Laman

Minggu, 08 September 2013

Nasib Manusia Non-VIP

Hari Minggu, 8 September 2013, kemaren saya mendapat undangan resepsi pernikahan anak seorang mantan pejabat tinggi negara. Karena baru pertama kali saya datang ke tempat ini, yakni di Pendopo Kemang, maka tidak terbayang sama sekali bahwa gedung pertemuan ini sangat tidak representatif karena tidak memiliki fasilitas parkir yang layak. Saya coba hitung selintas, kapasitas parkir gedung ini mungkin tidak lebih dari 15 mobil saja, itupun sudah ditata sedemikian rupa sehingga mobil yang satu sangat berdekatan dengan mobil lainnya. Mau tidak mau, pengunjung harus parkir di jalan raya berjarak 100-200 meter yang sudah sangat macet, dan sudah pasti situasi ini membuat jalanan semakin semrawut.

Sebenarnya, saya merasa beruntung bahwa diantara ratusan kendaraan yang kesulitan mencari parkir di jalan raya, saya justru bisa masuk ke gedung tadi, bahkan saya melihat ada slot kosong diantara sempitnya lahan. Saya langsung memarkir dan bersiap turun menuju tempat resepsi. Namun sekonyong-koyong beberapa orang yang nampaknya adalah petugas security mendekati saya dan mengatakan bahwa itu adalah slot parkir VIP, yang hanya diperuntukkan bagi orang-orang penting. Melihat penampilan saya dan mobil yang saya pakai, Toyota Rush 2010, terlihat nyata bahwa para petugas tadi menganggap saya bukan manusia VIP yang berhak mendapat privilege parkir di tempat itu. Meskipun sudah saya katakana bahwa saya hanya akan menulis di buku tamu, bersalaman, dan terus pulang, tetap saja petugas tadi mempersilahkan saya parkir di jalan umum. Kasarnya, saya “diusir” meskipun saya adalah tamu yang diundang.

Sebenarnya lagi, petugas tadi menawari saya untuk parkir valet. Itu pilihan yang cukup baik, namun pada situasi saat ini, saya tidak mungkin menerimanya, mengingat di dalam mobil ada anak-anak saya yang sedang tidur, sehingga terlalu mustahil memberikan kunci mobil ke petugas dan meninggalkan anak istri di dalam mobil. Maka, setelah “diusir” dan tidak mungkin memakai jasa valet, hanya tinggal satu pilihan yang saya miliki, yakni meninggalkan tempat tersebut, alias pulang!

Yang tersisa kemudian adalah pertanyaan dan kegundahan dalam hati bahwa tanpa kita sadari, bangsa ini melanggenggkan praktek diskriminasi sosial dalam praktek kehidupan sehari-hari. Apa sebenarnya kriteria VIP, dan mengapa harus membedakan perlakuan bagi manusia VIP dan bagi non-VIP? Saya berani bertaruh bahwa status VIP tadi terkait dengan jabatan, kekayaan, dan popularitas seseorang. Para pejabat tinggi, atau para pengusaha kaya yang datang dengan mobil mewah, atau para selebriti yang terkenal, pasti akan disambut dengan rasa hormat yang kadang berlebihan, atau dengan kekaguman yang kadang juga berlebihan. Bagi manusia-manusia seperti itu, segala sesuatu seolah layak didapatkan. Sampai urusan sepele seperti parkir-pun, mereka selalu diprioritaskan. Bagi manusia VIP tadi, parkir di pinggir jalan seolah pantangan, berjalan 100-200 meter dibawah terik matahari laksana sebuah kehinaan, datang sendiri tanpa sopir dan pengawal ibarat pelecehan.

Menurut saya, situasi tadi mencerminkan sebuah problem kultural yang kompleks dalam masyarakat kita. Tanpa kita sadari, entah siapa yang menciptakan dan sejak kapan tercipta, dalam masyarakat kita telah terjadi sebuah perangkap besar yang membuat adanya pembelahan, dikotomi, atau kastanisasi dalam struktur sosial. Masyarakat dibelah berdasarkan jabatan dan kepangkatannya, kekayaannya, serta popularitasnya. Akibatnya, dalam alam modern dan demokrasi yang cenderung liberal saat ini, masih saja ada split society (masyarakat yang terbelah), yang nampak dari penggolongan VIP-non VIP. VIP-non VIP ini adalah wajah baru dari sistem tradisional yang feudal tentang patron-client, priyayi-wong cilik, ndoro-batur, kawula-gusti, dan sejenisnya.

Perlakuan khusus bagi orang-orang tertentu sesungguhnya bukan persoalan sepanjang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Dalam hal ini, pejabat negara setingkat presiden dan menteri, ambulan, polisi, tamu kenegaraan, memang harus diberi keistimewaan karena memang istimewa. Namun jika keistimewaan diberikan dalam hubungan sosial biasa, serta tidak memiliki landasan kebijakan yang sah, maka jelas hal seperti ini sangat tidak dibenarkan, minimal bagi saya pribadi.

Dalam konsep split society tadi, untuk mendapatkan kehormatan dan pelayanan yang baik, seolah hanya ada tiga faktor modal yang harus dimiliki seseorang, yakni jabatan tinggi, kekayaan, dan popularitas. Tanpa memiliki salah satu diantaranya, bersiaplah menjadi “manusia biasa”, untuk tidak menyebutkan sebagai kelompok masyarakat terpinggirkan (marginalized people). Situasi ini semakin rumit karena kedua kelompok dalam masyarakat tadi memandang perlakuan diskriminatif sebagai sebuah kelaziman dan bukan sesuatu yang perlu dipermasalahkan. Inilah problem kultual kita yang kedua, disamping fakta adanya diskriminasi sosial itu sendiri. Ini adalah sebuah mental model yang menyulitkan upaya membangun masyarakat yang egaliter, serta demokrasi dan pelayanan publik yang inklusif. Artinya, mental model yang mengizinkan diskriminasi dalam masyarakat, akan menyebabkan demokrasi dan pelayanan publik yang hanya dirasakan dan dikuasai oleh golongan elit atau VIP belaka. Jika demikian, maka sulitlah kiranya reformasi mencapai tujuannya.

Untuk itu, mulai saat ini alangkah baiknya kita memberi perhatian terhadap hal-hal kecil di sekitar kita yang memiliki dampak besar. Secara perlahan-lahan, setiap insan dalam masyarakat harus ikhlas dan legawa untuk menerima perlakuan yang seimbang (equal treatment) dan menghilangkan ego-ego jabatan dan kekayaan yang menjadi racun dalam sebuah relasi sosial. Marilah dari hal-hal kecil kita bangun kebesaran. Janganlah membenarkan kebiasaan yang seringkali bertentangan dengan tata nilai dalam masyarakat, namun biasakanlah sebuah kebenaran meski awalnya sangat sulit. Saya bermimpi, 10 tahun mendatang tidak ada lagi manusia non-VIP yang bernasib seperti yang saya alami kemaren …


Jakarta, 9 September 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar