Laman

Rabu, 29 Januari 2014

Ketika Satu Inovasi Saja Belum Cukup ...


Hari Jum’at, 24 Januari 2014 lalu saya mengalami persitiwa yang sangat melelahkan. Perjalanan Jakarta-Bandung yang normalnya hanya perlu tiga jam, harus saya tempuh hingga 10 jam lebih gara-gara ruas tol Cipularang Km. 72 ambles. Berangkat dari kantor menjelang jam 15 sore, baru masuk Bandung jam 01 lebih dini hari. Arus lalu lintas terpaksa dialihkan kearah Cikampek, yang dulu menjadi jalur utama sebelum adanya tol Cipularang.
 
Disinilah terbersit pemikiran dalam benak saya bahwa ternyata pembangunan tol Cipularang itu adalah sebuah inovasi besar karya anak bangsa. Bayangkan saja, waktu tempuh Jakarta-Bandung selama 3 jam yang selama ini kita anggap normal itu, sesungguhnya adalah waktu yang sangat cepat. Buktinya, ketika ada masalah dengan jalan tol ini dan arus lalu lintas dikembalikan ke jalur sebelumnya, waktu yang dibutuhkan menjadi 10 jam lebih. Artinya, jalan tol ini mampu memperpendek waktu tempuh sebanyak 7 jam untuk setiap kendaraan. Jika waktu tempuh 7 jam itu membutuhkan bahan bakar 10 liter saja, dan harga per liter Premium Rp. 6.500, maka setiap kendaraan harus mengeluarkan biaya ekstra sebesar Rp. 65.000. Dan jika dalam 1 hari ada 1 juta mobil melintas jalur Cipularang-Cikampek kearah Bandung, berarti ada butuh dana total Rp. 65 milyar. Inilah sebuah kerugian besar bangsa Indoensia yang dapat dicegah dengan adanya inovasi bernama Tol Cipularang.
 
Selain itu, Tol Cipularang juga dapat dikatakan sebagai sebuah inovasi karena mampu berpikir jitu tentang potensi masalah yang muncul di masa depan, kemudian memberi solusi yang jitu pula. Pada saat diresmikan tahun 2005, Tol Cipularang sebenarnya belum terlalu dibutuhkan oleh pengguna jalan. Dengan alternatif melalui Puncak atau Purwakarta, perjalanan Bandung-Jakarta dan sebaliknya masih dapat ditempuh dengan waktu kurang lebih 4 jam. Namun dalam waktu tidak sampai 10 tahun (awal 2014 sekarang ini), tidak dapat terbayangkan bagaimana kapasitas atau daya dukung (carrying capacity) kedua jalur ini. Tanpa adanya Cipularang, sangat boleh jadi akan terjadi kelumpuhan di kedua arus utama ini, yang pada gilirannya mengakibatkan hubungan bisnis, sosial, maupun urusan pemerintahan pada koridor Bandung-Jakarta terhambat. Ini berarti pula bahwa Cipularang mampu menciptakan efisiensi di berbagai bidang secara nasional. Tanpa adanya Cipularang, boleh jadi pula produsen dan distributor kendaraan roda empat atau lebih tidak dapat meraup profit sebesar saat ini. Dan yang lebih serius lagi, tanpa Cipularang boleh jadi Jakarta sudah menjadi kota yang sangat tidak layak untuk aktivitas kemanusiaan, mengingat Bandung dan Bodetabek adalah daerah penyangga (hinterland) ibukota. Ketidakmampuan daerah penyangga untuk turut mengurangi beban ibukota akan menyebabkan ibukota tadi lumpuh dan kehilangan segenap energinya.
 
Meskipun demikian, inovasi bernama jalan tol ternyata juga tidak lepas dari kelemahan mendasar. Saat terjadi ambles di Km 72 ruas Cipularang tadi, tidak ada tindakan kontingensi yang dapat meminimalisir dampak buruknya. Pengelola jalan tol seperti gagap dan kehilangan akal dalam mengatasi situasi. Satu-satunya pilihan hanyalah memindahkan arus ke Cikampek. Saking gagapnya, tidak ada satupun petugas Kepolisian maupun PR. Jasa Marga yang turut mengatur jalur yang sedemikian parah kemacetannya. Kesan pembiaranpun tidak dapat terelakkan. Saya lantas berandai-andai: jika saya adalah Direktur Utama PT. Jasa Marga, dalam situasi seperti itu saya akan gratiskan pembayaran tol, sekaligus perintahkan seluruh staf untuk turut mengatur lalu lintas agar tidak semakin semerawut. Saya akan kerahkan petugas untuk menghimbau para pengguna jalan untuk sabar, untuk tidak membuang sampah di jalan tol, serta memberi berbagai informasi yang dibutuhkan para pengendara.
 
Anehnya, penerapan contra-flow sebagai model pengurangan kemacetan yang sudah lazim di ruas tol dalam kota Jakarta, ternyata baru bisa dilakukan sehari sebelumnya, seolah cara yang amat mudah ini harus dibahas dan diputuskan dalam sebuah rapat panjang. Keberadaan jalan tol juga terkesan meninabobokan otoritas yang menangani infrastruktur darat, sehingga tidak ada lagi upaya memperbaiki infrastruktur non-tol (arteri). Pandangan visioner yang dulu melatarbelakangi pembangunan Cipularang, seperti hilang begitu saja, sehingga tidak nampak ada kebijakan antisipatif tentang berbagai kemungkinan terburuk dimasa depan. Kasus amblesnya ruas di Km 72 kemaren adalah bukti paling valid ketiadaan antisipasi yang memadai dari pihak terkait, baik PT, Jasa Marga, Kementerian PU, maupun Kementerian Perhubungan.
 
Kasus diatas memberi ilustrasi bahwa inovasi saja tidaklah cukup. Inovasi perlu dipelihara dan dikembangkan terus-menerus; sebuah inovasi tidak boleh menghentikan inovasi lainnya. Satu inovasi tidak mungkin mungkin mampu menyelesaikan masalah pada waktu-waktu yang berbeda. Sebagai contoh, meski pembangunan jalan tol adalah sebuah inovasi, namun untuk kasus Jakarta saat ini, pembangunan tol dalam kota justru akan semakin memacu kemacetan, bukannya mengurai kemacetan. Jakarta membutuhkan inovasi yang lain. Permasalahan yang berbeda dalam konteks yang berbeda, tentu saja memerlukan inovasi yang berbeda pula. Dalam konteks Jakarta saat ini, pembangunan sub-way sebagai bagian dari MRT adalah sebuah inovasi. Namun 50 tahun mendatang, boleh jadi pembangunan sub-way harus ditinggalkan dan dicari inovasi-inovasi lain yang lebih baik dan lebih tepat.
 
Itulah karakter inovasi. Karena inti inovasi adalah perubahan yang lebih baik dan memberi solusi kreatif yang bermanfaat, maka ia tidak mau diberi sifat konstan dan stagnan. Inovasi ingin terus berubah, berkembang, dan berinovasi tiada henti. Itulah DNA inovasi, dalam bidang apapun!
 
Ditengah kemacetan tol Tangerang-Jakarta Km 07
Jakarta, 29 Januari 2014

Untuk Apa Menulis?


Bagi sebagian orang, menulis adalah mata pencaharian yang menghidupi diri dan keluarganya. Saya masih ingat sekitar tahun 2002-2003, honor menulis 1 artikel di kolom opini harian Kompas  adalah Rp. 400 ribu. Itu adalah jumlah yang besar dibanding gaji saya waktu itu yang hanya sedikit diatas Rp. 1 juta. Artinya, 3 kali menulis sudah sama dengan pendapatan 1 bulan sebagai PNS golongan III-c. Bisa dibayangkan seorang penulis buku, opini, kolom, features atau bahkan novel yang produktif, berapa yang bisa dihasilkan dari honorarium maupun royaltinya.  

Sementara bagi yang lainnya, menulis adalah konsekuensi dari profesi yang dipilihnya. Tanpa ada tulisan, maka karirnya bisa terhambat karena kegagalan mengumpulkan angka kredit dari hasil tulisan. Mungkin juga ada yang menjadikan aktivitas menulis sebagai media aktualisasi diri, ingin mempopulerkan namanya lewat publikasi. Namun ada pula yang menulis hanya sekedar hobby, untuk menyalurkan bakatnya atau sekedar untuk menumpahkan curhat melalui sebuah tulisan.  

Nah, diantara berbagai motif tadi, rasanya saya tidak masuk salah satu diantaranya. Saya menulis banyak artikel lepas untuk Blog tidak menghasilkan keuntungan finansial. Tulisan-tulisan ini juga tidak “laku” untuk menunjang angka kredit saya sebagai peneliti. Saya harus menulis sesuatu yang ilmiah untuk bisa meningkatkan angka kredit saya, bukan tulisan-tulisan santai, bebas, bahkan cenderung ngawur. Kalau dipaksakan, mungkin bisa dianggap sebagai hobby atau media curhat. Tapi sejujurnya, saya tidak begitu hobby karena ini saya lakukan kadang dengan “pemaksaan” terhadap diri saya. Saya mencoba mendisiplinkan diri untuk menulis, bukan terdorong oleh hobby secara sukarela. Maka, saya menulis adalah demi menulis itu sendiri. Saya tidak peduli dengan tulisan saya, apakah ada yang baca atau tidak, apakah bermanfaat atau tidak, apakah bermutu atau tidak. Pokoknya, saya harus menuliskan apa yang saya pikirkan. Itu saja, tidak lebih. 

Tapi tunggu dulu! Lahirnya UU No. 5/2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) telah memberi legitimasi bagi saya bahwa menulis itu bermanfaat. Kemanfaatan dari tulisan itu tidak harus bersifat instant dan seketika, namun sangat mungkin baru dirasakan beberapa tahun kemudian. Ini adalah pengalaman pribadi saya. Pada tanggal 3 Agustus 2004, harian Pikiran Rakyat memuat tulisan saya berjudul “Eselonisasi Jabatan: Relevankan?”. Cukup banyak argument yang saja ajukan pada tulisan tersebut, salah satunya saya berendapat bahwa: “untuk mengukur berat ringannya tugas, tanggungjawab, wewenang dan hak dari suatu jabatan, sebenarnya tidak perlu dengan eselonisasi. Karena uraian jabatan dan spesifikasi jabatan pun sudah dapat menggambarkan hal tersebut. Dan suatu jenjang jabatan cukup dikaitkan dengan jenjang kepangkatan ...” 

Nah, ide tentang tidak perlunya lagi eselonisasi itu sekarang sudah menjadi atural legal formal yang diwadahi dalam UU ASN. Maka, tidak ada salahnya saya sedikit berbangga hati bahwa hal itu sudah saya pikirkan 10 tahun yang lalu. Bahwa 10 tahun yang lalu tidak bisa langsung menjadi kebijakan, karena mungkin sekali saya memiliki jangkauan berpikir yang lebih jauh kedepan dibanding para regulator di Senayan. Namun saya begitu yakin saat itu bahwa ide saya suatu ketika akan menjadi kenyataan. Jika saja cara berpikir saya sama dengan para pengambil kebijakan, maka UU ASN itu mestinya sudah berlaku sejak 2004, sehingga bangsa ini tidak kehilangan waktu 10 tahun. 

Rekan peneliti saya juga pernah menghasilkan tulisan yang dianggap “asal omong”, karena menggagas perlunya penyatuan zona waktu WIB, WITA, dan WIT menjadi satu waktu Indonesia. Dengan mengambil analogi pada negara-negara lain termasuk AS yang sangat luas, toch mereka juga hanya memiliki satu zona waktu. Ternyata, “ide gila” itu sekarang sudah menjadi wacana resmi pemerintah untuk memberlakukan sistem waktu zonasi tunggal di Indonesia. Sekali lagi, ide abstrak yang menjadi konkrit ini akan menjadi sebuah kebanggaan bagi pnulisnya, meski tidak ada yang membayar atau memberi tambahan angka kredit. 

Dari pelajaran sederhana diatas, saya menyimpulkan bahwa tulisan yang baik memang tulisan yang berisi ide-ide orisinal yang sedapat mungkin mendahului jamannya. Biarkan saja orang mencibir atau menganggap kita sok pintar, dan sebagainya. Tetaplah menulis, karena menulis itu bisa menjadi sebuah rekonstruksi sejarah masa silam, sekaligus konstruksi sejarah masa depan. Kita bisa memiliki bayangan tentang kerajaan Majapahit sejak dirintis oleh Raden Wijaya hingga masa keemasan dimasa Prabu Hayam Wuruk dengan Maha Patih Gadjah Mada, adalah berkat karya tulis yang sudah menyebar di berbagai toko buku. Bahkan kita bisa mengetahui sejarah para nabi juga karena jasa para penulis sejarah masa silam. Sementara kalau kita lihat sejarah negara-negara Amerika Latin, revolusi di Argentina, Guatemala, atau Kuba, didahului oleh catatan-catatan harian Ernesto Guevara (El Che) yang bersifat provokatif. Artinya, tulisan El Che secara ampiuh telah berhasil melahirkan transformasi sosial di negara-negara tersebut.  

Kita tidak tahu bahwa kita adalah orang yang akan mampu mengubah sejarah melalui tulisan dan ide-ide kita. Maka, teruslah menulis, dengan atau tanpa motif tertentu. Mungkin kita adalah pelaku sejarah hanya karena setitik ide yang kita tuliskan. Saya pribadi akan mencoba menulis untuk menulis (writing for the sake of writing). Kalaupun suatu ketika ada ide saya yang diadopsi menjadi kebijakan dan berlaku sebagai sebuah sistem baru, itu akan saya anggap sebaga “bonus” yang menyenangkan hati dan memuaskan diri saya selaku penulis. 

Jakarta, 29 Januari 2014.

Senin, 27 Januari 2014

Menulis Itu Seperti Busway Trans Jakarta



Saya menyadari salah satu kelemahan saya dalam menulis adalah cukup seringnya saya tidak menuntaskan ide. Tulisan ini adalah satu diantaranya. Bagi saya, sebuah ide yang sudah diniatkan untuk ditulis namun belum juga dilakukan, ibarat selilit yang nyempil diantara gigi kita, terutama setelah makan daging atau sayuran.itulah sebabnya, saya bersihkan otak saya dengan memaksa menuliskan ide sederhana ini. Sambil menunggu anak-anak saya bangun dari tidurnya, dari pada sekedar bengong lebih baik saya manfaatkan waktu secara produktif.

Ide saya ini bermula dari kebiasaan naik bus Trans BSD. Bus ini sering dikatakan sebagai feeder Busway atau Trans Jakarta. Artinya, bus Trans BSD mengambil dan mengantarkan penumpang dari wilayah pinggiran Jakarta, dengan cara membangun interkoneksi dengan halte-halte Trans Jakarta. Penumpang yang turun dari Trans BSD bisa melanjutkan perjalanan dengan Trans Jakarta, begitu pula sebaliknya. Trans Jakarta sendiri terdiri dari 12 koridor besar yang menghubungkan titik awal dan titik akhir, dengan melewati beberapa titik penghubung secara bolak-balik (tound trip). Koridor 1 misalnya, adalah jalur Kota – Blok M, yang lemewati titik-titik pemberhentian di Glodok, Mangga Besar, Sawah Besar, Harmoni, Monas, BI, Sarinah, Budaran HI, Dukuh Atas, Setiabudi, Karet, Benhil, Polda Metro, Gelora BK, Bundaran Enayan, dan Masjid Agung.

Masing-masing koridor sesungguhnya adalah sebuah network atau sub-sistem dalam sistem transportasi Trans Jakarta. Selanjutnya, antara 1 koridor dengan koridor lainnya juga memiliki persinggungan. Sebagai contoh, halte Harmoni tidak hanya dilalui oleh koridor 1, namun juga oleh koridor 2 (Harmoni – Pulo Gadung,), koridor 3 (Kalideres – Pasar Baru), koridor 8 (Lebak Bulus – Harmoni), dan seterusnya. Dengan demikian, dari 12 koridor tadi tidak hanya terbentuk 12 sub-sistem transportasi, tapi juga membentuk sistem besar transportasi Trans Jakarta. Jika dilihat dalam bentuk gambar, maka ke-12 koridor dengan saling keterkaitannya tadi akan membetuk sebuah peta (roadmap). Diluar sistem besar Trans Jakarta tadi, masih ada lagi sub-sub sistem pendukung, yakni ratusan trayek bernama feeder busway, yang salah satunya adalah Trans BSD. Dengan adanya sub-sistem feeder tadi, maka jaringan transportasi bermoda bus menjadi semakin luas dan terintegrasi.

Nah, menulispun menurut saya bisa dianalogikan dengan sistem transportasi bermoda bus tadi. Dalam sebuah karya tulis, seorang penulis tentu memiliki gambaran ide baik yang sudah terstruktur maupun masih acak dan kabur. Maka, untuk memudahkan alur dan logika penulisan, penulis dapat membuat kerangka besar (analog dengan sistem besar transportasi Trans Jakarta), yang mungkin saja tersusun atas beberapa kerangka yang lebih kecil/spesifik (analog dengan koridor busway), yang berisi tentang pokok masalah (analog dengan titik awal/keberangkatan) dan strategi solutifnya (analog dengan titik akhir/kedatangan). Jika penulis tadi dapat menulis dengan tuntas satu saja pokok masalah hingga solusinya, itu pasti akan menjadi sebuah tulisan yang menarik dan mengalir.

Namun jika penulis memiliki kompleksitas gagasan, dimana terdapat cukup banyak permasalahan yang ingin dipecahkan serta banyak alternatif yang bisa dipilih, dan diantara masalah tadi membentuk komplikasi yang rumit, maka penulis harus memiliki kerangka yang lebih luas dan terintegrasi. Dalam hal ini, penulis perlu membuat “roadmap”, atau lebih tepatnya mind-map yang berisi konsep-konsep yang akan dielaborasi dalam tulisan dan hubungan kausalitas antar konsep tersebut. Mind-map ini akan sangat membantu penulis dalam menghasilkan sebuah karya tulis yang logis, sistematis, atau terstruktur. Ini juga bermanfaat misalnya untuk menentukan titik awal penulisan, mengingatkan tentang konsep yang harus dibahas, dan seterusnya. Disamping konsep-konsep utama yang sudah tergambar dalam mind-map, tentu saja seorang penulis dapat memperkaya wawasan melalui feeder dari sumber yang berbeda, pendapat kolega, dan sebagainya. Feeder ini tidak perlu masuk dalam mind-map besar, namun menjadi faktor yang lebih menjelaskan kerangka besar secara lebih utuh dan komprehensif.

Itulah yang saya maksudkan bahwa menulis itu seperti bus Trans Jakarta. Sekarang saatnya saya kembali menunggu anak kembar saya, M. Mizan Abdurrahman dan M. Nizam Abdurrahim, yang masih tertidur lelap, dan menyiapkan susu agar telah tersedia saat keduanya bangun sebentar lagi. Oh, betapa indahnya dunia …

Villa Melati Mas M6-12A, Serpong
Tangerang Selatan, 27 Januari 2014

Minggu, 26 Januari 2014

Banjir: Bencana Administratif?



Akhir-akhir ini Jakarta kembali banjir. Headline Media Indonesia (23/01/2014) secara spesifik melaporkan bahwa seperempat daerah (di Indonesia) tidak memiliki Badan Penanggulangan Bencana. Ini tentu menarik untuk dikritisi, karena seolah-olah dengan adanya badan tersebut bencana lebih mudah ditanggulangi. Reportasi tadi juga seakan-akan membenarkan mitos banyak pihak bahwa adanya suatu masalah selalu menjadi alasan pembenar untuk membuat lembaga baru.

Inilah kesalahan besar dalam manajemen pemerintahan kita. Bahkan guru manajemen dunia, Peter F. Drucker (Public Administration Review, Vol. 40, No. 2, 1980, p. 103-106, Blackwell Publishing) menyebut fenomena seperti ini sebagai salah satu dari enam dosa besar administrasi publik (the deadly sins of public administration). Dosa besar ke-3 dari administrasi publik menurut Drucker adalah “to believe that fat is beautiful”. Dia memberi penjelasan bahwa “Today’s administrators, whether civilian or military, tend to believe that the best way to tacke a problem is to deploy more and more people (and money) against it”. Inilah yang terjadi di Indonesia saat ini. Bahkan bukan hanya penambahan orang dan dana, mengatasi masalah juga harus disertai dengan penambahan lembaga atau unit kerja.

Ketika ada pelanggaran HAM, semua menuntut pembentukan Komnas HAM; ketika ada masalah tentang konten siaran media elektronik, dibentuk Komisi penyiaran; ketika muncuk crisis pangan dan meluapnya impor bahan pangan, rame-rame orang membentuk Badan Ketahanan Pangan; dan begitulah seterusnya. Termasuk soal bencana ini, daerah berlomba membentuk Badan Penanggulangan Daerah. Daerah yang tidak membentuk lantas mendapat stigma sebagai daerah yang tidak peka atau tidak peduli dengan kemungkinan terjadinya bencana.

Padahal, penambahan lembaga akan selalu bearti penambahan pegawai dan alokasi anggaran baru. Pertanyaannya, apakah SDM dan anggaran penanganan bencana alam itu hanya melekat pada Badan Penanggulangan Bencana (Daerah), sehingga seolah-olah lembaga lain dapat dengan santai melupakan urusan banjir atau segala bentuk bencana? Kalau memang demikian, maka saya berani mengatakan bahwa dari kaca mata administrasi publik, banjir itu adalah bencana administratif. Mengapa begitu? Ada beberapa argumentasi.

Pertama, anggaran yang semestinya dapat secara langsung digunakan untuk menangani bencana, justru harus dimanfaatkan untuk operasionalisasi lembaga baru tersebut, mulai gaji dan honorarium pegawai, pemeliharaan gedung dan sarana/prasarana kerja, pengadaan mobil, perjalanan dinas, hingga pencetakan dan publikasi laporan kegiatan. Anggaran negara yang semestinya lebih banyak dirasakan rakyat (terutama yang terkena dampak langsung bencana), malah dinikmati oleh kalangan aparatur. Selain menjadikan inefisiensi semakin besar, hal seperti ini juga membuat efektivitas penanggulangan bencana kurang gesit. Kedua, kepedulian bersama untuk menempatkan banjir sebagai masalah bersama yang harus dihadapi secara bersama-sama, ternyata sangat rendah. Ketiadaan Badan Penanggulangan Bencana seolah menjadi kambing hitam tidak tertanganinya bencana banjir secara efektif. Pada kemana para pejabat dan pegawai lainnya? Kondisi ini selain mencerminkan adanya egoisme sektor yang akut (tidak ada yang merasa bertanggungjawab), juga menunjukkan manajemen pemerintahan yang teramat buruk. Saking buruknya manajemen pemerintahan dalam penanggulangan bencana, Presiden didesak untuk mengerahkan tentara (Kompas, 24/01/2014).

Maka, benarlah laporan lain dari Kompas (23/01/2014) yang menyebut pemerintah gagap menghadapi bencana. Tidak jelas siapa yang harus bertanggungjawab terhadap suatu masalah besar seperti bencana. Yang muncul kemudian justru sikap saling menyalahkan, saling menunjuk hidung, saling lari dari sikap kenegarawanan. Seperti yang dicontohkan oleh sikap yang sangat tidak patut diteladani dari sosok seorang Amien Rais. Ditengah situasi rakyat yang butuh bantuan cepat, dia justru menuntut Jokowi untuk meminta maaf. Masih ada saja manusia yang mengail di air keruh, mencari kesempatan dalam kesempitan untuk membangun citra pribadi atau kelompoknya, bahkan mempolitisasi bencana. Inilah yang saya sebut – sekali lagi – dengan “bencana administratif”. Ibaratnya, sudah jatuh tertimpa tangga pula. Rakyat yang sudah menderita saat ini masih ditambah dengan administrasi pemerintah yang lamban, kurang peduli, dan merasa seolah-olah tidak ada masalah di depan mata mereka.

Saat berandai-andai menjadi Presiden, saya mengadakan press conference di Istana Negara dan menyatakan bahwa banjir adalah musibah kita semua, bukan musibah rakyat. Untuk itu, saya tegaskan bahwa Istana tidak harus “diselamatkan” dari banjir. Jika pembukaan pintu-pintu air tertentu akan menyebabkan terendamnya wilayah di lingkaran Istana, namun dapat meringankan penderitaan rakyat, saya instruksikan untuk dilakukan secepatnya. Saya juga mengeluarkan Instruksi Presiden tentang realokasi anggaran untuk penanganan keadaan darurat, tanpa harus membentuk beragam struktur organisasi baru. Dengan diskresi yang saya miliki, sayapun menegaskan akan memimpin langsung upaya penanganan bencana secara nasional. Perandaian ini tidak saya maknakan bahwa Presiden tidak menempuh hal-hal yang saya andaikan tadi. Mungkin saja langkah yang telah diambil melampaui apa yang saya bayangkan, hanya saja penjabaran dalam aksi nyata di lapangan oleh pejabat di layer bawahnya masih jauh panggang dari api.

Kembali ke pokok masalah penanganan bencana (cq. banjir), menurut saya aspek manajerial dari administrasi pemerintahan-lah yang harus dibenahi. Anak negeri ini, terutama para pejabatnya, harus pandai-pandai menentukan prioritas dalam menetapkan pilihan kebijakan. Janganlah berputar-putar di sekitar dimensi input (dukungan sumber daya), namun hendaklah langsung menukik pada inti masalah, yakni bagaimana dalam jangka pendek melayani para korban banjir sebaik dan semanusiawi mungkin, serta pada jangka panjang menjamin tidak lagi muncul musibah yang sama yang telah dapat diprediksikan sebelumnya. Para bijak bestari telah memberi nasihat kepada kita, hanyalah keledai yang akan jatuh terjerembab pada lobang yang sama.

Apakah bangsa kita adalah bangsa keledai yang tidak bisa belajar dari kegagalan masa lalu? Saya yakin bukan. Bangsa ini adalah bangsa pembelajar yang memiliki kecerdasan cukup tinggi untuk mencari jalan keluar terbaik dari masalah yang sesulit apapun. Syaratnya, kita semua dituntut untuk memperbesar kepedulian dan orientasi terhadap kepentingan rakyat, serta menempatkan nilai kepublikan (public values) diatas nilai-nilai lainnya.

Salah satu solusi administratif yang saya tawarkan adalah melakukan penataan ulang sistem urusan dan kelembagaan pemerintah, baik di Pusat maupun Daerah. Secara umum sudah pernah saya tulis pada Blog saya berjudul “Menggagas Format Baru Kelembagaan Pemerintah Daerah”. Merujuk pada tulisan ini, maka saya berpendapat bahwa urusan bencana (sebagaimana urusan ketahanan pangan), adalah urusan yang bersifat lintas daerah, sehingga tidak cocok jika urusan ini dipecah-pecah menjadi urusan daerah secara parsial. Karena ini bukan urusan daerah secara parsial, maka kelembagaan yang menanganinyapun semestinya tidak dipecah-pecah berdasarkan wilayah kabupaten/kota. Dengan demikian, yang harus dilakukan adalah rearrangement terhadap konsep urusan pemerintahan dan bentuk kelembagaan. Konsep tentang “urusan konkuren” sangat boleh jadi harus diganti, karena urusan/kewenangan konkuren terbukti hanya melahirkan model kelembagaan yang konkuren saja, yang jelas-jelas berkarakter individualis dan melupakan kepentingan bersama. Singkatnya, karena banjir atau bencana apapun adalah menyangkut kepentingan bersama, maka penanganan dan lembaga yang menangani sebaiknya juga terintegrasi. Wallahu’alam …

Sawo Endah No. 13, Ciwastra
Bandung, 26 Januari 2014