Laman

Sabtu, 30 Juli 2011

Sindrom Inferioritas Daerah terhadap Pusat

Suatu ketika, teman sekamar saya yang berasal dari Sumatera Barat menceritakan bahwa dia dan teman-temannya adalah pejabat yang tergolong vokal, berpikiran maju, dan sosok-sosok terpilih atau unggulan di daerah. Namun begitu mereka masuk dalam program Diklatpim II, mereka merasa bukan apa-apa dan bukan siapa-siapa. Kawan saya ini juga melihat bahwa peserta dari kementerian atau lembaga tingkat pusat jauh lebih pintar dan hebat dibanding mereka yang berasal dari daerah. Kondisi seperti inilah yang membuat sebagian dari mereka menjadi kurang aktif di kelas, atau menolak diberi peran penting dalam kelompok, misalnya sebagai ketua kelas/ketua kelompok, atau presenter pada aktivitas tertentu. Dengan kata lain, terjadi sebuah kondisi minder (inferioritas) aparat daerah terhadap aparat pusat.

Di lain kesempatan, salah satu kawan dari Jambi beberapa kali menceritakan kepada saya bahwa motivasi dia ikut Diklatpim II adalah untuk refreshing, syukur-syukur jika dalam upaya penyegaran tadi mendapatkan ilmu-ilmu baru. Dia seolah menyadari sepenuhnya bahwa keberadaan dia bukanlah untuk memberi nilai tambah bagi program Diklatpim II yang diikuti maupun bagi dirinya sendiri. Boro-boro ada keinginan menjadi yang terbaik, dengan motivasi awal seperti itu, dia tidak fight untuk menyerap pembelajaran semaksimal mungkin, atau memanfaatkan momentum diklat sebagai kesempatan mengembangkan kapasitas dirinya. Saya menangkap kesan bahwa dia sudah sangat puas mendapat peran sebagai “pelengkap penderita”. Sekali lagi, hal ini mencerminkan adanya sindrom inferioritas yang menjangkiti sebagian pejabat daerah.

Saya juga memperhatikan, ada seorang kawan dari Sumatera Selatan yang pada 3 minggu pertama sangat aktif mengemukakan pendapat di kelas atau di kelompok, namun setelah itu grafiknya terus menurun hingga akhirnya cenderung menjadi pasif. Saya tidak tahu pasti apa alasan dibalik perubahan itu. Bisa jadi karena kejenuhan, namun saya menduga bahwa sindrom inferioritas mulai menjangkitinya seiring dengan interaksinya dengan rekan-rekan dari pusat.

Jika dilihat beberapa indikator obyektifnya, sesungguhnya sindrom inferioritas tadi tidak perlu terjadi. Dilihat dari segi pendidikan, baik peserta dari pusat maupun dari daerah rata-rata adalah magister (S2), meski beberapa kawan dari pusat memang sudah bergelar doktor. Mereka juga mayoritas sama-sama sudah menduduki jabatan Eselon II, hanya beda tipis antara II-a di pusat dan II-b di kabupaten/kota. Namun, ada dua indikator lain yang memang sangat mencolok kesenjangannya, yakni dalam hal penguasaan bahasa Inggris dengan keterampilan mengoperasikan komputer. Dalam dua aspek ini, teman-teman dari daerah memang terlihat jauh tertinggal. Banyak diantara kawan dari daerah yang membeli laptop bahkan tablet baru, namun tetap saja tidak optimal penggunaannya karena mereka masih dalam taraf belajar. Saya sendiri banyak memberikan bantuan teman-teman daerah tentang cara memanfaatkan internet, cara membaca dan menjawab email, cara mencari informasi penting melalui search engine, dan sebagainya.

Apapun penyebab terjadinya sindrom inferioritas tadi, paling tidak ada dua hal yang patut mendapat perhatian serius dari berbagai pihak yang bertanggungjawab terhadap program pendayagunaan aparatur. Pertama, bagaimana meminimalisir gap kompetensi antara pejabat pusat dan daerah, sekaligus menjamin kompetensi yang standar untuk level jabatan yang sama, baik di pusat maupun daerah. Kedua, bagaimana menyelaraskan antara tujuan penyelenggaraan Diklatpim II dengan ekspektasi individual peserta. Hal ini sangat penting karena jika tujuan diklat adalah meningkatkan kompetensi sementara orientasi peserta hanya untuk refreshing, maka sesungguhnya telah terjadi inefisiensi sumber daya, baik pada instansi asal peserta tersebut maupun pada instansi penyelenggara diklat.

Upaya lain yang dapat dipikirkan adalah dengan menciptakan forum-forum yang lebih sering, yang melibatkan interaksi pejabat dari daerah dan dari pusat secara timbal balik. Dalam konteks ini, desain Diklatpim II menurut saya sudah sangat bagus untuk memainkan fungsi sebagai jembatan kompetensi antar daerah, antar kementerian/lembaga, serta antara pusat dan daerah. Bahkan ada baiknya jika seluruh diklat aparatur juga didesain dengan untuk mempertemukan unsur daerah dan pusat. Demikian pula dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan tertentu, meskipun sebagian besar telah didesentralisasikan kepada daerah lengkap dengan komponen pembiayaannya, perlu dipikirkan mekanisme yang menyatukan unsur pusat dan daerah dalam implementasinya. Dengan adanya program yang selalu didesain dalam kerangka “sinergi pusat – daerah”, diharapkan tidak akan terjadi lagi sindrom inferioritas dari kelompok yang satu terhadap kelompok yang lain.

Kampus Pejompongan Jakarta
Jum’at, 29 Juli 2011

Jumat, 29 Juli 2011

Men Sana in Corpore Sano


Pagi hari ini, sehabis senam dan poco-poco bersama, saya melanjutkan olahraga dengan jogging keliling kampus bersama seorang kawan yang berlatar belakang militer. Aktivitas bersama seperti ini saya rasakan besar sekali manfaatnya. Disamping menimbulkan rasa kedekatan secara personal, juga mampu menjadi sumber inspirasi baru, sebagaimana yang saya alami. Sambil berlari-lari kecil, kami berbincang bebas tanpa topik, mengalir begitu saja seiring dengan aliran nafas saya yang semakin ngos-ngosan.

Ketika saya sudah merasa ngos-ngosan meski baru satu putaran, sementara kawan saya yang 11 tahun lebih tua justru merasa belum “panas”, saat itulah terpikirkan oleh saya betapa tinggi kesenjangan antara birokrat sipil dengan aparat militer dalam hal stamina, kebugaran jasmani, dan ketahanan fisik. Padahal, fisik yang kuat akan sangat membantu keberhasilan tugas-tugas organisasi. Kondisi fisik yang prima juga akan sangat mempengaruhi emosi dan perilaku secara positif, sebagaimana makna dari pepatah Latin Men Sana In Corpore Sano (dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang sehat, a sound mind in a healthy body). Ternyata, pepatah ini memiliki pengaruh yang sangat kuat (influential) di berbagai sektor. Bukan hanya John Locke (1632–1704) yang menggunakannya dalam bukunya berjudul Some Thoughts Concerning Education, namun institusi militer seperti Royal Marine Physical Training Instructors, Hargrave Military Academy, Canadian Military, dan sebagainya juga menggunakan sebagai bagian dari indoktrinasi mereka. Intisarinya sederhana saja: jika ingin bahagia, usahakan agar fisik kita sehat dan bugar. Sebab, orang yang terganggu mentalitas atau kejiwaannya, pastilah didahului oleh kondisi fisiknya yang tidak memadai.

Dengan melihat betapa pepatah itu sudah begitu luas diterapkan, maka agak aneh jika birokrasi sipil di Indonesia tidak mencoba mengadopsinya. Dari jogging dengan kawan eks Kolonel tadi saya meyakini bahwa program pembangunan fisik jasmani adalah sebuah kebutuhan yang sangat fundamental bagi pejabat/pegawai pemerintah, termasuk bagi peserta diklat. Ketika sistem kebijakan dan sistem kepegawaian kita sudah mengakomodir aspek fisik jasmani sebagai kebutuhan, maka kesehatan dan kekuatan fisik jasmani ini harus menjadi salah satu kompetensi yang dipersyaratkan dalam proses rekrutmen, mutasi maupun promosi. Selain itu, program pembangunan fisik jasmani juga harus menjadi program yang terstruktur dalam seluruh program organisasi pemerintah di level manapun. Sejak saat itu, saya memiliki keyakinan baru bahwa keberhasilan pemerintah akan ditentukan sebagian oleh seberapa tinggi tingkat keberhasilan program pembangunan fisik jasmani.

Manfaat lain yang bisa diperoleh dengan meningkatnya pembangunan fisik jasmani dari birokrat sipil adalah menjadi sistem pelapis yang kuat bagi pembangunan ketahanan nasional. Kapan saja integritas dan keutuhan bangsa terancam, dan kapan saja Ibu Pertiwi memanggil, maka para pejabat sipil ini telah siap menjadi kekuatan pelapis yang dapat diandalkan.

Keyakinan baru saya ini adalah sebuah keyakinan yang agak terlambat, karena saya sudah mengabdi 17 tahun lebih untuk birokrasi sipil Indonesia, tepatnya di Lembaga Administrasi Negara. Selain itu, saat keyakinan ini datang, secara sangat kebetulan program senam pagi telah berakhir, seiring datangnya bulan suci Ramadhan beberapa hari lagi. Artinya, itulah kesempatan saya yang pertama dan terakhir untuk jogging bersama Kolonel sang pelatih. Namun, saya selalu yakin bahwa tidak pernah ada kata terlambat untuk niat baik atau usaha kearah perbaikan, sebagaimana sebuah pepatah mengatakan: better late than never

Kampus Pejompongan Jakarta
Kamis, 28 Juli 2011

Rabu, 27 Juli 2011

Pengendalian Diri: Esensi Lain Kepemimpinan


Pagi ini setelah senam pagi, ketua kelas mengumumkan bahwa pada hari Senin, 1 Agustus 2011, tidak akan ada pembelajaran, setelah mendapat persetujuan dari Kapus Diklat SPIMNAS Bidang Kepemimpinan. Pengumuman ini menyebabkan banyak orang merasa plong. Ada beberapa orang yang plong karena dapat pulang kampung dan merasakan puasa hari pertama bersama keluarga, namun beberapa orang lain – termasuk saya – plong karena telah tercapai kesepahaman antara kelas dengan penyelenggara, sehingga keputusan tersebut dapat mencegah dari kemungkinan lain yang lebih buruk.

Malam hari sebelumnya, di ruang makan sempet perbedaan pandangan yang cukup tajam antara kelompok yang menghendaki agar pengurus kelas menghadap dengan baik-baik kepada penyelenggara untuk menyampaikan aspirasi mayoritas peserta agar hari pertama puasa diliburkan, dengan kelompok yang menghendaki semua peserta untuk tidak hadir pada hari pertama puasa dengan berlindung dibalik “hak” peserta untuk minta ijin. Perbedaan ini muncul sebagai bentuk respon yang berbeda terhadap surat jawaban Kapus Diklat SPIMNAS Bidang Kepemimpinan yang menolak dengan halus permohonan yang diajukan ketua kelas untuk meliburkan hari pertama puasa.

Kelompok yang menyarankan agar ditempuh dialog percaya bahwa selalu ada jalan keluar terhadap setiap masalah atau tujuan bersama. Oleh karena itu, kelompok ini tidak sepakat dengan model ijin secara massal, karena hal itu sama artinya dengan tindakan pemboikotan. Jika diperlukan, aspirasi dapat saja didukung dengan bukti tanda tangan peserta secara populasi (tidak melalui representasi pengurus kelas). Sebagaimana dalam dunia politik, ada sistem demokrasi berdasarkan perwakilan, namun ada pula sistem referendum, yakni meminta pendapat secara langsung dari seluruh rakyat untuk hal-hal yang sangat fundamental, atau manakala mekanisme perwakilan dinilai tidak lagi efektif.

Sementara itu, kelompok kedua berpandangan bahwa tidak mungkin bagi Kapus Diklat SPIMNAS Bidang Kepemimpinan menarik kembali surat penolakannya. Penolakan dipandang sebagai keputusan akhir, dan akan sia-sia menempuh cara yang sama yakni mengirim surat baru, meski dengan tanda tangan secara kolektif. Untuk itu, kelompok ini menghendaki cara yang sedikit “frontal” yakni ijin secara kolektif.

Namun, aspirasi untuk mengajukan ijin secara kolektif ini tidak mendapat dukungan beberapa teman, khususnya yang saya nilai masih memiliki idealism dalam mengikuti diklat. Selain terkesan “memboikot” penyelenggara, opsi ini juga “merampas” hak peserta yang tetap ingin mengikuti pembelajaran sesuai dengan jadual semula. Oleh karenanya, kelompok yang tidak sepakat dengan opsi tadi justru menawarkan opsi lain, yakni agar peserta yang akan pulang kampung pada hari pertama puasa dapat megajukan ijin resmi kepada penyelenggara, tanpa harus mempengaruhi peserta lainnya. Hal ini diyakini sebagai win-win solution bagi penyelenggara dan bagi peserta.

Satu hal yang menarik dan patut dijadikan sebagai pembelajaran adalah bahwa surat pertama Kapus Diklat SPIMNAS Bidang Kepemimpinan yang berisi penolakan sempat menimbulkan emosi dari beberapa teman yang berusaha melakukan “perlawanan” dengan cara mengusung gagasan ijin massal tadi. Beberapa teman ini terkesan tidak mau menerima surat Kapus Diklat dan ingin “memaksakan kehendak” sendiri. Kesan lain yang saya tangkap, sikap “ngotot” beberapa teman ini dipicu oleh sikap Kapus Diklat yang dianggap tidak aspiratif dan juga tidak konsekuen dengan sikap awalnya yang memberi harapan, namun pada akhirnya tetap menolak.

Kesan saling keukeuh inilah yang saya nilai kurang mencerminkan semangat kepemimpinan, padahal baik peserta maupun penyelenggara pada hakekatnya adalah para pemimpin. Dalam pandangan saya, semestinya peserta tetap legawa meski permohonannya ditolak, dan tetap menjalankan kewajiban mengikuti seluruh program diklat dengan sepenuh hati. Sebaliknya, penyelenggara-pun akan lebih baik jika bisa lebih banyak mendengar dari pada bicara, lebih banyak meyerap aspirasi dari pada hasrat untuk dituruti. Kedua belah pihak seyogyanya mampu mengendalikan diri dan tidak memaksakan kehendak sendiri, namun lebih mengedepankan empati dan mengukur diri berdasarkan “sepatu” orang lain.

Mengapa demikian? Bagi saya, pemimpin bukanlah mereka yang harus selalu diikuti keinginannya, namun justru yang dapat mengikuti dan memenuhi keinginan orang lain, khususnya yang berada dibawah kepemimpinannya. Semakin tinggi kemampuan pengendalian dirinya, maka semakin tinggi pulalah kualitas kepemimpinannya. Namun, tentu saja seorang pemimpin tidak selamanya harus bersifat akomodatif dan kompromistis. Dalam keadaan tertentu, mereka juga harus mampu menunjukkan diri sebagai seorang yang memiliki prinsip, tegas, dan bahkan berani  memberikan sanksi bagi anggotanya yang tidak patuh terhadap keputusan yang diambil. Dengan kombinasi yang seimbang antara kemampuan mengendalikan diri serta ketegasan dalam bertindak, maka setiap keputusan yang dibuat akan memiliki kadar kewibawaan yang relatif tinggi, sehingga mengundang semua pihak untuk mentaatinya secara sadar dan legawa.

Kampus Pejompongan Jakarta
Rabu, 27 Juli 2011

Selasa, 26 Juli 2011

Sisi Lain Diklatpim II


Dibalik proses pembelajaran yang terstruktur, Diklatpim II sesungguhnya menawarkan banyak keuntungan lain. Keuntungan tadi jelas bukan keuntungan material, namun lebih banyak keutungan immaterial, dari bertambahnya kawan yang membentuk jaringan, kesempatan untuk menunjukkan jati diri kita dihadapan pejabat dari berbagai kementerian/lembaga dan pemerintahan daerah, serta ilmu-ilmu, hikmah, dan semangat yang kita peroleh dari sesame peserta. Pendeknya, keberadaan kawan-kawan peserta adalah sumber ilmu dan kearifan yang semestinya kita manfaatkan untuk meningkatkan ilmu dan kearifan kita. Dalam konteks inilah saya menulis jurnal ini.

Salah seorang peserta yang saya panggil “ustadz” sering sekali memberikan nasihat-nasihat yang menjadikan suasana Diklatpim II menjadi tidak garing. Dia mengatakan bahwa sesungguhnya dunia ini tidak ada nilai. Jika dunia bernilai, maka orang kafir akan diharamkan oleh Allah SWT mendapatkannya. Hal yang paling bernilai di dunia ini adalah agama, yang hanya diberikan kepada yang beriman. Ironisnya, dalam kehidupan kita sehari-hari, kita terlalu disibukkan untuk membicarakan memamerkan sampah (analogi untuk dimensi duniawi yang tidak bernilai), sementara intan berlian (analogi untuk agama dan kehidupan di alam nanti) malah tidak banyak dibicarakan dan dipamerkan. Ini mencerminkan bahwa mata manusia tertipu oleh hal yang nampak (material). Hal-hal yang tidak nampak tertutup oleh hujjah, yang hanya akan terbuka jika kita dekat dengan agama dan mencari sesuatu yang immaterial (transedental). Contoh orang yang terbutakan adalah pejabat tinggi yang tidak bisa nyenyak meski tidur di istana, sementara orang biasa tidur pulas meski hanya di asrama.

Pada kesempatan lain sambil menunggu penceramah yang datang terlambat, sang ustadz juga menceritakan bahwa sesuatu yang pasti, namun karena tidak diulang-ulang, maka menjadi seolah-olah tidak pasti. Sebagai contoh, adalah maut. Entah kapan dan dimana, maut akan datang kepada segala hal yang hidup. Sayangnya, meski maut adalah hal yang mutlak kebenarannya, banyak orang yang tidak menyiapkan diri untuk menghadapinya, seolah-olah mereka masih belum yakin bahwa maut akan menjemputnya. Hal ini karena jarang sekali kita membicarakan soal maut dalam kehidupan sehari-hari. Sebaliknya, sesuatu yang tidak pasti, karena diulang-ulang, maka terlihat seolah-olah menjadi pasti. Contohnya adalah kehidupan dunia soal karir, pendidikan, kekayaan, atau juga kondisi masa depan. Apa yang kita lakukan dengan kerja keras dari pagi hingga malam seolah-olah sudah pasti akan memberi keuntungan dan nilai tambah bagi hidup kita. Padahal, dunia adalah kehidupan yang sesungguhnya semu, bahkan cenderung “menipu”, kecuali bagi mereka yang tidak mau terjerumus kedalam permainan dunia yang penuh jebakan dan senda-gurau.

Dalam kasus lain, karena AS berkali-kali disebut sebagai negara super power baik secara militer maupun ekonomi, maka orang membayangkan jika suatu negeri diserbu AS maka pasti hancur lebur dalam hitungan hari. Namun dia tidak berpikir bahwa bencana tsunami yang meluluhlantakkan Aceh (2004) dan Jepang (2011) hanyalah setitik abu dari kekuasaan Allah yang begitu besar tak terbatas. Dalam kenyataannya, orang justru mengagumi kehebatan AS dibanding kekaguman kepada Sang Pencipta alam semesta.

Berbagai ilustrasi tadi menyiratkan sebuah kondisi dimana nilai-nilai agama sudah mulai tergerus oleh pragmatisme keduniawian. Saking pendeknya pemikiran manusia, orang tua selalu menasihati anaknya agar menggantungkan cita-cita setinggi langit. Padahal, langit hanyalah setitik ciptaan Allah yang teramat luas diluar kemampuan akal pikiran manusia. Oleh karena itu – menurut ustadz teman saya tadi – seharusnya kita menggantungkan cita-cita semata-mata hanya untuk menuju kepada pencipta kita, yakni Allah SWT, dan meraih ridho-Nya.

Kondisi serba keduniawian tadi sedikit banyak dikontribusikan oleh sistem pendidikan formal, pendidikan informal, maupun pendidikan aparatur yang sangat sekuler dan kurang sekali memberi porsi pendidikan akhlak, budi pekerti, etika, dan keagamaan. Oleh karena itu, paradigma pendidikan di Indonesia semestinya lebih memberi porsi terhadap muatan-muatan spiritualitas dan keagamaan.

Selain teman yang ustadz tadi, saya juga beruntung mengenal seseorang yang telah cukup sepuh (57 tahun) yang sudah saya anggap sebagai saudara bahkan orang tua bagi saya. Ciri khas beliau adalah sangat kocak, baik hati, dan suka memotivasi orang lain. Saya adalah salah seorang yang didukung oleh beliau untuk menjadi yang terbaik dalam kelas kami. Beliau mengatakan bahwa pegawai seusia saya memang harus memiliki target-target yang tinggi dan tidak boleh kendor. Beliau juga memiliki keyakinan bahwa saya memiliki kemampuan memadai untuk menjadi yang terbaik.

Dengan lingkungan sosial seperti si ustadz atau teman yang sudah saya anggap sebagai bapak tadi, maka saya merasa keberadaan saya dalam program Diklatpim II begitu tidak sia-sia. Banyak keuntungan yang benar-benar saya dapatkan, dan saya yakini sangat bermanfaat bagi diri saya pribadi. Tentu saja, saya juga berusaha agar keberadaan saya membawa keberuntungan dan manfaat buat teman-teman yang lain.

Kampus Pejompongan Jakarta
Selasa, 26 Juli 2011

Senin, 25 Juli 2011

Sekali Lagi Tentang Sinergi

Pada jurnal #17, saya sudah menulis perihal sinergi. Saya berpikir tidak ada lagi hal yang menarik dari issu yang diangkat sebagai tema Diklatpim II ini, hingga hari ini, ujian Kajian Kebijakan Publik ternyata berisi soal tentang sinergi. Nampaknya, penyelenggara Diklatpim II benar-benar ingin meyakinkan bahwa peserta telah memahami esensi sinergi dan mengetahui bagaimana menerapkannya dalam tupoksi di instansi masing-masing.
Soal yang ditanyakan dalam ujian tadi adalah tentang faktor-faktor yang potensial mengakibatkan gagalnya sinergi antar bagian atau antar instansi pemerintah. Saya sendiri memberikan jawaban bahwa efektivitas sinergi dan koordinasi akan sangat tergantung pada 6 (enam) kondisi sebagai berikut:
  • Ketidakmampuan organisasi untuk belajar (learning disabilities). Semakin tingkat tingkat ketidakmampuan organisasi untuk belajar, maka semakin sulit melakukan sinergi dan koordinasi.
  • Ketidakmampuan organisasi untuk beradaptasi dengan lingkungan. Semakin tinggi tingkat ketidakmampuan organisasi untuk beradaptasi dengan lingkungan, maka semakin sulit melakukan sinergi dan koordinasi.
  • Tingkat soliditas atau kemampuan mewujudkan shared-vision. Semakin beragam kepentingan dalam organisasi, semakin banyak perilaku oportunistik (opportunistic behavior) dalam organisasi, maka semakin sulit pula sinergi atau koordiansi dilakukan.
  • Besarnya/banyaknya unit kerja/instansi yang terlibat dalam suatu program. Semakin besar/banyak pihak yang harus dikoordinasikan, maka semakin sulit pula kemungkinan mewujudkan sinergi dan koordinasi.
  • Tingkat partisipasi dan kepedulian dalam organisasi. Semakin tinggi partisipasi dan kepedulian anggota organisasi terhadap visi dan program yang sudah disepakati, maka semakin mudah untuk melakukan koordinasi dan meraih sinergi.
  • Tingkat kejelasan otoritas dan kewenangan organisasi/pejabat tertentu. Semakin kabur batas-batas wewenang sebuah instansi atau semakin lemah seorang pejabat mengeksekusi kewenangannya, semakin sulit sinergi dan koordinasi dibangun.
Selain faktor yang berkontribusi terhadap gagalnya sinergi, soal ujian juga menanyakan solusi apa yang layak untuk dikembangkan untuk mengatasi potensi gagalnya sinergi tersebut. Dalam menjawab pertanyaan ini, saya mengajukan 3 (tiga) opsi sebagai berikut:

  • Organisasi harus melakukan proses pembelajaran secara terus menerus (continuos learning). Program pengembangan kapasitas perlu banyak dilakukan sebagai bagian dari proses pembelajaran tiada henti tersebut.
  • Setiap organisasi harus memiliki media untuk berkomunikasi dengan semua instansi/pihak yang terkait, misalnya dalam bentuk stakeholder meeting. Dengan demikian, sejak tahap perencanaan, implementasi, hingga pengukuran hasil atau kinerjanya dapat dilakukan secara sinergis.
  • Program pertukaran excgange pejabat lintas instansi secara periodic. Hal ini menurut saya akan menjadi terobosan luar biasa dalam membangun sinergi lintas instansi. Bahkan ada manfaat tambahan misalnya berupa pengayaan pengalaman, terbukanya jaringan kerja (network), serta mengurangi hambatan komunikasi (communication barrier) yang selama ini terjadi.
Terlepas dari jawaban yang telah saya kemukakan, harus saya akui bahwa saya sendiri tidak yakin bahwa 3 (tiga) opsi yang saya tawarkan benar-benar merupakan strategi yang ampuh untuk membangun sinergi lintas instansi. Keyataannya, problema sinergi adalah problema nasional yang dihadapi staf golongan 2 di kelurahan hingga Presiden RI. Tentu, sudah ratusan strategi dicoba dan ribuan konsep telah dikemukakan oleh pakar-pakar level nasional. Namun toch, masalah sinergi belum juga menghilang dari praktek pemerintahan di Indonesia. Maka, strategi yang paling baik barangkali adalah mencoba memulai diri sendiri untuk disiplin terhadap setiap aturan, dan sebesar mungkin mengurangi egoism, kemalasan, atau kecurigaan terhadap mitra/ pejabat atau pihak-pihak di sekitar kita.

Kampus Pejompongan Jakarta
Senin, 25 Juli 2011

Minggu, 24 Juli 2011

Mencoba Mencari Makna dari Kata "Sinergi" dan "Koordinasi"

Tema Diklatpim Tingkat II Angkatan XXXI adalah “Akselerasi Sinergi Instansi Pemerintah Dalam Mewujudkan Pembangunan Berkeadilan”. Munculnya tema ini dilatarbelakangi oleh keprihatinan adanya mis-koordinasi antar instansi dalam menjalankan program pemerintah. Hal ini diakui sendiri oleh Presiden yang pada Rakernas III tanggal 5 Agustus 2010, menyebutkan adanya permasalahan dalam koordinasi antar institusi pemerintah termasuk antar kementerian. Kelemahan koordinasi ini terjadi dalam tataran horizontal antar kementerian maupun dalam tataran vertikal antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, antar pemerintah provinsi, dan antara pemerintah provinsi dengan pemerintah kabupaten/kota.

Maka, mengangkat tema sinergi dalam Diklatpim II adalah sebuah keputusan yang sangat tepat. Paling tidak ada dua alasan mengapa keputudsan ini dipandang sangat tepat. Pertama, secara actual issu sinergi memang sedang menjadi problem bersama di semua lini pemerintahan. Kedua, peserta Dikaltpim II adalah para pejabat yang sedikit banyak bertanggungjawab terhadap berhasil atau gagalnya sinergi antar instansi pemerintah.

Dengan mengusung tema sinergi antar instansi tersebut, sesungguhnya program Diklatpim II mengemban misi yang sangat berat. Mengapa demikian? Sebab, para peserta yang dididik selama 11 minggu, pada saat kembali ke instansinya diharapkan menjadi motor-motor penggerak yang melicinkan jalannya roda organisasi, yang memuluskan perencanaan program hingga implementasinya, yang membuka sekat-sekat komunikasi antar lembaga yang selama ini mampet atau tersendat, yang menjadi akselerator pencapaian tujuan dan visi organisasi. Menciptakan kompetensi tersebut hanya dalam 11 minggu, sesungguhnya adalah sebuah Mission Impossible. Faktanya, sudah puluhan ribuan alumni Diklatpim berbagai jenjang dihasilkan, tetap saja koordinasi menjadi masalah klasik yang tak kunjung teratasi. “Koordinasi” dan “sinergi” benar-benar menjadi dua kata yang sangat indah dan enak dibicarakan, namun teramat sulit untuk dilaksanakan.

Jangankan dalam konteks organisasi yang besar seperti kementerian, provinsi, maupun kabupaten/kota, dalam kelompok kecil seperti Kelas Diklatpim II yang terdiri dari 60 orang, atau bahkan kelompok yang terdiri dari 15 orang, koordinasi-pun sangat sulit dicapai. Kesulitan tadi makin membesar ketika tingkat keragaman atau perbedaan dalam kelompok semakin membesar. Kesulitan dalam mencapai kesamaan persepsi antar orang yang memiliki pandangan berbeda – apalagi ekstrem – adalah salah satu contoh. Kesulitan juga dapat timbul saat ada anggota kelompok/organisasi yang tidak peduli dengan kelompok/organisasinya, dan mencoba mencari keuntungan di tengah berbagai kondisi dan kesempatan. Belum lagi jika ada iklim persaingan yang tidak sehat, atau hasrat saling menjatuhkan diantara anggota organisasi, maka koordinasi yang sinergis adalah kemustahilan belaka.

Ketika kami bekerja dalam kelompok, sejatinya adalah sebuah miniatur dari organisasi riil yang lebih besar. Jika kami gagal menjalin kerjasama dan koordinasi di tingkat kelompok, sudah pasti kami-pun akan gagal melakukannya di tingkat yang lebih besar. Namun jika kami berhasil melakukan koordinasi dengan baik di level kelompok, hal itu belum merupakan jaminan untuk kami keberhasilan di level yang lebih tinggi. Dalam situasi seperti itu, yang harus kami lakukan adalah mengidentifikasikan faktor-faktor yang menjadi determinan sukses tidaknya koordinasi. Hasilnya, tentu saja harus kami adopsi ke tingkat permanent system agar persoalan koordinasi selama ini dapat diurai meski tidak secara signifikan.

Berdasarkan pencermatan saya dari proses kerja kelompok selama ini, koordinasi akan berkembang positif jika terpenuhi beberapa prasyarat, antara lain: anggota kelompok memiliki rasa saling percaya diantara anggota, ada hasrat untuk saling mengisi, didukung kemampuan mengendalikan diri untuk tidak mendominasi, ada kemauan untuk berpartisipasi agar tidak menjadi free rider bagi kelompok lain, dan selalu berpikiran positif (positive thinking).

Dalam alam realita, hampir mustahil kondisi ideal tersebut ditemukan. Selalu saja ada orang yang ingin menonjol namun sebaliknya ada pula yang cenderung introvert. Selain itu, ada saja orang yang tidak senang orang lain maju sehingga berusaha untuk menjegal di tengah jalan. Namanya hidup dan kehidupan, selalu penuh dengan dinamika hingga intrik yang membuat hidup dan kehidupan menjadi tidak monoton dan penuh tantangan. Dalam kondisi seperti itu, maka adanya otoritas yang jelas dan dilaksanakan oleh orang yang kuat, akan menjadi solusi untuk membangun koordinasi dan sinergi dalam interaksi antar manusia. Jika otoritas tadi tidak kokoh dan tidak dihormati, maka akan cenderung muncul kekuatan-kekuatan tandingan yang menolak berada dibawah hegemoni kekuatan tertentu. Inilah barangkali yang menjelaskan mengapa pada sistem yang sentralistis, koordinasi dan sinergi justru lebih mudah dijaga dibanding pada sistem yang demokratis dan terdesentralisasi. Semakin demokratis sebuah negeri, maka semakin dibutuhkan pemimpin yang kuat. Jika tidak, maka hancurnya sinergi dan koordinasi akan menjadi harga (cost) yang terpaksa harus diterima.

Kampus Pejompongan Jakarta
Rabu, 6 Juli 2011

Kamis, 21 Juli 2011

Menyimak Pemikiran Presiden SBY Tentang Ekonomi Indonesia

Hari ini saya sangat beruntung dapat melihat, mendengar, dan menyimak secara langsung pidato dan pemikiran Presiden SBY. Berada satu forum dengan orang nomor 1 di republik ini, jelas berbeda sekali suasana yang tercipta dan semburat aura yang terpancar, dibanding ketika menyaksikan melalui layar kaca atau membaca melalui koran. Sama halnya mendengar pertunjukan musik secara live, akan sangat berbeda dibanding saat kita menikmatinya lewat televisi atau radio. Maka, adalah hal yang selalu menyenangkan menyambut seorang Kepala Negara, terlepas dari berbagai kontroversi soal gaya kepemimpinan ataupun kasus-kasus dan gossip yang tengah menerpanya.

Bagi saya, sessi ini juga istimewa karena Presiden melewati persis di depan saya, bahkan sempat melirik dan mengangguk kearah saya. Inilah kali pertama saya berada sangat dekat (± 1 meter) dengan Presiden RI. Jika saja tidak mengingat etika dan kemungkinan yang tidak diinginkan, pasti saya sodorkan tangan saya untuk menjabat tangannya, bukan sekedar jabat tangan antara pemimpin dengan rakyatnya, namun lebih sebagai bentuk silaturahmi antar hamba Allah di muka bumi. Meski pada akhirnya gagal untuk menjabat tanganya, saya sudah cukup puas sempat berdekatan dan bertatapan dengan beliau.
 
Selanjutnya, saya ingin merangkum isi pidato beliau yang membangkitkan optimism menghadapi masa depan. Sebagai pemimpin tertinggi sebuah negeri, memang seperti itulah yang harus dilakukan meski realita di lapangan terkadang terlalu sulit untuk bersikap optimis, presiden SBY mengawali pidatonya dengan mengemukakan 4 (empat) alasan mengapa beliau berkenan hadir dalam konferensi ini. Keempat alasan tersebut adalah:

1.      Konferensi ini membahas perkembangan ekonomi Indonesia dan dunia sekaligus mengidentifikasi tantangan yang dihadapi. Jika bicara globalisasi, yang terbayang selama ini adalah ancaman untuk bangsa kita, padahal banyak juga opportunity yang dapat dimanfaatkan untuk kemajuan bangsa.
2.      Konferensi ini juga membaca issu ekonomi dari konteks regional dan global. Dinamika ekonomi Indonesia sendiri harus ditempatkan dalam kerangka nationally interpreted dan globally connected.
3.      Konferensi ini dihadiri oleh peserta yang sangat beragam, seperti regulator, business leader, serta economic player and stakeholders.
4.      Topik yang diangkat cukup komprehensif dan relevan dengan issu ekonomi yang dihadapi bangsa Indonesia. Salah satunya adalah posisi Indonesia sebagai Chairman ASEAN dan akan mengagendakan topik food and energy security untuk didiskusikan dalam ASEAN Summit II Oktober mendatang sebagai wujud kontribusi Indonesia dalam membangun food and energy security di tingkat regional.

Presiden berharap agar konferensi ini bebas dari berbagai kepentingan politis agar menjadi bagian dari solusi dan bisa mendorong ditemukannya peluang-peluang baru bagi ekonomi Indonesia, baik tahun ini maupun tahun-tahun mendatang. Selanjutnya beliau mengemukakan tiga hal yang akan menjadi substansi pidato, yakni:

·         Apa yang hendak dicapai oleh Indonesia pada 10 hingga 15 tahun yang akan datang pada bidang ekonomi?
·         Peluang dan tantangan apa yang dihadapi?
·        Mengapa kita tidak boleh menyia-nyiakan momentum pertumbuhan yang baik ini bagi kebangkitan dan kemajuan ekonomi nasional?

Presiden menegaskan bahwa kita semua harus memiliki optimisme dan keyakinan diri (confidence) bahwa ekonomi Indonesia bisa tumbuh lebih baik serta berkembang lebih pesat di tahun-tahun mendatang. Ada 3 (tiga) alasan yang membuat kita dapat optimis dan memiliki keyakinan tinggi, yakni:

1.      5 (lima) tahun terakhir trend ekonomi Indonesia terus membaik dan progress-nya riil, yang dapat dilihat dari indikator makro seperti economic growth, GDP, debt to GDP ratio, income per capita, poverty reduction, dan seterusnya.
2.      Ekonomi Indonesia keluar dengan selamat dan terhindar dari krisis ekonomi global. Saat ini, Tiongkok, China dan Indonesia menjadi 3 negara dengan kekuatan ekonomi baru di dunia. Pada saat terjadi krisis ekonomi global tahun 2008, telah dilakukan respon yang tepat sehingga tidak terjadi krisis berkepanjangan seperti pada saat krisis 1997-1999.
3.      Jika reformasi dan perbaikan yang dilakukan secara intensif berhasil melakukan perbaikan dalam banyak hal, dan lebih banyak infrastruktur terbangun, maka pada tahun 2025 ekonomi Indonesia akan terus tumbuh dan menjadi kuat, inklusif dan berkelanjutan (strong, inclusive, sustainable).

Dengan demikian, target yang hendak dituju dan dicapai dalam pembangunan ekonomi bukan sekedar pertumbuhan (growth), tapi makin baiknya standard of living, quality of life, dan welfare of people. Dari perspektif ekonomi, hal tersebut dapat dicapai jika ekonomi tumbuh kuat dan berkelanjutan (growth with equity).

Pertumuhan bagi Presiden SBY sangat penting, karena pertumbuhan akan membentuk mata rantai. Jika pertumbuhan tinggi, maka akan dapat menciptakan lapangan kerja dan mengurangi pengangguran, yang pada gilirannya memperbaiki pendapatan masyarakat. Jika income masyarakat naik, maka akan mengurangi jumlah orang miskin (growth à job à better income à less poor). Dengan kata lain, pertumbuhan (growth) merupakan pengungkit terhadap program pengentasan kemiskinan (poverty reduction).

Meskipun demikian, pertumbuhan yang tinggi (strong growth) sendiri tidaklah cukup, melainkan harus disertai dengan adanya pemerataan dan keadilan. Artinya, pembangunan ekonomi tidak boleh hanya berorientasi pertumbuhan, namun juga harus diimbangi dengan job creation, poverty reduction, dan environment protection. Pemikiran seperti inilah yang mendasari pemerintah pada tahun 2005 mengeluarkan triple tracks strategy yang kemudian dikembangkan menjadi four tracks strategy. Dalam kaitan ini terdapat 4 (empat) pendekatan untuk merealisasikan strategi growth with equity, yakni:

·         Demand side economy (sisi permintaan);
·         Riil Sector (sektor riil);
·         Supply side economy (sisi penawaran); dan
·         Production function (fungsi produksi).

Ke-4 strategi tersebut adalah esensi dari MP3EI yang terdiri dari 6 koridor, zona economi, klaster industri, serta 22 kegiatan ekonomi utama. Semuanya didesain untuk mencapai balanced, strong, inclusive, dan sustainable economy sebagaimana disinggung sebelumnya. Hal ini sesuai dengan Visi Indonesia 2050 yang menetapkan 3 (tiga) capaian utama, yaitu:

·         Strong and just economy (ekonomi yang kuat dan adil);
·         Stable and mature democracy (demokrasi yang stabil dan matang); dan
·         Advance civilization (peradaban yang makin maju).

Presiden menyimpulkan bahwa arah dan ekonomi Indonesia sudah benar. Survey WEF tentang Global Competitiveness Index mengkonfirmasi kemajuan ekonomi Indonesia dengan hasil survey yang terus menunjukkan peningkatan daya saing Indonesia secara signifikan. Fakta ini telah mengantarkan President SBY ke Davos untuk memberi pidato tentang pengalaman Indonesia dalam pembangunan ekonomi. Namun, Presiden tetap menekankan perlunya memperbaiki semua masalah yang ada tanpa perlu menoleh ke belakang dan tanpa perlu saling menyalahkan.

Presiden tidak peduli masuk kategori ideologi apa pemikiran ekonomi yang disampaikannya. (Catatan: Majalah Warta Ekonomi menyebut konsep ekonomi SBY sebagai ideologi ekonomi masa depan atau SBYnomics). SBY sendiri cenderung menyebut gagasannya dengan istilah Eco-market economy with social justice. Pada akhir pidatonya, Presiden SBY mengeluarkan himbauan untuk seluruh elemen bangsa untuk:

·         Menjadi pencari dan pencipta peluang (opportunity seekers);
·         Menjaga dan memelihara situasi dalam negeri, termasuk menjaga stabilitas sosial politik; serta
·         Bekerja lebih keras dan lebih keras lagi. Hanya dengan kerja keras kita bisa mengubah keadaan.

Menyimak apa yang disampaikan Presiden SBY, seolah tidak ada masalah yang berarti dengan sistem ekonomi Indonesia. Semua terlihat baik-baik saja. Hal ini tentu sangat bertolak belakang dengan ceramah-ceramah yang kami dapatkan selama penyelenggaraan Diklatpim II. Dari berbagai ceramah yang kami terima, banyak yang mengkritisi adanya kesalahan kebijakan, namun ada juga yang melihat konsep kebijakan sudah baik namun implementasinya yang tidak optimal. Salah satunya dikemukakan oleh Dr. Ichsanuddin Noorsy yang mengakui tingginya peningkatan PDB, namun mempertanyakan siapa yang paling besar menikmati pertumbuhan PDB tersebut? Pertanyaan mendasarnya adalah, mengapa hal demikian bisa terjadi?

Informasi dan pendekatan yang kontras dari SBY dan para penceramah Diklatpim II dapat dikatakan sebagai cerminan adanya kontroversi dan perbedaan cara pandang terhadap fakta dan kebijakan yang sama. Dr. Dahrul, salah seorang penceramah, memberi ilustrasi yang menarik mengapa terjadi gap antara konsep yang bagus dengan buruknya implementasi. Menurutnya, Indonesia ibarat perusahaan yang memiliki banyak komisaris atau pemegang saham yang berbeda kepentingan. Tentu saja, menyatukan kepentingan yang berbeda, apalagi bertentangan, bukanlah pekerjaan yang mudah. Dalam kondisi seperti ini, keberadaan pemimpin yang tegas dan visoner (strong and visionary leadership) sangat dibutuhkan. Pemimpin nasional haruslah imparsial dan bebas murni dari kepentingan individual atau kepentingan kelompok, serta mampu memfungsikan diri sebagai jembatan (bridging) dari berbagai perbedaan yang ada diantara elemen bangsa yang dipimpinnya.

Persoalannya kemudian, sistem politik kita nampaknya masih belum memungkinkan untuk lahirnya seorang pemimpin nasional yang bebas dari kepentingan politis tertentu. Seorang (calon) presiden justru merupakan usulan partai politik. Jika partai politik masih sarat dengan anasir korupsi dan prinsip mementingkan diri sendiri, maka selamanya tidak akan lahir pemimpin yang benar-benar kuat dan dapat diterima oleh semua pihak. Dengan demikian, pembangunan ekonomi tidak dapat dipisahkan dengan reformasi politik. Sampai disini, saya pribadi menarik hipotesis bahwa pembangunan ekonomi Indonesia akan mencapai masa keemasan ketika bangsa ini sudah mampu menyelesaikan reformasi politik (dan reformasi peradilan, tentunya).

Kinerja ekonomi yang cukup progresif seperti disampaikan oleh Presiden SBY memang sudah maksimal dalam situasi politik seperti sekarang ini, dan untuk itu perlu kita apresiasi. Namun kita masih memiliki peluang yang sangat besar untuk bisa mencapai kinerja yang jauh lebih baik, asalkan PR di bidang politik (dan hukum) sudah bisa kita tuntaskan. Semoga!

Kampus Pejompongan Jakarta
Jum’at, 22 Juli 2011

Wawasan Internasional bagi Peserta Diklatpim II: Sebuah Keniscayaan!

Hari ini saya bersama 9 rekan lain dari Kelas B mendapat tugas tambahan dari penyelenggara Diklatpim II untuk menghadiri “Indonesia International Conference Focus on Indonesian Economy 2011: Shifting Regional Development, From Indonesia to the World”.

Bagi saya, ini sebuah keberuntungan besar mendapat kesempatan untuk mendengarkan ceramah langsung dari para pengambil kebijakan di republik tercinta, serta pakar-pakar ekonomi tingkat dunia. Saya katakan beruntung, karena kesempatan seperti ini sangat sulit diperoleh dalam pelaksanaan tugas sehari-hari organisasi. Kalaupun ada kesempatan, seringkali membutuhkan biaya cukup besar, terutama bila konferensi tadi digelar di luar negeri. Nah, yang sekarang saya alami adalah kesempatan yang datang tiba-tiba dan tanpa harus mengeluarkan biaya sedikitpun.

Selain beruntung, saya juga menilai keikutsertaan dalam kegiatan seperti ini sangat bermanfaat untuk menambah ilmu-ilmu, kebijakan, dan perspektif baru. Meski kehadiran kami hanya di hari ke-2 konferensi, tidak mengurangi nilai strategis yang dapat kami serap dari kegiatan ini. Apalagi nara sumber yang memberikan ceramah adalah tokoh-tokoh kunci dan pelaku utama kebijakan publik di negeri ini seperti Menteri BUMN Mustafa Abubakar, Menteri PU Djoko Kirmanto, Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad, Ketua KEN (Komite Ekonomi Nasional) Chairul Tanjung, dan lain-lain. Tidak tanggung-tanggung, Presiden SBY sendiri berkenan hadir dan memberi Presidential Keynote Address tentang situasi dan masa depan ekonomi Indonesia. Sementara pembicara asing antara lain Executive Secretary of UN Economic and Social Commision for Asia and the Pacific Dr. Noeleen Heyzer, President of Asian Institute of Technology Prof. Said Irandoust, UNESCO Education Head for Indonesia, Mr. Anwar Al Said, ILO Country Director for Indonesia Mr. Peter van Rooij, dan lain-lain.

Sayangnya, ada sedikit hal yang membuat konferensi internasional ini kurang terasa greget-nya. Pada saat sessi pertama dimulai jam 08.00, jumlah peserta yang hadir tidak lebih dari seperlima dari jumlah tempat duduk yang tersedia. Hingga sessi kedua berakhir, kehadiran hanya bertambah sedikit namun tidak mencapai setengahnya dari kapasitas ruangan. Iseng-iseng saya hitung, jumlah kursi yang disediakan mencapai 400. Hal lain yang bagi saya cukup “menggangu” adalah kebiasaan masyarakat kita yang tidak tepat waktu. Kedatangan peserta ditengah berlangsungnya ceramah atau diskusi, membuat situasi yang tidak menyenangkan bagi peserta lain, terlebih bagi para panelis. Selain tradisi telat para peserta, ada tradisi buruk lain yang membuat forum terhormat seperti ini kehilangan “roh” akademisnya, yakni pembicara yang “kabur” segera setelah memberi ceramah. Contoh buruk ini ditunjukkan oleh Menteri BUMN dan Menteri PU. Sangat mungkin memang mereka sangat sibuk dan memiliki agenda lain yang tidak kalah penting, namun tetap saja menjadi sesuatu yang tidak lazim dan mengurangi respect audiens terhadap pembicara, khususnya audiens dari luar negeri. Satu hal lagi yang terasa “kurang” dari forum ini adalah tidak disediakannya copy bahan paparan para panelis, sementara panelis lain bahkan tidak menyiapkan bahan power-point sama sekali. Hal ini tentu mempersulit peserta dalam menangkap pesan secara memadai, khususnya bagi mereka yang kurang terbiasa berdiskusi dengan bahasa Inggris. Lebih parah lagi, forum ilmiah yang sepenuhnya didesain secara akademis namun malah tidak menyediakan sessi tanya jawab.

Terlepas dari berbagai kekurangan yang ada, fokus terhadap manfaat yang dapat diperoleh jauh lebih penting untuk dilakukan. Dalam konteks program Diklatpim II, saya menganggap forum ini merupakan sarana terbaik untuk membangun kompetensi berpikir secara global atau memberi wawasan internasional. Pada kenyatannya, sangat sedikit kurikulum Diklatpim II yang didesain untuk membangun kompetensi ini, padahal level kepemimpinan peserta sudah cukup tinggi dan sudah sepantasnya dibekali dengan praktek-praktek kepemimpinan dan manajemen sektor publik dari berbagai negara di dunia. Hal ini sesuai pula dengan level kompetensi yang ingin dibangun oleh program Diklatpim yakni Strategic Competence (bandingkan dengan kompetensi dari Diklatpim I yakni Visionary Competence, atau Diklatpim III yakni Operational Competence).

Dalam pemikiran saya, jika kita ingin menghasilkan alumni Diklatpim II yang memiliki kemampuan strategis, maka wawasan regional dan global menjadi sebuah kebutuhan. Untuk mencapai tujuan tersebut, beberapa opsi dapat dipertimbangkan sebagai kurikulum tambahan atau disisipkan dalam silabus Diklatpim II, misalnya: kewajiban mengikuti seminar/konferensi internasional, partisipasi dalam publikasi internasional yang relevan dengan tupoksi di organisasi masing-masing, mengundang guest lecture dari negara tetangga, studi lapangan ke luar negeri, mengubah komposisi DIT (diskusi issu terpilih) dengan menambah issu internasional dan mengurangi issu nasional, atau opsi-opsi lain yang dianggap mampu membangun wawasan internasional.

Kampus Pejompongan Jakarta
Kamis, 21 Juli 2011

Penetapan Judul KTP-2: Soal Teknis atau Akademis?

Kemaren sore kepada peserta Diklatpim II dibagikan lembar pengesahan judul KTP-2 yang ditandatangani oleh Kapusdiklat SPIMNAS Bidang Kepemimpinan. Pengesahan ini merupakan tahap lanjutan dari tahap pertama yang telah kami lalui, yakni bimbingan judul dan TOR KTP-2 dengan Widyaiswara pembimbing.

Sebelumnya, kami berasumsi bahwa Kapusdiklat tinggal melakukan pengesahan mengingat Widyaiswara pembimbing telah menyetujui judul dan TOR yang diajukan peserta. Tentunya, seorang Widyaiswara ditunjuk sebagai pembimbing KTP-2 atas dasar kompetensinya, sehingga ketika dia menyetujui judul tertentu, judul tersebut sudah layak secara akademis berdasarkan pengalaman dan pengetahuannya. Namun kenyataannya, lembar yang kami terima tadi bukan sekedar mengesahkan, namun juga melakukan perubahan judul. Di kelompok saya sendiri ada 5 (lima) peserta yang mengalami perubahan.

Awalnya, saya tidak merasa ada yang aneh dengan keputusan Kapusdiklat merubah judul KTP-2, sampai ada teman dari kelompok lain yang “curhat” karena judulnya dirubah secara sepihak sementara dia sudah menulis hingga Bab II berdasarkan judul yang sudah disetujui Widyaiswara pembimbingnya. Maka, ketika Widyaiswara meminta untuk merubah Bab I dan II yang sudah jadi, teman saya ini langsung menolak, bahkan minta si Widyaiswara untuk memeriksa terlebih dahulu draft yang diajukan (Catatan: agenda pertemuan ke-2 dan ke-3 kemaren memang konsultasi Bab I dan II).

Atas dasar kasus yang dialami teman tadi, saya baru terpikir banyak hal. Pertama, keputusan perubahan tadi berarti memveto keputusan widyaiswara yang telah memberi persetujuan terhadap judul dan TOR KTP-2. Selain terkesan tidak etis, dalam dunia akademik rasanya juga tidak pernah terjadi birokrat kampus mengintervensi kemandirian dan hak intelektual seorang pembimbing. Jika hal ini diteruskan, akan dapat mengurangi kewibawaan pembimbing di mata siswa atau peserta dibawah bimbingannya. Akan lebih elegan jika Widyaiswara tersebut diberi panduan pembimbingan dan rambu-rambunya pada saat sebelum ditetapkan sebagai pembimbing. Namun, sekali dia dipercaya menjadi pembimbing KTP-2, sebaiknya diberikan otoritas penuh untuk menjalankan tugasnya selaku pembimbing.

Kedua, keputusan perubahan juga menimbulkan disorientasi bagi peserta. Peserta sebagai pelaku kebijakan di instansi masing-masing diasumsikan lebih tahu permasalahan, kebijakan, dan kebutuhan pengembangannya. Dengan perubahan yang tidak dikonfirmasikan terlebih dahulu kepada peserta, peserta harus menyesuaikan dengan pola pikir penyelenggara Dikaltpim. Dalam kasus teman yang “komplain” tadi, kesulitan baru juga muncul karena harus mengulang penulisan Bab I dan II meski tidak secara total.

Ketiga, proses berpikir akademis nampaknya menjadi jungkir balik. Dalam penulisan karya tulis seperti skripsi, thesis, disertasi, bahkan paper untuk publikasi jurnal, judul awal hanyalah sebuah usulan yang bersifat sangat tentative, dan masih memungkinkan perubahan hingga karya tulis tersebut mencapai proses akhir. Justru yang harus dimatangkan pada tahap awal adalah problematika atau perumusan masalah yang dihadapi suatu organisasi dan ingin dipecahkan melalui penulisan KTP-2. Hal ini juga sesuai dengan tahapan analisis kebijakan atau perumusan masalah model William Dunn. Dengan kata lain, judul bukanlah elemen utama pada tahap awal berpikir akademis, dan dapat dijadikan sebagai tahap akhir dari seluruh rangkaian penulisan karya tulis.

Mengingat pemilihan dan penetapan judul merupakan ranah akademis, maka alangkah bijaknya jika dipisahkan dari urusan teknis, apalagi non-teknis. Jikapun penyelenggara akan masuk dalam substansi KTP-2, akan jauh lebih indah jika dibahas secara terbuka dengan calon penulisnya. Sebab, tanggungjawab akhir dari substansi KTP-2 tetaplah penulisnya, sehingga kepadanya perlu diberi ruang kebebasan untuk mengekspresikan konsep dan pemikirannya.

Kampus Pejompongan Jakarta
Rabu, 20 Juli 2011

Pesan Kepemimpinan Dalam Kegiatan Menanam Pohon dan Peduli Lingkungan

Hari ini kami melakukan kegiatan “ekstrakurikuler” berupa penanaman pohon dan penghijauan lingkungan kampus. Meski sponsor utamanya adalah teman-teman dari Kementerian Kehutanan, kegiatan ini murni sepenuhnya inisiatif dari seluruh peserta dan menjadi karya kelompok.

Bagi saya, kegiatan ini memiliki korelasi yang sangat erat dengan esensi Diklatpim II. Sesuai namanya, Diklatpim adalah ajang penggemblengan jiwa kepemimpinan, disamping mengasah kemampuan intelektual. Dalam konsep kepemimpinan, pemimpin yang baik adalah mereka yang tidak hanya berpikir untuk kebaikan dirinya (egocentric) namun juga untuk kemajuan bersama dan kepentingan kolektif. Untuk bisa berbuat maksimal bagi kelompoknya, seorang pemimpin harus memiliki kepedulian terhadap lingkungan (care) serta kemauan untuk berbagi sumber daya dan pemikiran (share) dengan lingkungannya.

Pengertian “lingkungan” sendiri dapat dimaknakan dalam arti lingkungan alam dan lingkungan sosial. Oleh karena itu, kepedulian terhadap lingkungan alam mencerminkan berjalannya fungsi kepemimpinan para peserta Diklatpim II. Namun, kepedulian ini sesungguhnya masih bersifat simbolik karena terjadi pada level temporary system dan baru mengarah pada kepedulian terhadap lingkungan alam. Tempat ujian yang sesungguhnya apakah mereka benar-benar telah memiliki kualifikasi kepemimpinan yang memiliki kepedulian adalah pada saat kembali ke organisasi masing-masing sebagai permanent system­-nya. Bentuk kepeduliannya-pun tidak cukup hanya kepada lingkungan alam, namun lebih dibutuhkan kepedulian terhadap lingkungan sosialnya.

Selain kepedulian terhadap lingkungan alam, penanaman pohon juga dapat dipersepsi sebagai sebuah aktivitas simbolik dalam bentuk investasi masa kini untuk diambil manfaatnya pada masa depan. Pada situasi riil di permanent system nantinya, bentuk investasi yang lebih dibutuhkan adalah menanam kepercayaan (trust) kepada stakeholder dan masyarakat yang dilayani, menanam kompetensi dan komitmen (competence and commitment) untuk tumbuhnya teamwork yang professional, menanam hubungan yang harmonis baik secara internal maupun eksternal (connection), serta menanam kebaikan dan kemanfaatan untuk semua pihak.

Singkatnya, dari peristiwa hari ini saya mendapat sebuah inspirasi tentang ciri tambahan seorang pemimpin, yakni mereka yang peduli dengan lingkungannya dan gemar menanam hal-hal yang bersifat baik.

Akan tetapi, ada sisi lain yang masih bisa dipelajari dari peristiwa tersebut. Seperti saya katakana diawal tulisan, kegiatan ini disponsori oleh teman dari Kementerian Kehutanan. Dari penyediaan 350 pohon, 2 unit biospor, puluhan cangkul, serta topi dan kaos bertuliskan “Ayo Menanam” untuk 120 peserta dan puluhan lagi untuk penyelenggara dan widyaiswara, semuanya gratis. Disinilah kesan teamwork menjadi sedikit berkurang sementara one man show agak sulit dihindari. Akan lebih anggung tentunya, jika seluruh beban yang ada di-share kepada seluruh peserta, karena memang kegiatan ini adalah kegiatan kolektif. Bahwa seorang pemimpin mempunyai kemampuan finansial atau intelektual diatas rata-rata orang lain, adalah sebuah kewajaran dan keuntungan tersendiri. Bahwa seorang pemimpin memiliki visi dan arah tujuan yang harus diikuti oleh pengikutnya, adalah juga sebuah kebenaran. Namun bukan berarti sebuah beban harus ditanggung sendirian oleh pemimpin atau seseorang tertentu. Dalam hubungan internal organisasi, pemerataan peran dan tanggungjawab lebih utama dibanding keunggulan individual. Sebab, kelangsungan hidup organisasi tidak tergantung dan tidak dapat ditimpakan kepada orang per orang, namun harus dibangun adanya sense of belonging dan sense of responsibility yang proporsional.

Kampus Pejompongan Jakarta
Selasa, 19 Juli 2011

Minggu, 17 Juli 2011

Kambing Berdasi Lulus Diklatpim?

Sebelum mengikuti Diklatpim Tingkat II, saya teramat sering mendengar kritik bahwa Diklatpim tidak bermutu baik dalam proses maupun hasilnya. Saking sinisnya kritik tersebut, sampai memunculkan ungkapan bahwa “kambing diberi dasi-pun pasti bisa lulus diklatpim”. Jelas, ini ungkapan yang sangat keras bahkan lebih tepat disebut sebagai penghinaan. LAN sebagai instansi pembina diklat, tentu merasa berkepentingan untuk membuktikan bahwa hal tersebut tidaklah benar.

Jika dalam jurnal ini saya membantah anggapan “sesat” tadi, itu bukan karena saya orang LAN, namun karena saya adalah peserta Diklatpim II yang mengetahui secara persis bagaimana model pembelajaran diberikan. Harus saya akui bahwa untuk dapat mengikuti Diklatpim II secara benar, tidak hanya dibutuhkan fisik yang kuat, namun juga intelektualitas diatas rata-rata, kesungguhan dan konsentrasi penuh untuk menyerap seluruh materi, ketrampilan untuk mentransfer gagasan dan konsep, kemampuan menganalisis masalah, hingga seni memimpin orang lain. Syarat-syarat diatas memang tidak disebutkan sebagai syarat formal untuk bisa mengikuti Diklatpim II, namun jika kita tidak memilikinya, maka kita hanya akan menjadi peserta biasa-biasa saja.

Saya merasakan betul ketika diberikan materi tentang systems thinking dan disiplin learning organization lainnya, apalagi dengan perangkat analisisnya berupa causal loop diagram dan archetype, sedikit saja kita kehilangan konsentrasi maka butuh energi ekstra untuk mengejarnya. Saya juga merasakan betapa sulit memimpin diskusi kelompok yang terdiri dari orang-orang yang telah memiliki jabatan cukup tinggi dan tingkat pendidikan relatif tinggi pula. Singkatnya, setiap agenda pembelajaran memberi pengalaman baru dan tantangan yang cukup berat, sehingga memberi dampak positif terhadap peningkatan knowledge, skill, dan attitude (KSA). Sekecil apapun peningkatan KSA itu, Diklatpim telah berhasil melakukannya tanpa dapat dibantah siapapun.

Memang, boleh jadi ada benarnya bahwa alumni Diklatpim pada umumnya dan Diklatpim II pada khususnya belum memenuhi kompetensi. Mungkin ada benarnya juga bahwa alumni Diklatpim tidak mampu membawa perubahan signifikan dalam permanent system-nya. Namun hal itu tidak cukup menjadi alasan untuk menyimpulkan bahwa Diklatpim tidak bermutu, sehingga kambing berdasi-pun akan dengan mudah melaluinya. Banyak faktor yang menyebabkan mengapa kompetensi alumni Diklatpim masih dibawah harapan. Selain karena belum adanya direktori kompetensi yang semestinya disusun oleh BKN, proses membangun kompetensi dan proses mendorong perubahan bukanlah sebuah produk instan dari program diklat yang hanya berjalan antara 5 hingga 11 minggu.

Maka, Diklatpim saja tidaklah memadai, sebagaimana KRA Lemhanas saja tidak akan memadai. Bahkan seseorang yang sudah meraih gelar S3 atau Profesor sekalipun, tidak akan mudah membuat perubahan dalam organisasinya. Diklat memang penting, namun saya pribadi yakin tidak ada satupun teori yang menyatakan bahwa diklat adalah satu-satunya cara untuk mendorong perubahan dan membangun kompetensi organisasi. Oleh karena itu, jika ada orang yang masih berpikir bahwa alumni Diklatpim ibarat mobil baru yang baru keluar dari pabriknya dan siap melaju kencang, adalah sebuah ekspektasi yang berlebihan. Harapan yang lebih realistis adalah bahwa mereka (para alumni diklat) memiliki modal cukup untuk melanjutkan proses pembelajaran bersama orang lain dalam lingkungannya. Maknanya, diklat hanyalah pemicu (trigger) atau pengungkit (leverage) untuk terjadinya perubahan yang dicita-citakan, bukan pembuat perubahan itu sendiri.

Pertanyaan yang relevan untuk diajukan kemudian adalah: bagaimana membuat penyelenggaraan Diklatpim lebih berdaya guna? Atau, bagaimana menciptakan sistem yang lebih menjamin para alumni Diklatpim memiliki kemampuan untuk mengakselerasi perubahan di permanent system-nya masing-masing? Secara lebih sederhana, bagaimana melakukan reformasi Diklatpim untuk meyakinkan semua pihak bahwa program ini benar-benar program unggulan dalam mencetak SDM aparatur yang professional?

Langkah pertama yang diperlukan, menurut saya, adalah mencari kelemahan mendasar dari sistem yang berjalan selama ini, dan pada sistem yang lemah itulah dilakukan perbaikan. Saya sendiri memandang bahwa salah satu kelemahan mendasar intake atau standar kualitas calon peserta yang tidak seragam. Faktanya, ada peserta yang hanya berpendidikan S1, namun ada juga yang S3 bahkan Profesor. Ada yang masih berpangkat IV-a, namun ada pula yang sudah mencapai pangkat IV-d. Ada yang masih menjabat Eselon III baru (dibawah 2 tahun), ada pula yang sudah menduduki jabatan Eselon II senior (3 tahun atau lebih). Ada yang telah menghasilkan banyak karya-karya besar (menerbitkan buku, menulis di media massa nasional, memaparkan hasil penelitian di forum internasional, dll), ada pula yang tidak memiliki track record akademik yang memadai. Ada yang sangat terbiasa dengan aktivitas membaca dan browsing internet, ada yang masih gaptek dengan komputer dan tidak tahu sama sekali apa itu internet. Secara psikologis saja, kesenjangan tersebut akan menimbulkan rasa minder bagi mereka yang kebetulan berada pada situasi yang tidak menguntungkan.

Oleh sebab itu, alangkah baiknya jika dilakukan pemetaan awal terhadap latar belakang peserta (tingkat pendidikan, pengalaman, jenis keterampilan yang dikuasai, prestasi yang diraih, dll) sebelum pemanggilan mereka untuk mengikuti Diklatpim. Penyelenggara harus benar-benar memiliki info lengkap tentang kelebihan dan kekurangan calon peserta yang akan dipanggil. Dari pemetaan awal tadi, kemudian dilakukan klasifikasi peserta, sehingga akan diperoleh tingkat kemampuan peserta yang relatif berimbang, yang ketika masuk dalam program Diklatpim nantinya dapat diharapkan muncul persaingan yang seimbang.

Tentu masih banyak konsep reformasi yang bisa digagas. Namun dengan satu jenis perbaikan ini saja menurut saya sudah cukup efektif untuk membuktikan bahwa alumni Diklatpim tidak selayaknya disejajarkan dengan kambing berdasi. Alumni Diklatpim adalah kader-kader pemimpin terbaik asset nasional yang siap menjadi agen perubahan atau transformer bagi pembangunan organisasi publik yang jauh lebih baik. Semoga!

Kampus Pejompongan Jakarta
Kamis, 7 Juli 2011