Bukan Sekedar Perubahan Nomenklatur
Pengantar
Bagi
organisasi yang sehat, perubahan kelembagaan sebagaimana dijelaskan pada Bab 1,
adalah sebuah kewajaran bahkan keniscayaan. Organisasi itu dapat dianalogikan
seperti organisme atau makhluk hidup yang punya naluri untuk terus tumbuh dan
berkembang. Jika ada organisasi yang tidak mengalami perubahan dalam jangka waktu
cukup lama, justru hanya menunjukkan bahwa organisasi tersebut mengalami
kemandegan dan tanda-tanda kemunduran.
Dengan cara
pandang seperti itu, maka perubahan kelembagaan LAN yang ditandai dengan
lahirnya Perpres No. 93/2024 wajib untuk disyukuri. Perubahan ini harus
disikapi bukan sekedar sebagai sebuah kelaziman, melainkan sebagai peluang baru
untuk melakukan adaptasi dalam segala bidang. Pun dengan perubahan Deputi
Penyelenggaraan Pengembangan Kompetensi menjadi Deputi Penyelenggaraan
Pengembangan Kapasitas ASN (DPPK-ASN), hakikatnya adalah sebuah era baru yang
membentuk citra baru bagi LAN secara keseluruhan. Seyogyanya, perubahan
kelembagaan tidak sekedar “ganti baju” tanpa diikuti oleh proses redefinisi
terhadap fungsi dan citra lembaga.
Untuk dapat
melakukan redefinisi ini, maka penting untuk menemukan jawaban mengapa
perubahan kelembagaan itu dilakukan. Dalam istilah Penjelasan UUD 1945 sebelum
Amandemen, filosofi dan nilai-nilai konstitusi itu harus dipahami dari suasana
kebatinan (geislichenhintergrund) yang
mendasari pembentukan konstitusi tersebut. Demikian pula, esensi perubahan
kelembagaan LAN dapat ditemukan pada suasana kebatinan yang melatarbelakangi
perubahan tersebut. Saya mencoba menafsirkannya pada uraian dibawah ini.
Esensi dan Makna Perubahan Nomenklatur
Paling tidak
ada 2 (dua) hal yang bisa menjelaskan mengapa transformasi kelembagaan LAN ini
bukan sekedar formalitas perubahan nomenklatur.
Pertama, DPPK-ASN
tidak hanya bertugas melaksanakan dalam fungsi penyelenggaraan semata, namun juga perumusan kebijakan dan pembinaan di bidang
Pengembangan Kapasitas ASN. Hal ini sangat berbeda dibanding struktur lama
dimana fungsi perumusan kebijakan diemban oleh Deputi 3, sedangkan fungsi
penyelenggaraan menjadi tanggung jawab Deputi 4. Dengan demikian, fungsi DPPK
ASN lebih holistik mencakup ranah stratejik perumusan kebijakan (wilayah hulu)
hingga ranah teknis implementasi berupa penyelenggaraan bangkom (wilayah
hilir).
Konsekuensinya,
seluruh
pegawai di lingkungan DPPK-ASN harus terus mengembangkan kapasitas dan berani melakukan tugas yang selama ini belum
pernah dilakukan (multi-tasking), serta siap untuk bekerja lebih keras dan lebih cerdas (work harder and smarter). Pada
saat yang sama, perlu dilakukan penyesuaian
terhadap target kinerja unit dan Sasaran Kerja Pegawai (SKP).
Kedua, frasa “pengembangan
kapasitas” bukanlah sinonim dari “pengembangan kompetensi”. Kedua frasa ini
butuh penjelasan mengenai apa yang membedakan kapasitas dari kompetensi,
sehingga tidak menimbulkan kebingungan secara semantik. Bagi saya pribadi,
makna “pengembangan kapasitas” bahkan telah membawa birokrasi Indonesia pada
fase atau rezim baru dalam manajemen ASN, yang saya sebut sebagai era Bangkom ASN
3.0 (fase pengembangan kapasitas), sebagai evolusi dari era Bangkom ASN 2.0
(fase pengembangan kompetensi), dan era Bangkom ASN 1.0 (fase pendidikan dan
latihan).
Sejak
berdirinya LAN berdasarkan PP No. 30/1957, istilah pendidikan dan latihan sudah
mulai populer. Hal tersebut dinyatakan dalam salah satu tugas LAN yakni “menyelenggarakan
dan mengawasi pendidikan dan latihan pegawai negeri sipil dan/atau calon
pegawai negeri sipil, sehingga menjadi tenaga administrasi negara yang
mempunyai kepribadian dan kecakapan sesuai dengan tugasnya”. Selanjutnya
berdasarkan Keputusan Presiden No. 34/1972 tentang Tanggung Jawab Fungsionil
Pendidikan dan Latihan, LAN diberi tugas dan tanggungjawab atas pembinaan
pendidikan dan latihan khusus untuk Pegawai Negeri.
Era Bangkom ASN
1.0 atau fase Diklat terus berlangsung hingga tahun 2014 saat lahirnya UU No.
5/2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN). Dengan kata lain, UU ini mengakhiri
fase Diklat dan memperkenalkan istilah pengembangan kompetensi (Bangkom)
sebagai era Bangkom ASN 2.0.
Meskipun tidak
ada perbedaan yang sangat fundamental, namun konsepsi diklat jelas berbeda dibanding
bangkom. Secara umum, diklat lebih sempit ruang lingkupnya di banding bangkom,
sehingga bisa dikatakan pula bahwa diklat adalah bagian dari bangkom. Sementara
secara substantif, beberapa perbedaan diklat dan bangkom bisa diringkas sebagai
berikut:
·
Diklat bertujuan
untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan perilaku atau KSA (knowledge, skill, attitude), sedangkan
bangkom lebih fokus pada peningkatan kompetensi. Dalam hal ini, kompetensi
tidak hanya mencakup KSA namun juga potensi dan kinerja. Itulah sebabnya,
bangkom tidak berhenti ketika seorang peserta sudah meningkat KSA-nya, tetapi
juga harus dikaitkan dengan peningkatan potensi dan kinerjanya.
·
Diklat pada umumnya
dilakukan secara klasikal atau pertemuan tatap muka di ruang kelas dengan
alokasi waktu tertentu. Sementara bangkom membuka peluang penyelenggaraan
secara non-klasikal. Artinya, program peningkatan kapasitas pegawai dapat
dilakukan secara tatap muka (offline:
luar jaringan) atau virtual (online: dalam
jaringan), dapat di ruang kelas atau nir-kelas (LFA: learning from anywhere), dapat dilaksanakan pada waktu tertentu
atau tanpa batas waktu (flexy learning).
Bangkom non-klasikal juga berarti bahwa metode yang digunakan tidak
konvensional seperti ceramah, diskusi kelompok, atau simulasi, namun bisa
berupa coaching-mentoring, detachment atau detasering, magang,
belajar mandiri (self-learning), belajar
antar mitra kerja (peer-learning), dan
seterusnya. Singkatnya, “madzab” diklat berprinsip means justify ends, sedangkan bangkom sebaliknya, ends justify means.
·
Dalam program diklat,
seorang Widyaiswara atau penceramah menjadi pusat pembelajaran, dan posisi
peserta lebih sebagai audiens semata. Peserta diibaratkan gelas yang kosong,
dan akan diisi oleh Widyaiswara atau penceramah tadi. Analoginya seperti para
pemirsa yang sedang menyimak berita di TV, pembawa acara diasumsikan memiliki
pengetahuan yang siap ditransfer kepada pemirsa. Informasi dari penyiar
dianggap sebagai sebuah kebenaran. Dengan kata lain, proses pembelajaran lebih
berpusat pada penyiar berita atau Widyaiswara (teacher centered). Sedangkan dalam program bangkom, peserta adalah
pusat pembelajaran (student centered).
Mereka ikut pelatihan bukan bermodal otak kosong, justru membawa pengalaman
yang beragam untuk dibagikan kepada sesama peserta. Dalam konteks seperti ini,
peserta dapat menjadi sumber belajar bagi peserta lain secara timbal balik.
Kedudukan Widyaiswara bukan lagi sebagai pengajar, melainkan fasilitator yang
memudahkan proses belajar imbal balik tadi dapat terwujud. Inilah yang
dimaknakan dengan prinsip belajar berbasis pengalaman (experiential learning), berbagi pengalaman untuk mendapatkan
pengalaman baru.
Makna
pengembangan kapasitas (bangtas) sendiri sangat bersesuaian dengan pengembangan
kompetensi (bangkom). Bedanya, penerima manfaat program bangkom pada umumnya masih
terbatas pada individu peserta saja, yakni berupa peningkatan pengetahuan,
keterampilan atau perilaku. Idealnya, bangkom diberikan kepada pegawai agar
pegawai yang bersangkutan bisa berkontribusi lebih besar terhadap kinerja
institusi. Namun yang lebih banyak terjadi adalah bahwa bangkom didesain hanya
sebagai strategi untuk menutup kesenjangan kompetensi seorang pegawai (competency-based training). Maka, link and macth antara kompetensi
seseorang dengan performa instansi atau sektor seringkali tidak terwujud. Ilustrasinya,
birokrasi di Indonesia ini sesungguhnya diisi oleh para pejabat dan pegawai
yang relatif kompeten, namun mengapa angka kemiskinan dan pengangguran masih
tinggi, mengapa masih besar angka anak putus sekolah atau prevalensi penyakit
tertentu? Ini yang saya sebut bahwa diklat dan bangkom masih berorientasi
secara intrinsik, yakni meningkatkan kompetensi peserta. Peningkatan kompetensi
peserta ini baru tangga terendah dari hasil bangkom, atau loop pertama yakni Personal
Mastery (keunggulan individu).
Dengan
lahirnya program bangtas, level dampak dari pelatihan ingin dinaikkan sampai ke
loop 2 (Team Learning), loop 3 (Shared Vision), loop 4 (Mental Model),
dan bahkan loop 5 (Systems Thinking). Kelima loop ini saya adopsi dari bukunya Peter
Senge yang berjudul “The Fifth Discipline: The Art and Practice of The Learning
Organization“ (Random House Books; edisi
revisi ke-2, 2006). Saya haqqul
yaqin jika hasil dan dampak pelatihan kita bisa menyentuh sampai ke loop-5, maka masalah apapun di negeri
ini akan sangat mudah diselesaikan. Saya akan membahas tentang 5 loop dalam pengambangan kapasitas ini
dalam tulisan tersendiri.
Implikasi Perubahan
Perubahan
kelembagaan sebagaimana dipaparkan diatas akan semakin bermakna jika dibarengi dengan
perubahan cara kerja, sikap kerja, dan hasil kerja.
Dari aspek cara kerja atau business process yang ada selama ini sudah saatnya disesuaikan
dengan paradigma kelembagaan yang baru. Hal ini selaras dengan arahan Kepala
LAN, Dr. Muhammad Taufiq, DEA pada acara pelantikan dan pengambilan sumpah Jabatan
Pimpiman Tinggi Madya dan Pratama beberapa waktu lalu: “Deputi Penyelenggaraan Pengembangan Kapasitas ASN harus adaptif dan
berani melakukan re-desain terhadap program-program pengembangan kompetensi”.
Oleh karena itu, DPPKASN perlu gerak cepat untuk mereviu proses penyelenggaraan
bangtas yang berjalan selama ini,
sembari merencanakan pembaharuan secara holistik untuk kedepan, meliputi dari
aspek kurikulum, materi pelatihan, metode belajar, produk belajar, sarana dan
prasarana, serta aspek pendukung lainnya (budaya belajar, analisis data,
networking, dan seterusnya).
Selanjutnya dari
aspek sikap kerja, hal terpenting
yang harus ditanamkan dalam believe
system seluruh punggawa DPPKASN adalah bahwa kedeputian ini adalah unit
pelayanan. Siapapun yang bekerja di unit pelayanan, selalu dituntut memiliki
orientasi yang kuat terhadap pelanggannya. Pelanggan bukanlah beban bagi para
pelayan publik, justru mereka adalah berkah luar biasa yang akan memberikan
makna hidup bagi siapapun yang melayani setulus hati. Maka, syukurilah ketika
kita mendapat kesempatan bekerja di unit pelayanan, karena ada ribuan ASN lain
yang tidak mendapat kesempatan untuk melayani publik secara langsung.
Saya jadi teringat
ucapan Arnold Schwarzenegger dan Condoleezza Rice tentang betapa mulianya jabatan
ASN selaku pejabat publik. Arnold yang pernah menjabat Gubernur California (2003-2011)
berucap: “I guarantee you will discover
that while public service the lives and the world around you, its greatest
reward is the enrichment and new meaning it will bring your own life”.
Sedangkan Rice yang menjabat sebagai Menteri Luar Negeri AS masa Presiden George
W. Bush (2005-2009) memiliki quote yang
amat kuat yakni: “There is no greater
challenge and there is greater honor than to be in public service”.
Beberapa sikap
kerja yang perlu diperbaharui diantaranya: penegakan integritas dengan berbagai
strategi (penguatan ISO Anti Penyuapan, penerapan ZI/WBK/WBBM, pelaporan
gratifikasi, internalisasi core value
Berakhlak), penguatan orientasi pelanggan untuk menciptakan quick response dan zero defect, serta secara terus-menerus membangun budaya kualitas
melalui forum dialog mutu, briefing 2 mingguan, dan seterusnya.
Adapun dari aspek hasil kerja, IKU (indikator kinerja
utama) kedeputian maupun direktorat dibawahnya juga butuh penyesuaian.
Indikator-indikator terkait penyelenggaran wajib ditambah dengan indikator
pembinaan dan perumusan kebijakan. Sementara IKU yang masih di level output
perlu didorong agar mampu menyentuh ke level outcomes bahkan impact.