Selasa, 08 April 2025

 Bukan Sekedar Perubahan Nomenklatur

 

Pengantar

Bagi organisasi yang sehat, perubahan kelembagaan sebagaimana dijelaskan pada Bab 1, adalah sebuah kewajaran bahkan keniscayaan. Organisasi itu dapat dianalogikan seperti organisme atau makhluk hidup yang punya naluri untuk terus tumbuh dan berkembang. Jika ada organisasi yang tidak mengalami perubahan dalam jangka waktu cukup lama, justru hanya menunjukkan bahwa organisasi tersebut mengalami kemandegan dan tanda-tanda kemunduran.

Dengan cara pandang seperti itu, maka perubahan kelembagaan LAN yang ditandai dengan lahirnya Perpres No. 93/2024 wajib untuk disyukuri. Perubahan ini harus disikapi bukan sekedar sebagai sebuah kelaziman, melainkan sebagai peluang baru untuk melakukan adaptasi dalam segala bidang. Pun dengan perubahan Deputi Penyelenggaraan Pengembangan Kompetensi menjadi Deputi Penyelenggaraan Pengembangan Kapasitas ASN (DPPK-ASN), hakikatnya adalah sebuah era baru yang membentuk citra baru bagi LAN secara keseluruhan. Seyogyanya, perubahan kelembagaan tidak sekedar “ganti baju” tanpa diikuti oleh proses redefinisi terhadap fungsi dan citra lembaga.

Untuk dapat melakukan redefinisi ini, maka penting untuk menemukan jawaban mengapa perubahan kelembagaan itu dilakukan. Dalam istilah Penjelasan UUD 1945 sebelum Amandemen, filosofi dan nilai-nilai konstitusi itu harus dipahami dari suasana kebatinan (geislichenhintergrund) yang mendasari pembentukan konstitusi tersebut. Demikian pula, esensi perubahan kelembagaan LAN dapat ditemukan pada suasana kebatinan yang melatarbelakangi perubahan tersebut. Saya mencoba menafsirkannya pada uraian dibawah ini.

 

Esensi dan Makna Perubahan Nomenklatur

Paling tidak ada 2 (dua) hal yang bisa menjelaskan mengapa transformasi kelembagaan LAN ini bukan sekedar formalitas perubahan nomenklatur.

Pertama, DPPK-ASN tidak hanya bertugas melaksanakan dalam fungsi penyelenggaraan semata, namun juga perumusan kebijakan dan pembinaan di bidang Pengembangan Kapasitas ASN. Hal ini sangat berbeda dibanding struktur lama dimana fungsi perumusan kebijakan diemban oleh Deputi 3, sedangkan fungsi penyelenggaraan menjadi tanggung jawab Deputi 4. Dengan demikian, fungsi DPPK ASN lebih holistik mencakup ranah stratejik perumusan kebijakan (wilayah hulu) hingga ranah teknis implementasi berupa penyelenggaraan bangkom (wilayah hilir).

Konsekuensinya, seluruh pegawai di lingkungan DPPK-ASN harus terus mengembangkan kapasitas dan berani melakukan tugas yang selama ini belum pernah dilakukan (multi-tasking), serta siap untuk bekerja lebih keras dan lebih cerdas (work harder and smarter). Pada saat yang sama, perlu dilakukan penyesuaian terhadap target kinerja unit dan Sasaran Kerja Pegawai (SKP).

Kedua, frasa “pengembangan kapasitas” bukanlah sinonim dari “pengembangan kompetensi”. Kedua frasa ini butuh penjelasan mengenai apa yang membedakan kapasitas dari kompetensi, sehingga tidak menimbulkan kebingungan secara semantik. Bagi saya pribadi, makna “pengembangan kapasitas” bahkan telah membawa birokrasi Indonesia pada fase atau rezim baru dalam manajemen ASN, yang saya sebut sebagai era Bangkom ASN 3.0 (fase pengembangan kapasitas), sebagai evolusi dari era Bangkom ASN 2.0 (fase pengembangan kompetensi), dan era Bangkom ASN 1.0 (fase pendidikan dan latihan).

Sejak berdirinya LAN berdasarkan PP No. 30/1957, istilah pendidikan dan latihan sudah mulai populer. Hal tersebut dinyatakan dalam salah satu tugas LAN yakni “menyelenggarakan dan mengawasi pendidikan dan latihan pegawai negeri sipil dan/atau calon pegawai negeri sipil, sehingga menjadi tenaga administrasi negara yang mempunyai kepribadian dan kecakapan sesuai dengan tugasnya”. Selanjutnya berdasarkan Keputusan Presiden No. 34/1972 tentang Tanggung Jawab Fungsionil Pendidikan dan Latihan, LAN diberi tugas dan tanggungjawab atas pembinaan pendidikan dan latihan khusus untuk Pegawai Negeri.

Era Bangkom ASN 1.0 atau fase Diklat terus berlangsung hingga tahun 2014 saat lahirnya UU No. 5/2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN). Dengan kata lain, UU ini mengakhiri fase Diklat dan memperkenalkan istilah pengembangan kompetensi (Bangkom) sebagai era Bangkom ASN 2.0.

Meskipun tidak ada perbedaan yang sangat fundamental, namun konsepsi diklat jelas berbeda dibanding bangkom. Secara umum, diklat lebih sempit ruang lingkupnya di banding bangkom, sehingga bisa dikatakan pula bahwa diklat adalah bagian dari bangkom. Sementara secara substantif, beberapa perbedaan diklat dan bangkom bisa diringkas sebagai berikut:

·       Diklat bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan perilaku atau KSA (knowledge, skill, attitude), sedangkan bangkom lebih fokus pada peningkatan kompetensi. Dalam hal ini, kompetensi tidak hanya mencakup KSA namun juga potensi dan kinerja. Itulah sebabnya, bangkom tidak berhenti ketika seorang peserta sudah meningkat KSA-nya, tetapi juga harus dikaitkan dengan peningkatan potensi dan kinerjanya.

·       Diklat pada umumnya dilakukan secara klasikal atau pertemuan tatap muka di ruang kelas dengan alokasi waktu tertentu. Sementara bangkom membuka peluang penyelenggaraan secara non-klasikal. Artinya, program peningkatan kapasitas pegawai dapat dilakukan secara tatap muka (offline: luar jaringan) atau virtual (online: dalam jaringan), dapat di ruang kelas atau nir-kelas (LFA: learning from anywhere), dapat dilaksanakan pada waktu tertentu atau tanpa batas waktu (flexy learning). Bangkom non-klasikal juga berarti bahwa metode yang digunakan tidak konvensional seperti ceramah, diskusi kelompok, atau simulasi, namun bisa berupa coaching-mentoring, detachment atau detasering, magang, belajar mandiri (self-learning), belajar antar mitra kerja (peer-learning), dan seterusnya. Singkatnya, “madzab” diklat berprinsip means justify ends, sedangkan bangkom sebaliknya, ends justify means.

·       Dalam program diklat, seorang Widyaiswara atau penceramah menjadi pusat pembelajaran, dan posisi peserta lebih sebagai audiens semata. Peserta diibaratkan gelas yang kosong, dan akan diisi oleh Widyaiswara atau penceramah tadi. Analoginya seperti para pemirsa yang sedang menyimak berita di TV, pembawa acara diasumsikan memiliki pengetahuan yang siap ditransfer kepada pemirsa. Informasi dari penyiar dianggap sebagai sebuah kebenaran. Dengan kata lain, proses pembelajaran lebih berpusat pada penyiar berita atau Widyaiswara (teacher centered). Sedangkan dalam program bangkom, peserta adalah pusat pembelajaran (student centered). Mereka ikut pelatihan bukan bermodal otak kosong, justru membawa pengalaman yang beragam untuk dibagikan kepada sesama peserta. Dalam konteks seperti ini, peserta dapat menjadi sumber belajar bagi peserta lain secara timbal balik. Kedudukan Widyaiswara bukan lagi sebagai pengajar, melainkan fasilitator yang memudahkan proses belajar imbal balik tadi dapat terwujud. Inilah yang dimaknakan dengan prinsip belajar berbasis pengalaman (experiential learning), berbagi pengalaman untuk mendapatkan pengalaman baru.

Makna pengembangan kapasitas (bangtas) sendiri sangat bersesuaian dengan pengembangan kompetensi (bangkom). Bedanya, penerima manfaat program bangkom pada umumnya masih terbatas pada individu peserta saja, yakni berupa peningkatan pengetahuan, keterampilan atau perilaku. Idealnya, bangkom diberikan kepada pegawai agar pegawai yang bersangkutan bisa berkontribusi lebih besar terhadap kinerja institusi. Namun yang lebih banyak terjadi adalah bahwa bangkom didesain hanya sebagai strategi untuk menutup kesenjangan kompetensi seorang pegawai (competency-based training). Maka, link and macth antara kompetensi seseorang dengan performa instansi atau sektor seringkali tidak terwujud. Ilustrasinya, birokrasi di Indonesia ini sesungguhnya diisi oleh para pejabat dan pegawai yang relatif kompeten, namun mengapa angka kemiskinan dan pengangguran masih tinggi, mengapa masih besar angka anak putus sekolah atau prevalensi penyakit tertentu? Ini yang saya sebut bahwa diklat dan bangkom masih berorientasi secara intrinsik, yakni meningkatkan kompetensi peserta. Peningkatan kompetensi peserta ini baru tangga terendah dari hasil bangkom, atau loop pertama yakni Personal Mastery (keunggulan individu).

Dengan lahirnya program bangtas, level dampak dari pelatihan ingin dinaikkan sampai ke loop 2 (Team Learning), loop 3 (Shared Vision), loop 4 (Mental Model), dan bahkan loop 5 (Systems Thinking). Kelima loop ini saya adopsi dari bukunya Peter Senge yang berjudul “The Fifth Discipline: The Art and Practice of The Learning Organization“ (Random House Books; edisi revisi ke-2, 2006). Saya haqqul yaqin jika hasil dan dampak pelatihan kita bisa menyentuh sampai ke loop-5, maka masalah apapun di negeri ini akan sangat mudah diselesaikan. Saya akan membahas tentang 5 loop dalam pengambangan kapasitas ini dalam tulisan tersendiri.

 

Implikasi Perubahan

Perubahan kelembagaan sebagaimana dipaparkan diatas akan semakin bermakna jika dibarengi dengan perubahan cara kerja, sikap kerja, dan hasil kerja.

Dari aspek cara kerja atau business process yang ada selama ini sudah saatnya disesuaikan dengan paradigma kelembagaan yang baru. Hal ini selaras dengan arahan Kepala LAN, Dr. Muhammad Taufiq, DEA pada acara pelantikan dan pengambilan sumpah Jabatan Pimpiman Tinggi Madya dan Pratama beberapa waktu lalu: “Deputi Penyelenggaraan Pengembangan Kapasitas ASN harus adaptif dan berani melakukan re-desain terhadap program-program pengembangan kompetensi”. Oleh karena itu, DPPKASN perlu gerak cepat untuk mereviu proses penyelenggaraan bangtas yang berjalan selama ini, sembari merencanakan pembaharuan secara holistik untuk kedepan, meliputi dari aspek kurikulum, materi pelatihan, metode belajar, produk belajar, sarana dan prasarana, serta aspek pendukung lainnya (budaya belajar, analisis data, networking, dan seterusnya).

Selanjutnya dari aspek sikap kerja, hal terpenting yang harus ditanamkan dalam believe system seluruh punggawa DPPKASN adalah bahwa kedeputian ini adalah unit pelayanan. Siapapun yang bekerja di unit pelayanan, selalu dituntut memiliki orientasi yang kuat terhadap pelanggannya. Pelanggan bukanlah beban bagi para pelayan publik, justru mereka adalah berkah luar biasa yang akan memberikan makna hidup bagi siapapun yang melayani setulus hati. Maka, syukurilah ketika kita mendapat kesempatan bekerja di unit pelayanan, karena ada ribuan ASN lain yang tidak mendapat kesempatan untuk melayani publik secara langsung.

Saya jadi teringat ucapan Arnold Schwarzenegger dan Condoleezza Rice tentang betapa mulianya jabatan ASN selaku pejabat publik. Arnold yang pernah menjabat Gubernur California (2003-2011) berucap: “I guarantee you will discover that while public service the lives and the world around you, its greatest reward is the enrichment and new meaning it will bring your own life”. Sedangkan Rice yang menjabat sebagai Menteri Luar Negeri AS masa Presiden George W. Bush (2005-2009) memiliki quote yang amat kuat yakni: “There is no greater challenge and there is greater honor than to be in public service”.

Beberapa sikap kerja yang perlu diperbaharui diantaranya: penegakan integritas dengan berbagai strategi (penguatan ISO Anti Penyuapan, penerapan ZI/WBK/WBBM, pelaporan gratifikasi, internalisasi core value Berakhlak), penguatan orientasi pelanggan untuk menciptakan quick response dan zero defect, serta secara terus-menerus membangun budaya kualitas melalui forum dialog mutu, briefing 2 mingguan, dan seterusnya.

Adapun dari aspek hasil kerja, IKU (indikator kinerja utama) kedeputian maupun direktorat dibawahnya juga butuh penyesuaian. Indikator-indikator terkait penyelenggaran wajib ditambah dengan indikator pembinaan dan perumusan kebijakan. Sementara IKU yang masih di level output perlu didorong agar mampu menyentuh ke level outcomes bahkan impact.

Tidak ada komentar: