Laman

Minggu, 18 Agustus 2013

Uang Pecahan Baru dan Inovasi Kebijakan


Sebenarnya saya ingin menulis tentang hal ini pada saat lebaran Idul Fitri 1434 H (2013) yang baru saja lewat. Namun seminggu sebelum Idul Fitri hingga seminggu sesudahnya, saya melakukan PHK (pemutusan hubungan kerja) dengan laptop yang sehari-hari menjadi mitra saya paling setia dan paling saya andalkan.

Ide saya bermula dari fenomena tahunan dimana menjelang hari raya lebaran, Bank Indonesia seperti mendapat tugas tambahan baru berupa penyediaan uang kertas recehan baru, mulai nominal Rp. 1.000 hingga Rp. 100.000. bank-bank pemerintah maupun swasta juga mendapat beban baru untuk melayani masyarakat yang ingin menukar uang lusuhnya, dengan menyediakan counter khusus penukaran uang. Bahkan di berbagai kota, ada fenomena unik berupa “jual beli” uang di berbagai sudut kota dan pinggiran jalan. Seorang “calo” dengan sengaja menukar uang-uang lusuhnya di Bank, kemudian “menjual” kembali kepada masyarakat yang tidak sempat datang ke Bank namun ingin memiliki lembaran uang gress dengan nomer seri berurutan. Tentu, jasa penukaran di jalanan ini tidak gratis seperti di Bank, ada persentase atau tariff khusus sesuai jumlah yang “dibeli”.

Entah latah atau sekedar suka dengan uang baru, sayapun sangat ingin memilikinya. Rasanya berbeda ketika kita memberi uang kepada orang lain (entah itu sanak saudara, fakir miskin, atau sekedar uang jajan untuk anak-anak) dengan uang baru. Harus diakui ada nilai tambah yang melekat pada uang baru dibanding pada uang lama yang penuh lipatan, kotor, bau, mungkin juga sarat kuman, dan kadang kita sendiri jijik memegangnya. Maka, tidaklah aneh jika pemerintah (Bank Indonesia) cukup gencar melakukan iklan layanan masyarakat di televisi, media cetak, pamflet, dan berbagai media lain tentang perlunya penghormatan terhadap mata uang Rupiah. Nampaknya ada political will dari pemerintah untuk membuat tampilan Rupiah seperti layaknya mata uang USD yang tanpa lipatan, tanpa jepretan (staples), dan tanpa coretan. Beda sekali dengan kondisi Rupiah saat ini yang bukan hanya penuh coretan, lipatan, dan lubang-lubang bekas staples, bahkan banyak diantaranya yang sudah sobek dan disambung lagi dengan isolatip. Rupiah menjadi barang yang sayang untuk dibuang namun enggan untuk disimpan.

Untuk itu, meskipun membutuhkan biaya promosi cukup besar, upaya pemerintah untuk menghilangkan peredaran uang-uang lusuh patut didukung penuh. Sebab, Rupiah hakekatnya bukan semata-mata alat tukar dalam dunia ekonomi, namun juga merupakan simbol kenegaraan yang harus dihormati selayaknya Bendera Merah Putih, Bahasa Indonesia, atau lambang-lambang negara lainnya. Tampilan lusuh uang Rupiah secara langsung maupun tidak langsung mencerminkan kepribadian bangsa yang lusuh dan jorok pula. Maka, meski masih membutuhkan pembuktian, namun ada hipotesis awal mengenai adanya korelasi antara budaya memperlakukan uang dengan kepribadian bangsa yang jorok seperti sampah yang berserakan, toilet-toilet yang bau dan kotor, taman-taman dan gedung yang tidak terpelihara, bahkan fasilitas umum yang terbengkalai dan menjadi pemandangan tidak sedap dalam wajah perkotaan kita.

Dengan demikian, upaya memuliakan Rupiah sesungguhnya bukan hanya refleksi penghormatan terhadap simbol negara semata, namun juga sebuah transformasi budaya secara bertahap dimulai dari hal-hal kecil. Sulit rasanya membangun sistem disiplin nasional, etos kerja produktif dan kompetitif, semangat berbagi dan toleransi antar berbagai perbedaan, ataupun tradisi yang bebas korupsi, jika uang kertas yang notabene adalah milik kita sendiripun tidak kita perlakukan dengan layak dan terhormat.

Yang menjadi catatan saya, “transformasi Rupiah” harus dilakukan secara inovatif. Penukaran setahun sekali setiap lebaran atau kampanye layanan masyarakat saja tidaklah cukup. Pemerintah (Bank Indonesia) harus memiliki komitmen bulat untuk mewujudkannya, bukan sekedar retorika yang menghabiskan biaya besar untuk biaya advertorial. Kesan saya, upaya memperbaharui wajah Rupiah masing setengah-setengah dan sepenggal-penggal. Kesan ini langsung muncul ketika saya menarik uang dari ATM (kebetulan saat itu BCA dan BRI), yang keluar adalah uang-uang lusuh, kotor, kumal, penuh noda, dan menjijikkan. Saya langsung bertanya dalam hati: “apa gunanya Bank Indonesia menyediakan triliunan rupiah uang-uang baru, dan menyediakan counter penukaran di berbagai bank, jika mereka pada saat yang sama juga menyebarkan uang-uang lusuh di seluruh ATM? Saya sempat berseloroh bahwa Bank Indonesia seolah menebar banyak obat namun pada saat yang sama juga menebar banyak racun. Sebuah langkah yang teramat sia-sia. Kesia-siaan ini terlihat dari berulangnya fenomena antrian di bank-bank pada musim lebaran hanya untuk menukar uang baru. Apakah hal ini yang ingin dipertahankan Bank Indonesia sebagai ritual tahunan?

Inilah yang saya anggap sebuah langkah tidak cerdas dan tidak inovatif. Sebenarnya, Bank Indonesia tidak perlu menyediakan uang baru setiap lebaran, dan bank-bank pun tidak perlu membuat counter khusus penukaran uang, jika ATM hanya berisi uang baru. Apabila pilihan ini yang diambil, saya yakin kualitas uang kertas yang beredar di Indonesia akan sangat jauh berbeda dibanding yang ada saat ini.

Kasus ini memberi pelajaran pada kita bahwa inovasi merupakan suatu hal yang amat diperlukan dalam sebuah kebijakan. Kebijakan yang tidak inovatif, cenderung menghasilkan aksi pengulangan (repetisi) yang tidak pernah menyelesaikan masalah fundamentalnya. Kebijakan yang tidak inovatif juga cenderung menghamburkan banyak biaya yang tidak banyak membawa manfaat.

Sayangnya, kebijakan yang tidak inovatif juga terjadi di berbagai sektor atau bidang pembangunan lain. Pada kesempatan lain saya akan menulis tentang fenomena tidak inovatifnya penanganan lalu lintas. Wait and see ya, don’t miss itJ


Jakarta, 19 Agustus 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar