Laman

Jumat, 23 Agustus 2013

Open Recruitment (Lelang Jabatan)

Di era reformasi birokrasi (RB) saat ini, open recruitment atau dikenal juga dengan istilah open bidding atau lebih populer disebut lelang jabatan, menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari reformasi birokrasi itu sendiri. Artinya, lembaga pemerintah yang tidak mau menerapkan open recruitment dalam pengisian jabatan di lembaganya, akan mendapat belum menerapkan reformasi dengan sepenuh hati.

Secara konseptual, tujuan dilakukannya open recruitment cukup baik, yakni untuk menyeleksi dan mendapatkan kader terbaik dan paling kompeten (mampu, pintar, dan berperilaku terpuji) diantara kandidat yang ada. Dengan memilih dan menempatkan kader terbaik dan paling kompeten, diharapkan kinerja organisasi akan meningkat secara signifikan. Selain itu, open recruitment juga merupakan mekanisme yang cukup mujarab untuk menangkis maraknya politisasi dalam pengisian jabatan selama ini. Program inipun terbukti mampu meningkatkan iklim persaingan yang sehat antar pegawai, yang menjadi landasan budaya kinerja unggul dalam sebuah organisasi. Artinya, tidak mungkin tercipta kinerja prima tanpa adanya sistem kompetisi yang fair dalam organisasi, dan itu mampu dibangun oleh pola baru ini.

Namun, tidak ada yang sempurna di dunia ini, demikian halnya program RB khususnya open recruitment, tetap ada ruang-ruang yang membutuhkan perhatian dan penyempurnaan. Tantangan utama dari seleksi jabatan secara terbuka ini adalah konsistensi dan komitmen untuk berpegang teguh pada filosofi dan tujuan dasar dari program ini. Saat ini, mulai banyak sinisme dan apriori di kalangan PNS yang menilai open recruitment hanya sekedar lips service untuk pencitraan institusi atau pejabat tertentu belaka. Open recruitment menjadi dalih yang ampuh untuk menunjukkan bahwa mereka sudah mengimplemenatsikan reformasi, meski secara esensial dan substansial belum terbukti. Sinisme ini muncul juga bukan tanpa sebab. Beberapa kali saya ngobrol dengan para pegawai yang pernah mengikuti open bidding dan mendengar kesaksian mereka bahwa program tersebut hanya permainan belaka. Salah satu argumentasi yang dikemukakan, toh yang akhirnya terpilih dan dilantik mayoritas adalah pegawai dari internal organisasi yang melakukan open bidding tersebut. Selain itu, cukup sering terjadi seseorang yang mengikuti seleksi untuk jabatan A justru diangkat pada jabatan B. Bahkan ada pula pejabat yang tidak mengikuti open bidding justru diangkat pada jabatan tertentu meski ada orang lain yang melamar untuk jabatan tersebut. Salah seorang tema saya yang pernah sama-sama mengikuti Diklat juga bercerita bahwa dia sudah 3 (tiga) kali masuk 3 (tiga) besar dalam seleksi jabatan di 3 (tiga) instansi yang berbeda. Di salah satu instansi tersebut, yang nota bene adalah instansi yang sangat disegani, pejabat yang akhirnya dilantik justru tidak menempuh proses seleksi sejak awal.

Kasus-kasus seperti itulah yang seringkali merusak citra program secara mendasar. Maka, komitmen dan konsistensi dari instansi dan pejabat yang bertanggungjawab dalam perumsuan kebijakan open recruitment dan implementasinya, menjadi pertaruhan besar untuk kelanjutan dan keberhasilan program ini diwaktu-waktu selanjutnya. Belum lagi soal dugaan tidak transparannya penilaian, buruknya komunikasi instansi penyelenggara open recruitment dengan pelamar, dan sebagainya. Salah seorang sahabat saya yang pernah mengikuti program ini sangat optimis mampu terpilih menjadi yang terbaik. Dia masih menunggu hasil ujian/seleksi dan menantikan apa yang harus dilakukan pada tahap berikutnya. Namun yang terjadi, sekonyong-konyong dia mendengar kabar bahwa telah dilantik kompetitornya, tanpa ada pengumuman hasil sama sekali.

Disamping soal integritas (komitmen dan konsistensi), keberhasilan open recruitment juga tergantung dari transformasi kultural dalam birokrasi. Sebab, hal ini sangat berkaitan dengan faktor budaya. Sebagai contoh, bagi banyak orang termasuk saya pribadi, “melamar” jabatan adalah sesuatu yang tabu dan merupakan pantangan besar untuk dilakukan. Melamar pekerjaan (sebagai PNS misalnya) adalah sebuah keniscayaan. Namun melamar jabatan sangat tidak sesuai dengan nilai-nilai sosial dan agama. Dalam sebuah hadits dikatakan: “jangan kau beri jabatan kepada yang meminta”. Sementara program open recruitment justru seolah-olah mendorong PNS untuk “meminta” jabatan sesuai keinginan dan pilihannya. Agar cultural barrier ini bisa diminimalisir, saya mengusulkan agar PNS yang akan mengikuti open recruitment diberikan legalitas administratif berupa surat penugasan untuk mengikuti open recruitment. Artinya, dia ikut dalam kompetisi jabatan bukan karena ambisi pribadinya, namun semata-mata menjalankan tugas organisasi. Dengan demikian, program ini diharapkan tetap berlagsung tanpa menimbulkan kecanggungan budaya bagi para pesertanya.

Hambatan kultural lain yang dapat muncul dan menjadi faktor pengganggu adalah belum terbiasanya masyarakat kita (termasuk pada PNS) menerima kekalahan dalam sebuah kompetisi non olahraga atau kesenian. “Kekalahan” dalam open recruitment bisa saja dimaknai sebagai legitimasi terhadap inkompetensi yang menurunkan kredibilitas diri. Itulah sebabnya, ada kader-kader berbobot yang enggan mengikuti seleksi terbuka seperti ini. Mereka bukan ragu dengan kapasitasnya, namun lebih pada rasa khawatir jika tidak terpilih dan menimbulkan kesan orang lain bahwa dia tidak cukup kompeten menduduki jabatan. Kader-kader bermutu ini memilih untuk tidak ikut karena belum sepenuhnya yakin dan percaya terhadap obyektivitas dan kredibilitas program open recruitment.

Hambatan kultural seperti ini diperparah lagi dengan tidak adanya budaya apresiasi dalam masyarakat kita. Yang lebih banyak berkembang adalah egoisme dengan merasa lebih baik dari pada orang lain, serba curiga dan memandang remeh orang lain, dan kurang berpikir positif terhadap orang lain yang lebih muda, yang berpendidikan atau berpangkat lebih rendah, yang berasal dari luar habitatnya, dan seterusnya. Akibatnya, ada kecenderungan distrust terhadap peserta open recruitment dari luar organisasi. Situasi seperti ini pada dasarnya hanyalah menunjukkan adanya keengganan untuk berubah (resistance to change), dan inipun dapat menjadi faktor yang menyulitkan perubahan dalam tubuh birokrasi.

Sementara itu, secara institusional juga ada potensi penghambat program ini. Hingga saat ini belum ada kebijakan yang mengatur secara lengkap kewajiban instansi pemerintah menerapkan open recruitment, kecuali hanya setingkat Surat Edaran Menpan dan RB. Belum ada Kejelasan apakah seluruh jabatan harus diisi dengan mekanisme ini, atau boleh secara selektif. Jika boleh, berapa persen dari jumlah seluruh jabatan yang ada yang dapat tidak memberlakukan sistem ini. Pengaturan hal ini penting menurut saya. Sebab, organisasi manapun pada dasarnya telah melakukan proses pengkaderan dan pengembangan kompetensi secara alamiah bagi para pegawainya. Maka, akan aneh jika jabatan-jabatan yang ada pada organisasi tertentu justru banyak diisi oleh kader dari luar organisasi tersebut, yang justru tidak memiliki pengalaman jabatan (career path) pada organisasi baru yang dimasukinya. Itulah sebabnya, semakin banyak jabatan yang diisi oleh orang luar hanya menandakan kegagalan kaderisasi dan pembinaan prestasi pada organisasi tersebut. Namun tentu saja, argumen seperti ini tidak boleh dijadikan sebagai pembenar untuk menutup diri dari masuknya orang-orang hebat dari luar lingkungannya.

Hal lain yang juga perlu diperhatikan dari aspek institusional adalah berkurangnya kewenangan Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) dalam penempatan/pengangkatan pejabat. Dengan mekanisme open recruitment, Panitia Seleksi (Pansel) akan menyodorkan 3 (tiga) nama untuk dipertimbangkan dan dipilih oleh pejabat yang berwenang. Nah, disinilah terjadi sedikit dilema. Jika PPK menerima apa adanya rekomendasi Pansel, seolah-olah keputusannya telah terdahului oleh Pansel. Sebaliknya, jika PPK tidak memperhatikan dengan seksama rekomendasi, seolah ia bertindak otoriter, tidak menghargai kerja Pansel, dan membawa subyektivitasnya, serta mengabaikan proses yang lebih terbuka dan terukur. Rumitnya, tidak ada jaminan bahwa ketiga kandidat yang ditawarkan Pansel adalah mereka yang memiliki chemistry yang sesuai dengan PPK, dan belum tentu dapat bekerjasama dengan baik.

Untuk meminimalisir hambatan institusional tadi, ada baiknya open recruitment dilakukan setelah sebuah instansi pemerintah memiliki peta kompetensi. Peta tersebut menggambarkan kebutuhan kompetensi yang harus dipenuhi, serta ketersediaan (sufficiency) dan ketiadaan (deficiency) kompetensi di dalam organisasi yang bersangkutan. Dalam keadaan terpenuhi (sufficient), maka tidak perlu dilakukan open recruitment, cukup penunjukan dan pengangkatan dari kader internal. Sebaliknya jika berada dalam keadaan kekurangan (deficient) kompetensi, maka baru dibuka seleksi dengan melibatkan kader eksternal.

Satu lagi yang harus dipikirkan adalah paska open recruitment. Ada selentingan pemikiran bahwa karena mereka sudah terbukti lulus dari seleksi terbuka dan telah dilantik, maka mereka memiliki justifikasi untuk duduk pada jabatan selama mungkin. Logika yang mereka pakai adalah, apakah logis seseorang diganti sementara dia sudah lolos dan lulus dari uji kompetensi bernama open recruitment? Selain itu, karena mereka sudah dianggap kompeten (tidak ada lagi gap kompetensi), apakah berarti mereka tidak lagi memerlukan capacity building? Jika perlu, model capacity building seperti apa yang harus diberikan, mengingat selama ini capacity building (termasuk Diklat) diberikan untuk menutup gap kompetensi. Bagaimana pula penilaian kinerja yang harus diterapkan untuk pejabat yang duduk dari hasil seleksi terbuka, apakah sama dengan pejabat lain yang duduk dari hasil seleksi terbatas di Baperjakat?

Terlepas dari berbagai kerumitan diatas, mungkin perlu pula dicari landasan teoretik konseptual dan paradigmatic dari open recruitment ini. Jika mengikuti birokrasi Weberian yang hirarkhis, nampaknya birokrasi kita saat ini sudah mulai berubah menjadi heterarkhis, sehingga pengisian jabatan tidak hanya diisi secara natural dari jalur dibawahnya secara berjenjang. Dengan perubahan struktur hirarkhis menjadi heterarkhis tadi, maka, birokrasi kitapun telah berubah dari model piramidal menjadi prisma, atau bahkan bentuk tak beraturan. Ini saya kira akan menjadi PR bagi kalangan akademisi untuk memberi nama model birokrasi yang heterarkhis dan tidak beraturan …


Jakarta, 23 Agustus 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar