Laman

Jumat, 11 April 2014

Menulis dan Penguapan Pengetahuan


Pentingnya menulis sudah saya uraikan pada beberapa artikel saya sebelumnya, dan artikel ini merupakan penguat argumentasi mengapa menulis itu harus menjadi habit bagi seseorang sekaligus kewajiban dalam sebuah organisasi. Mari kita mulai dengan karakteristik organisasi modern. Kemampuan bersaing dan keberhasilan dalam memenangkan persaingan bagi organisasi modern tidak terletak pada besarnya struktur organisasi, banyaknya anggaran yang dimiliki, atau canggihnya teknologi, melainkan pada seberapa besar kemampuan organisasi tersebut menguasai pengetahuan. Dengan kata lain, organisasi yang baik adalah organisasi yang mengandalkan pengetahuan dalam mengelola organisasinya. Dalam menyusun rencana program dan kegiatan, ekspansi usaha, pengembangan SDM, dan lain-lain, organisasi tadi harus memanfaatkan sebesar mungkin pengetahuan, baik yang bersifat tacit (implicit) maupun yang explicit, baik yang bersumber dari pengetahuan para pegawai sendiri maupun pengetahuan dari pihak luar. Inilah yang disebut sebagai knowledge-based organization. 

Sayangnya, dalam organisasi yang meng-klaim dirinya sebagai knowledge-based organization sekalipun seperti lembaga riset/litbang, perguruan tinggi, dan institusi pemikir milik pemerintah (think tank), saya masih melihat hal itu sebagai label belaka, belum sepenuhnya bercirikan manajemen pengetahuan. Saya bahkan punya kesan bahwa kebanyakan organisasi di Indonesia masih bersifat talk-based, dalam arti mekanisme verbal masih mendominasi jalannya organisasi dibanding sistem yang tertulis secara terstruktur dan dapat disimak atau diterapkan kapan saja dibutuhkan. Coba saja perhatikan, betapa sering para petinggi negara mengadakan rapat, namun teramat jarang yang didokumentasikan secara baik dan lengkap. Begitu juga, pejabat-pejabat strategis yang menerima tamu dan memberikan penjelasan atau pengarahan, tidak direkam secara cermat. Pada tataran individu setiap pegawai pun bisa kita amati bahwa ide-ide mereka yang terungkap dari obrolan santai hingga saran-saran pada diskusi formal, sering tidak tercatat sebagai bagian dari harta kekayaan organisasi.  

Di tempat saya bekerja di LAN, situasinya tidak jauh dari deskripsi saya diatas. Teramat banyak para pejabat struktural dan pejabat fungsional seperti peneliti, dosen, bahkan staf yunior sekalipun yang melontarkan gagasan-gagasan cerdas, yang semua itu mencerminkan aneka ragam pengetahuan. Sayangnya, beragam pengetahuan tadi hilang begitu saja dan dengan sangat cepat terlupakan karena tidak ada sistem dokumentasi pengetahuan yang baik. Saya memprediksikan, jika pengetahuan yang terlontar secara verbal tadi dapat dikuantifikasi, mungkin akan terkumpul lebih dari 1 juta ton pengetahuan setiap tahunnya. Jelas ini sebuah kerugian besar bagi sebuah organisasi seperti LAN.  

Kondisi seperti inilah yang sering saya sebut sebagai efek evaporasi pengetahuan, yakni proses penguapan pengetahuan menjadi gas, yang tak berjejak dan sulit dipanggil kembali. Semestinya, yang terjadi adalah efek kondensasi, yakni berubahnya gas (ucapan yang sarat pengetahuan) menjadi embun pengetahuan yang dapat dibaca berulang-ulang dan dapat ditularkan kepada orang lain. Agar efek kondensasi pengetahuan ini dapat terjadi, maka diperlukan adanya upaya untuk mendokumentasikan setiap ucapan, gagasan, maupun “transaksi” atau “jual beli” pengetahuan dalam wujud diskusi. Nah, proses dokumentasi pengetahuan yang paling efektif adalah dengan menuliskannya. Memang ada cara dokumentasi lain seperti direkam dengan alat tape recorder, atau direkan secara visual dalam bentuk video. Bedanya, dokumentasi melalui rekaman ini hanya menyajikan kejadian/fakta apa adanya, dan membutuhkan olah intelektual dalam otak pemirsanya untuk menafsirkan inti pesan dari peristiwa tersebut. Sedangkan dokumenatsi tertulis pada umumnya sudah diolah lebih lanjut sehingga lebih sistematis, lebih informatif, dan lebih mudah dipahami. Dengan mendokumentasikan pengetahuan secara tertulis, maka efek penguapan pengetahuan dapat dihindarkan, dan ini adalah sebuah keuntungan besar bagi sebuah organisasi.  

Saya pribadi sering melakukan refleksi bahwa pengetahuan sayapun amat banyak yang menguap. Padahal, jika saya mampu menjaga konsistensi untuk menuliskan apapun ide, pengalaman, dan pengetahuan saya minimal 1 lembar setiap harinya, maka dalam 1 tahun saya dapat menghasilkan kumpulan tulisan dalam bentuk buku yang tebal, yakni berisi 365 halaman. Nah, jika asumsinya saya sudah memiliki pengetahuan yang layak dituliskan semenjak usia 30 tahun, dan usia saya saat ini adalah 45 tahun, maka ada 15 tahun yang saya sia-siakan, dan itu berarti bahwa saya kehilangan peluang untuk menulis 15 buku @ 365 halaman. Meskipun penggambaran ini terkesan didramatisir, namun itu untuk mengilustrasikan betapa potensi pengetahuan kita banyak terbuang begitu saja, betapa waktu kita sia-siakan, dan betapa bodohnya kita. Tentu saja, refleksi ini berlaku untuk setiap orang karena merekapun memiliki kekayaan pengetahuan masing-masing. 

Kerugian selanjutnya dari kegagalan melakukan dokumentasi pengetahuan adalah tidak dapat dilakukannya replikasi pengetahuan dan pertukaran pengetahuan. Bayangkan saja, seandainya setiap orang melakukan dokumentasi pengetahuan dan kemudian saling mempertukarkan satu dengan yang lain, betapa cepat proses pencerdasan kehidupan bangsa. Itulah sebabnya, knowledge management membutuhkan keterampilan teknis untuk menuliskan pengetahuan.  

Dan refleksi ini semakin “memaksa” saya untuk terus menulis apapun yang terlintas di benak saya. Sesederhana apapun ide yang sempat singgah di otak kita, sejatinya itu adalah hadiah dari Yang Maha Kuasa. Maka, hormatilah Dia yang telah bermurah hati dengan cara menuangkannya kedalam sebuah tulisan, sesederhana apapun itu. Sebab, sebagaimana dalam harta kita ada hak orang lain, maka dalam sebuah ide-pun, ada hak orang lain untuk mengetahuinya atau bahkan mengambil manfaat darinya. Harta dan ide pada hakekatnya adalah sama-sama rejeki dari Tuhan Yang Maha Pemurah. Jika kita wajib menyedekahkan sebagian dari harta kita, maka kitapun wajib menyedekahkan ide kita kepada orang lain. Cara menyedekahkan ilmu pengetahuan kita adalah dengan menuliskannya, untuk kemudian mempublikasikannya seluas mungkin. Semakin banyak kita bersedekah ilmu/pemikiran, yakinlah ilmu kita akan menjadi berlipat ganda karenanya.  

Jakarta, 11 Maret 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar