Laman

Selasa, 30 April 2013

"Trade Off" Dalam Diklat


Wikipedia menerjemahkan trade off sebagai a situation that involves losing one quality or aspect of something in return for gaining another quality or aspect. Intinya, kita tidak mungkin memperoleh segala yang kita inginkan dengan kadar kualitas dan kuantitas yang sama. Kita harus memutuskan mana diantara berbagai kondisi atau pilihan yang ada, yang memberikan manfaat terbaik untuk diri kita. Pemikiran seperti inilah yang barangkali menjadi dasar munculnya ungkapan “hidup adalah pilihan”. Keterbatasan tenaga, waktu, dan kemampuan kita, menjadi alasan mengapa kita tidak mungkin meraih segala mimpi, ambisi, dan visi kita. Orang Sunda ulah ngarawu ku siku, yang makna harfiahnya adalah jangan mengambil segala sesuatu dengan siku karena akan berceceran diantara kedua tangan kita. Lebih baik mengambil dengan tangan kita, meski dapatnya sedikit namun tidak akan jatuh atau hilang. 

Dalam dunia diklat, trade off ini juga sering muncul dengan tiba-tiba, terutama ketika ada situasi tidak terduga atau pada situasi beban tugas yang memuncak (overload). Seperti yang saya alami, pada awal penyelenggaraan saya sangat optimis untuk menyelesaikan tugas diatas target yang ditetapkan penyelenggara. Jika produk pembelajaran individual yang resmi hanya KTP-2, saya sudah merancang sebuah buku hasil kompilasi jurnal harian. Jika jurnal cukup ditulis tangan sepanjang setengah halaman, saya selalu menulis minimal 1,5 halaman ketik rapat (1 spasi). Jika KTP-2 cukup ditulis dengan standar minimal, saya mencanangkan dalam hati agar KTP-2 saya tidak sekedar mencerminkan sebuah laporan, namun harus menjadi karya tulis ilmiah yang berbobot dan berstandar jurnal terakreditasi, meski tetap memperhatikan kaidah penulisan dari penyelenggara. Meski waktu yang tersedia kadang tidak seimbang dengan beban yang ada, namun saya telah berniat untuk memanfaatkan weekend sebagai waktu tambahan dalam menyelesaikan berbagai tugas. 

Namun, idealisme itu lama kelamaan agak tergerus. Apalagi ketika tiga anak saya sakit, maka Jum’at malam hingga Minggu malam sepenuhnya saya abdikan untuk menemani dan melayani keluarga. Resikonya, saya tidak memiliki waktu tambahan untuk penyelesaian target, yang akhirnya mempengaruhi kinerja saya. Dalam situasi seperti inilah, saya harus memilih, dan saya harus rela membayar pilihan saya dengan menurunkan kualitas dan kuantitas dari satu atau lebih produk pembelajaran saya.  

Situasi trade off juga saya alami antara KTP-2 dan jurnal. Hingga minggu ketujuh saat ini, terus terang saya belum menyelesaikan penulisan KTP-2. Namun jika saya mencurahkan energi untuk menulis KTP-2, saya agak menyayangkan jika saya kehilangan kesempatan menulis jurnal, yang sejujurnya bagi saya jauh lebih prestisius dibanding KTP-2. Situasi yang sama juga “menjebak” saya ketika saya selalu dijadikan sekretaris kelompok dan diberi tugas membuat paparan kelompok dan mencatatan hasil diskusi. Artinya, begitu diskusi kelompok selesai, faktanya saya masih harus membuat slide powerpoint untuk kelompok. Terlebih lagi, saya juga koordinator seksi akademik kelas, sehingga produk-produk kelas juga harus saya tangani, seperti merancang framework KKA agar menjadi panduan ketiga kelompok, membuat laporan simulasi, mengumpulkan bahan-bahan belajar untuk didistribusikan kepada seluruh peserta, dan seterusnya. Tugas selaku seksi akademik dan tiga kali selaku sekretaris pada tiga kelompok yang berbeda mau tidak mau menyita waktu saya paling banyak.  

Dalam situasi lain, saya sering sekali berkeinginan untuk menjalani hidup secara seimbang, misalnya dengan olahraga pagi secara teratur. Saya sering iri melihat teman-teman melakukan jalan pagi atau senam sambil bersenda-gurau. Namun bagi saya, dibanding target akademik, olahraga tidak masuk dalam prioritas saya. Ini sama artinya bahwa tidak turut olahraga adalah trade off atau “harga” yang harus saya bayar untuk bisa menghasilkan karya akademik. Jika “hidup yang seimbang” kita jadikan sebagai prioritas utama, maka sebaiknya kita bisa membatasi diri dari tumpukan tugas yang menumpuk.  

Nah, dalam konteks kediklatan, ada baiknya penyelenggara memiliki instrumen pengukuran dan pemantauan beban kerja masing-masing peserta. Hasil pengukuran dan pemantauan beban kerja ini selanjutnya akan menjadi dasar untuk melakukan treatment kepada peserta, apakah perlu diberi penugasan tambahan bagi yang beban kerjanya rendah, atau sebaliknya akan diberi dispensasi tertentu dalam hal memiliki beban kerja diatas rata-rata. Dari beban kerja ini pula perlu dipikirkan cara meredistribusi beban kerja agar kinerja kolektif (kelompok atau kelas) menjadi lebih menonjol dibanding kinerja individual peserta. 

Terlepas dari situasi trade off yang saya ungkapkan diatas, saya mencoba tetap positive feeling bahwa saya masih bisa menyelesaikan seluruh target idealisme saya. Dasar keyakinan saya adalah bahwa manusia dianugerahi oleh YMK sebuah potensi istimewa untuk bisa melakukan hal-hal yang tidak mungkin, untuk memikirkan hal-hal yang mustahil dan tidak terpikirkan (think the unthinkable). Jumlah jam dalah sehari tidak pernah melampauai 24 jam, namun hasil kerja manusia selalu bisa ditingkatkan. Maknanya, saya harus lebih meningkatkan kualitas kerja, kualitas diri, dan kualitas cara/metode dalam bekerja. Dengan demikian, saya berharap dapat sebesar mungkin menekan kemungkinan terjadinya trade off diatas, meski tidak dapat dihindari sama sekali. 

Dari kamar B-315
Kampus Pejompongan, 29 April  2013

Kamar B-315


Menulis cukup banyak jurnal selama Diklatpim 1 tanpa menulis soal kamar yang saya tempati, rasanya sangat tidak fair. Di kamar B-315 inilah lahir ratusan halaman jurnal dan karya tulis lain (KTP-2, KKA, Laporan Simulasi, Laporan OL, dan sebagainya). Dari kamar ini juga lahir puluhan bahan presentasi mulai dari issu kepemimpinan, falsafah kebangsaan, daya saing nasional, kebijakan publik, keamanan perbatasan, hingga terorisme. Di kamar ini pula saya mengasah kemampuan menulis, kemampuan analisis, dan kemampuan imajinasi, sekaligus melatih kemampuan pengendalian diri. Singkatnya, kamar B-315 telah menjadi sahabat yang begitu setia menemani saya bekerja hingga larut malam bahkan kadang menjelang pagi. Kamar ini juga menjadi guru saya yang sangat baik yang telah memberi banyak pelajaran penting dibalik kebisuannya. 

Maka, sudah sepantasnya saya mengekspresikan penghargaan dan rasa terima kasih yang tulus atas semua yang saya terima dari kamar B-315. Caranya tidak lain adalah dengan merekam hubungan batin saya dengannya dalam bentuk jurnal ini, agar kenangan ini bisa terus saya bawa dan ingat hingga kapapun. Suatu ketika nanti saat saya lewat di depan kamar ini, pasti jiwa saya akan menyapa spirit kamar B-315, dan saat itulah terjadi lagi silaturahmi spiritual dan transendental. Apalagi seandanya saya menjadi “orang penting” di Republik ini, maka kamar inipun akan meningkat derajatnya menjadi “museum”, sama seperti kamar-kamar di rumah Laksamana Maeda yang digunakan untuk merumuskan naskah teks Proklamasi, atau ruang penjara Banceuy yang digunakan untuk memenjarakan Bung Karno, atau kamar kediaman Bupati Djojodiningrat di Jalan Gatot Soebroto, Rembang, tempat RA. Kartini menghabiskan hari untuk membaca dan menulis kumpulan surat-surat, atau kamar-kamar lain dengan nilai historisnya masing-masing. 

Jika Kartini menghasilkan buku berjudul Habis Gelap Terbitlah Terang, maka di kamar inipun saya akan menghasilkan kumpulan jurnal yang saya beri judul Memandang Diklat Secara 360 Derajat: Sebuah Otokritik. Dahulupun saat mengikuti Diklatpim II Angkatan XXXI Tahun 2011, di kamar B-201 saya telah mengukir di dinding-dinding, di atap, dan di lantai kamar, sebuah kumpulan jurnal yang saya beri judul Potret Pembelajaran Dalam Diklat Aparatur dan Tacit Strategy Untuk Pengembangannya. Bagi saya, kamar dan karya yang dihasilkan memiliki hubungan kebatinan, yang meskipun tidak nampak, namun memiliki kekuatan yang sangat besar.  

Jika boleh saya mempersonifikasikan kamar ini, maka kamar tersebut selalu mengharapkan kedatangan kita, merindukan kita berdoa dan sembahyang di dalamnya, dan terus mengundang kita untuk selalu menghasilkan karya-karya terbaik. Bahkan saya merasakan, betapa kamar ini berlaku teramat sopan kepada saya, menghindari dari kemungkinan berbuat gaduh, dan terus mempercantik dirinya agar saya betah tinggal didalamnya. Sayapun merasa seperti ada yang memperhatikan, setiap kali saya menulis, seakan-akan ada yang turut membaca dan bahagia dengan untaian kata-kata yang saya hasilkan. Sebaliknya, saya merasa ide-ide dan pemikiran saya sudah teramat banyak yang menempel kokoh di setiap sudut kamar, yang setiap kali saya pandang kembali, saya seperti membaca sebuah buku cerita. 

Kamar ini juga memberi saya sebuah suasana yang romantis, terutama dikala pagi hari dan sehabis hujan. Ketika saya memandang keluar, betapa saya melihat sebuah pemandangan alam dan suasana kehidupan yang begitu damai, tenteram, dan menyejukkan. Kadang saya seperti mengalami déjà vu, seolah-olah saya pernah berada pada situasi yang persis seperti in, entah kapan dan dimana. Ketika saya melihat pohon-pohon yang basah dan tenang, saya seperti melihat daun-daun dan ranting-ranting sedang berdzikir mensucikan nama Tuhannya, mengagungkan asma Sang Pencipta, dan bersyukur atas segala nikmat dan ketetapan-Nya.  

Sekali lagi, terima kasih kamar B-316. Engkau telah rela menjadi bagian dari perjalanan karir dan sepenggal episode hidup saya; engkau telah berkenan memberi tempat berteduh dan tempat memejamkan mata untuk melepas lelah; engkau selalu sabar menemaniku disaat-saat tugas semakin menumpuk dan tak mau tahu; dan engkau terus mendukung dan berdoa dengan khusyu’ untuk keberhasilanku.  

Meski tidak berarti, semoga catatan kecil ini bisa menjadi hadiah dariku untukmu, kamar B-315. 

Dari kamar B-315
Kampus Pejompongan, 27 April  2013

Perang Kebijakan, Korporatokrasi, dan Krisis Negara Kesejahteraan


Hari Kamis, tanggal 26 April 2013 kemaren, saya mendapat giliran untuk memaparkan ringkasan buku tulisan Dr. Riant Nugroho berjudul “Public Policy: Dinamika Kebijakan, Analisis Kebijakan, Manajemen Kebijakan”. Bagi saya, ada satu hal yang sangat menarik dari buku ini, yakni Bab 1 yang menyebutkan bahwa sejak 2 dasawarsa terakhir ini telah terjadi perang kebijakan antar negara-negara di dunia. Negara yang lebih kuat “memaksa” negara yang lebih lemah untuk membuat kebijakan yang menguntungkan negara maju, terutama berkenaan dengan investasi untuk penguasaan sumber-sumber daya produktif. Contohnya adalah proteksi industri dalam negeri, penguasaan atas kawasan, hingga embargo AS terhadap alutsista yang dibeli Indonesia dari AS (terutama F-16 dan Hercules) karena Indonesia dinilai melanggar HAM. 

Dalam peperangan tersebut, hampir selalu negara berkembang berada pada posisi yang lemah dan kalah, akibat dari ketidakmampuannya membuat dan menghasilkan kebijakan yang unggul. Kegagalam membuat kebijakan yang unggul ini terlihat dari dua hal, yakni: 1) tidak mengerti makna dan substansi kebijakan publik; dan 2) tidak ada analis kebijakan; kalaupun ada tetapi tidak bekerja dengan baik; kalaupun sudah bekerja dengan baik tidak mampu menghasilkan kebijakan yang hebat. Boro-boro ingin menjadi counter dan penyeimbang terhadap kebijakan negara lain, kebijakan publik di negara berkembang justru banyak “didikte” oleh kemauan dan kepentingan negara maju. Artinya, kebijakan di negara berkembang boleh saja dikemas dalam sistem perundangan formal di negaranya. Namun, substansi dan semangatnya tidak jarang melenceng jauh dari cita-cita luhur memperjuangkan kepentingan rakyat serta membangun kemandirian dan identitas kebangsaan. 

Oleh karena kebijakan yang ada tidak unggul, maka yang terjadi kemudian adalah kegagalan mewujudkan negara yang unggul. Kegagalan membangun negara unggul ini pada gilirannya memperlemah daya tahan bangsa terhadap pengaruh global, sehingga dalam iklim globalisasi, negara seperti ini tidak mampu meraih peluang dan mengambil manfaat sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyatnya.  

Dalam bahasa pengungkapan yang berbeda, Dr. Amien Rais juga menyingkap issu tentang “perang kebijakan” ini pada ceramahnya beberapa hari yang lalu. Amien mengungkapkan fenomena tentang korporatokrasi, yakni pemerintahan yang dikuasai oleh korporasi besar. Di Indonesia, contoh korporasi besar adalah Freeport Mc Moran, Chevron dan lain-lain. Korporasi ini bisa memiliki kekayaan yang melampaui kekayaan suatu negara seperti di Afrika, Burma, dan sebagainya. Mereka bisa berjaya karena berkolaborasi dengan empat elemen korporatokrasi lainnya, yakni militer, pemerintah, machinery intellectual (intelektual bayaran), mass media, dan perbankan besar. Contoh political backup dari pemerintah negara asal korporasi tersebut misalnya datang dari White House, dimana seorang Henry Kissinger adalah salah satu Komisioner Freeport. Presiden Richard Nixon juga contoh yang sempurna untuk membuktikan betapa korporatokrasi sudah merasuk dalam-dalam ke dalam “jaringan syaraf” dan “aliran darah” sistem pemerintahan AS. Dalam hal ini, Nixon menginginkan kekayaan Indonesia diperas sampai kering, karena di mata Nixon, Indonesia ibarat real estate terbesar di dunia yang tak boleh jatuh ke tangan Soviet atau China. 

Sementara elemen mass media yang semestinya menjadi penyeimbang, dan bahkan sering disebut sebagai the fourth power selain Trias Politica, ternyata berubah semakin lembek dan tidak bertaji. Jika dahulu mass media berfungsi sebagai watch dog (anjing pengawas), namun sekarang berubah menjadi guard dog (anjing pengawal), bahkan leg dog (anjing peliharaan), dan circus dog (anjing hiburan).  

Korporatokrasi global itulah yang sejatinya menjadi “panglima perang” dan melancarkan perang kebijakan di berbagai belahan negara berkembang. Dalam buku karangan John Perkins berjudul Confession of an Economic Hit Man: Pengakuan Seorang Ekonom Perusak (Jakarta: Abdi Tandur, 2005) dikatakan bahwa seorang hit man yang menjadi boneka korporatokrasi memiliki beberapa tugas antara lain:  

      Menyebarkan cerita bohong tentang pertumbuhan ekonomi, GNP, dan lain-lain negara target;
      Membuat laporan fiktif untuk IMF dan WB agar mengucurkan hutang;
      “Memancing” KKN di negara target untuk membangkrutkan negara penerima hutang dan menciptakan ketergantungan (debt trap, debt web);
      Menekan negara pengutang untuk mendukung AS dalam hal pangkalan militer, voting di PBB, dan sebagainya;
      Memaksa negara pengutang menjual kekayaan alam melalui pemberian konsesi. 

Pertanyaannya, bagaimana caranya korporatokrasi tadi dapat mencengkeram tengkuk penguasa? Menurut Amien Rais, hal ini dilakukan dengan korupsi yang paling canggih, yakni korupsi yang menyandera kekuasaan negara (state-captured corruption). Contoh konkritnya, perusahaan Jepang, Korea dan lain-lain memiliki lobby di sekitar Capitol Hill, yang kemudian menyogok Congressman agar membuat UU yang menguntungkan perusahaan mereka. Dalam buku John Perkins sendiri dijelaskan bahwa dalam melakukan tugas-tugasnya, seorang hit man dapat menghalalkan segala cara, dari penipuan, pemerasan dan penyuapan; pembunuhan; penggermoan; perusakan ekosistem; bahkan mereka juga sampai hati melakukan pengingkaran terhadap Deklarasi Kemerdekaan bangsa sendiri demi kepentingan korporatokrasi. 

Uraian diatas secara tidak langsung menjelaskan tentang fenomena military-industrial-congressional complex di negeri Paman Sam. Istilah ini pertama kali dikemukakan oleh President Dwight Eisenhower pada tanggal 17 Januari 1961 saat menyampaikan pidato akhir masa jabatan. Eisenhower sangat cemas dengan semakin menguatkan pengaruh militer-industri-legislator dalam berbagai bidang dan mengingatkan bahwa hal ini bisa menghancurkan nilai-nilai egalitarian dan penghormatan terhadap hak-hak warga sipil, yang selama ini dijunjung oleh Konstitusi AS. Dalam penggalan pidatonya yang sering disebut sebagai peringatan kenabian (prophetic warning), pada bagian IV dan VI, Eisenhower mengatakan: 

IV. In the councils of government, we must guard against the acquisition of unwarranted influence, whether sought or unsought, by the military-industrial complex. The potential for the disastrous rise of misplaced power exists and will persist.
We must never let the weight of this combination endanger our liberties or democratic processes. We should take nothing for granted. Only an alert and knowledgeable citizenry can compel the proper meshing of the huge industrial and military machinery of defense with our peaceful methods and goals, so that security and liberty may prosper together.  

(Dalam badan pemerintahan, kita harus waspada terhadap akuisisi pengaruh yang tidak beralasan, baik disengaja maupun tidak, oleh kombinasi militer-industri. Potensi munculnya penggunaan kekuasaan secara keliru muncul dan akan tetap ada. Kita tidak boleh membiarkan kombinasi ini membahayakan kemerdekaan dan proses demokrasi. Kita tidak harus menerima sesuatu apa adanya. Hanya warga yang waspada dan terdidik yang dapat memaksa penggunaan mesin pertahanan militer dan industri untuk tujuan dan cara-cara perdamaian, sehingga keamanan dan kebebaan dapat tercapai bersama). 

VI. Down the long lane of the history yet to be written America knows that this world of ours, ever growing smaller, must avoid becoming a community of dreadful fear and hate, and be instead, a proud confederation of mutual trust and respect.
Such a confederation must be one of equals. The weakest must come to the conference table with the same confidence as do we, protected as we are by our moral, economic, and military strength. That table, though scarred by many past frustrations, cannot be abandoned for the certain agony of the battlefield.  

(Menyusuri sejarah panjang yang belum ditulis, penduduk Amerika tahu bahwa di dunia kita yang semakin mengecil, harus dihindarkan dari proses menjadi masyarakat yang penuh ketakutan dan kebencian, dan sebaliknya, kebanggaan atas sikap saling percaya dan saling menghormati. Sikap seperti ini harus seimbang. Masyarakat yang paling lemah harus datang ke meja konferensi dengan kepercayaan diri yang sama, dan sama-sama dilindungi oleh kekuatan moral, ekonomi, dan militer. Meja itu, meski terluka oleh banyak frustasi masa lalu, tidak boleh ditinggalkan untuk penderitan medan perang).


Sejak pidato itu diucapkan, sudah 52 tahun Amerika diperingatkan oleh salah satu nenek moyang sekaligus founding fathers-nya. sayangnya, Praktek military-industrial-congressional complex bukannya menghilang, justru beralihrupa menjadi semakin mengerikan karena bergabungnya kekuatan mass media. Kombinasi kekuatan itu sekarang menjadi military-industrial-congressional-mass media complex, yang nampaknya akan semakin melanggengkan rezim korporatokrasi dan perang kebijakan global. Amerika (dan para sekutunya) nampaknya belum bisa mengambil pelajaran dari peristiwa 9-11 (nine-eleven) yakni luluh lantaknya twin tower gedung WTC. Aksi ini menurut John Perkins adalah wujud kebencian mendalam dari negara-negara korban korporatokrasi AS, dan merupakan konsekuensi logis atas perang kebijakan yang dilancarkan AS. 

Dalam situasi dimana kebijakan publik (negara berkembang) sangat lemah dan menyebabkan kegagalan membangun negara yang unggul, peran seorang pemimpin menjadi sangat penting. Sebab, sedemokratis apapun formulasi kebijakan publik, pada akhirnya yang memutuskan adalah pemimpin. Selain itu, seorang pemimpin selalu berada pada setiap tahapan kebijakan, semenjak formulasi, implementasi, hingga evaluasi kebijakan. Maka, wajarlah jika pemimpinlah yang menentukan apakah sebuah kebijakan akan menjadi kebijakan yang unggul atau tidak, dan pemimpin pula yang menentukan apakah negara akan menjadi negara yang unggul atau tidak. Pemimpinlah yang harus mengambil peran terbesar untuk melindungi rakyatnya dari intervensi asing, sekaligus menjamin kesejahteraannya. 

Konsep politik yang memberikan peran besar kepada negara/pemerintah untuk membangun kesejahteraan ini sering dikenal dengan istilah welfare state (negara kesejahteraan). Namun situasi kontemporer dewasa ini mengilustrasikan semakin lemahnya welfare state di satu sisi dan semakin menguatnya neo-liberalisme disisi lain. Negara kesejahteraan terbukti tidak mampu menghadapi perang kebijakan yang dilakukan oleh negara maju dengan korporatokrasinya. Akibatnya, kebijakan yang semestinya dirumuskan untuk kepentingan dan kesejahteraan rakyat negerinya sendiri, justru terbalik menguntungkan kepentingan kapitalis, liberalis, dan kolonialis barat. Inilah barangkali yang sering dikatakan sebagai krisis negara kesejahteraan. 

Situasi problematiknya-pun kemudian menjadi lingkaran setan (vicious circle). Negara berkembang tidak memiliki keberanian dan kepercayaan diri berhadapan dengan kekuatan asing, sehingga cenderung mengikuti segala kemauannya, sehingga kebijakan yang dihasilkan menjadi sangat rapuh, yang membawa dampak buruk berupa kepentingan nasional yang menjadi semakin terjepit. Pemerintah negara berkembang (termasuk Indonesia) seolah kebingungan mencari jalan keluar karena seluruh pintu-pintu keluar sudah dikuasai dan dikunci oleh aktor-aktor hit man. 

Bagi saya, materi-materi mengenai kebijakan publik dan perang kebijakan, korporatokrasi dan kegagalan welfare state, sangatlah mencerahkan. Ini memberi kesadaran baru tentang mafia kebijakan tingkat global dan permainan jahat negara-negara maju. Dan saya yakin, bahwa kesadaran dan pencerahan seperti ini juga sudah diterima oleh banyak kalangan, dari birokrasi, akademisi, penggiat kerja sosial, militer, pengusaha lokal, hingga para politisi dan pimpinan nasional. Namun yang menjadi pertanyaan, mengapa kesadaran seperti ini tidak menjelma menjadi gerakan nasional melawan korporatokrasi, neo-liberalisme dan neo-kolonialisme? Mengapa mereka – termasuk saya – tidak tergerak untuk menyelamatkan Indonesia untuk generasi mendatang? Apakah kekuatan civil society kita terlalu lembek di hadapan state? Ataukah sistem politik kita sudah benar-benar tersandera oleh para elit dan politisi? Ataukah penduduk negeri ini sudah benar-benar tidak peduli negaranya tergadai di pasar internasional yang kejam? 

Terlalu sulit untuk menjawabnya, dan terlalu seram untuk membayangkan jawaban yang jujur. Nampaknya kita perlu pemimpin yang kuat. Merujuk pada ceramah Prof. Jimly Ashshidiqie, mungkin kita perlu sosok pimpinan seperti Hitler, namun tidak sepenuhnya, cukup seperempatnya saja. Sebagaimana diketahui, Jerman pada periode 1919-1933 sering dikenal sebagai Republik Weimar yang mendeklarasikan diri sebagai negara demokrasi parlementer dan memberlakukan Konstitusi Weimar. Konstitusi ini dikenal sebagai the most liberal constitution in the world. Setelah 13 tahun, muncul kebosanan bahkan kebencian rakyat Jerman terhadap kebebasan yang berlebihan. Pada momentum kebencian yang memuncak terhadap kebebasan itulah, muncul Hitler. Hitler melakukan banyak kampanye tentang anti kebebasan dan anti demokrasi. Pada saat Partai Nazi yang dipimpin Hitler ikut Pemilu, ternyata menang. Dan pekerjaan pertama yang dilakukan Nazi/Hitler setelah menang Pemilu adalah membubarkan partai-partai politik.  

Banyak hal buruk yang dilakukan Hitler, namun tetap ada yang bisa dicontoh, yakni soal keberanian dan ketegasannya dalam memperjuangkan prinsip yang diyakini. Selain Hitler, tentu masih banyak kepala-kepala negara yang bisa dicontoh karena keberaniannya melawan dominasi hingga agresi negara maju terutama AS, misalnya Presiden Jaime Roldos dari Ekuador yang terbunuh tahun 1981 karena melawan intervensi AS di negaranya. Nasib yang sama dialami oleh Presiden Omar Torrijos dari Panama yang juga terbunuh pada tahun yang sama dan dengan alasan yang serupa dengan Jaime Roldos. Komitmen yang luar biasa untuk menjaga integritas negerinya dari campur tangan asing juga ditunjukkan pemimpin dunia lainnya seperti Presiden Hugo Chavez dari Venezuela, Presiden Ahmadinejad dari Iran, bahkan juga Presiden Soekarno. 

Apakah saat ini kita bisa berkata “tidak” untuk intervensi asing? Kalau kita mau, saya yakin, kita PASTI BISA !! 

Dari kamar B-315
Kampus Pejompongan, 26 April  2013

Rabu, 24 April 2013

Leader-centered vs Team-centered Leadership


Hari ini ada beberapa peristiwa yang berbeda dari biasanya. Pertama, seorang peserta yang Doktor Ekonomi Pertanian dan menjabat sebagai Staf Ahli Bidang Ekonomi di sebuah Kementerian membacakan catatan hariannya. Ia menyampaikan bahwa dari tiga sessi pembelajaran pada hari Selasa, 24-4-2013, hanya sessi ceramah Jusuf Kalla yang bermanfaat, sementara dua sessi lain yang diisi dengan diskusi kelompok dianggap tidak bermanfaat. Ia juga menyatakan bahwa latihan teknik scenario planning dalam diskusi kelompok tidak ada maknanya, karena peserta sudah bisa memahami tekni ktersebut dari ceramah Daniel Sparringa sebelumnya. Selain dua sessi hari Selasa kemaren, teman ini juga mengganggap sessi-sessi yang serupa sebagai sebuah kesia-siaan, sehingga durasi Diklatpim 1 sesungguhnya bisa dipersingkat dari 10 hinggu menjadi satu bulan (4 minggu) saja. 

Secara pribadi, saya cukup setuju dan mendukung ide tersebut, karena saya merasa bisa menerapkan teknik scenario planning tanpa harus membahas ulang pada diskusi kelompok. Namun saya juga memiliki catatan atas pandangan kawan saya tadi. Pertama, tidak ada garansi bahwa seluruh peserta memiliki pemahaman yang sama seperti saya atau kawan saya ini. Kedua, Diklatpim bukanlah forum pengayaan pengetahuan (knowledge enrichment) semata, melainkan juga ajang melatih keterampilan kepemimpinan. Seorang pemimpin yang baik mestinya tidak berhenti pada kepuasan intelektual, namun harus melangkah lebih jauh untuk bisa memuaskan hasrat, harapan, dan dahaga intelektual team-nya. Pemimpin yang baik tidak selalu ingin berada di depan (ing ngarsa sung tuladha), namun juga harus sering bergerak ke tengah (ing madya maungun karsa) dan ke belakang (tut wuri handayani). Pemimpin yang baik adalah mereka yang bisa menahan egonya, menurunkan standar pribadinya, dan mengurangi derajat kepuasannya, demi terpenuhinya kepuasan orang lain serta naiknya standar orang yang dipimpinnya. Pemimpin yang baik adalah yang menjadikan team-nya sebagai pusat (pelaku inti, fokus perhatian, dan sumber energi untuk menjalankan sebuah misi), bukannya menjadikan dirinya sebagai pusat diantara anak buahnya. Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang tidak berpikir untuk kesempurnaan pribadinya, namun lebih mementingkan kesempurnaan kolektif. Pemimpin yang baik tidak cukup hanya memiliki kecerdasan intelektual, namun harus lebih cerdas secara emosional, dengan memiliki empati, toleransi, dan penghormatan atas segala jenis perbedaan dan dinamika dalam kelompok. Pemimpin yang baik akan bekerja diatas dan bersama dengan energi orang lain, tidak bekerja berdasarkan energi pribadinya, sekuat apapun dia memiliki energi tersebut. Inilah yang saya maksudkan sebagai team-centered leadership, bukan leader-centered leadership. 

Maka, saya menilai bahwa kawan saya tadi sudah cukup sempurna dalam penguasaan teori kepemimpinan maupun ilmu-ilmu lainnya, namun belum cukup matang dalam memainkan seni kepemimpinan (leadership as an art). Itu yang harus disadarinya dengan segera, untuk kemudian mengubah perspektifnya tentang kelompok, mengubah gaya kepemimpinannya menjadi lebih situasional (contingency leadership), serta menata ulang cara berperilaku termasuk cara berbicara dan cara mengungkapkan ekspresinya. 

Peristiwa kedua yang menarik adalah dua kali blunder yang dibuat Ketua Kelas. Blunder pertama, dia mengkritik Menteri Negara PPN/Kepala Bappenas yang dua kali membatalkan janji secara mendadak untuk menjadi narasumber di Diklatpim 1. Namun sekonyong-konyong, dia berbalik menyalahkan LAN yang dianggap tidak mampu mengelola jadual. Konyolnya, dia kemudian membandingkan dengan Lemhannas, dan menyatakan bagaimana mungkin LAN bisa selevel dengan Lemhannas jika urusan jadual saja tidak mampu.  

Kontan saja, pernyataannya ini mengundang respon dari kolega saya di LAN, yang kebetulan menjadi koordinator tim reformasi diklat. Kawan saya ini sangat tersinggung dengan statement Ketua Kelas, dan mengatakan bahwa menilai LAN dibawah Lemhannas adalah pandangan picik, karena Diklatpim 1 tidak bisa dibandingkan dengan KRA (Kursus Reguler Angkatan) atau KSA (Kursus Singkat Angkatan) di Lemhannas. Dia juga menyatakan bahwa seorang yang sudah ikut KRA tetap saja tidak eligible untuk menduduki jabatan Eselon I. Kesimpulannya, Diklatpim I jauh lebih prestisius bagi PNS karir dibanding KRA yang lebih banyak nuansa politisnya. 

Menyikapi kontroversi tadi, saya memaksakan diri untuk turut berbicara, dengan harapan bisa menengahi polemik yang sempat memanas. Saya katakan bahwa memandang peristiwa atau fenomena apapun selalu bisa dilihat dari sua sisi kontras. Sebagaimana gelas yang berisi setengah air, kita bisa mengatakan bahwa gelas itu setengah kosong, tapi kita juga bisa mengatakan gelas itu setengah isi. Dalam konteks ketidakhadiran Ketua Bappenas pun demikian. Kita bisa melihat sebagai kegagalan penyelenggara Diklatpim, namun kita juga bisa melihat dari sisi lain. Dalam hal ini, saya katakana bahwa ketidakhadiran Bappenas adalah masalah Bappenas, jangan ditimpakan sebagai masalah penyelenggara. Lebih baik berpikir positif bahwa ketidakhadirannya justru menjadi peluang bagi peserta untuk berlatih mengelola perubahan yang seringkali tidak disangka-sangka. Sebagai pemimpin yang sudah berada di puncak karir, apa yang akan dilakukan jika terjadi perubahan: mencari seseorang untuk disalahkan mengapa perubahan terjadi, atau segera berpikir apa yang harus dilakukan untuk merespon perubahan itu? Nah, sikap Ketua Kelas yang mencari black goat (kambing hitam) atas fakta ketidakhadiran Menteri PPN menandakan bahwa dia kurang siap untuk deal with changes. Padahal, managing change dan winning the change adalah salah satu kompetensi paling mendasar yang harus dikuasai oleh seorang pejabat level Eselon I. Jika perubahan “sepele” di tataran temporary system saja membuat dia kebakaran jenggot, bagaimana jika terjadi perubahan besar di permanent system-nya? 

Celaka dua belas. Setelah membuat blunder ini, sang Ketua Kelas membuat blunder kedua pada sessi ceramah Amien Rais. Setelah berbasa-basi memberi apresiasi, dia berbaik menanyakan, apa kontribusi Amien Rais terhadap negara? Seketika itu juga Amien Rais balik bertanya, apa kontribusi anda sebagai birokrat? Sempat terjadi “insiden” pokrol bambo yang menurut saya sangat tidak pantas dipertontonkan. Disatu sisi, Ketua Kelas sangat tidak etis melontarkan pertanyaan seperti itu, namun disisi lain saya melihat Amien Rais mudah tersulut emosinya. Untungnya, saya menyimak Amien Rais segera menetralisir emosinya dan memberi jawaban meski terkesan seadanya. Terlepas dari pro-kontra tentang sosok dan peran seorang Amien Rais, saya pribadi menilai bahwa Amien Rais tetaplah tokoh nasional yang langka, baik secara integritas kepribadiannya maupun kontribusinya bagi Republik. Sebagai pemimpim reformasi 1998 yang menumbangkan rezim Orde Baru, dan sebagai Ketua MPR yang berhasil mengamandemen UUD 1945 sebanyak empat kali (1999-2002), itu sudah jauh lebih cukup untuk membuktikan siapa Amien Rais yang sesungguhnya, belum lagi karya-karya ilmiah yang tidak terhitung jumlahnya, atau ratusan Doktor yang sudah dihasilkannya untuk Republik tercinta. Oleh karenanya, pertanyaan Ketua Kelas tadi sangatlah tidak sepantasnya karena hanya mencerminkan ahistorisitas pemahamannya terhadap sejarah kontemporer bangsa Indonesia. 

Saya tidak tahu persis mengapa hari ini muncul peristiwa “abnormal” yang dipicu oleh dua peserta yang kebetulan sama-sama menjabat sebagai Staf Ahli tersebut. Saya menduga bahwa keduanya sudah mengalami peningkatan tensi atas beban tugas yang semakin menumpuk. Sayapun menyadari akan situasi overload yang dialami seluruh peserta di minggu ke-6 ini. Sayapun sangat merasakannya, apalagi tidak jarang tugas kelompok yang sudah dibagi merata ke setiap anggota, balik lagi ke saya dengan berbagai alasan, dari gaptek lah, tidak terbiasa dengan tugas-tugas membaca dan menulis lah, dan sebagainya. Namun saya mencoba menghadapi semua itu dengan sangat serius namun tetap santai. Saya merasa masih bisa mengendalikan emosi dan hasrat untuk ingin selalu didepan dan menunjukkan “keakuan” saya. Bagi saya, situasi penuh tekanan seperti ini sangat sehat untuk melatih diri saya agar terbiasa dengan siatuasi yang lebih sulit (mudah-udahan saja tidak ada) di kemudian hari. 

Maka, bagi penyelenggara Diklatpim I, segala aspirasi tadi dapat saja dipertimbangkan dan dianalisis sisi untung ruginya. Namun sepanjang penyelenggara memiliki landasan berpikir yang jelas, matang, dan dapat dipertanggungjawabkan, tidak ada kewajiban untuk menerima setiap masukan, dan penyelenggara dapat terus memegang teguh prinsip the show just goes on …  

Dari kamar B-315
Kampus Pejompongan, 25 April  2013

Selasa, 23 April 2013

Mendengar Apa yang Dibicarakan, bukan Siapa yang Bicara


Ketika sudah ada konfismasi kehadiran Jusul Kalla untuk ceramah di Diklatpim I, saya berniat akan menulis sesuatu yang unique dari mantan Wakil Presiden ini. Namun dengan sangat tiba-tiba, pusat perhatian saya berbalik untuk menulis suasana kelas, setelah melihat hadirnya banyak pejabat struktural serta para widyaiswara yang sedang tidak mengampu tugas. 

Saya bertanya dalam hati: mengapa hanya gara-gara seorang “JK”, mereka berbondong-bondong ingin menjadi pendengar? Apakah itu adalah fatsun politik dan standar protokoler yang harus diikuti secara kaku? Saya sangat tidak percaya bahwa itu adalah SOP  yang wajib dipatuhi, terlebih kedudukan JK yang sudah tidak lagi menjabat sebagai Wapres. Atau, apakah mereka yakin bahwa JK akan menyampaikan ide-ide baru yang originalitas dan nilai strategis yang tinggi? Saya lantas membandingkan dengan pembicara lain, misalnya tokoh sekaliger Sri Edi Swasono, yang tidak mendapat perlakuan yang seimbang. Padahal, apa yang disampaikan Sri Edi jelas tidak lebih buruk dibanding materi JK. Itulah sebabnya, seketika saya menyimpulkan bahwa bangsa ini masih terjangkit mental lama yang cenderung menempatkan (mantan) pejabat tinggi pada posisi yang jauh lebih tinggi dibanding siapapun yang tidak (pernah) menduduki jabatan tinggi, secerdas apapun mereka. 

Sebagai institusi pembelajar, LAN mestinya memberi kehormatan kepada ilmu dan kebenaran, bukan kepada individu. Sebab, ilmu dan kebenaran tidak hanya bersumber dari orang-orang besar, melainkan juga sangat mungkin berasal dari orang yang tidak kita perhitungkan sama sekali, sebagaimana bunyi sebuah ungkapan “dengarkan apa yang diucapkan, bukan siapa yang mengucapkan”. Ini bukan berarti bahwa hadirnya para struktural dan para Widyaiswara pada sessi ceramah JK adalah hal yang keliru. Hanya saja, alangkah baiknya jika sikap positif untuk menuntut ilmu tadi tidak diskriminatif hanya kepada JK, melainkan juga kepada seluruh penceramah secara proporsional.  

Anehnya, ditengah-tengah acara, satu per satu pejabat struktural dan Widyaiswara tadi meninggalkan ruangan, dan semakin membuat saya semakin bingung, apa sesungguhnya yang mereka cari? Apakah mereka kecewa karena isi ceramah yang tidak sesuai ekspektasi, ataukah mereka ada kesibukan lain yang lebih penting dibanding “mendampingi” JK, atau karena alasan lain lagi?  

Dari perspektif kediklatan, arus keluar masuk ruangan adalah sesuatu yang harus dihindari, terlebih untuk pembicara sekelas JK. Selain bisa mengganggu peserta lain, “lalu-lintas” pada saat kelas berlangsung juga bisa diterjemahkan sebagai kekurangsungguhan seseorang dalam mengikuti pembelajaran, sebagaimana halnya bicara sendiri ketika penceramah tengah bicara. Oleh karena itu, ada baiknya etika ‘sepele” seperti ini juga ditekankan sejak awal mulainya diklat. Tentu saja, seorang peserta dapat menjadi sumber belajar bagi peserta lainnya. Namun ketika ada orang yang khusus diundang untuk memberi ceramah, “nafsu” untuk menjadi “penceramah tandingan” atau perilaku lain yang tidak patut, sebaiknya bisa dikendalikan.  

Singkatnya, tradisi penghormatan terhadap nara sumber – siapapun mereka – harus digalakkan, bukan karena si narasumber adalah mantan pejabat negara. Sekali kita (peserta diklat maupun non peserta) berniat untuk menuntut ilmu dari si narasumber, lakukan dengan konsekuen dan tidak “kabur” ditengah jalan. Jika kita sadar bahwa kita tidak bisa mengikuti secara penuh, lebih elegan apabila kita tidak ikut sejak awal aagr tidak muncul kesan “menyepelekan” dari nara sumber. 

Dari kamar B-315
Kampus Pejompongan, 24 April  2013

"Diklat" Lain Diluar Diklat


Bagi umat muslim seperti saya, urusan hidup, mati, jodoh, dan rejeki adalah ketentuan Allah yang sudah digariskan sejak sebelum kita dilahirkan dimuka bumi. Karena sudah menjadi ketetapan-Nya, maka muncul istilah bahwa rejeki tidak akan lari kemana, atau Tuhan tidak pernah keliru memberi rejeki kepada seseorang. Meskipun demikian, rejeki tidak akan mendatangi kita jika kita tidak melakukan upaya, laku, atau ikhtiar apapun. Itulah sebabnya, kita tetap wajib untuk menjemput rejeki yang telah ditetapkan untuk diri kita. 

Nah, logika tersebut saya rasakan identik dengan ilmu. Saya punya hipotesis bahwa ilmu sesungguhnya telah dihamparkan di muka bumi oleh Sang Pencipta, sehingga sering kita dengar ungkapan belajarlah dari alam, pengalaman adalah guru yang terbaik, dan sebagainya. Namun, ilmu tidak akan pernah kita kuasai jika kita tidak pernah melakukan upaya, laku, atau ikhtiar apapun. Dalam sebuah tembang Jawa, ada sepenggal bait berbunyi: ngelmu iku kalakone kanthi laku (ilmu itu didapatkan melalui ikhtiar). Maka, kitapun wajib menjemput ilmu, karena segala sesuatu yang nyata maupun yang tidak nampak didepan kita, dibelakang kita, disamping kita, diatas kita, dan dimanapun, sesungguhnya mengandung ilmu. Semakin tekun seseorang menjemput ilmu, maka semakin besarlah peluang untuk menguasai banyak ilmu. 

Kaitannya dengan Diklat Aparatur, tidak terbantahkan bahwa diklat adalah sumber ilmu yang sudah tersistematisir secara substansi/materi maupun metode penyampaiannya. Maka belajar melalui diklat akan memudahkan dan mempercepat peserta untuk menguasai ilmi yang diajarkan dalam diklat tersebut. Namun, di sekeliling diklat yang resmi, sesungguhnya terhampar materi dan metode “diklat” lainnya dalam jumlah yang tidak terbatas. Salah satu sumber ilmu yang saya peroleh adalah dari ceramah setiap selesai shalat Subuh.  

Diantara sekian banyak materi ceramah, saya mencatat satu hal yang sangat inspiratif. Saat itu, penceramah mengingatkan bahwa sumber segala sumber ilmu adalah Alquran, dari urusan pemerintahan, manajemen kepegawaian, pelayanan publik, dan sebagainya. Intinya, tidak ada satupun yang terlewat oleh Alquran. Alquran adalah teori terbesar (grand theory) untuk menjelaskan segala fenomena alam semesta. Sayangnya, saat kita bicara reformasi birokrasi, misalnya, adakah yang merujuk pada Alquran? Atau saat kita bicara tentang Total Quality Management, bukankah teori yang digunakan selalu teori yang berasal dari Barat? Lebih ironis lagi, sering pembimbing akademik tingkat Skripsi, Thesis, atau Disertasi, yang menolak jika ada mahasiswa bimbingannya menjadikan ayat Alquran sebagai landasan teoretisnya. 

Tanpa terasa, sikap yang berawal dari niat baik untuk memuliakan Alquran ini, justru telah membuat jarak yang amat lebar antara pedoman hidup yang hakiki (yakni Alquran), dengan praktek kehidupan sehari-hari. Yang terjadi kemudian adalah dikotomi antara nilai-nilai agama dengan praktek bermasyarakat dan bernegara. Agama seolah-olah ditempatkan pada posisi sakral yang tidak boleh terjamah oleh ke-profan-an duniawi. Urusan agama seakan-akan hanya berlangsung di dalam masjid atau forum-forum pengajian, sementara dalam urusan membangun sistem kelembagaan dan ketatalaksanaan pemerintah, sistem perencanaan dan pengawasan pembangunan, sistem integritas aparatur, dan seterusnya, kita lebih mempercayai teori good governance, strategic planning and management, learning organization, reinventing and banishing bureaucracy, dan seterusnya.  

Dan inilah yang terjadi dengan sistem Diklat Aparatur kita. Yang terjadi kemudian adalah, desain diklat (formal) yang sangat sekuler, yang sengaja menjauhkan diri dari muatan spiritual dengan alasan toleransi. Padahal, bukankah urusan spiritual bukan dominasi agama tertentu? Maka, alangkah baiknya jika rancangan diklat aparatur kedepan berani mengakomodir materi spiritualitas kedalam muatan kurikulumnya. Soal detil materi, metode, durasi, fasilitator, hingga evaluasinya (jika perlu), tinggal dipikirkan untuk konteks masing-masing agama. 

Bagi saya pribadi, desain Diklat Kepemimpinan yang ada saat ini tidak menjadi masalah besar, karena defisit spiritualitas dapat saya kurangi dengan berguru dari “diklat” yang lain. Namun untuk rekan-rekan yang hanya menerima tambahan ilmu dari jalur diklat yang formal, bukankah akan terjadi gap yang semakin menganga antara kemampuan teoretis akademis yang semakin menjulang, dengan kapasitas spiritual yang semakin kering? Saya jadi teringat perkataan Ary Ginanjar bahwa suatu ketika nanti, bermunculan banyak sufi besar bukan dari pesantren atau gereja, namun dari perusahaan atau instansi pemerintah. Ini hanya bisa terjadi jika capacity building untuk aparatur tidak dikotomis dan sekuler seperti sekarang ini. 

Disamping “diklat” model ceramah Subuh seperti diatas, masih banyak sumber ilmu lain yang dapat digali. Salah satunya dari sesama peserta diklat, baik jenjang Pim I, II, bahkan III. Tingginya jenjang diklat kepemimpinan yang diikuti, terbukti tidak selamanya berkorelasi dengan tingginya kualitas dan intelektualitas seseorang. Maka, belajar dari para “yunior” bagi saya bukanlah hal tabu atau memalukan.  

Modus lain menyedot ilmu adalah belajar dari seseorang yang pendiam. Pepatah air beriak tanda tak dalam, air tenang menghanyutkan nampaknya masih sangat relevan dengan perkembangan teknologi dan demokratisasi dewasa ini. “Ilmu padi” yang mengajarkan manusia untuk semakin berisi semakin menunduk, juga menjadi pelajaran penting untuk kita. Maka, jangan pernah meremehkan orang pendiam, karena siapa tahu dibalik sifat pendiamnya terkandung kearifan yang langka. Ini pula yang peroleh dari seorang kawan yang bekerja di sebuah instansi sipil namun menerapkan disiplin dan gaya militer. Sebagai pimpinan tertinggi di tingkat provinsi, biasanya jabatan yang disadang teman saya ini cukup ditakuti. Anak buahpun bersikap sangat hormat, sampai-sampai seorang sopir tidak berani duduk di kemudi sebelum sang pejabat masuk kedalam mobil. Si sopir-pun harus memberi hormat sebelum duduk di kemudi.  

Namun hebatnya sahabat yang saya panggil “abang” ini, dia berani mendobrak tradisi yang bagi kebanyakan orang justru menjadi prestise kehormatan. Dia juga biasa pergi ke kantor jalan kaki sejauh sekitar 2 km dari rumah dinasnya. Dan lebih hebat lagi, si abang sangat menghayati nilai-nilai spiritual sehingga selalu berusaha menghindarkan diri dari hal-hal yang kurang pantas, meski telah terlanjur menjadi kelaziman di lingkungan institusinya. Dari abang pulalah saya mendapat wejangan tentang “ilmu ikhlas” dalam menjalani peran di rumah tangga, di kantor, maupun dalam interaksi sosial dengan masyarakat luas. 

Saya berharap, semoga para peserta Diklat Kepemimpinan di jenjang manapun, tidak puas dengan sajian diklat formal yang disediakan oleh penyelenggara, dan terus terobsesi untuk menggali ilmu-ilmu baru melalui “diklat” yang lain.  

Dari kamar B-315
Kampus Pejompongan, 23 April  2013

Minggu, 21 April 2013

3 Kajian Diklatpim I: Onggokan atau Sistem?


Senin ini, Diklatpim I Angkatan XXV resmi memasuki kajian ketiga yakni KSKP (Kajian Strategi dan Kebijakan Pembangunan), atau kajian yang terakhir sebelum masuk tahap Aktualisasi. Sekedar untuk mengingatkan kembali, kajian pertama adalah FBPPKN (Falsafah Bangsa, Paradigma Pembangunan, dan Kepemimpinan Nasional), sedangkan kajian kedua adalah SMPP (Sistem Manajemen Pemerintahan dan Pembangunan).
 
Saya sangat berharap, pada saat pembekalan awal saya akan memiliki gambaran utuh tentang filosofi dan logika berpikir mengapa pembelajaran Diklatpim I ini dibagi menjadi tiga kajian. Adakah tujuan besar yang ingin dicapai melalui ketiga kajian secara spesifik? Jika ada, apa tujuan besar atau kompetensi akumulatif yang akan diwujudkan dari ketiga kajian secara sinergis? Seingat saya, pada saat pengarahan program di awal diklatpun tidak ada penjelasan tentang hal ini. Ditambah lagi, karena kebodohan dan kelambatan otak saya, hingga memasuki minggu keenam saya belum bisa menangkap desain besar Diklatpim I ini, khususnya keterkaitan antar ketiga kajian. Mungkin saja, desainer kurikulum memang tidak bermaksud mengkaitkan satu kajian dengan kajian lainnya. Mungkin saja saya yang berharap secara tidak proporsional dengan “memaksa” ketiga kajian harus saling terkoneksi membangun kompetensi besar Diklatpim I.
 
Namun saya punya argumen. Jika masing-masing kajian tidak memiliki keterikatan yang erat, maka kajian tersebut lebih cocok menjadi diklat teknis. Selain itu, jika ketiganya saling terpisah namun berada dalam wadah yang sama, artinya ketiganya hanyalah onggokan atau komponen yang tidak saling tergantung, tidak saling mempengaruhi, dan tidak saling memperkuat. Saya yakin bahwa ini tidak benar, dan bahwa diantara ketiganya membentuk hubungan serba sistem (systems). Dalam konteks serba sistem tadi, maka ketiganya harus bisa saling menjelaskan (mutual explaining). Dengan kata lain, ketiga kajian diatas mestinya tidak hanya berurusan dengan fungsi know-what (facts, explicit knowledge), namun lebih kepada know-how (tacit knowledge) bahkan know-why (science).
 
Dalam rangka turut memikirkan kajian-kajian dalam Diklat Kepemimpinan sebagai sebuah sistem, saya berpendapat bahwa Kajian FBPPKN memiliki tujuan untuk membangun kompetensi kebangsaan dan memperkuat kohesi bangsa. Ini adalah jenjang kompetensi tertinggi yang harus dimiliki oleh pejabat karir tertinggi (Eselon I). Namun sebagai anggota organisasi, seorang pejabat Eselon I juga harus memiliki kemampuan mengelola dan mengembangkan organisasi (organizational management and development), sekaligus kompetensi keteladanan baik secara dalam tataran sikap dan etika maupun kinerja. Kompetensi inilah yang dibangun melalui Kajian SMPP. Adapun Kajian KSKP bergerak pada wilayah yang lebih spesifik lagi, yakni membangun kompetensi enabler atau memberdayakan orang lain, penyiapan kader, transfer pengetahuan dan keterampilan, atau sebagai mentor terutama bagi bawahannya.
 
Ini hanyalah ide sesaat yang belum didukung dengan kajian teoretik yang memadai, sehingga akurasi ide ini juga masih perlu ditelaah lebih dalam. Namun esensinya adalah bagaimana membuat antara kajian yang satu dengan yang lain memiliki ketersambungan yang sistemik, bukan onggokan yang tidak bermakna. 
 
Dari kamar B-315
Kampus Pejompongan, 22 April  2013

Menyingkap 'The Untold Stories' dalam Reformasi Birokrasi


Kemahiran seorang Eko Prasojo bicara reformasi birokrasi, atau seorang Bibit Samad Riyanto bicara pemberantasan korupsi, mungkin sama dengan kemahiran seekor burung terbang di angkasa, atau seekor ikan berenang di lautan lepas. Maka, beruntunglah para peserta Diklatpim I mendapat pembicara berkelas seperti mereka. 

Namun, saya pribadi agak “kecewa” diawal, ketika mereka lebih banyak menyampaikan hal-hal “standar” tentang definisi konsep, referensi teoretik, deskripsi situasi, kebijakan yang cenderung normatif, atau permasalahan yang terkesan klasik. Eko Prasojo misalnya, memulai ceramah dengan menanyakan mengapa kita perlu reformasi administrasi, dilanjutkan dengan pengertian/konsep reformasi administrasi, potret makro Indonesia dan masalah pokok SDM Aparatur, kemudian banyak mengulas soal strategi reformsi birokrasi dan target-target yang ingin dicapai, dan diakhiri dengan ajakan kepada para peserta untuk menjadi agen perubahan di instansi masing-masing. 

Dibanding Eko Prasojo, paparan Bibit Samad Riyanto pada tanggal 4 April yang lalu terkesan jauh lebih klasik dan lebih cocok untuk konsumsi mahasiswa Fakultas Hukum semester 1. Ia memulai dengan pengertian korupsi, kondisi korupsi di Indonesia, peran pemerintah dan masyarakat dalam pemberantasan korupsi, dan gerakan moral memerangi korupsi, yang diakhiri dengan penutup. 

Dengan paparan model normatif ini, wajar jika peserta – terutama saya – tidak banyak tertarik. Maka, pada sessi ceramah Bibit saya sampaikan harapan agar beliau lebih banyak bicara soal-soal yang selama ini tidak diketahui khalayak (the untold stories, the unspoken realities), misalnya adakah intervensi dan tekanan dari pihak-pihak tertentu kepada KPK dalam menjalankan tugasnya, mengapa kasus besar seperti Century tidak bisa segera tuntas, bagaimana sikap para politisi Senayan terhadap pemberantasan korupsi, dan pertanyaan lain yang sejenis. Syukurlah, akhirnya beliau sempat juga mengungkap sedikit-sedikit soal Century dan Cicak vs Buaya meski waktu tersisa tinggal sedikit. Intinya, beliau mengatakan ada kekuatan besar mengapa muncul kasus Cicak vs Buaya dan mengapa skandal Century masih terus berlarut-larut hingga sekarang. Sayangnya, beliau tidak sampai mengungkap lebih detil kekuatan seperti apa dan siapa dibalik kekuatan besar itu. 

Serupa dengan Bibit, Eko Prasojo pada sessi tanya jawab akhirnya juga banyak mengungkap “misteri” dibalik tersendatnya capaian kinerja reformasi birokrasi. Meski tidak secara terang-terangan, namun secara tersirat beliau membenarkan akan sinyalemen para peserta akan berbagai dilema di sekitar reformasi.  

Pertama, tentu issu remunerasi atau tunjangan kinerja, dimana Kementerian Keuangan sudah menerima tunjangan ini sejak 2008 sebesar 100 persen, sementara hingga saat ini masih banyak Kementerian/Lembaga yang belum menerima sama sekali. Ironisnya, di Kementerian Keuangan justru masih saja terus terjadi kasus-kasus penyalahgunaan wewenang dan manipulasi pajak, yang seolah membuktikan hipotesis publik bahwa tunjangan yang besar tadi tidak berkorelasi positif dengan berkurangnya tindak pidana korupsi. Adalah ironis pula ketika Kemenetrian Keuangan begitu “mudah” menyediakan anggaran besar untuk perbaikan kesejahteraan pegawainya, sementara untuk alokasi bagi instansi lain terasa begitu sulit dan berbelit-belit. Dampaknya, program reformasi tidak bisa berjalan selaras antar lembaga. Kementerian Keuangan yang didukung dengan anggaran besar mampu melakukan aktivitas apapun dalam rangka reformasi, sehingga memunculkan image seolah-olah Kementerian Keuangan jauh lebih hebat dibanding kementerian lainnya, yang memiliki dana amat terbatas untuk menggulirkan reformasi di instansinya. Kondisi inilah yang dijadikan sebagaialasan pembenar” untuk menerima tunjangan yang besar tadi, meski instansi lain tidak menerima sama sekali. Wajarlah jika kemudian muncul joke bahwa birokrasi Indonesia berkasta. Dalam kasus seperti ini, nampak bahwa Kementerian Keuangan mem-fait accompli Kementerian PAN dan RB, untuk tidak mengatakan “menyandera”. Maksudnya, Kementerian Keuangan yang menerima manfaat RB, namun kegagalan program reformasi seolah menjadi tanggungjawab tunggal Kementerian PAN dan RB. 

Kedua, soal berlarutnya pembahasan dan pengesahan RUU ASN (Aparatur Sipil Negara), yang diindikasikan ada penolakan serius dari dalam tubuh pemerintah sendiri, terutama pada Sekretaris Jenderal Kementerian dan asosiasi Sekretaris Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota. Ketidakakuran seperti ini membuktikan betapa birokrasi kita masih dikelola dengan pola “monarki” atau “rejim”. Penolakan terhadap RUU ASN jelas sekali mencerminkan kuatnya ego sektoral dan kepentingan aktor-aktor tertentu yang tidak menginginkan goyah dari istana comfort zone. Maka, dengan mudah kita bisa maklum jika kinerja pemerintahan kita teramat rendah, karena memang tidak ada common interest, shared values and vision, mutual understanding, dan sense of synergy diantara instansi pemerintah tersebut. Kasus Peraturan Pemerintah No. 48/2005 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi CPNS, adalah contoh lain betapa birokrasi kita terlalu berat menanggung beban politik, dan betapa Kementerian PAN dan RB tidak bisa berbuat sesuatu dan menolak hal yang jelas-jelas diyakini debagai kekeliruan. Sebagai institusi yang paling bertanggungjawab terhadap program RB, Kementerian PAN dan RB justru berubah menjadi kambing hitam terhadap kebijakan-kebijakan keliru yang mengatasnamakan reformasi. 

Ketiga, merebaknya lembaga-lembaga non struktural baru serta mengembangnya unit-unit kerja kementerian, yang dilakukan di era reformasi dan desentralisasi. Desain dasar reformasi dan desentralisasi jelas menghendaki adanya perampingan unit kerja organisasi di tingkap pusat. Namun yang terjadi adalah sebaliknya, dimana rata-rata kementerian semakin tambun, dan jumlah LNS semakin “menggila”. Ditambah dengan pemekaran provinsi hingga kecamatan dan kelurahan, maka peningkatan beban APBN dan APBD secara otomatis menjadi taruhannya. Lagi-lagi, dalam situasi seperti itu nampaknya Kementerian PAN dan RB tidak bisa berperan banyak. Meski gossip-nya ada silent moratorium untuk pemekaran unit-unit organisasi K/L, namun fakta di lapangan berbicara lain. Tentu ada “sesuatu” dibalik lemahnya Kementerian PAN dan RB sebagai filter untuk menahan berkembangbiaknya lembaga pemerintah. 

Keempat, agar RB bisa berhasil secara optimal, maka komitmen pimpinan tertinggi negeri menjadi faktor determinan. Beliau harus menjadikan RB sebagai the living reform, bukan sekedar reform agenda. Saat ini memang beliau sudah menerbitkan Perpres No. 81/2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi, namun substansi Perpres tadi nampaknya belum merasuk dalam jiwa, urat nadi, dan aliran darah para penyelenggara negara. Beliau dituntut untuk menghapus reformasi sebagai wacana atau lip service belaka, dan menghilangkan jarak, sekat, atau tirai antara Presiden dengan program RB. Sebab, selama ini ada kesan publik bahwa Presiden sesungguhnya tidak tahu banyak tentang esensi dan manfaat reformasi birokrasi, sementara para pembantunya juga gagal meyakinkan beliau bahwa RB merupakan kebutuhan utama Kabinet Indonesia Bersatu II untuk membangun sistem tata kelola pemerintahan yang benar-benar bersih, amanah, kompeten, dan berkinerja tinggi. Ada baiknya Presiden membuat acara coffee morning atau afternoon break dengan agenda khusus membahas issu reformasi birokrasi ini. 

Dalam konteks penyelenggaraan Diklat Kepemimpinan, saya merekomendasikan agar para penceramah diminta untuk bicara tidak hanya di level permukaan saja, namun lebih kepada hal-hal yang tidak banyak diketahui publik. Apalagi pada jenjang Diklatpim I, tidak masanya lagi peserta diberi kualiah teknis dan teori yang bertumpuk. Issu-issu strategis tidak harus dimaknakan sebagai issu-issu internasional atau issu-issu lintas disiplin saja, melainkan juga issu-issu lokal dan spesifik, namun mempunyai nilai informasi yang tinggi. Inilah yang saya maksudkan dengan the untold stories. The untold stories ini sangat boleh jadi akan menjadi the driving force untuk sebuah perubahan yang nyata. 

Dari kamar B-315
Kampus Pejompongan, 18 April  2013

Kamis, 18 April 2013

"Tersesat"


Pada sessi diskusi “studi kasus” hari ini, suasana sempat memanas gara-gara kata “tersesat”. Awalnya, seorang peserta dari kelompok 3 mengomentari paparan kelompok 1. Beliau mengungkapkan perbedaan pandangannya dengan kelompok 1 dan menyatakan kebingungannya apakah dia atau kelompok yang sedang presentasi yang tersesat. Kemudian, penanya lain dari kelompok 1 juga mengungkapkan hal kurang lebih sama, dan menyebutkan “jika kita tersesat di ujung jalan, kembalilah ke pangkal jalan”. Kebetulan sekali, saya saat itu bertindak sebagai moderator. Ketika pertanyaan dan tanggapan selesai, sebelum mempersilahkan kelompok 1 untuk menjawab saya katakan agar kelompok 1 menjawab pertanyaan hanya yang ada dalam substansi paparan, dan tidak perlu menjawab pertanyaan diluar kontrol kelompok, dalam hal ini tentang “ketersesatan”. Saya juga sampaikan agar soal tersesat atau tidaknya kelompok kita serahkan kepada Widyaiswara selaku pembimbing kelompok. 

Ternyata, himbauan saya tidak diikuti oleh kelompok 1. Salah seorang anggota kelompok bahkan menegaskan tidak ada yang tersesat dan jangan pernah lagi menggunakan kata “tersesat” di dalam forum. Celakanya, saat itu ada celetukan yang secara pasti entah dari mana, yang mengatakan: “Widyaiswara yang tersesat”. Sesaat setelah ketiga kelompok menyelesaikan paparannya, seperti biasa para widyaiswara tampil kedepan. Salah satu diantaranya, yang menjadi koordinator, menyebutkan bahwa penanya pertama memberikan tanggapan yang terus terang, sedangkan saya dan penanya kedua disebutkan lebih halus dalam berbicara namun lebih nylekit. 

Setelah sessi presentasi selesai, kata tersesat masih berkembang menjadi komoditas menarik dan obrolan yang mengasyikkan di saat istirahat maupun saat santai. Namun yang tidak kami sadari, ternyata ada seorang Widyaiswara yang sangat tersinggung dengan kata ini. Saya bisa memahami, mungkin saja beliau ingin menjaga citra sebagai pihak yang membimbing dan mengarahkan peserta kearah jalan yang benar dan lebih baik. Meski kata “tersesat” tadi sebenarnya sama sekali tidak ditujukan kepada beliau, namun beliau terlalu sensitif dan menilai peserta telah menyindirnya. Beliau kemudian memberi “ceramah” agar kami tidak mudah memvonis sesuatu sebagai tersesat, karena mungkin saja kebenaran akan ditemukan dalam perjalanan di depan kami. Beliau sangat tidak menyetujui ungkapan rekan kami bahwa “jika kita tersesat di ujung jalan, kembalilah ke pangkal jalan”. Bagi beliau, ini adalah langkah mundur atau setback, dan kita sangat tidak dibenarkan untuk mundur. Beliau bahkan melibatkan emosinya dengan mengatakan “maaf, saya lebih tua dari anda”, dan seolah-olah mencari pembenaran bahwa usia yang lebih tua selamanya lebih benar. 

Tentu saya sangat menyesalkan sikap widyaiswara tadi yang saya nilai kurang matang dan terlalu cepat menyimpulkan secara keliru maksud ucapan teman-teman, termasuk ucapan saya sendiri selaku moderator. “Tersesat” tadi lebih banyak mengilustrasikan adanya kebingungan peserta tertentu terhadap substansi pembelajaran, metode yang digunakan, atau format presentasi yang baik. Kalaupun benar-benar tersesat, maka tersesat dalam ilmu pengetahuan bukanlah sebuah aib. Justru ketersesatan dalam ilmu pengetahuan akan menjadi awal dari penemuan ilmiah yang bernilai sangat tinggi. Coba kita ingat, berapa eksperimen yang harus dilalui Thomas Alva Edison untuk menemukan bola lampu atau lampu pijar? Konon, dia berhasil menemukan bola lampu pada eksperimen yang ke-1000. Jika kita gunakan terminologi “tersesat”, maka dia telah mengalami ketersesatan sebanyak 1000 kali. Namun, bukankah Edison tidak mengatakan bahwa 1000 eksperimen yang dilalui bukan sebuah kegagalan? Dia justru mengatakan: “saya berhasil menemukan 1000 cara yang salah untuk menemukan bola lampu”, dan tidak pernah mengatakan “saya gagal 1000 kali dalam menemukan bola lampu”. 

Saya juga tidak sepenuhnya menyetujui ucapan widyaiswara tadi bahwa “kembali ke pangkal jalan” adalah langkah mundur atau setback. Ada kalanya untuk maju dan berlari kencang kita harus mundur sejenak mengatur strategi yang lebih tepat. Dalam learning organization, bukankah kita tidak hanya diajarkan untuk learn dan unlearn, namun juga relearn? Makna relearn adalah bahwa kita dapat menerapkan kembali wisdom kita dimasa lalu yang pernah kita tinggalkan padahal memiliki nilai filosofis yang luhur dan masih terus aktual dengan kekinian kita.  

Selain itu, widyaiswara ini juga harus paham dengan konteks yang disampaikan teman saya ini. Untuk diketahui, teman saya ini alumni Fakultas Hukum UII dan memiliki dasar agama yang sangat kuat. Ketika dia mengungkapkan “jika kita tersesat di ujung jalan, kembalilah ke pangkal jalan”, dia sudah menjelaskan bahwa ungkapan ini lazim terjadi di pesantren. Nah, anak-anak pesantren yakin benar dengan Sabda Nabi SAW yang berbunyi: “Aku tinggalkan dua perkara, yang jika engkau pegang teguh, maka engkau tidak akan tersesat selamanya. Dua perkara itu adalah Alquran dan Hadist”. Maka, mutlak benar adanya jika seseorang tersesat dalam hidupnya, maka satu-satunya jalan menuju jalan yang lurus dan benar adalah Alquran dan Hadist sebagai “pangkal”nya. Dalam hal ini, jika seseorang sudah mulai tersesat namun meneruskan langkahnya, maka langkah itu akan tersesat semakin jauh. 

Ini bukan berarti bahwa apa yang disampaikan Widyaiswara tadi salah. Ajakan untuk tidak mundur ke belakang dan maju terus sampai menemukan keberhasilan adalah benar dilihat dari sisi ikhtiar manusia. Kadang manusia memang tidak sadar bahwa keberhasilannya sudah amat dekat dengan dirinya, dan ketika dia berhenti, menyerah, dan putus asa, akhirnya yang sudah dilakukan menjadi tidak berarti apa-apa. Maka, benar sekali bahwa kita harus terus berusaha keras dan yakin bahwa keberhaslan akan kita peroleh. Namun secara akidah, prinsip, tata nilai, dan keyakinan/keimanan, maka pedomannya tidak berubah, tidak dicari-cari di depan kita, dan tidak boleh kita tinggalkan. Sama logikanya untuk konteks bangsa Indonesia, jika bangsa ini sudah merasa jauh dari nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945, maka solusinya adalah kembali kepada Pancasila dan UUD 1945, bukan melanjutkan jalan dan berharap akan menemukan Pancasila dan UUD 1945 yang lain di depan sana. 

Kasus “tersesat” ini hendaknya menjadi pelajaran bagi seluruh elemen diklat, terutama Widyaiswara. Sebagai orang yang dituakan secara usia biologis maupun pengalaman dan keilmuan, hendaknya bisa lebih arif menyikapi ungkapan dan perilaku peserta yang terkadang masih “mentah” dan emosional. Jika Widyaiswara lebih mentah dan lebih emosional dibanding peserta, bagaimana mungkin mereka bisa melakukan tugasnya membimbing peserta? Widyaiswara juga perlu selalu menempatkan sesuatu pada konteks yang tepat, sehingga ucapannya tidak menimbulkan kesalahpahaman dan menciptakan suasana yang cenderung kurang menguntungkan bagi proses pembelajaran selanjutnya. Bahkan dalam beberapa hal, seorang Widyaiswara yang baik adalah mereka yang memiliki kemampuan “diplomasi” tingkat tinggi. Sebagai contoh, ketika dihadapkan pada soal ketersesatan ini, akan lebih bijak jika Widyaiswara menyatakan kegembiraannya jika peserta merasa tersesat, karena tersesat di belantara ilmu sama artinya akan selalu mendapatkan ilmu baru kemanapun peserta melangkahkan kakinya. Samudera ilmu begitu luas tidak berbatas, dan orang-orang yang tidak tersesat dalam rimba raya pengetahuan justru mereka yang hanya memiliki wawasan sempit bagaikan kuda dengan kacamatanya yang sempit. 

Dari kamar B-315
Kampus Pejompongan, 17 April  2013