Laman

Minggu, 26 Januari 2014

Banjir: Bencana Administratif?



Akhir-akhir ini Jakarta kembali banjir. Headline Media Indonesia (23/01/2014) secara spesifik melaporkan bahwa seperempat daerah (di Indonesia) tidak memiliki Badan Penanggulangan Bencana. Ini tentu menarik untuk dikritisi, karena seolah-olah dengan adanya badan tersebut bencana lebih mudah ditanggulangi. Reportasi tadi juga seakan-akan membenarkan mitos banyak pihak bahwa adanya suatu masalah selalu menjadi alasan pembenar untuk membuat lembaga baru.

Inilah kesalahan besar dalam manajemen pemerintahan kita. Bahkan guru manajemen dunia, Peter F. Drucker (Public Administration Review, Vol. 40, No. 2, 1980, p. 103-106, Blackwell Publishing) menyebut fenomena seperti ini sebagai salah satu dari enam dosa besar administrasi publik (the deadly sins of public administration). Dosa besar ke-3 dari administrasi publik menurut Drucker adalah “to believe that fat is beautiful”. Dia memberi penjelasan bahwa “Today’s administrators, whether civilian or military, tend to believe that the best way to tacke a problem is to deploy more and more people (and money) against it”. Inilah yang terjadi di Indonesia saat ini. Bahkan bukan hanya penambahan orang dan dana, mengatasi masalah juga harus disertai dengan penambahan lembaga atau unit kerja.

Ketika ada pelanggaran HAM, semua menuntut pembentukan Komnas HAM; ketika ada masalah tentang konten siaran media elektronik, dibentuk Komisi penyiaran; ketika muncuk crisis pangan dan meluapnya impor bahan pangan, rame-rame orang membentuk Badan Ketahanan Pangan; dan begitulah seterusnya. Termasuk soal bencana ini, daerah berlomba membentuk Badan Penanggulangan Daerah. Daerah yang tidak membentuk lantas mendapat stigma sebagai daerah yang tidak peka atau tidak peduli dengan kemungkinan terjadinya bencana.

Padahal, penambahan lembaga akan selalu bearti penambahan pegawai dan alokasi anggaran baru. Pertanyaannya, apakah SDM dan anggaran penanganan bencana alam itu hanya melekat pada Badan Penanggulangan Bencana (Daerah), sehingga seolah-olah lembaga lain dapat dengan santai melupakan urusan banjir atau segala bentuk bencana? Kalau memang demikian, maka saya berani mengatakan bahwa dari kaca mata administrasi publik, banjir itu adalah bencana administratif. Mengapa begitu? Ada beberapa argumentasi.

Pertama, anggaran yang semestinya dapat secara langsung digunakan untuk menangani bencana, justru harus dimanfaatkan untuk operasionalisasi lembaga baru tersebut, mulai gaji dan honorarium pegawai, pemeliharaan gedung dan sarana/prasarana kerja, pengadaan mobil, perjalanan dinas, hingga pencetakan dan publikasi laporan kegiatan. Anggaran negara yang semestinya lebih banyak dirasakan rakyat (terutama yang terkena dampak langsung bencana), malah dinikmati oleh kalangan aparatur. Selain menjadikan inefisiensi semakin besar, hal seperti ini juga membuat efektivitas penanggulangan bencana kurang gesit. Kedua, kepedulian bersama untuk menempatkan banjir sebagai masalah bersama yang harus dihadapi secara bersama-sama, ternyata sangat rendah. Ketiadaan Badan Penanggulangan Bencana seolah menjadi kambing hitam tidak tertanganinya bencana banjir secara efektif. Pada kemana para pejabat dan pegawai lainnya? Kondisi ini selain mencerminkan adanya egoisme sektor yang akut (tidak ada yang merasa bertanggungjawab), juga menunjukkan manajemen pemerintahan yang teramat buruk. Saking buruknya manajemen pemerintahan dalam penanggulangan bencana, Presiden didesak untuk mengerahkan tentara (Kompas, 24/01/2014).

Maka, benarlah laporan lain dari Kompas (23/01/2014) yang menyebut pemerintah gagap menghadapi bencana. Tidak jelas siapa yang harus bertanggungjawab terhadap suatu masalah besar seperti bencana. Yang muncul kemudian justru sikap saling menyalahkan, saling menunjuk hidung, saling lari dari sikap kenegarawanan. Seperti yang dicontohkan oleh sikap yang sangat tidak patut diteladani dari sosok seorang Amien Rais. Ditengah situasi rakyat yang butuh bantuan cepat, dia justru menuntut Jokowi untuk meminta maaf. Masih ada saja manusia yang mengail di air keruh, mencari kesempatan dalam kesempitan untuk membangun citra pribadi atau kelompoknya, bahkan mempolitisasi bencana. Inilah yang saya sebut – sekali lagi – dengan “bencana administratif”. Ibaratnya, sudah jatuh tertimpa tangga pula. Rakyat yang sudah menderita saat ini masih ditambah dengan administrasi pemerintah yang lamban, kurang peduli, dan merasa seolah-olah tidak ada masalah di depan mata mereka.

Saat berandai-andai menjadi Presiden, saya mengadakan press conference di Istana Negara dan menyatakan bahwa banjir adalah musibah kita semua, bukan musibah rakyat. Untuk itu, saya tegaskan bahwa Istana tidak harus “diselamatkan” dari banjir. Jika pembukaan pintu-pintu air tertentu akan menyebabkan terendamnya wilayah di lingkaran Istana, namun dapat meringankan penderitaan rakyat, saya instruksikan untuk dilakukan secepatnya. Saya juga mengeluarkan Instruksi Presiden tentang realokasi anggaran untuk penanganan keadaan darurat, tanpa harus membentuk beragam struktur organisasi baru. Dengan diskresi yang saya miliki, sayapun menegaskan akan memimpin langsung upaya penanganan bencana secara nasional. Perandaian ini tidak saya maknakan bahwa Presiden tidak menempuh hal-hal yang saya andaikan tadi. Mungkin saja langkah yang telah diambil melampaui apa yang saya bayangkan, hanya saja penjabaran dalam aksi nyata di lapangan oleh pejabat di layer bawahnya masih jauh panggang dari api.

Kembali ke pokok masalah penanganan bencana (cq. banjir), menurut saya aspek manajerial dari administrasi pemerintahan-lah yang harus dibenahi. Anak negeri ini, terutama para pejabatnya, harus pandai-pandai menentukan prioritas dalam menetapkan pilihan kebijakan. Janganlah berputar-putar di sekitar dimensi input (dukungan sumber daya), namun hendaklah langsung menukik pada inti masalah, yakni bagaimana dalam jangka pendek melayani para korban banjir sebaik dan semanusiawi mungkin, serta pada jangka panjang menjamin tidak lagi muncul musibah yang sama yang telah dapat diprediksikan sebelumnya. Para bijak bestari telah memberi nasihat kepada kita, hanyalah keledai yang akan jatuh terjerembab pada lobang yang sama.

Apakah bangsa kita adalah bangsa keledai yang tidak bisa belajar dari kegagalan masa lalu? Saya yakin bukan. Bangsa ini adalah bangsa pembelajar yang memiliki kecerdasan cukup tinggi untuk mencari jalan keluar terbaik dari masalah yang sesulit apapun. Syaratnya, kita semua dituntut untuk memperbesar kepedulian dan orientasi terhadap kepentingan rakyat, serta menempatkan nilai kepublikan (public values) diatas nilai-nilai lainnya.

Salah satu solusi administratif yang saya tawarkan adalah melakukan penataan ulang sistem urusan dan kelembagaan pemerintah, baik di Pusat maupun Daerah. Secara umum sudah pernah saya tulis pada Blog saya berjudul “Menggagas Format Baru Kelembagaan Pemerintah Daerah”. Merujuk pada tulisan ini, maka saya berpendapat bahwa urusan bencana (sebagaimana urusan ketahanan pangan), adalah urusan yang bersifat lintas daerah, sehingga tidak cocok jika urusan ini dipecah-pecah menjadi urusan daerah secara parsial. Karena ini bukan urusan daerah secara parsial, maka kelembagaan yang menanganinyapun semestinya tidak dipecah-pecah berdasarkan wilayah kabupaten/kota. Dengan demikian, yang harus dilakukan adalah rearrangement terhadap konsep urusan pemerintahan dan bentuk kelembagaan. Konsep tentang “urusan konkuren” sangat boleh jadi harus diganti, karena urusan/kewenangan konkuren terbukti hanya melahirkan model kelembagaan yang konkuren saja, yang jelas-jelas berkarakter individualis dan melupakan kepentingan bersama. Singkatnya, karena banjir atau bencana apapun adalah menyangkut kepentingan bersama, maka penanganan dan lembaga yang menangani sebaiknya juga terintegrasi. Wallahu’alam …

Sawo Endah No. 13, Ciwastra
Bandung, 26 Januari 2014

1 komentar:

  1. Apakah Anda membutuhkan pinjaman untuk investasi yang lebih besar? Pinjaman untuk ekspansi bisnis? Pinjaman untuk investasi baru? Pinjaman untuk melunasi utang jangka panjang dan tagihan. Cari tidak lebih, kita pemberi pinjaman dalam hubungannya dengan bank dan jaminan penawaran yang transparan, menawarkan pinjaman dengan bunga rendah, non agunan. Kami di sini untuk menempatkan dan mengakhiri kemiskinan dan pengangguran, karena setiap orang memiliki / potensi sendiri. Hubungi kami hari ini dan Anda akan menjadi salah satu pelanggan kami yang terhormat. mengisi formulir di bawah ini

    Informasi Peminjam:
    Nama lengkap: _______________
    Negara: __________________
    Jenis kelamin: ______________________
    Umur: ______________________
    Jumlah Pinjaman Dibutuhkan: _______
    Durasi Pinjaman: ____________
    Tujuan pinjaman: _____________
    Nomor ponsel: ________

    Ibu Glory
    Email: gloryloanfirm@gmail.com Terima kasih sudah datang.

    BalasHapus