara obyektif dan terbuka, maka hasil yang diperoleh tentunya adalah kandidat yang paling kompeten dan kapabel, terlepas dari latar belakang pendidikan dan pengalaman kerjanya. Namun jika hal ini yang terjadi, sama artinya seleksi jabatan secara terbuka (open bidding) membantah asumsi sebelumnya bahwa Sarjaka Teknik tidak layak memimpin unit kerja yang mengurusi SDM, bahwa Sarjana Agama tidak dapat diangkat menjadi Kepala Dinas PU, bahwa Sarjana Sastra tidak mungkin menduduki jabatan sebagai Kepala Dinas Kesehatan, dan seterusnya. Lantas jika demikian, maka yang harus dijadikan referensi dalam penempatan jabatan, hasil open bidding secara murni, ataukah kompetensi yang terbangun oleh sistem pendidikan dan pengalaman kerja selama bertahun-tahun?

Hal keempat yang juga mendasar adalah bahwa RB saat ini nampaknya tidak dilandasi pada sebuah strategi kebudayaan yang jelas. Aspek budaya hanya menjadi salah area perubahan yang dikenal dengan mindset dan culture set, namun bukan sebuah reformasi budaya yang menyeluruh meliputi seluruh are perubahan. Dalam pemikiran saya, reformasi budaya adalah basis dari seluruh perubahan yang ada. Maka, jika ada area kelembagaan akan direformasi, maka haruslah sebuah reformasi kelembagaan berbasis budaya. Demikian pula, perubahan pada aspek tatalaksana adalah reformasi tatalaksana yang berbasis budaya. Oleh karena itu, semestinya aspek budaya bukan menjadi aspek yang terpisah dari aspek-aspek reformasi lainnya, melainkan melekat pada seluruh area perubahan yang ada 

Dari berbagai refleksi diatas dapat kita simpulkan bahwa evaluasi terhadap program RB dan implementasinya merupakan sebuah kebutuhan yang sangat mendesak, terutama menjelang tahun 2014. Sebagaimana diketahui, permenpan No. 20/2010 tentang Roadmap RB akan berakhir pada tahun 2014, dan untuk itu pada tahun 2013 ini sudah harus dilakukan upaya serius untuk menyiapkan Roadmap RB II. Jika tidak, maka pelaksanaan RB pada periode 2014-2019 terancam mandeg dan tidak ada rujukan secara nasional. Jika ini yang terjadi, maka tidak akan dapat dilakukan evaluasi kinerja program RB. Dan bila ini yang terjadi, maka pada hakekatnya kita mengalami kemunduran dalam menata birokrasi pemerintahan. Jelas kita tidak menginginkan hal ini terjadi. Untuk itu, evaluasi pelaksanaan RB dalam periode 2010-2013 saat ini segera diselesaikan sebagai input merancang Roadmap RN ke-2.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar