Hari Jum’at,
24 Januari 2014 lalu saya mengalami persitiwa yang sangat melelahkan.
Perjalanan Jakarta-Bandung yang normalnya hanya perlu tiga jam, harus saya
tempuh hingga 10 jam lebih gara-gara ruas tol Cipularang Km. 72 ambles. Berangkat
dari kantor menjelang jam 15 sore, baru masuk Bandung jam 01 lebih dini hari. Arus
lalu lintas terpaksa dialihkan kearah Cikampek, yang dulu menjadi jalur utama
sebelum adanya tol Cipularang.
Disinilah terbersit pemikiran dalam benak saya
bahwa ternyata pembangunan tol Cipularang itu adalah sebuah inovasi besar karya
anak bangsa. Bayangkan saja, waktu tempuh Jakarta-Bandung selama 3 jam yang
selama ini kita anggap normal itu, sesungguhnya adalah waktu yang sangat cepat.
Buktinya, ketika ada masalah dengan jalan tol ini dan arus lalu lintas
dikembalikan ke jalur sebelumnya, waktu yang dibutuhkan menjadi 10 jam lebih.
Artinya, jalan tol ini mampu memperpendek waktu tempuh sebanyak 7 jam untuk
setiap kendaraan. Jika waktu tempuh 7 jam itu membutuhkan bahan bakar 10 liter
saja, dan harga per liter Premium Rp. 6.500, maka setiap kendaraan harus
mengeluarkan biaya ekstra sebesar Rp. 65.000. Dan jika dalam 1 hari ada 1 juta
mobil melintas jalur Cipularang-Cikampek kearah Bandung, berarti ada butuh dana
total Rp. 65 milyar. Inilah sebuah kerugian besar bangsa Indoensia yang dapat
dicegah dengan adanya inovasi bernama Tol Cipularang.
Selain itu, Tol Cipularang juga dapat
dikatakan sebagai sebuah inovasi karena mampu berpikir jitu tentang potensi
masalah yang muncul di masa depan, kemudian memberi solusi yang jitu pula. Pada
saat diresmikan tahun 2005, Tol Cipularang sebenarnya belum terlalu dibutuhkan
oleh pengguna jalan. Dengan alternatif melalui Puncak atau Purwakarta,
perjalanan Bandung-Jakarta dan sebaliknya masih dapat ditempuh dengan waktu
kurang lebih 4 jam. Namun dalam waktu tidak sampai 10 tahun (awal 2014 sekarang
ini), tidak dapat terbayangkan bagaimana kapasitas atau daya dukung (carrying
capacity) kedua jalur ini. Tanpa adanya Cipularang, sangat boleh jadi akan
terjadi kelumpuhan di kedua arus utama ini, yang pada gilirannya mengakibatkan
hubungan bisnis, sosial, maupun urusan pemerintahan pada koridor
Bandung-Jakarta terhambat. Ini berarti pula bahwa Cipularang mampu menciptakan
efisiensi di berbagai bidang secara nasional. Tanpa adanya Cipularang, boleh
jadi pula produsen dan distributor kendaraan roda empat atau lebih tidak dapat
meraup profit sebesar saat ini. Dan yang lebih serius lagi, tanpa
Cipularang boleh jadi Jakarta sudah menjadi kota yang sangat tidak layak untuk
aktivitas kemanusiaan, mengingat Bandung dan Bodetabek adalah daerah penyangga
(hinterland) ibukota. Ketidakmampuan daerah penyangga untuk turut
mengurangi beban ibukota akan menyebabkan ibukota tadi lumpuh dan kehilangan
segenap energinya.
Meskipun demikian, inovasi bernama jalan tol
ternyata juga tidak lepas dari kelemahan mendasar. Saat terjadi ambles di Km 72
ruas Cipularang tadi, tidak ada tindakan kontingensi yang dapat meminimalisir
dampak buruknya. Pengelola jalan tol seperti gagap dan kehilangan akal dalam mengatasi
situasi. Satu-satunya pilihan hanyalah memindahkan arus ke Cikampek. Saking
gagapnya, tidak ada satupun petugas Kepolisian maupun PR. Jasa Marga yang turut
mengatur jalur yang sedemikian parah kemacetannya. Kesan pembiaranpun tidak
dapat terelakkan. Saya lantas berandai-andai: jika saya adalah Direktur Utama
PT. Jasa Marga, dalam situasi seperti itu saya akan gratiskan pembayaran tol,
sekaligus perintahkan seluruh staf untuk turut mengatur lalu lintas agar tidak
semakin semerawut. Saya akan kerahkan petugas untuk menghimbau para pengguna
jalan untuk sabar, untuk tidak membuang sampah di jalan tol, serta memberi
berbagai informasi yang dibutuhkan para pengendara.
Anehnya, penerapan contra-flow sebagai
model pengurangan kemacetan yang sudah lazim di ruas tol dalam kota Jakarta,
ternyata baru bisa dilakukan sehari sebelumnya, seolah cara yang amat mudah ini
harus dibahas dan diputuskan dalam sebuah rapat panjang. Keberadaan jalan tol
juga terkesan meninabobokan otoritas yang menangani infrastruktur darat,
sehingga tidak ada lagi upaya memperbaiki infrastruktur non-tol (arteri). Pandangan
visioner yang dulu melatarbelakangi pembangunan Cipularang, seperti hilang
begitu saja, sehingga tidak nampak ada kebijakan antisipatif tentang berbagai
kemungkinan terburuk dimasa depan. Kasus amblesnya ruas di Km 72 kemaren adalah
bukti paling valid ketiadaan antisipasi yang memadai dari pihak terkait, baik
PT, Jasa Marga, Kementerian PU, maupun Kementerian Perhubungan.
Kasus diatas memberi ilustrasi bahwa inovasi
saja tidaklah cukup. Inovasi perlu dipelihara dan dikembangkan terus-menerus;
sebuah inovasi tidak boleh menghentikan inovasi lainnya. Satu inovasi tidak
mungkin mungkin mampu menyelesaikan masalah pada waktu-waktu yang berbeda.
Sebagai contoh, meski pembangunan jalan tol adalah sebuah inovasi, namun untuk
kasus Jakarta saat ini, pembangunan tol dalam kota justru akan semakin memacu
kemacetan, bukannya mengurai kemacetan. Jakarta membutuhkan inovasi yang lain.
Permasalahan yang berbeda dalam konteks yang berbeda, tentu saja memerlukan
inovasi yang berbeda pula. Dalam konteks Jakarta saat ini, pembangunan sub-way
sebagai bagian dari MRT adalah sebuah inovasi. Namun 50 tahun mendatang,
boleh jadi pembangunan sub-way harus ditinggalkan dan dicari
inovasi-inovasi lain yang lebih baik dan lebih tepat.
Itulah karakter inovasi. Karena inti inovasi
adalah perubahan yang lebih baik dan memberi solusi kreatif yang bermanfaat,
maka ia tidak mau diberi sifat konstan dan stagnan. Inovasi ingin terus
berubah, berkembang, dan berinovasi tiada henti. Itulah DNA inovasi, dalam
bidang apapun!
Ditengah kemacetan tol Tangerang-Jakarta Km 07
Jakarta, 29 Januari 2014