Laman

Selasa, 09 September 2014

Tetaplah Berpikir Dalam Kotak



Cara “berpikir dalam kotak” selama ini telah menjadi tersangka atas rendahnya kreativitas dalam berpikir. Bahkan tidak jarang hal ini disamakan dengan berpikir dalam tempurung yang picik dan tidak terbuka atas realita yang ada diluar batok tempurungnya. Cara berpikir ini diyakini sebagai cara berpikir yang tidak akan melahirkan gagasan-gagasan inovatif, sehingga muncullah himbauan untuk meninggalkannya dan menggantikan dengan cara berpikir baru, yakni berpikir diluar kotak (outside the box thinking) dan yang terbaru adalah berpikir dengan kotak baru (thinking in a new box).

Ketika orang mulai terjangkit oleh demam berpikir diluar kotak atau berpikir dengan kotak baru, tiba-tiba lahirlah buku berjudul “Inside the Box: The Creative Method that Works for Everyone” karya Drew Boyd dan Jacob Goldenberg (London: Profile Books, 2014). Buku ini secara terang-terangan memberi pembelaan terhadap cara berpikir yang sudah dianggap usang tersebut. Dengan segenap argumentasi dan bukti berupa ragam inovasi yang lahir dari berbagai tokoh dunia, buku ini menandaskan bahwa cara berpikir dalam kotak-lah yang justru mampu melahirkan kreativitas dan inovasi besar. Dengan sangat percaya diri, Boyd dan Goldenberg bahkan menyatakan bahwa inovasi akan lebih banyak, lebih baik, dan lebih cepat dihasilkan jika kita bekerja dengan sesuatu yang sudah familiar, yakni “kotak” kita. Kotak itu oleh Boyd dan Goldenberg disebut sebagai “template”.

Saya termasuk orang yang terkejut dengan keberanian penulis buku ini melawan mainstream. Dan terdorong rasa penasaran untuk menyelami alasan penulis, maka saya langsung membeli buku tadi tanpa menawar harganya. Meskipun terkesan defense atau mempertahankan diri, namun saya melihatnya sebagai kemampuan penulis buku tadi melihat sesuatu secara berbeda. Ketika mayoritas orang sudah meninggalkan cara berpikir dalam kotak, ternyata penulis malah menganjurkan dengan begitu antusias. Ini tentu menarik sekali untuk dicermati. Dan setelah membaca buku tersebut, dalam beberapa hal sayapun membenarkan bahwa berpikir dalam kotak tetap dapat merangsang kreativitas dan inovasi. Tentu saja, hal ini tidak berarti bahwa cara berpikir lain tidak cukup ampuh untuk melahirkan perbedaan dan keunikan. Bagi saya, ketiga teknik berpikir kreatif ini dapat digunakan bersama-sama atau sendiri-sendiri sesuai kecocokan orang yang akan menggunakannya. Ini hanyalah alat atau teknik saja, bukan tujuan. Tujuan dari berpikir kreatif sendiri adalah melahirkan ide-ide baru yang khas dan menghasilkan efek mengejutkan bagi orang lain. Ketika orang lain memberi ekspresi “wow”, mengatakan “kok bisa ya?”, ataupun “mengapa tidak terpikirkan oleh saya?”, maka itu tandanya bahwa pemikiran kreatif kita telah mencapai hasilnya.

Kembali kepada buku tadi, fakta apa sesungguhnya yang mengantarkan penulisnya sampai pada kesimpulan bahwa berpikir dalam kotak merupakan teknik berpikir kreatif yang bisa digunakan semua orang?

Pada tahun 1999, sekelompok peneliti mengkaji ratusan produk yang sangat sukses untuk mengetahui apa yang membuat produk-produk tadi berbeda dibanding produk lainnya. Pada awalnya banyak yang berpikir bahwa produk yang baru dan inovatif akan menunjukkan perbedaan dibanding produk lainnya. Akan tetapi, hasil temuan mereka menunjukkan bahwa produk-produk inovatif tersebut memiliki pola-pola yang serupa, yang dapat dibentuk menjadi sebuah template. Template inilah yang mengarahkan cara berpikir kita dan mengkanalisasi proses berpikir kreatif dengan cara-cara yang membuat kita semakin kreatif. Dan yang lebih mengejutkan lagi, mayoritas produk yang baru, inventif, dan sukses di pasaran adalah hasil dari 5 (lima) jenis template, yakni pengurangan (subtraction), pembagian (division), pengalian (multiplication), penggabungan tugas/fungsi (task unification), dan ketergantungan atribut (attribute dependency).

Philips Electronics adalah contoh perusahaan yang menggunakan teknik subtraction untuk menelorkan inovasi, diantaranya dengan mengubah DVD player model lama yang memiliki begitu banyak tombol menjadi DVD yang dioperasikan melalui remote control dengan tombol minimalis. Bentuk utilisasi lain teknik ini misalnya headphone dengan pelutup telinga berukuran besar digantikan dengan ear-buds yang berukuran jauh lebih kecil. Dengan alat bantu pendengaran mini ini, bahkan berbicara lewat hand-phone tidak perlu lagi memegang gadget (hands-free). Sementara teknik division adalah teknik memecah/memisah produk dan meletakkannya di tempat tertentu sesuai kebutuhan. Jika AC pada umumnya menempel pada tembok, maka ide AC portable yang dapat dipindah-pindah adalah wujud kreativitas berdasarkan teknik pembagian ini. Printer komputer yang terpisah dari tinta atau cartridge-nya adalah juga contoh sederhana dari teknik ini.

Selanjutnya, teknik multiplication bisa adalah menyalin (copy) sesuatu dan mengubah sedikit sesuai keperluan. Pemasangan roda kecil pada sepeda anak yang baru belajar bersepeda, adalah contoh teknik multiplikasi ini. TV yang bisa menampilkan dua layar sekaligus dengan ukuran berbeda adalah juga contoh sesuatu bisa diduplikasi untuk memenuhi kebutuhan tertentu. Adapun teknik task unification antara lain digunakan oleh Samsonite, perusahaan tas ransel terkemuka. Ransel pada umumnya membuat pemakainya sakit punggung atau leher karena beban yang berat. Menyadari kelemahan ini, Samsonite menciptakan strap (pengait di pundak) yang empuk, dan menekan pada titik shiatsu untuk menimbulkan sensasi pijat. Semakin berat beban di dalam ransel, maka semakin dalam sensasi yang diperoleh pemanggulnya. Selain itu, teknik unifikasi fungsi juga telah dipraktekkan misalnya pada kaos kaki Odor-Eaters yang memberi rasa hangat sekaligus aroma harum pada kaos kaki tersebut. Ada juga produk pelembab wajah yang diberi fungsi tambahan sebagai pelindung matahari. Banyaknya taksi dan bus kota yang memasang iklan pada body kendaraan adalah juga cerminan dari teknik task unification.

Teknik yang terakhir, attribute dependency, adalah teknik melakukan perubahan produk sesuai dengan perubahan keadaan atau kebutuhan tertentu. Wiper mobil yang dibuat dengan kecepatan yang berbeda sesuai dengan lebatnya hujan, atau volume radio/TV yang bisa dinaik-turunkan sesuai tingkat kebisingan lingkungan atau selera pendengarnya, adalah sebuah inovasi yang menyediakan pilihan situasional bagi penggunanya.

Mengapa penggunaan template penting untuk melahirkan inovasi? Dalam kehidupan sehari-hari, template itu kita kenal sebagai kebiasaan (habit). Kebiasaan inilah yang berfungsi untuk memudahkan hidup kita dengan cara memacu pemikiran dan aksi familiar dalam merespon sebuah informasi atau situasi. Dengan kata lain, otak kita bekerja memproses informasi dengan cara mengorganisasikannya dalam kebiasaan yang sudah dikuasai. Kita memiliki kebiasaan atau tabiat harian seperti seperti bangun tidur, mandi, sarapan, berangkat kerja, dan seterusnya. Karena sudah menjadi kebiasaan, maka tidak diperlukan usaha yang besar untuk melakukannya lagi dan lagi.

Uniknya, Boyd dan Goldenberg berargumen bahwa kebiasaan tertentu dapat menuntun kita pada hasil yang tidak biasa, bahkan mengejutkan. Mereka mengatakan: “The most highly creative humans use template to produce extraordinary results”. Mereka memberi contoh bagaimana Paul McCartney dan John Lennon, anggota The Beatles, menghasilkan ratusan lagu abadi sepanjang masa dan menjadi hits dalam tangga-tangga lagu dunia. Dari biografi Paul McCartney terungkap bahwa John Lennon selalu menulis bait pertama, dan itu selalu cukup. Bagi McCartney, itu adalah sebuah direction dan inspirasi untuk seluruh lagu yang akan diciptakan. Terhadap kebiasaan ini, McCartney menulis: “I hate the word, but it was the template”. Nah, atas dasar template itulah kemudian The Beatles menjelma menjadi grup band legendaris yang sangat fenomenal. Bagi Boyd dan Goldenberg, untuk menjadi inovatif, tidak perlu menunggu inspirasi atau datangnya ide-ide brilian, karena hal itu bisa menimbulkan ketergantungan untuk memulai sesuatu.

Pertanyaan yang menggelitik yang diajukan sendiri oleh Boyd dan Goldenberg adalah, mengapa seseorang enggan menggunakan template? Menurut Boyd dan Goldenberg, setiap orang kreatif sejatinya menggunakannya, hanya saja mereka tidak menyadarinya atau khawatir template-nya akan dicuri oleh orang lain. Selain itu, dengan penggunaan template seolah-olah akan mengurangi kreativitas seseorang, namun hal ini dibantah keras oleh Boyd dan Goldenberg bahwa tidak ada satupun yang akan berkurang dengan menggunakan template. Mereka memberi contoh seorang arsitek Amerika yang terkenal, Frank Lloyd Wright, yang membangun rumah spektakuler bernama Fallingwater. Rumah itu sepenuhnya memanfaatkan batu, arus air, maupun komponen lain dari sekitar rumah yang dibangunnya, karena dia merasa tidak perlu mencari ide dan bahan dari luar lingkungannya (simbol tidak perlu berpikir diluar kotak).

Saya punya sedikit kritik atas pandangan Boyd dan Goldenberg. Mungkin benar bahwa template atau berpikir dalam kotak akan memudahkan seseorang untuk menghasilkan karya-karya baru. Namun karya-karya itu mungkin lebih tepat disebut sebagai produktivitas dibanding inovasi. Ratusan lagu The Beatles jelas sebuah produktivitas yang luar biasa, namun warna lagu (genre) relatif sama, yakni termasuk kategori slow/soft music. Dengan kata lain, karena cara membuatnya sama, maka hasilnya relatif sama, meskipun jumlahnya bisa sangat banyak. Lain halnya jika lagu-lagu itu dikombinasi dengan nuansa etnis tertentu, misalnya Afrika, Latin, atau Bali, sehingga menghasilkan corak lagu yang berbeda, maka itu adalah sebuah kreativitas dan inovasi baru. Sayapun agak meragukan bahwa dengan menggunakan template yang sama terus-menerus dapat menghasilkan produk yang berbeda-beda dan inovatif. Sebagaimana dikatakan oleh Einstein, “Insanity is doing the same thing over and over again but expecting different result” (melakukan sesuatu yang sama terus-menerus namun mengharapkan hasil berbeda adalah sebuah kegilaan).

Meskipun saya belum sepenuhnya bisa menerima ide bahwa “berpikir dalam kotak” lebih kreatif dibanding “berpikir diluar kotak” atau “berpikir dengan kotak baru”, tetap saja saya mendukung untuk digunakannya segala macam kotak untuk menghasilkan kreativitas sebanyak dan sehebat mungkin. Saya juga sangat mengapresiasi provokasi Boyd dan Goldenberg untuk kembali ke cara berpikir paling “tradisional” ini. Sebab, dibalik beberapa hal yang bagi saya belum cukup rasional, mereka berdua menantang siapapun untuk berani berpikir lebih keras dan lebih kreatif. Contohnya, mereka menyatakan bahwa brainstorming (curah pendapat) hanya akan menghasilkan ide-ide yang lebih sedikit dan berkualitas lebih rendah. Padahal, selama ini kita yakini bahwa brainstorming merupakan salah satu teknik berpikir kreatif yang dapat menghasilkan banyak ide-ide kreatif. Selain itu, mereka juga menantang pandangan banyak orang bahwa cara berinovasi adalah dengan memulai mendefinisikan permasalahan secara baik, dan kemudian menawarkan alternatif solusinya. Boyd dan Goldenberg justru memulai dengan solusi yang abstrak dan konseptual, baru kembali kepada masalah yang akan dipecahkan. Cara-cara berpikir terbalik yang ditunjukkan oleh kedua orang tadi bagi saya sama artinya bahwa mereka sedang berpikir dengan kota baru, bukan kotak yang sudah eksis dan mereka miliki sebelumnya.

Atas dasar itulah, saya tetap merekomendasikan siapa saja untuk membaca buku ini. Ternyata, begitu banyak cara berpikir yang bisa dipilih untuk membantu memproduksi kreativitas.

Jakarta, 9 September 2014
*veteran-serpong-pejompongan-serpong*

Minggu, 07 September 2014

Inovasi dan Reformasi Birokrasi

Jika ditanya apa hubungan antara inovasi dengan reformasi birokasi, jawabannya justru munculnya pertanyaan-pertanyaan baru. Bukankah reformasi itu adalah juga sebuah inovasi? Apakah kita masih harus berinovasi pada saat yang sama kita sedang melakukan reformasi? Jika ya, dalam hal apa kita dapat berinovasi dan dalam hal apa reformasi perlu dijalankan? Apa yang membedakan inovasi dari reformasi, atau sebaliknya? Mungkin masih banyak lagi pertanyaan yang bisa diajukan untuk “menjawab” pertanyaan dasar diatas.

Saya pribadi berpendapat bahwa perbedaan bahwa perbedaan istilah “reformai” dan inovasi” sudah menunjukkan adanya perbedaan konsep dan makna keduanya. Oleh karena itu, meskipun dalam sebuah reformasi terkandung adanya unsur inovasi, bukan berarti tidak ada lagi ruang-ruang inovasi dalam kebijakan dan program reformasi. Keduanya memang berbeda, namun memiliki filosofi yang sama untuk mendorong perubahan dan pembaruan dalam sistem organisasi dimana kita berada. Inovasi dan reformasi bisa saling melengkapi, saling membutuhkan, dan saling menguntungkan. Tanpa adanya inovasi, reformasi akan terasa kering, kaku, dan terlalu formal, tidak memiliki sentuhan seni dan kreativitas. Sebaliknya tanpa program reformasi (birokrasi) yang terstruktur, inovasi menjadi kurang bertenaga karena tidak didukung oleh kerangka kebijakan yang kuat.

Reformasi birokrasi (RB) sendiri adalah program nasional yang tertuang dalam Peraturan Presiden No. 81/2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi. Sebagai sebuah program nasional, RB telah memiliki skema pencapaian lima tahunan yang jelas (roadmap), area perubahan yang definitive, serta target yang-target yang terukur. Dalam panjang panjang, RB ditargetkan dapat mewujudkan birokrasi kelas dunia (world class bureaucracy), sedangkan dalam kurun waktu lima tahun pertama semenjak Perpres diundangkan (2010-2014), paling tidak ada tiga target besar yang harus dicapai, yakni pemerintahan yang bersih dan bebas KKN, peningkatan kualitas pelayanan publik, serta peningkatan kapasitas dan akuntabilitas kinerja birokrasi. Ketiga target tersebut kemudian dirinci dalam satuan target yang lebih spesifik. Sayangnya, hingga akhir periode roadmap 2010-2014 hampir semua target tidak tercapai, terutama target yang merupakan dampak dari pelaksanaan RB, seperti Indeks Persepsi Korupsi, peringkat kemudahan berusaha (ease of doing business), efektivitas pemerintahan (government effectiveness index), dan integritas pelayanan publik.

Kalaupun ada peningkatan pada indikator daya saing (competitiveness index) Indonesia atau indikator lainnya, tidak berarti ada perbaikan langsung dalam masyarakat. Hal ini dikatakan oleh Wakil Ketua KADIN, Bambang Sujagad, bahwa kenaikan peringkat daya saing Indonesia tidak mencerminkan realitas, karena kalangan pengusaha di Indonesia tidak merasakan perbaikan kualitas layanan pendukung industri dan perdagangan. RB nampaknya masih lebih banyak dinikmati hasilnya oleh kalangan dalam atau para PNS, yang diindikasikan dari besarnya ongkos untuk membayar belanja pegawai. Gejala high cost bureaucracy ini bisa dilihat dari proporsi belanja pegawai terhadap total APBD di 20 provinsi yang lebih dari 50 persen. Sebaliknya, rasio belanja modal terhadap APBD di 21 provinsi rata-rata dibawah 25 persen, yang menyiratkan lemahnya fungsi investasi di sektor publik.

Dengan demikian, meskipun RB telah membawa perubahan terhadap pelayanan publik, namun kurang signifikan. Dalam hal ini, harus disadari bahwa RB saja tidak cukup ampuh untuk mencapai target-target besar yang telah ditetapkan. Mau tidak mau, harus ada “variabel” lain yang harus didorong untuk dapat mengakselerasi RB, yakni inovasi.

Nah, cara kerja inovasi ini agak berbeda dibanding kakaknya yang bernama reformasi. Jika reformasi telah memiliki delapan area perubahan yang telah ditentukan, maka inovasi dapat terjadi di seluruh aspek atau dimensi organisasi. Jika reformasi memiliki pedoman yang baku dengan format-format yang cenderung kaku di setiap areanya, maka inovasi memberi keleluasaan kepada setiap orang dan setiap instansi untuk melakukan perbaikan sesuai dengan ide-ide kreatifnya. Jika reformasi hanya terjadi di dan untuk instansi tertentu, maka inovasi menghendaki adanya replikasi sebuah inovasi ke berbagai instansi lain. Sebagai contoh, jika instansi A memiliki keunggulan atau best practice dalam bidang pengelolaan informasi, maka keunggulan ini hendaknya bisa dikloning dan ditanamkan ke instansi B hingga Z. Demikian pula, jika instansi C memiliki inovasi tentang pelayanan, misalnya, maka seluruh instansi yang lain seyogyanya tinggal mengadopsi untuk instansinya masing-masing. Dengan demikian, energi instansi dapat dihemat untuk fokus memikirkan dan menggulirkan inovasi tertentu, sementara inovasi dalam bidang lain cukup dilakukan dengan cara memodifikasi dari inovasi instansi lainnya. Artinya, inovasi (begitu pula reformasi) semestinya tidak selalu harus dimulai dari awal atau dari nol, sehingga proses perubahan dapat berjalan dengan jauh lebih cepat, sementara manfaatnya lebih luas bisa dirasakan orang banyak.

Mumpung saat ini pemerintah mulai memikirkan penyusunan roadmap RB 2015-2019, alangkah baiknya jika spirit inovasi bisa dimasukkan sebagai pendongkrak (leverage) reformasi agar lebih gesit jalannya. Dalam hal ini, ketentuan yang kaku dan cenderung menghambat kreativitas sebaiknya ditiadakan. Ruang-ruang inovasi atau area perubahan lebih baik dibuka selebar-lebarnya sesuai kebutuhan instansi yang akan menjalankan reformasi. Bentuk dokumen dan cara dokumentasi proses perubahan-pun tidak perlu dibuah secara sama dalam bentuk template. Proses monitoring dan evaluasipun sebaiknya tidak diseragamkan.

Reformasi yang memberi keleluasaan untuk berkreasi itu sangat penting sebab esensi reformasi adalah perbaikan dan pembaharuan. Oleh karena itu, jangan sampai ada inisiatif dan gagasan yang brilian namun gagal berkembang karena terbentur aturan-aturan formal dan artifisial. Pendekatan top down dalam reformasi sudah saatnya diubah menajdi pendekatan bottom up. Kita harus belajar dari pengalaman lima tahun ke belakang, dimana reformasi substansial terkerdilkan oleh reformasi dokumentasi belaka. Betapa banyak dokumen RB sudah disiapkan dan betapa besar energi (terutama biaya) yang dikeluarkan untuk menghasilkan berbagai dokumen tadi, namun belum ada dampak singnifikan yang dirasakan oleh masyarakat.

Dengan demikian, reformasi tetaplah sebuah kewajiban bagi setiap pegawai maupun instansi pemerintah, namun tidak dilakukan dengan cara yang sama, format yang sama, tahapan yang sama, area yang sama, ataupun hasil yang sama. Reformasi hanya akan menjadi proses yang memenuhi harapan kita semua jika dilakukan secara kreatif dan inovatif. Penyeragaman dalam format, tahapan, area, hasil atau dalam aspek lainnya hanya akan mematikan inovasi, yang pada gilirannya akan memperlemah reformasi itu sendiri. Inovasi adalah ruh dan bahan bakar untuk reformasi. Semakin murni dan bertenaga ruh itu, serta semakin banyak bakar itu, maka akan semakin kencanglah reformasi.

Jakarta, 8 September 2014

Kamis, 04 September 2014

Denda Sebagai Bentuk Inovasi Untuk Perubahan?

Segera setelah menjabat sebagai Kepala LAN, pak Agus Dwiyanto melakukan sebuah inisiatif yang unique dan original yakni melarang siapapun pegawai LAN memanggilnya “bapak Kepala LAN”. Beliau mengatakan bahwa orang tuanya memberikan nama kepadanya “Agus Dwiyanto”, sehingga dengan nama itu pulalah kami harus memanggilnya. Di awal-awal kebijaksanaan beliau tadi, saya dan beberapa teman lain merasa kikuk atau kagok, karena menyebut jabatan seseorang itu dalam budaya birokrasi selama ini sama artinya dengan menunjukkan rasa hormat dan menempatkan orang tadi pada proporsinya. Tidak ada yang salah atau berlebihan memanggil “bapak Menteri”, “bapak Deputi”, “bapak Direktur”, “bapak Karo”, dan seterusnya.

Rasa kikuk atau kagok tadi muncul karena ada perasaan takut bahwa memanggil nama asli akan terkesan menurunkan kewibawaan jabatan. Namun uniknya lagi, pak Agus Dwiyanto tidak pernah merasakan wibawanya merosot hanya karena stafnya memanggil beliau dengan nama aslinya. Bahkan beliau memberlakukan denda, bagi siapapun yang lupa dan tetap memanggil beliau dengan “bapak Kepala”, akan didenda Rp 50 ribu untuk sekali salah ucap. Waktu itu, terkumpul hampir Rp 4 juta rupiah, yang berarti ada sekitar 80 kali salah ucap dari para pegawai LAN.

Sekarang, setelah memanggil nama menjadi kebiasaan, justru menjadi kikuk atau kagok ketika kita masih memanggil dengan jabatan. Sekarang, tanpa perlu ada ancaman denda, tidak ada lagi pegawai yang keliru memanggil seseorang dengan jabatannya, apakah itu Kepala LAN, Sestama, Deputi, hingga Kepala Bagian. Artinya, “denda” tadi telah menjadi sarana berlangsungnya perubahan budaya kerja dalam organisasi. Tanpa sadar, tradisi kita memanggil orang dengan jabatannya selama ini telah melanggengkan budaya birokrasi patrimonial yang menempatkan pimpinan sebagai orang mulia yang tidak pernah salah, yang harus selalu diiyakan, serta berada di singgasana atau maqom yang terpisah dari para bawahannya. Budaya paternalistik tadi telah membentuk birokrasi menjadi ladang subur berkembangnya feodalisme yang anti demokrasi. Kesejajaran pimpinan-bawahan menjadi barang mahal, sementara diskriminasi dalam fasilitas dan hal-hal lain menjadi pemandangan biasa. Kreativitas dan inovasi staf menjadi mandeg, sementara kinerja organisasi juga stagnan karena segala sesuatu harus menunggu titah, dhawuh, instruksi, pentunjuk, dan arahan sang pemimpin.

Tentu, petunjuk atau instruksi itu masih tetap dibutuhkan bagi staf agar dapat menjalankan tugas sejalan dengan visi pimpinan. Namun ruang kebebasan yang dibuka lebih lebar dan pemberian kepercayaan yang lebih besar, akan mampu mendorong iklim kerja yang lebih sehat dan kompetitif. Saya pribadi memiliki pengalaman yang sangat berkesan soal “arahan” ini. Ketika saya menerima disposisi pak Agus untuk mewakili beliau memberi ceramah di Diklat Intelstrat BIN untuk materi Sistem Manajemen Nasional, saya merasa wajib memohon arahan beliau agar tidak salah arah. Ternyata, jawaban beliau sangat mengejutkan dan mencengangkan saya. Beliau menjawab melalui email sebagai berikut: “Mas Tri, dalam dunia ilmu pengetahuan tidak ada pimpinan karena pimpinan kita adalah akal sehat dan kekayaan pengetahuan kita sendiri. Jadi tidak perlu arahan, hehe … Sampaikan apa yang menurut mas Tri sebaiknya mereka fahami tentang Sistem Manajemen Nasional”. Meski beliau menyatakan tidak perlu arahan, tapi statement itu saya anggap sebagai “arahan”, yakni arahan yang memberi tantangan besar buat saya untuk tidak mengecewakan kepercayaan beliau. Dan alhamdulillah, hasil evaluasi penyelenggara atas performa saya menurut salah seorang petugas adalah memuaskan.

Dari sedikit uraian diatas dapat dilihat bahwa transformasi kultural dalam sebuah organisasi dapat dilakukan melalui pelepasan atribut-atribut jabatan (cq. nomenklatur jabatan), memberikan delegasi tugas dan kepercayaan yang lebih besar kepada bawahan, serta memperlakukan seseorang sebagai pegawai bukan sebagai pejabat agar terbongkar sekat-sekat komunikasi dan melahirkan suasana yang lebih egaliter. Nah, untuk mempercepat proses transformasi itu, penerapan sistem denda terbukti bisa sangat membantu. Mungkin ada sebagian pegawai yang “terpaksa” memanggil pimpinan dengan nama asli karena sayang harus membayar denda. Secara konseptual, denda memang sebuah bentuk “hukuman” untuk menimbulkan rasa malu, takut, dan jera dalam melakukan sesuatu. Namun secara perlahan, rasa malu dan takut tadi akan berubah menjadi kebutuhan. Pada saat sudah menjadi kebutuhan, yang muncul justru rasa malu jika kita masih saja memanggil pimpinan dengan jabatannya, bukan namanya.

Denda sebagai media transformasi budaya ini juga terjadi dalam banyak kasus, misalnya larangan membuang sampah secara sembarangan. Konon, Singapura bisa begitu bersih dan penduduknya disiplin untuk tidak membuang sampah dimana saja, juga didahului oleh sistem penerapan denda yang mahal dan cenderung memberatkan. Saat kebersihan itu sudah menjadi kebutuhan, maka menjadi aib yang sangat memalukan bagi seseorang yang berani membuang sampah di sembarang tempat.

Dengan dasar berpikir seperti iu, menjadi logis jika pemberlakukan kebijakan sering dibarengi dengan penerapan denda. Sebut saja di Banyuwangi, instansi yang tidak menyediakan ruang untuk menyusui dikenakan denda Rp 5 juta. Kebijakan yang nampak sepele ini memiliki reasoning yang sangat fundamental, yakni menciptakan generasi muda yang cerdas dengan menjamin hak bayi untuk mendapatkan ASI eksklusif. Faktanya, banyak ibu-ibu yang bekerja terpaksa tidak bisa memberi ASI eksklusif itu baik karena alasan jarak yang jauh antara rumah dan temat bekerja, atau karena tidak adanya fasilitas khusus untuk ibu menyusui. Dengan tersedianya ruang khusus bagi ibu menyusui, berbagai alasan itu bisa dikurangi.

Masih di Jawa Timur, Kota Kediri memiliki kebijakan bagi para pria hidung belang yang tidak memakai kondom akan didenda Rp. 5 juta. Inipun kebijakan yang seperti “mencari-cari masalah”. Padahal, kalau diselami lebih jauh, kebijakan ini bertujuan mulia yakni agar tidak terjadi penyebaran / penularan penyakit seksual. Jadi, kebijakan ini bukan untuk melegalkan perzinahan atau prostitusi. Sambil dilakukan pembinaan bagi PSK dan penataan lokalisasi, pencegahan atas kemungkinan penularan penyakit seksual juga harus dilakukan, termasuk dengan ancaman denda agar memiliki kekuatan lebih besar melalui rasa takut, malu, dan jera.

Sementara di Jakarta yang terkenal dengan kemacetan parah, mengaggas kebijakan untuk menerapkan denda sebesar Rp 500 ribu bagi pengendara kendaraan yang parkir sembarangan. Perilaku asal berhenti seenaknya tanpa memikirkan pengguna jalan yang lain, adalah sebuah kebebalan yang akan diruntuhkan dengan sistem denda tersebut. Demikian pula, di lingkungan Monumen Nasional ada kebijakan untuk mengenakan denda sebesar Rp 200 ribu bagi pengunjung yang jajan sembarangan. Selain untuk menciptakan kebersihan, juga untuk mencegah maraknya PKL liar yang tumbuh subur seperti jamur di musim hujan.

Selain itu, ada juga kebijkan di berbagai kota yang melarang merokok sembarang, dengan besaran denda bervariasi. Di Medan, misalnya, orang yang merokok bukan di tempat yang disediakan terancam denda sebesar Rp 10 juta. Kebijakan inipun tentu punya landasan filosofis yang jelas, misalnya untuk menciptakan lingkungan yang bersih bebas dari polusi, mencegah aneka ragam penyakit khususnya bagi perokok pasif, dan membersihkan wajah kota dari puntung-puntung rokok yang menjijikkan.

Di luar negeri lebih unik lagi. Di China ada larangan kencing sembarangan yang diancam dengan denda Rp 1 juta, sedangkan di Sydney ada kebijakan penerapan denda sebesar Rp 5 juta bagi orang yang memaki orang lain di tempat umum. Bahkan di Australia juga terjadi sebuah kasus dimana seorang dari perusahaan listrik dituntut denda sebesar Rp 600 juta karena mengetuk pintu warga yang ada peringatan berbunyi “Dilarang Mengetuk”.

Tanpa adanya denda tadi, maka tujuan sebuah kebijakan tidak akn tercapai maksimal. Tanpa denda tadi, sebuah perubahan sangat mungkin tidak akan terjadi, atau terjadi dengan sangat lambat. Dengan demikian, denda bisa menjadi pemantik perubahan, akselerator transformasi, dan media inovasi. Tentu saja, penetapan kebijakan tentang denda tidak boleh dilakukan secara asal-asalan dan tanpa tujuan yang jelas. Namun sepanjang output perubahan yang ingin diwujudkan konkrit dan terukut, maka penetapan denda tersebut menjadi sebuah inovasi yang sangat perlu ditiru untuk diterapkan pada konteks yang berbeda.


Jakarta, 5 September 2014.