Laman

Rabu, 09 April 2014

Stimulus Acak



Pada saat mengajar materi inovasi di sebuah program diklat dan memasuki masa istirahat, saya katakan bahwa istirahat dalam perspektif inovasi itu adalah sebuah keharusan, sehingga saya tidak terlalu kaku dengan batas waktu 15 menit yang disediakan. Saya kemudian menceritakan bahwa di Manchester University, setiap gedung dari seluruh gedung yang ada diwajibkan memiliki coffee shop, dan pada setiap jam istirahat seluruh staf universitas diwajibkan untuk meninggalkan ruangan dan menuju ke coffee shop tersebut. Tujuannya bukanlah untuk membuang waktu kerja yang begitu berharga, namun agar terjadi interaksi antar staf dan terjalin komunikasi mengenai berbagai hal baru yang berbeda dibanding rutinitas yang mereka hadapi.

Saya kemudian menambahkan beberapa cerita inspiratif yang saya ambilkan dari blog inovasi milik It Pin Arifin yang sangat inspiratif. Konon, ketika Nissan Design International (NDI) mengalami kebuntuan dalam merancang model Pathfinder, wakil presiden NDI kala itu, Jerry Hirshberg, membuat keputusan mencengangkan dengan mengajak seluruh staf perusahaan untuk menonton film The Silence of The Lamb pada jam kerja! Menurut Hirshberg, setelah acara tersebut, ketegangan di perusahaan tersebut berkurang perlahan-lahan dan beberapa hari kemudian ide-ide berdatangan sehingga masalah berhasil diselesaikan. Kisah unik juga terjadi di Oticon. Ketika Lars Kolind mengambil alih pimpinan perusahaan yang sedang mengalami krisis, salah satu tindakan yang dilakukannya untuk menyehatkan kembali perusahaan tersebut adalah dengan merombak arsitektur gedung kantor perusahaan. Lebar tangga-tangga di kantor Oticon diperbesar agar para staf bisa melakukan percakapan informal tanpa takut mengganggu orang lain yang berlalu-lalang.

Ada lagi cerita menarik dari Ferrari yang terkenal sebagai salah satu perusahaan paling kreatif di Eropa, bukan hanya dalam hal produknya, tetapi pada cara mereka membangkitkan kreativitas para karyawannya. Kuncinya ternyata cukup sederhana, yakni secara teratur mereka menyelenggarakan program Creativity Club untuk para stafnya. Dalam setiap pertemuan klub, mereka akan mengundang para artis dari bidang seni yang berbeda-beda, dari para pelukis, pemahat, pemusik, penulis, DJ, fotografer, chef, aktor, hingga konduktor orkestra. Selain berbincang-bincang dengan para karyawan Ferrari, para artis tersebut juga diminta mengajarkan ketrampilan mereka melalui kursus-kursus singkat. Para peserta klub pun tidak dibatasi, selain eksekutif dan kalangan manajer, para pekerja pabrik juga boleh ikut serta. Apa yang terjadi di Ferrari ini mirip sekali dengan yang dikembangkan di Pixar, perusahaan pembuat film animasi 3 dimensi. Pixar mendirikan Pixar University yang menjalankan kelas-kelas, event, atau workshop yang berkaitan dengan pembuatan film animasi 3 dimensi, termasuk kelas-kelas melukis, memahat, atau creative writing. Setiap karyawan diharapkan menghabiskan 4 jam setiap minggu di universitas tersebut untuk terus mengembangkan diri dan kreativitas mereka, dan mereka dianjurkan mengambil kelas-kelas yang tidak berhubungan dengan pekerjaan mereka.

Apa yang terjadi di Manchester University, Nissan, Oticon, Ferrari, maupun Pixar adalah contoh serius bagaimana stimulus acak diterapkan untuk merangsang kreativitas pegawainya. Kreativitas lebih sering lahir dari kondisi yang variatif, berubah-ubah, berbeda-beda, atau bahkan baru sama sekali. Sebaliknya, kreativitas jarang sekali muncul dari lingkungan yang stabil, stagnan, rutin, seragam, dan tidak membuka ruang-ruang bagi ekspresi dan aspirasi pegawai. Itulah sebabnya, kesempatan istirahat dalam diklatpun harus dimanfaatkan sebagai kesempatan memperoleh stimulus acak bagi para peserta diklat. Faktanya, setelah istirahat ada kecenderungan aktivitas peserta semakin dinamis, yang membuktikan bahwa mereka benar-benar telah mendapatkan stimulus acak tersebut.

Itulah the power of break / recess. Maka, janganlah seorang atasan menghalangi anak buahnya yang ingin beristirahat. Istirahat bukan hanya sebuah hak asasi bagi seorang pegawai, namun juga menjadi ajang inkubasi diri untuk menenangkan ketegangan, mengendapkan pemikiran, menjernihkan permasalahan, serta mematangkan rencana-rencana yang masih berupa ide-ide kecil dan sederhana. Ketika masa inkubasi berakhir, hampir dapat dipastikan bahwa kreativitas akan muncul dengan sendirinya. Dalam kaitan ini, membaca buku atau menonton film yang tidak disukai, menghadiri pertemuan dengan kalangan yang berbeda profesi atau latar belakang, berdiskusi dengan orang yang memiliki pandangan kontras dengan kita, menggunakan bahasa daerah dalam pertemuan formal, atau membaca sebuah bab mulai dari kesimpulan, adalah juga cara-cara sederhana untuk menghadirkan stimulus acak bagi otak kita, sebagai upaya menggelitik indera kreativitas kita.

Dalam konteks organisasi yang lebih luas, stimulus acak bisa dilakukan misalnya dengan memberi tugas-tugas yang berbeda dari biasanya, atau menugaskan ke daerah yang asing dan belum pernah dikunjungi sama sekali. Tour of duty dan tour of area juga bisa menjadi cara jitu untuk menumbuhkan kegairahan dan rasa tertantang terhadap sesuatu yang baru. Tentu saja, mutasi pegawai ini harus memperhatikan aspek kompetensi dan perilaku dari pegawai yang bersangkutan. Disamping itu, masa liburan maupun cuti pegawai pada hakekatnya adalah juga masa istirahat untuk menghidupkan stimulus acak. Maka, setiap pimpinan organisasi tidak boleh menolak cuti yang menjadi hak pegawai. Jika memungkinkan, justru pegawai yang telah jenuh dihimbau untuk mengambil cuti dengan disertai pemberian insentif. Yakinlah bahwa setelah masa cuti berakhir, kontribusi pegawai terhadap organisasi akan semakin besar. Organisasilah yang akan menerima manfaat lebih besar dari pengajuan cuti para pegawainya.

Atas dasar pemikiran demikian, kita bisa memahami mengapa masa reses bagi anggota legislatif menjadi sangat penting. Pada masa-masa itulah mereka mengunjungi konstituennya di berbagai daerah untuk bersilaturahmi dan menangkap aspirasinya. Kondisi kehidupan rakyat yang beragam, harapan dan kepentingan yang berbeda-beda, cara mengekspresikan aspirasi yang juga bervariasi, mestinya memberikan stimulus acak bagi anggota legislatif tadi, sehingga diharapkan memunculkan ide-ide kreatif bagaimana mengatasi problema sosial dan issu-issu kesenjangan pembangunan di berbagai wilayah.

Sampai disini, saya merasa sudah waktunya bagi saya untuk beristirahat. Jika tulisan ini saya teruskan, saya tidak akan mendapatkan stimulus acak untuk memperkuat ide-ide kreatif saya sebagai bahan penulisan artikel berikutnya … J

Kampus Pejompongan, 10 April 2014
*memanfaatkan waktu menunggu rapat berikutnya, tepat azan dhuhur berkumandang*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar