Akhir-akhir ini Jakarta kembali
banjir. Headline Media Indonesia (23/01/2014) secara spesifik melaporkan bahwa
seperempat daerah (di Indonesia) tidak memiliki Badan Penanggulangan Bencana.
Ini tentu menarik untuk dikritisi, karena seolah-olah dengan adanya badan
tersebut bencana lebih mudah ditanggulangi. Reportasi tadi juga seakan-akan
membenarkan mitos banyak pihak bahwa adanya suatu masalah selalu menjadi alasan
pembenar untuk membuat lembaga baru.
Inilah
kesalahan besar dalam manajemen pemerintahan kita. Bahkan guru manajemen dunia,
Peter F. Drucker (Public Administration Review, Vol. 40, No. 2, 1980, p.
103-106, Blackwell Publishing) menyebut fenomena seperti ini sebagai salah satu
dari enam dosa besar administrasi publik (the
deadly sins of public administration). Dosa besar ke-3 dari administrasi
publik menurut Drucker adalah “to believe that fat is beautiful”. Dia memberi penjelasan bahwa “Today’s administrators, whether
civilian or military, tend to believe that the best way to tacke a problem is
to deploy more and more people (and money) against it”.
Inilah yang terjadi di Indonesia saat ini. Bahkan bukan hanya penambahan orang
dan dana, mengatasi masalah juga harus disertai dengan penambahan lembaga atau
unit kerja.
Ketika
ada pelanggaran HAM, semua menuntut pembentukan Komnas HAM; ketika ada masalah
tentang konten siaran media elektronik, dibentuk Komisi penyiaran; ketika
muncuk crisis pangan dan meluapnya impor bahan pangan, rame-rame orang
membentuk Badan Ketahanan Pangan; dan begitulah seterusnya. Termasuk soal
bencana ini, daerah berlomba membentuk Badan Penanggulangan Daerah. Daerah yang
tidak membentuk lantas mendapat stigma sebagai daerah yang tidak peka atau
tidak peduli dengan kemungkinan terjadinya bencana.
Padahal,
penambahan lembaga akan selalu bearti penambahan pegawai dan alokasi anggaran
baru. Pertanyaannya, apakah SDM dan anggaran penanganan bencana alam itu hanya
melekat pada Badan Penanggulangan Bencana (Daerah), sehingga seolah-olah
lembaga lain dapat dengan santai melupakan urusan banjir atau segala bentuk
bencana? Kalau memang demikian, maka saya berani mengatakan bahwa dari kaca
mata administrasi publik, banjir itu adalah bencana administratif. Mengapa
begitu? Ada beberapa argumentasi.
Pertama, anggaran
yang semestinya dapat secara langsung digunakan untuk menangani bencana, justru
harus dimanfaatkan untuk operasionalisasi lembaga baru tersebut, mulai gaji dan
honorarium pegawai, pemeliharaan gedung dan sarana/prasarana kerja, pengadaan
mobil, perjalanan dinas, hingga pencetakan dan publikasi laporan kegiatan.
Anggaran negara yang semestinya lebih banyak dirasakan rakyat (terutama yang
terkena dampak langsung bencana), malah dinikmati oleh kalangan aparatur.
Selain menjadikan inefisiensi semakin besar, hal seperti ini juga membuat
efektivitas penanggulangan bencana kurang gesit. Kedua, kepedulian
bersama untuk menempatkan banjir sebagai masalah bersama yang harus dihadapi
secara bersama-sama, ternyata sangat rendah. Ketiadaan Badan Penanggulangan
Bencana seolah menjadi kambing hitam tidak tertanganinya bencana banjir secara
efektif. Pada kemana para pejabat dan pegawai lainnya? Kondisi ini selain mencerminkan
adanya egoisme sektor yang akut (tidak ada yang merasa bertanggungjawab), juga
menunjukkan manajemen pemerintahan yang teramat buruk. Saking buruknya
manajemen pemerintahan dalam penanggulangan bencana, Presiden didesak untuk
mengerahkan tentara (Kompas, 24/01/2014).
Maka,
benarlah laporan lain dari Kompas (23/01/2014)
yang menyebut pemerintah gagap menghadapi bencana. Tidak jelas siapa yang harus
bertanggungjawab terhadap suatu masalah besar seperti bencana. Yang muncul
kemudian justru sikap saling menyalahkan, saling menunjuk hidung, saling lari
dari sikap kenegarawanan. Seperti yang dicontohkan oleh sikap yang sangat tidak
patut diteladani dari sosok seorang Amien Rais. Ditengah situasi rakyat yang
butuh bantuan cepat, dia justru menuntut Jokowi untuk meminta maaf. Masih ada
saja manusia yang mengail di air keruh, mencari kesempatan dalam kesempitan
untuk membangun citra pribadi atau kelompoknya, bahkan mempolitisasi bencana.
Inilah yang saya sebut – sekali lagi – dengan “bencana administratif”.
Ibaratnya, sudah jatuh tertimpa tangga pula.
Rakyat yang sudah menderita saat ini masih ditambah dengan administrasi
pemerintah yang lamban, kurang peduli, dan merasa seolah-olah tidak ada masalah
di depan mata mereka.
Saat
berandai-andai menjadi Presiden, saya mengadakan press conference di Istana Negara dan menyatakan bahwa banjir
adalah musibah kita semua, bukan musibah rakyat. Untuk itu, saya tegaskan bahwa
Istana tidak harus “diselamatkan” dari banjir. Jika pembukaan pintu-pintu air
tertentu akan menyebabkan terendamnya wilayah di lingkaran Istana, namun dapat
meringankan penderitaan rakyat, saya instruksikan untuk dilakukan secepatnya.
Saya juga mengeluarkan Instruksi Presiden tentang realokasi anggaran untuk
penanganan keadaan darurat, tanpa harus membentuk beragam struktur organisasi
baru. Dengan diskresi yang saya miliki, sayapun menegaskan akan memimpin
langsung upaya penanganan bencana secara nasional. Perandaian ini tidak saya
maknakan bahwa Presiden tidak menempuh hal-hal yang saya andaikan tadi. Mungkin
saja langkah yang telah diambil melampaui apa yang saya bayangkan, hanya saja
penjabaran dalam aksi nyata di lapangan oleh pejabat di layer bawahnya masih jauh
panggang dari api.
Kembali ke
pokok masalah penanganan bencana (cq. banjir), menurut saya aspek manajerial
dari administrasi pemerintahan-lah yang harus dibenahi. Anak negeri ini, terutama
para pejabatnya, harus pandai-pandai menentukan prioritas dalam menetapkan
pilihan kebijakan. Janganlah berputar-putar di sekitar dimensi input (dukungan
sumber daya), namun hendaklah langsung menukik pada inti masalah, yakni
bagaimana dalam jangka pendek melayani para korban banjir sebaik dan
semanusiawi mungkin, serta pada jangka panjang menjamin tidak lagi muncul
musibah yang sama yang telah dapat diprediksikan sebelumnya. Para bijak bestari
telah memberi nasihat kepada kita, hanyalah keledai yang akan jatuh terjerembab
pada lobang yang sama.
Apakah bangsa
kita adalah bangsa keledai yang tidak bisa belajar dari kegagalan masa lalu?
Saya yakin bukan. Bangsa ini adalah bangsa pembelajar yang memiliki kecerdasan
cukup tinggi untuk mencari jalan keluar terbaik dari masalah yang sesulit
apapun. Syaratnya, kita semua dituntut untuk memperbesar kepedulian dan
orientasi terhadap kepentingan rakyat, serta menempatkan nilai kepublikan (public values) diatas nilai-nilai
lainnya.
Salah satu solusi
administratif yang saya tawarkan adalah melakukan penataan ulang sistem urusan
dan kelembagaan pemerintah, baik di Pusat maupun Daerah. Secara umum sudah
pernah saya tulis pada Blog saya berjudul “Menggagas Format Baru Kelembagaan
Pemerintah Daerah”. Merujuk pada tulisan ini, maka saya berpendapat bahwa
urusan bencana (sebagaimana urusan ketahanan pangan), adalah urusan yang
bersifat lintas daerah, sehingga tidak cocok jika urusan ini dipecah-pecah
menjadi urusan daerah secara parsial. Karena ini bukan urusan daerah secara
parsial, maka kelembagaan yang menanganinyapun semestinya tidak dipecah-pecah berdasarkan
wilayah kabupaten/kota. Dengan demikian, yang harus dilakukan adalah rearrangement terhadap konsep urusan
pemerintahan dan bentuk kelembagaan. Konsep tentang “urusan konkuren” sangat
boleh jadi harus diganti, karena urusan/kewenangan konkuren terbukti hanya melahirkan
model kelembagaan yang konkuren saja, yang jelas-jelas berkarakter individualis
dan melupakan kepentingan bersama. Singkatnya, karena banjir atau bencana apapun
adalah menyangkut kepentingan bersama, maka penanganan dan lembaga yang
menangani sebaiknya juga terintegrasi. Wallahu’alam …
Sawo
Endah No. 13, Ciwastra
Bandung,
26 Januari 2014
Apakah Anda membutuhkan pinjaman untuk investasi yang lebih besar? Pinjaman untuk ekspansi bisnis? Pinjaman untuk investasi baru? Pinjaman untuk melunasi utang jangka panjang dan tagihan. Cari tidak lebih, kita pemberi pinjaman dalam hubungannya dengan bank dan jaminan penawaran yang transparan, menawarkan pinjaman dengan bunga rendah, non agunan. Kami di sini untuk menempatkan dan mengakhiri kemiskinan dan pengangguran, karena setiap orang memiliki / potensi sendiri. Hubungi kami hari ini dan Anda akan menjadi salah satu pelanggan kami yang terhormat. mengisi formulir di bawah ini
BalasHapusInformasi Peminjam:
Nama lengkap: _______________
Negara: __________________
Jenis kelamin: ______________________
Umur: ______________________
Jumlah Pinjaman Dibutuhkan: _______
Durasi Pinjaman: ____________
Tujuan pinjaman: _____________
Nomor ponsel: ________
Ibu Glory
Email: gloryloanfirm@gmail.com Terima kasih sudah datang.