Laman

Senin, 19 Agustus 2013

Menulis itu Seperti BAB


Ide ini muncul saat saya sedang menulis artikel ringan di dalam perjalanan ke kantor dengan bis Trans BSD. Pada saat yang sama, tiba-tiba saya merasakan ingin BAB (buang air besar) alian beol alias ee.

Saya merasakan, betapa tersiksanya kita ketika ingin BAB namun berada pada tempat yang tidak tepat. Rasanya ingin segera sampai di tujuan dan segera jongkok untuk menuntaskan hajat. Hati bergemuruh, pikiran tidak tenang, dan bahasa ubuh kita-pun kacau. Dengan sekuat tenaga kita menahan agar kotoran dalam tubuh kita tidak keluar di sembarang tempat, bahkan sekedar angin busuk-pun kita coba tahan sekuat mungkin agar tidak keluar dan mencemari udara yang ber-AC. Tapi apa yang terjadi setelah selesai BAB? Rasanya plooong … nikmaaat, seolah kita baru terbebas dari beban berat yang menggelayuti pundak kita. Urat saraf dan otot-otot kendur kembali, rileks seolah kita habis menikmati suasana desa yang tenang, sejuk, dan damai. Pikiran menjadi tenang, emosi terkendali, dan hidup seolah menjadi normal kembali. Begitu luar biasanya efek sebuah aktivitas “jorok” bernama BAB.

Nah, situasi yang sama juga kita hadapi saat ada ide yang menumpuk dalam otak kita menunggu penyaluran. Ide yang belum tertuang dalam tulisan akan terus “memberontak” dan “meloncat-loncat” dalam otak, yang membuat kita sulit tidur. Ide yang masih liar itu juga menyita energi besar untuk terus mengingat agar tidak hilang sewaktu-waktu. Itulah sebabnya Sayidina Ali bin Abi Thalib pernah memerintahkan untuk mengikat ilmu dengan cara menuliskannya. Artinya, ide yang tidak tertulis tidak akan pernah menjadi ilmu. Kehilangan ide sendiri merupakan sebuah kehilangan yang tidak ternilai harganya. Saya sering mengatakan kepada teman-teman bahwa ide original yang dimiliki seseorang adalah bentuk hidayah Tuhan YMK. Karena sifat ke-Maha Adil-an NYA, maka setiap orang akan mendapat ide (baca: hidayah) yang berbeda-beda. Maka, hanya orang bodoh dan tidak bersyukurlah yang tega menyia-nyiakan ide tadi.

Namun … ketika sebuah tulisan selesai, bagaimanapun kualitasnya, rasanya kita mendapat windfall atau rejeki nomplok yang begitu besar. Harta kekayaan kita terasa bertambah, karena memang ilmu hakekatnya adalah harta yang jauh lebih bermakna dibanding uang atau wujud materi lainnya. Ilmu adalah ilmu yang tidak pernah habis meski dibagi berkali-kali, justru akan semakin berlipat ganda. Bahkan ilmu yang dibagi juga akan mendatangkan pahala bagi pemiliknya dan bagi yang membagikannya.

Saat-saat sebuah tulisan mencapai huruf-huruf terakhirnya, saat itulah badan terasa semakin ringan, jiwa terasa melayang, rasa capek dan ngantuk menghilang, dan dunia terasa terang, dan hidup seakan mudah. Bayangkan efek seperti itu jika terus terulang, saya yakin akan menjadi obat mujarab atas segala penyakit fisik dan mental. Sebagaimana BAB yang merupakan mekanisme detoksifikasi zat-zat beracun dalam tubuh, tulisan juga mengeliminasi zat-zat yang membebani pikiran. Selain itu, saya juga sering mengatakan kepada teman-teman bahwa menulis itu adalah bentuk aktualisasi diri seseorang. Semakin banyak tulisan yang kita hasilkan, akan semakin kuat aktualisasi dan rasa percaya diri seseorang.

Maka … rutinlah BAB dan sering-seringlah menulis, karena ini sehat untuk jiwa dan raga kita semua. Percayalah!


Jakarta, 19 Agustus 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar