Laman

Senin, 26 Agustus 2013

Korupsi Dalam Pandangan Pengunjung Blog Saya

Iseng-iseng saya membuat survey melalui Blog saya tentang korupsi. Awalnya saya ingin membuat banyak pertanyaan, mulai dari pengertian responden tentang korupsi, faktor yang mendorong terjadinya korupsi, kesungguhan aparat hukum menangani kasus korupsi, para pelaku korupsi, dan seterusnya hingga strategi menghapus korupsi dari bumi pertiwi. Namun, Blog gratisan saya nampaknya memang tidak didesain sebagai Blog yang bersifat akademik dan interaktif, sehingga akhirnya saya hanya bisa membuat satu pertanyaan tentang strategi mengatasi korupsi.

Pertanyaan saya adalah: “Menurut Anda, apa solusi terbaik untuk mencegah dan memberantas korupsi?". Terhadap pertanyaan tersebut, saya menyediakan 6 (enam) opsi jawaban. 4 (empat) jawaban pertama menyangkut upaya pencegahan, sedangkan 2 (dua) jawaban lain merupakan langkah pemberantasan korupsi. Keenam opsi jawaban tersebut adalah:

  •  Meningkatkan kesejahteraan pejabat;
  • Memperkuat landasan spiritual dan religius para pejabat;
  • Menciptakan sistem pengelolaan keuangan yg lebih mudah dan transparan;
  • Memasukkan korupsi dalam kurikulum pendidikan;
  • Penegakan hukum yang tidak pilih kasih namun obyektif;
  • Ancaman pidana seberat mungkin (hukuman mati) bagi pelakunya.

Karena ini hanya survey iseng-isengan saja, maka saya tidak menetapkan populasi dan target sampel dari responden saya. Saya juga tidak memperhitungkan aspek waktu pelaksanaan survey, apalagi dikaitkan dengan kasus-kasus tertentu. Ini benar-benar hanya helicopter view yang ingin melihat di tingkat permukaan terhadap pendapat siapapun yang kebetulan berkunjung ke Blog saya.

Sampai saya buat tulisan ini, ada 42 orang yang memberikan jawaban, dimana setiap responden boleh memberikan jawaban lebih dari satu. Dan saya ucapkan terimakasih kepada Blogspot yang secara langsung telah membuat rekapitulasi terhadap seluruh jawaban yang masuk. Hasilnya adalah sebagai berikut:

Opsi Jawaban
Distribusi & Persentase Jawaban
Meningkatkan kesejahteraan pejabat
2 (4%)
Memperkuat landasan spiritual dan relijius para pejabat
13 (30%)
Menciptakan sistem pengelolaan keuangan yang lebih mudah dan transparan
16 (38%)
Memasukkan korupsi dalam kurikulum pendidikan
8 (19%)
Penegakan hukum yang tidak pilih kasih namun obyektif
21 (50%)
Ancaman pidana seberat mungkin (hukuman mati) bagi pelakunya
19 (45%)

Menurut Anda, apa solusi terbaik untuk mencegah dan memberantas korupsi?
Dari rekap diatas nampaklah bahwa responden lebih mendukung upaya pemberantasan dari pada pencegaha, yang ditunjukkan oleh banyaknya pilihan terhadap opsi penegakan hukum yang tegas dan pemberian ancaman pidana mati (death sentence). Ini saya kira mencerminkan harapan umum masyarakat Indonesia yang menginginkan para koruptor dihukum seberat-beratnya. Dan harapan ini sama sekali tidak ada salahnya, mengingat korupsi sudah merupakan kejahatan luar biasa (extraordinary crime) yang merusak sendi-sendi kehidupan rakyat di bidang pendidikan, kesehatan, infrastruktur, dan kesejahteraan. Jika saja korupsi dapat ditekan mendekati zero corruption, kesulitan pendanaan dalam pembangunan sub-way, monorail, atau bahkan jembatan Selat Sunda, mungkin sekali tidak akan muncul. Sangat boleh jadi pula, masalah busung lapar, lumpuh layu, atau kematian karena kurang makan, tidak akan pernah kita dengarkan jika  tidak ada korupsi di negeri ini. Maka wajarlah jika masyarakat menuntut pemberian sanksi yang tegas, jika perlu yang keras, terhadap pelaku korupsi. Itu saja mungkin tidak cukup. Masyarakatpun masih mencaci, menghijat, dan mendoakan para manusia serakah tadi agar abadi di kerak neraka.

Namun, pilihan responden yang cenderung pada upaya penanganan dibanding pencegahan menurut saya juga menunjukkan karakter bangsa ini yang menyukai segala sesuatu yang bersifat instan, jangka pendek, mudah dilihat hasilnya seketika, dan tidak memberi prioritas terhadap masalah jangka panjang. padahal dari teori gunung es (Iceberg Theory), pemberian hukuman seberat apapun terhadap koruptor dapat dikatakan sebagai langkah reaktif yang hanya mengatasi masalah di permukaan (surface) saja. Berapa banyakpun koruptor dihukum, akan lahir koruptor-koruptor baru sepanjang tidak ada penanganan yang lebih mendasar, sistemik, dan komprehensif. Ibaratnya, hilang satu koruptor, tumbuh seribu koruptor lainnya. Sama juga ketika kita memberihkan sampah di sungai sementara mindset masyarakat masih memandang sungai sebagai keranjang sampah, maka tidak akan pernah terwujud sungai yang bersih dan bebas polusi.

Oleh karena itu, perlu upaya lain yang tidak sekedar rektif, namun lebih bersifat responsif, generatif, dan sistemik. Nah, strategi pencegahan dalam hal ini dimaksudkan sebagai upaya yang lebih responsif, generatif, dan sistemik tadi. Pemberantasan korupsi sesungguhnya bukan sekedar target menangkap para pelakunya, namun lebih merupakan proyek besar bangsa Indonesia bernama nation building dan character building. Repotnya, saat ini kita sudah teramat jarang mendengarkan program-program nation building ini. Nampaknya banyak orang merasa bahwa pembangunan semangat kebangsaan kita telah selesai melalui penataran P-4 (Tap MPR No. II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila). Bahkan kurikulum pendidikan nasional kita amat sedikit (untuk tidak mengatakan tidak ada sama sekali) mengajarkan soal-soal budi pekerti, pendidikan moral, pendidikan perjuangan kebangsaan, dan sejenisnya. Saya khawatir, meskipun telah ada KPK, jika mentalitas bangsa tidak dibangun, dalam kurun 30-50 tahun yang akan datang korupsi justru lebih menggila dari kondisi sekarang.

Maka menjadi menyimak jawaban responden yang hanya 19% yang mendukung agar program anti korupsi dimasukkan dalam kurikulum pendidikan sejak SD hingga perguruan tinggi. Akan menjadi ironis jika pandangan seperti ini juga dimiliki para perancang kurikulum dan para pengambil kebijakan lainnya. Coba kita lihat kasus “sepele” tentang kantin kejujuran di berbagai sekolah. Berapa banyak sekolah yang dulu berinisiatif membuat kantin di sekolahnya tanpa penunggu? Siapapun boleh mengambil makanan atau benda lain yang dijual di kantin tersebut, dan mereka membayar dengan harga yang telah tertera, dan menaruh uang pembayaran dalam tempat yang tersedia. Jika ada kembalian, para penjual ini juga yang langsung mengambil uang kembalian. Nah, pertanyaannya: berapa kantin kejujuran yang masih bertahan saat ini? Saya hanya melihat 1 saja, yakni kantin kejujuran yang ada di kantor KPK. Ilustrasi ini memberikan sinyal red alert bagi bangsa ini, bahsa anak-anak usia sekolahpun belum bisa diajak berpikir anti korupsi. Jika pendidikan anti korupsi tidak diprioritaskan dan dimulai sekarang juga, mau jadi apa bangsa Indonesia dalam waktu 30-50 tahun mendatang?

Menarik pula untuk menyimak jawaban responden yang hanya sebesar 4% yang menyetujui peningkatan kesejahteraan pejabat sebagai strategi penanggulanagn korupsi. Hal ini sangat bertolak belakang dengan desain reformasi birokrasi yang justru memberikan penambahan tunjangan kinerja (lebih umum dikenal dengan istilah remunerasi) bagi PNS seluruh level. Semakin tinggi jabatan seseorang, maka semakin besar pula tunjangan yang diterimanya. Bahkan di kementerian tertentu yang sudah menerima tunjangan kinerja 100%, smasih pula memberikan Tunjangan Kinerja Tambahan yang besarnya bisa sama dengan Tunjangan Kinerja pokok.hal inilah yang sangat berpotensi menyakiti hati masyarakat, terutama yang tergolong miskin dan seolah tidak mampu turut menikmati kue pembangunan. Bagi mereka, bisa saja pemberian tunjangan kinerja ini adalah sebuah kamuflase untuk melegalkan korupsi.

Perbedaan cara pandang antara masyarakat umum dengan pemerintah seperti nampaknya akan menjadi perbedaan yang tidak pernah ketemu titik. Pemerintah meyakini bahwa memberantas korupsi haruslah dengan memberikan kesejahteraan yang cukup, karena memang salah satu penyebab korupsi adalah kebutuhan yang mendesak (corruption by needs). Sementara masyarakat lebih melihat masalah korupsi di tubuh pemerintahan disebabkan oleh keserakahan (corruption by greed), mengingat taraf kehidupan aparat secara umum tidak kekurangan, bahkan sebagian memamerkan kemewahan ditengah kemiskinan warga. Selain itu, kasus-kasus korupsi perpajakan misalnya, memberikan bukti tak terbantahkan bahwa kesejahteraan seorang pegawai akan menghapus perilaku dan tindakan korupsi pegawai yang bersangkutan.

Diantara perbedaan pandangan diatas, saya pribadi mendukung yang kedua. Saya termasuk yang tidak pernah setuju ketika ada argumen yang menyatakan bahwa agar hakim terlibat pada dugaan kasus mafia peradilan salah satunya adalah karena faktor ekonomi hakim tersebut, sehingga munculah kebijakan memberikan kenaikan gaji dan/atau tunjangan hakim. Demikian pula seorang dokter spesialis yang lebih banyak berpraktek bukan di RS karena alasan gaji yang rendah, kemudian disikapi dengan pemberian tunjangan kelangkaan profesi. Di salah satu daerah di Kalimantan, tunjangan kelangkaan profesi dokter spesialis bisa mencapai 25 hingga 30 juta/bulan. Bagi saya, perbuatan (okmun) hakim yang terlibat mafia peradilan dengan jual beli perkara, atau seorang dokter spesialis yang tidak disiplin waktu dan berkinerja rendah, pilihannya hanya satu, yakni tegakkan aturan apa adanya, bukan malah dimanja dengan pemberian tunjangan. Ini pola pikir yang bagi saya menyesatkan dan tidak berlandaskan pada rasa keadilan terhadap sesama pegawai atau profesi lainnya.

Persoalan sistem pengelolaan keuangan yang lebih mudah dan transparan menurut saya juga menarik dicermati. Dalam pengamatan saya, sistem keuangan yang ada saat ini masih menerapkan prinsip kebenaran formil dari pada kebenaran material. Kasus nyata yang tidak pernah saya lupakan adalah ketika saya masih menjabat Kepala Bidang Kajian Aparatur, salah satu tanggungjawab saya adalah pencetakan hasil kajian dalam wujud buku. Saya sangat bersyukur dengan mitra percetakan yang jujur dan berdedikasi, sehingga mereka melaporkan bahwa dari dana yang sudah teralokasikan, mereka dapat memenuhi jumlah eksemplar buku sesuai standard an target lembaga. Hebatnya, mereka mengatakan bahwa secara riil masih ada sisa dana, dan mereka menawarkan untuk apa uang tersebut akan digunakan. Sebenarnya, itu adalah hak penuh mereka yang tidak perlu lagi dilaporkan kepada kami. Tugas mereka mencetak dan tugas kami membayar sesuai aturan, maka selesailah perkaranya. Itulah sebabnya, saya katakan mitra percetakan tadi sebagai pihak yang berdedikasi, dan ini patut menjadi contoh bagi kalangan aparatur. Karena terus ditanya, maka saya sarankan agar dimanfaatkan untuk mencetak buku yang sama, sehingga total buku yang kami terima lebih dari target. Namun alangkah terkejutnya ketika hal itu disalahkan oleh Inspektorat pada saat melakukan pemeriksaan. Menurut mereka, hal seperti itu bisa dikategorikan sebagai upaya memperkaya orang lain.

Itu hanya sedikit kasus betapa sistem administrasi penganggaran (perencanaan hingga pemeriksaannya) sangat formalistik dan kaku, buta terhadap inovasi dan kejujuran, dan tuli terhadap suara kebenaran yang lebih substansial. Dengan sistem yang ada seperti saat ini, menurut saya sangat rentan terhadap niat-niat jahat, apalagi jika disertai dengan permufakatan jahat. Contoh klasik bisa kita lihat dalam hal penggunaan anggaran perjalanan dinas. Dimana BPK beberapa waktu yang lalu mengindikasikan kebocoran sebesar 40% lebih. Bagi saya, kebocoran substansial bisa saja mencapai 70%. Artinya, perjalanan dinas itu sesungguhnya tidak diperlukan sebesar itu. “Kebocoran” bukan hanya manipulasi tiket atau kuitansi hotel, namun juga karena penggelembungan jumlah orang yang berangkat, penggelembungan lama hari, atau penggelembungan tujuan perjalanan. Namun sepanjang administrasinya lengkap, maka sistem audit kita akan menyatakan sebagai “benar”, meskipun didalamnya terkandung niat-niat yang tidak semestinya dalam penggunaan anggaran perjalanan tersebut.

Banyak lagi yang bisa kita refleksikan dari survey mini tadi, Insya Allah lain kali akan saya teruskan setelah saya buat survey yang serupa yang mendukung issu “seksi” ini. Terima kasih untuk sahabat-sahabat yang terus setia mengunjungi Blog saya. Salam hormat dan akrab selalu !!


Jakarta, 27 Agustus 2013

Polisi Tidur

Mantan Presiden Gus Dur pernah bergurau bahwa di Indonesia ini hanya ada tiga polisi baik, yakni Jenderal Hoegeng, Polisi Tidur, dan Patung Polisi. Meskipun dalam nada bercanda, sebenarnya itu merupakan sindiran yang amat tajam mengenai perilaku polisi yang dalam pandangan banyak orang lebih mempersulit dibanding melayani. Polisi Tidur, jelas tidak pernah berlaku diskriminatif kepada siapapun yang melewatinya. Ia juga tidak pernah mengajak “damai” terhadap pelanggar lalu lintas yang terjadi di sekitarnya. Lebih-lebih, ia juga tidak mungkin mempermainkan sebuah perkara untuk kepentingan dirinya. Mungkin, itulah sebabnya Gus Dur memberi predikat Polisi Tidur sebagai salah satu polisi terbaik di Indonesia.

Namun disisi lain, saya justru merasakan bahwa polisi tidur yang asal dibuat dan “asal ditidurkan” sering menimbulkan permasalahan tersendiri. Saya pribadi – mungkin juga orang lain –pastilah  merasa tidak nyaman ketika dalam sebuah gang atau jalan raya sekalipun banyak polisi tidur dan melintang menghalangi jalan kita. Alasan saya sederhana saja: bukankah jalan di aspal atau di beton adalah untuk memberi kenyamanan bagi para penggunanya? Mengapa setelah jalan bagus justru diadakan polisi-polisi tidur? Bagi saya, cara berpikir seperti itu menunjukkan logika yang kacau. Bahkan tidak jarang, di dekat polisi tidur sering ditemui peringatan bernada ancaman “Ngebut Benjut”.

Jika pembangunan polisi tidur dan peringatan “ngebut benjut” esensinya adalah pesan (message) dari masyarakat sekitar atau dari inisiator yang membangun polisi tidur (sender) kepada para pemakai jalan (receiver) untuk berhati-hati dalam berkendara, menurut saya itu adalah model komunikasi yang kurang etis dan kurang beradab. Sender menggunakan alat dan media komunikasi yang hard (kasar/keras) untuk memberi tekanan (pressure) mental kepada receiver. Kalaupun si receiver melaksanakan message si sender, dapat dipastikan dia melakukannya dengan hati gondok. Maka, persoalan hati-hati, berkendara secara santun, dan menjaga etika serta keselamatan orang lain sesungguhnya terletak pada kesadaran dan kepedulian pengendara (rider’s consciousness) serta kecerdasan berkendara (riding intelligence), bukan pada sang polisi tidur. Boleh jadi polisi tidur cukup efektif membangun rider’s consciousness dan riding intelligence tadi, namun upaya yang lebih humanistic seperti sosialisasi (public campaign) yang berkelanjutan, pendidikan lalu lintas bagi anak-anak sejak dini, dan seterusnya, menurut saya jauh lebih baik untuk konteks jangka panjang.

Kalaupun tetap dipandang perlu memberi peringatan kepada pengendara, mengapa tidak dipilih cara yang lebih bijak? Contoh di Jalan Manyar, Cilacap, mungkin bisa layak ditiru dan dikembangkan diseluruh belahan negeri ini. Di gang kecil tersebut ada sebuah Taman Kanak-Kanak yang cukup banyak muridnya, sehingga pada jam-jam masuk dan pulang sekolah, jalan tersebut sangat ramai. Pengendara yang tidak hati-hati, bisa saja menjadi ancaman bagi anak-anak tersebut. Di dekat TK tersebut memang ada polisi tidur, namun bukan TK tadi yang membuatnya. Pimpinan TK justru membuat peringatan berbunyi “Pelan itu Sopan”. Dan bagi para pengantar/penjemput anak TK yang seringkali membuat semerawut dan macet, ada himbauan berbunyi “Teratur itu Berbudi Luhur”. Nah, dengan pendekatan yang menyentuh sistem nilai universal seperti itu, orang cenderung taat tanpa merasa diperintah atau bahkan diancam.

Lebih ekstrem lagi, saya pernah berpikir bahwa membangun polisi tidur tanpa ijin resmi dari Kepolisian dan Kementerian/Dinas Perhubungan adalah sebuah sabotase. Bayangkan, jalan yang dibangun pemerintah dengan dana yang tidak sedikit, malahan dirusak oleh warga dengan alasan keselamatan, kehati-hatian, dan sejenisnya. Saya yakin pemerintah telah mempertimbangkan bahwa dengan lebih baiknya kondisi dan kualitas jalan, maka kecepatan kendaraan akan lebih tinggi. Dan dengan kecepatan yang lebih tinggi tadi, saya juga yakin bahwa pemerintah sudah memperhatikan implikasinya terhadap faktor keselamatan. Maka, sekali lagi, pembangunan polisi tidur semestinya tidak dibiarkan menjadi mekanisme warga sementara pemerintah (cq. Polisi dan aparat Perhubungan) hanya diam melihatnya. Biarkan aparat yang menentukan dimana akan dibangun polisi tidur (jika diperlukan). Biarkan pula mereka yang menganalisis aspek keamanan dan keselamatan pada suatu lokasi. Partisipasi masyarakat tentu sangat didorong dan perlu diapresiasi, namun bukan berarti masyarakat boleh mengintervensi fungsi institusi kenegaraan. Konkritnya, jika warga merasa perlu membuat polisi tidur di lingkungannya, sampaikan usulan kepada aparat, yang atas dasar usulan tadi aparat akan mengkaji kelayakannya dan kemudian mengalokasikan anggaran jika polisi tidur tadi benar-benar dibutuhkan. Namun, jangan pernah seseorang membangun polisi tidur dengan berdalih demi keselamatan.

Untuk selanjutnya, agar tidak muncul preseden bahwa siapapun dapat membuat polisi tidur dimanapun sesukanya, maka aparat Kepolisian dan Perhubungan perlu lebih cerdas dan tegas dalam menjalankan tugasnya. “Cerdas” dalam arti memiliki informasi yang lebih akurat tentang tingkat keselamatan di berbagai ruas jalan dan wilayah, kebutuhan kualitas jalan, mampu mengkomunikasikan kepada publik. “Tegas” dalam arti bahwa mereka lebih pro-aktif untuk melakukan langkah pencegahan dan penanganan terhadap polisi tidur yang terlanjur sedang/ telah dibangun. Dengan demikian, keberadaan polisi tidur benar-benar dapat dipertanggungjawabkan secara teknis, dasar legalitas, dan secara moralitas kepada para penggunanya. Polisi tidur bukan hanya pengganggu kenyamanan, namun benar-benar dibutuhkan untuk menjaga keselamatan semua pihak. Jika ini terjadi, maka pernyataan Gus Dur bahwa polisi tidur adalah salah satu polisi terbaik di Indonesia akan menjadi kenyataan, bukan sekedar gurauan belaka.


Jakarta, 26 Agustus 2013

Jumat, 23 Agustus 2013

Ladies Program


Saya agak terkejut ketika mendengar kabar akan diadakan kegiatan ladies program dalam rangkaian Diklatpim I. Terakhir kali saya mengetahui program ini tahun 1994 saat saya baru saja diangkat menjadi CPNS dan ditempatkan di LAN Perwakilan Jawa Barat, di Bandung. Kebetulan sekali, saat itu ayah saya mengikuti Diklat Sepadyanas, dan di akhir program, Ibu sayapun mengikuti ladies program. Setelah itu, saya tidak pernah mendengar lagi LAN mengadakan acara untuk istri para peserta diklat ini. Hanya lembaga diklat di daerah yang nampaknya masih terus mentradisikannya sebagai additional activity yang terpisah dari program Diklat Penjenjangan. 

Maka, terus terang saya bertanya-tanya, apa latar belakang, tujuan, dan landasan berpikir dari penyelenggaraan ladies program di Diklatpim I ini? Sayangnya, saya tidak memperoleh jawaban yang memuaskan dari setiap orang yang saya Tanya. Salah seorang peserta yang kebetulan seorang perempuan dan berasal dari LAN juga tidak paham mengapa program ini muncul, selain “menjalankan perintah pimpinan”. 

Saya pribadi memiliki pendapat yang terbelah tentang ladies program. Disatu sisi, saya menolak, namun disisi lain saya dapat memberikan dukungan pula. Saya menolak atas dasar beberapa argumentasi. Pertama, program ini tidak dijelaskan sejak awal serta tidak memiliki urgensi dan framework yang jelas. Apa tujuan besar dari program ini, apa sasaran kompetensi yang dibangun, mengapa hanya dilakukan setengah hari, mengapa materi yang dipilih adalah tentang keprotokolan, mengapa desainnya berupa ceramah, dan banyak pertanyaan lainnya, terus menjadi misteri hingga akhir program. Intinya, kemanfaatan program ini dalam pandangan saya teramat kecil, untuk tidak mengatakan nol besar. Kedua, program ini memberi “beban” tambahan bagi peserta karena seluruh pembiayaan dibebankan kepada peserta. Ketika sebuah program lembaga berjalan diluar kerangka institusional, maka sulit bagi saya untuk menerimanya.

Sebaliknya, saya sangat mendukung program ini dengan syarat kedua situasi yang menjadi keberatan diatas dapat diatasi. Artinya, ladies program harus dikemas sebagai bagian tidak terpisahkan dari Diklat Kepemimpinan, yang desainnya telah matang jauh hari sebelum program tersebut berjalan. Penyelenggara harus sudah memiliki analisis kebutuhan yang dapat dipertanggungjawabkan mengapa mengusulkan penyelenggaraan ladies program ini. Sebagai bagian dari Diklat Kepemimpinan, maka ladies program harus diarahkan untuk memperkokoh kapasitas kepemimpinan dari para suami peserta ladies program. Seperti kata pepatah: dibalik kesuksesan seorang suami, ada peran dan kontribusi istri yang hebat. Maka, substansi kurikulumnya pun juga didesain bukan semata-mata meningkatkan keterampilan teknis istri, melainkan lebih memperkuat peran istri sebagai pendamping suami, pengatur manajemen rumah tangga, pendidik anak, dan mitra sejajar suami. Atas dasar pemikiran seperti inilah saya menilai materi keprotokolan adalah salah besar. Hal ini terutama berlaku untuk istri saya yang sehari-hari mengurus rumah dan anak, yang jauh sekali denan urusan protokoler yang penuh basa-basi, namun “terpaksa” dijejali dengan teori keprotokolan. Mengapa tidak dipilih materi lain yang lebih aplikatif seperti smart parenting, psikologi remaja dan anak-anak (untuk mencegah sejak dini perilaku menyimpang para remaja seperti tindakan bullying di sekolah, narkoba, pergaulan bebas, dan seterusnya), atau bahkan materi untuk meng­-guide istri menjadi konsultan bagi suaminya sehingga lebih betah di rumah, tidak terjangkit stress karena beban kerja di kantor, dan sejenisnya. Semua materi itu – sekali lagi – merupakan prasyarat keberhasilan seorang suami. 

Oleh karena ladies program mrupakan bagian integral dari Diklat Kepemimpinan, maka skema pembiayaannya juga harus terintegrasi dengan anggaran Diklat Kepemimpinan tersebut. Ini berarti pula, ladies program menjadi program wajib (compulsory program) bagi istri-istri peserta Diklat Kepemimpinan. Kedudukan, peran, dan tanggungawab suami dengan istri menjadi dua komponen yang saling melengkapi dan memperkuat dalam konfigurasi bertemunya sistem domestik kekeluargaan dengan sistem publik (profesi suami).  

Pandangan kesisteman inilah yang saya lihat sangat lemah dalam ladies program saat ini. Dikotomi antara “urusan rumah tangga” dan “urusan kantor” sebaiknya ditiadakan. Suami harus tahu apapun yang terjadi dengan rumah tangganya, sebaliknya istripun layak tahu apa yang dilakukan suaminya di kantor lengkap dengan problematika yang muncul. Tentu saja, untuk urusan-urusan yang masuk kategori “rahasia jabatan” tidak boleh diceritakan kepada siapapun termasuk kepada istri maupun anggota keluarga yang lain. 

Bung Karno sendiri dalam buku Penyambung Lidah Rakyat karya Cindy Adams pernah mengkritik tradisi masyarakat tradisional kita yang menganggap wanita (para istri) hanya sebagai kanca wingking, yang hanya memiliki tiga tugas yakni macak, masak, dan manak (Jerman: Kleider, Küche, Kinder). Wanita seolah-olah diposisikan sebagai “pundi-pundi” yang tidak boleh dilihat orang lain dan tidak boleh ditampilkan di depan khalayak ramai. Maka, dengan meminjam pemikiran Bung Karno ini, pendidikan bagi perempuan adalah sebuah hak asasi yang harus dihormati, dilindungi, dan dipenuhi oleh pemerintah. Dalam konteks ini, ladies program bisa dikatakan sebagai wujud tanggungjawab mencerdaskan para perempuan Indonesia, sekaligus memperkuat sinergi istri-istri dengan para suaminya. 

Dari kamar B-315
Kampus Pejompongan, 16 Mei 2013

Ujian KTP-2


Terus terang, hari ini saya agak kecewa dengan ujian KTP-2 yang saya jalani. Persiapan yang sungguh-sungguh sejak hunting data selengkap mungkin dari berbagai sumber, pendalaman secara mandiri buku-buku tentang SSM karya Sudarsono dan Peter Checkland, membuat tampilan slide sebagus yang saya mampu, hingga tidur menjelang fajar, rasanya menjadi sia-sia ketika hal yang saya yakini kebenarannya dinyatakan secara berbeda oleh widyaiswara penguji.
 
Yang membuat saya kecewa sebenarnya bukanlah perasaan subyektif saya yang belum bisa menerima pernyataan widyaiswara yang mengoreksi KTP-2 saya, melainkan pemahaman antar widyaiswara yang tidak bulat sehingga seorang widyaiswara menyalahkan sementara yang lainnya membenarkan. Hal kedua yang membuat saya kecewa adalah bahwa analisis SSM dan Scenario Planning yang jelas-jelas bagian ilmu sosial di­-treat sebagai ilmu matematika dengan rumus-rumus bakunya. Beberapa diantaranya bisa saya contohkan sebagai berikut. Namun sebelumnya perlu saya ungkapkan judul KTP-2 saya yakni “Penguatan Peran Deputi III LAN (P) Melalui Penajaman Kajian Hukum Administrasi Negara (Q) Guna Meningkatkan Kualitas Peraturan Perundang-Undangan dan Kebijakan Nasional di Bidang Administrasi Negara (R).
 
Pertama, T (Transformation) pada analisis CATWOE penguji mengharuskan diambil dari unsur Q, sementara saya mengambil dari unsur P dan Q secara sekaligus. Dalam bukunya Dr. Sudarsono disebutkan bahwa makna T tersirat dari deskripsi berupa pertanyaan “apa input dan output dari transformasi tersebut?”. Terhadap pertanyaan tadi, saya menafsirkan inputnya adalah Penguatan Peran Deputi III LAN (P), sedangkan outputnya adalah Penajaman Kajian Hukum Administrasi Negara (Q). Sementara pada W (weltanschauung, World-view), menurut rumus penguji adalah kombinasi P dan R, sedangkan “rumus” saya adalah kombinasi Q dan R. Alasan saya, Dr. Sudarsono menyebutkan dalam bukunya bahwa W dapat dideskripsikan dalam pertanyaan “Apa yang membuat transformasi bermakna secara kontekstual?”. Makna transformasi tersebut menurut saya terlalu rendah jika dilihat dari unsur input (P).
 
Kedua, penguji mengharuskan isi bulatan-bulatan pada Conceptual Model (CM) harus sama persis dengan situation considered problematic (SCP), sedangkan saya mengubah bahasa masalah pada SCP menjadi bahasa aktivitas pada CM. Masih menurut Sudarsono, CM berhubungan dengan apa yang harus dilakukan oleh sistem supaya menjadi seperti apa dinyatakan dalam root definition. Selanjutnya, Sudarsono juga menyatakan bahwa CM yang dibuat dalam SSM bukanlah gambaran utuh tentang dunia nyata, melainkan hanyalah duplikat (notional) dari sistem atau serba sistem aktivitas manusia yang relevan dan dipilih. Tidak ada model yang benar atau salah, yang ada adalah model yang relevan dengan situasi problematis. Dari pernyataan itu saja sudah eksplisit bahwa CM tidak sama dengan SCP, namun relevan dengan SCP.
 
Ketiga, ketika penulis beralih ke analisis Scenario Planning (SP), tahap pertama yang harus dilakukan adalah mengidentifikasi Focal Concern (FC). Saat mengaitkan FC dengan SSM, penguji mengharuskan mengambil dari unsur T pada analisis CATWOE, sementara saya justru mengambil dari unsur W. Pertimbangan saya, FC mencerminkan situasi yang ingin kita deskripsikan pada jangka panjang, bukan sebuah proses menuju kepada ujung dari masa depan yang kita deskripsikan tadi. Lebih parah lagi, penguji juga menyatakan bahwa pada tahap kedua SP yakni mengindentifikasi Driving Force (DF), harus sama dengan SCP dan CM. Padahal secara anatominya menurut saya ketiganya berbeda meski memiliki keterkaitan satu dengan lainnya. Dalam DF misalnya, harus dirumuskan dalam wujud variabel/indikator sehingga dapat diukur secara kuantitatif. Hal ini tentu berbeda dengan SCP yang merupakan pernyataan masalah, atau CM yang merupakan aktivitas manusia (Holon).
 
Keempat, rekomendasi yang dihasilkan pada SSM dan rekomendasi hasil SP juga dikatakan harus sama. Saya lantas bertanya-tanya: jika rekomendasi harus sama, buat apa kita melakukan analisis dengan kedua tool yang berbeda? Bukankah setiap tools of analysis memiliki karakteristik dan tujuan yang spesifik, namun bisa saling memperkuat satu dengan lainnya?
 
Uniknya, ketika dispute saya dengan penguji pertama ini saya kemukakan kepada penguji kedua dan ketiga, mereka membenarkan pekerjaan dan argumentasi saya. Saya jadi sampai pada kesimpulan bahwa pengusaan metodologi mereka masih sangat mentah. Sayapun juga merasa tidak menguasai teknik SSM, namun posisi saya saat itu adalah siswa yang dibimbing, sehingga wajar jika pemahaman saya belum bulat dan banyak melakukan kekeliruan. Namun kekeliruan bagi seorang pembimbing, tentulah bukan sesuatu yang dapat dimaklumi.
 
Dari kamar B-315
Kampus Pejompongan, 15 Mei 2013

Open Recruitment (Lelang Jabatan)

Di era reformasi birokrasi (RB) saat ini, open recruitment atau dikenal juga dengan istilah open bidding atau lebih populer disebut lelang jabatan, menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari reformasi birokrasi itu sendiri. Artinya, lembaga pemerintah yang tidak mau menerapkan open recruitment dalam pengisian jabatan di lembaganya, akan mendapat belum menerapkan reformasi dengan sepenuh hati.

Secara konseptual, tujuan dilakukannya open recruitment cukup baik, yakni untuk menyeleksi dan mendapatkan kader terbaik dan paling kompeten (mampu, pintar, dan berperilaku terpuji) diantara kandidat yang ada. Dengan memilih dan menempatkan kader terbaik dan paling kompeten, diharapkan kinerja organisasi akan meningkat secara signifikan. Selain itu, open recruitment juga merupakan mekanisme yang cukup mujarab untuk menangkis maraknya politisasi dalam pengisian jabatan selama ini. Program inipun terbukti mampu meningkatkan iklim persaingan yang sehat antar pegawai, yang menjadi landasan budaya kinerja unggul dalam sebuah organisasi. Artinya, tidak mungkin tercipta kinerja prima tanpa adanya sistem kompetisi yang fair dalam organisasi, dan itu mampu dibangun oleh pola baru ini.

Namun, tidak ada yang sempurna di dunia ini, demikian halnya program RB khususnya open recruitment, tetap ada ruang-ruang yang membutuhkan perhatian dan penyempurnaan. Tantangan utama dari seleksi jabatan secara terbuka ini adalah konsistensi dan komitmen untuk berpegang teguh pada filosofi dan tujuan dasar dari program ini. Saat ini, mulai banyak sinisme dan apriori di kalangan PNS yang menilai open recruitment hanya sekedar lips service untuk pencitraan institusi atau pejabat tertentu belaka. Open recruitment menjadi dalih yang ampuh untuk menunjukkan bahwa mereka sudah mengimplemenatsikan reformasi, meski secara esensial dan substansial belum terbukti. Sinisme ini muncul juga bukan tanpa sebab. Beberapa kali saya ngobrol dengan para pegawai yang pernah mengikuti open bidding dan mendengar kesaksian mereka bahwa program tersebut hanya permainan belaka. Salah satu argumentasi yang dikemukakan, toh yang akhirnya terpilih dan dilantik mayoritas adalah pegawai dari internal organisasi yang melakukan open bidding tersebut. Selain itu, cukup sering terjadi seseorang yang mengikuti seleksi untuk jabatan A justru diangkat pada jabatan B. Bahkan ada pula pejabat yang tidak mengikuti open bidding justru diangkat pada jabatan tertentu meski ada orang lain yang melamar untuk jabatan tersebut. Salah seorang tema saya yang pernah sama-sama mengikuti Diklat juga bercerita bahwa dia sudah 3 (tiga) kali masuk 3 (tiga) besar dalam seleksi jabatan di 3 (tiga) instansi yang berbeda. Di salah satu instansi tersebut, yang nota bene adalah instansi yang sangat disegani, pejabat yang akhirnya dilantik justru tidak menempuh proses seleksi sejak awal.

Kasus-kasus seperti itulah yang seringkali merusak citra program secara mendasar. Maka, komitmen dan konsistensi dari instansi dan pejabat yang bertanggungjawab dalam perumsuan kebijakan open recruitment dan implementasinya, menjadi pertaruhan besar untuk kelanjutan dan keberhasilan program ini diwaktu-waktu selanjutnya. Belum lagi soal dugaan tidak transparannya penilaian, buruknya komunikasi instansi penyelenggara open recruitment dengan pelamar, dan sebagainya. Salah seorang sahabat saya yang pernah mengikuti program ini sangat optimis mampu terpilih menjadi yang terbaik. Dia masih menunggu hasil ujian/seleksi dan menantikan apa yang harus dilakukan pada tahap berikutnya. Namun yang terjadi, sekonyong-konyong dia mendengar kabar bahwa telah dilantik kompetitornya, tanpa ada pengumuman hasil sama sekali.

Disamping soal integritas (komitmen dan konsistensi), keberhasilan open recruitment juga tergantung dari transformasi kultural dalam birokrasi. Sebab, hal ini sangat berkaitan dengan faktor budaya. Sebagai contoh, bagi banyak orang termasuk saya pribadi, “melamar” jabatan adalah sesuatu yang tabu dan merupakan pantangan besar untuk dilakukan. Melamar pekerjaan (sebagai PNS misalnya) adalah sebuah keniscayaan. Namun melamar jabatan sangat tidak sesuai dengan nilai-nilai sosial dan agama. Dalam sebuah hadits dikatakan: “jangan kau beri jabatan kepada yang meminta”. Sementara program open recruitment justru seolah-olah mendorong PNS untuk “meminta” jabatan sesuai keinginan dan pilihannya. Agar cultural barrier ini bisa diminimalisir, saya mengusulkan agar PNS yang akan mengikuti open recruitment diberikan legalitas administratif berupa surat penugasan untuk mengikuti open recruitment. Artinya, dia ikut dalam kompetisi jabatan bukan karena ambisi pribadinya, namun semata-mata menjalankan tugas organisasi. Dengan demikian, program ini diharapkan tetap berlagsung tanpa menimbulkan kecanggungan budaya bagi para pesertanya.

Hambatan kultural lain yang dapat muncul dan menjadi faktor pengganggu adalah belum terbiasanya masyarakat kita (termasuk pada PNS) menerima kekalahan dalam sebuah kompetisi non olahraga atau kesenian. “Kekalahan” dalam open recruitment bisa saja dimaknai sebagai legitimasi terhadap inkompetensi yang menurunkan kredibilitas diri. Itulah sebabnya, ada kader-kader berbobot yang enggan mengikuti seleksi terbuka seperti ini. Mereka bukan ragu dengan kapasitasnya, namun lebih pada rasa khawatir jika tidak terpilih dan menimbulkan kesan orang lain bahwa dia tidak cukup kompeten menduduki jabatan. Kader-kader bermutu ini memilih untuk tidak ikut karena belum sepenuhnya yakin dan percaya terhadap obyektivitas dan kredibilitas program open recruitment.

Hambatan kultural seperti ini diperparah lagi dengan tidak adanya budaya apresiasi dalam masyarakat kita. Yang lebih banyak berkembang adalah egoisme dengan merasa lebih baik dari pada orang lain, serba curiga dan memandang remeh orang lain, dan kurang berpikir positif terhadap orang lain yang lebih muda, yang berpendidikan atau berpangkat lebih rendah, yang berasal dari luar habitatnya, dan seterusnya. Akibatnya, ada kecenderungan distrust terhadap peserta open recruitment dari luar organisasi. Situasi seperti ini pada dasarnya hanyalah menunjukkan adanya keengganan untuk berubah (resistance to change), dan inipun dapat menjadi faktor yang menyulitkan perubahan dalam tubuh birokrasi.

Sementara itu, secara institusional juga ada potensi penghambat program ini. Hingga saat ini belum ada kebijakan yang mengatur secara lengkap kewajiban instansi pemerintah menerapkan open recruitment, kecuali hanya setingkat Surat Edaran Menpan dan RB. Belum ada Kejelasan apakah seluruh jabatan harus diisi dengan mekanisme ini, atau boleh secara selektif. Jika boleh, berapa persen dari jumlah seluruh jabatan yang ada yang dapat tidak memberlakukan sistem ini. Pengaturan hal ini penting menurut saya. Sebab, organisasi manapun pada dasarnya telah melakukan proses pengkaderan dan pengembangan kompetensi secara alamiah bagi para pegawainya. Maka, akan aneh jika jabatan-jabatan yang ada pada organisasi tertentu justru banyak diisi oleh kader dari luar organisasi tersebut, yang justru tidak memiliki pengalaman jabatan (career path) pada organisasi baru yang dimasukinya. Itulah sebabnya, semakin banyak jabatan yang diisi oleh orang luar hanya menandakan kegagalan kaderisasi dan pembinaan prestasi pada organisasi tersebut. Namun tentu saja, argumen seperti ini tidak boleh dijadikan sebagai pembenar untuk menutup diri dari masuknya orang-orang hebat dari luar lingkungannya.

Hal lain yang juga perlu diperhatikan dari aspek institusional adalah berkurangnya kewenangan Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) dalam penempatan/pengangkatan pejabat. Dengan mekanisme open recruitment, Panitia Seleksi (Pansel) akan menyodorkan 3 (tiga) nama untuk dipertimbangkan dan dipilih oleh pejabat yang berwenang. Nah, disinilah terjadi sedikit dilema. Jika PPK menerima apa adanya rekomendasi Pansel, seolah-olah keputusannya telah terdahului oleh Pansel. Sebaliknya, jika PPK tidak memperhatikan dengan seksama rekomendasi, seolah ia bertindak otoriter, tidak menghargai kerja Pansel, dan membawa subyektivitasnya, serta mengabaikan proses yang lebih terbuka dan terukur. Rumitnya, tidak ada jaminan bahwa ketiga kandidat yang ditawarkan Pansel adalah mereka yang memiliki chemistry yang sesuai dengan PPK, dan belum tentu dapat bekerjasama dengan baik.

Untuk meminimalisir hambatan institusional tadi, ada baiknya open recruitment dilakukan setelah sebuah instansi pemerintah memiliki peta kompetensi. Peta tersebut menggambarkan kebutuhan kompetensi yang harus dipenuhi, serta ketersediaan (sufficiency) dan ketiadaan (deficiency) kompetensi di dalam organisasi yang bersangkutan. Dalam keadaan terpenuhi (sufficient), maka tidak perlu dilakukan open recruitment, cukup penunjukan dan pengangkatan dari kader internal. Sebaliknya jika berada dalam keadaan kekurangan (deficient) kompetensi, maka baru dibuka seleksi dengan melibatkan kader eksternal.

Satu lagi yang harus dipikirkan adalah paska open recruitment. Ada selentingan pemikiran bahwa karena mereka sudah terbukti lulus dari seleksi terbuka dan telah dilantik, maka mereka memiliki justifikasi untuk duduk pada jabatan selama mungkin. Logika yang mereka pakai adalah, apakah logis seseorang diganti sementara dia sudah lolos dan lulus dari uji kompetensi bernama open recruitment? Selain itu, karena mereka sudah dianggap kompeten (tidak ada lagi gap kompetensi), apakah berarti mereka tidak lagi memerlukan capacity building? Jika perlu, model capacity building seperti apa yang harus diberikan, mengingat selama ini capacity building (termasuk Diklat) diberikan untuk menutup gap kompetensi. Bagaimana pula penilaian kinerja yang harus diterapkan untuk pejabat yang duduk dari hasil seleksi terbuka, apakah sama dengan pejabat lain yang duduk dari hasil seleksi terbatas di Baperjakat?

Terlepas dari berbagai kerumitan diatas, mungkin perlu pula dicari landasan teoretik konseptual dan paradigmatic dari open recruitment ini. Jika mengikuti birokrasi Weberian yang hirarkhis, nampaknya birokrasi kita saat ini sudah mulai berubah menjadi heterarkhis, sehingga pengisian jabatan tidak hanya diisi secara natural dari jalur dibawahnya secara berjenjang. Dengan perubahan struktur hirarkhis menjadi heterarkhis tadi, maka, birokrasi kitapun telah berubah dari model piramidal menjadi prisma, atau bahkan bentuk tak beraturan. Ini saya kira akan menjadi PR bagi kalangan akademisi untuk memberi nama model birokrasi yang heterarkhis dan tidak beraturan …


Jakarta, 23 Agustus 2013

Senin, 19 Agustus 2013

Menulis itu Seperti BAB


Ide ini muncul saat saya sedang menulis artikel ringan di dalam perjalanan ke kantor dengan bis Trans BSD. Pada saat yang sama, tiba-tiba saya merasakan ingin BAB (buang air besar) alian beol alias ee.

Saya merasakan, betapa tersiksanya kita ketika ingin BAB namun berada pada tempat yang tidak tepat. Rasanya ingin segera sampai di tujuan dan segera jongkok untuk menuntaskan hajat. Hati bergemuruh, pikiran tidak tenang, dan bahasa ubuh kita-pun kacau. Dengan sekuat tenaga kita menahan agar kotoran dalam tubuh kita tidak keluar di sembarang tempat, bahkan sekedar angin busuk-pun kita coba tahan sekuat mungkin agar tidak keluar dan mencemari udara yang ber-AC. Tapi apa yang terjadi setelah selesai BAB? Rasanya plooong … nikmaaat, seolah kita baru terbebas dari beban berat yang menggelayuti pundak kita. Urat saraf dan otot-otot kendur kembali, rileks seolah kita habis menikmati suasana desa yang tenang, sejuk, dan damai. Pikiran menjadi tenang, emosi terkendali, dan hidup seolah menjadi normal kembali. Begitu luar biasanya efek sebuah aktivitas “jorok” bernama BAB.

Nah, situasi yang sama juga kita hadapi saat ada ide yang menumpuk dalam otak kita menunggu penyaluran. Ide yang belum tertuang dalam tulisan akan terus “memberontak” dan “meloncat-loncat” dalam otak, yang membuat kita sulit tidur. Ide yang masih liar itu juga menyita energi besar untuk terus mengingat agar tidak hilang sewaktu-waktu. Itulah sebabnya Sayidina Ali bin Abi Thalib pernah memerintahkan untuk mengikat ilmu dengan cara menuliskannya. Artinya, ide yang tidak tertulis tidak akan pernah menjadi ilmu. Kehilangan ide sendiri merupakan sebuah kehilangan yang tidak ternilai harganya. Saya sering mengatakan kepada teman-teman bahwa ide original yang dimiliki seseorang adalah bentuk hidayah Tuhan YMK. Karena sifat ke-Maha Adil-an NYA, maka setiap orang akan mendapat ide (baca: hidayah) yang berbeda-beda. Maka, hanya orang bodoh dan tidak bersyukurlah yang tega menyia-nyiakan ide tadi.

Namun … ketika sebuah tulisan selesai, bagaimanapun kualitasnya, rasanya kita mendapat windfall atau rejeki nomplok yang begitu besar. Harta kekayaan kita terasa bertambah, karena memang ilmu hakekatnya adalah harta yang jauh lebih bermakna dibanding uang atau wujud materi lainnya. Ilmu adalah ilmu yang tidak pernah habis meski dibagi berkali-kali, justru akan semakin berlipat ganda. Bahkan ilmu yang dibagi juga akan mendatangkan pahala bagi pemiliknya dan bagi yang membagikannya.

Saat-saat sebuah tulisan mencapai huruf-huruf terakhirnya, saat itulah badan terasa semakin ringan, jiwa terasa melayang, rasa capek dan ngantuk menghilang, dan dunia terasa terang, dan hidup seakan mudah. Bayangkan efek seperti itu jika terus terulang, saya yakin akan menjadi obat mujarab atas segala penyakit fisik dan mental. Sebagaimana BAB yang merupakan mekanisme detoksifikasi zat-zat beracun dalam tubuh, tulisan juga mengeliminasi zat-zat yang membebani pikiran. Selain itu, saya juga sering mengatakan kepada teman-teman bahwa menulis itu adalah bentuk aktualisasi diri seseorang. Semakin banyak tulisan yang kita hasilkan, akan semakin kuat aktualisasi dan rasa percaya diri seseorang.

Maka … rutinlah BAB dan sering-seringlah menulis, karena ini sehat untuk jiwa dan raga kita semua. Percayalah!


Jakarta, 19 Agustus 2013

Minggu, 18 Agustus 2013

Uang Pecahan Baru dan Inovasi Kebijakan


Sebenarnya saya ingin menulis tentang hal ini pada saat lebaran Idul Fitri 1434 H (2013) yang baru saja lewat. Namun seminggu sebelum Idul Fitri hingga seminggu sesudahnya, saya melakukan PHK (pemutusan hubungan kerja) dengan laptop yang sehari-hari menjadi mitra saya paling setia dan paling saya andalkan.

Ide saya bermula dari fenomena tahunan dimana menjelang hari raya lebaran, Bank Indonesia seperti mendapat tugas tambahan baru berupa penyediaan uang kertas recehan baru, mulai nominal Rp. 1.000 hingga Rp. 100.000. bank-bank pemerintah maupun swasta juga mendapat beban baru untuk melayani masyarakat yang ingin menukar uang lusuhnya, dengan menyediakan counter khusus penukaran uang. Bahkan di berbagai kota, ada fenomena unik berupa “jual beli” uang di berbagai sudut kota dan pinggiran jalan. Seorang “calo” dengan sengaja menukar uang-uang lusuhnya di Bank, kemudian “menjual” kembali kepada masyarakat yang tidak sempat datang ke Bank namun ingin memiliki lembaran uang gress dengan nomer seri berurutan. Tentu, jasa penukaran di jalanan ini tidak gratis seperti di Bank, ada persentase atau tariff khusus sesuai jumlah yang “dibeli”.

Entah latah atau sekedar suka dengan uang baru, sayapun sangat ingin memilikinya. Rasanya berbeda ketika kita memberi uang kepada orang lain (entah itu sanak saudara, fakir miskin, atau sekedar uang jajan untuk anak-anak) dengan uang baru. Harus diakui ada nilai tambah yang melekat pada uang baru dibanding pada uang lama yang penuh lipatan, kotor, bau, mungkin juga sarat kuman, dan kadang kita sendiri jijik memegangnya. Maka, tidaklah aneh jika pemerintah (Bank Indonesia) cukup gencar melakukan iklan layanan masyarakat di televisi, media cetak, pamflet, dan berbagai media lain tentang perlunya penghormatan terhadap mata uang Rupiah. Nampaknya ada political will dari pemerintah untuk membuat tampilan Rupiah seperti layaknya mata uang USD yang tanpa lipatan, tanpa jepretan (staples), dan tanpa coretan. Beda sekali dengan kondisi Rupiah saat ini yang bukan hanya penuh coretan, lipatan, dan lubang-lubang bekas staples, bahkan banyak diantaranya yang sudah sobek dan disambung lagi dengan isolatip. Rupiah menjadi barang yang sayang untuk dibuang namun enggan untuk disimpan.

Untuk itu, meskipun membutuhkan biaya promosi cukup besar, upaya pemerintah untuk menghilangkan peredaran uang-uang lusuh patut didukung penuh. Sebab, Rupiah hakekatnya bukan semata-mata alat tukar dalam dunia ekonomi, namun juga merupakan simbol kenegaraan yang harus dihormati selayaknya Bendera Merah Putih, Bahasa Indonesia, atau lambang-lambang negara lainnya. Tampilan lusuh uang Rupiah secara langsung maupun tidak langsung mencerminkan kepribadian bangsa yang lusuh dan jorok pula. Maka, meski masih membutuhkan pembuktian, namun ada hipotesis awal mengenai adanya korelasi antara budaya memperlakukan uang dengan kepribadian bangsa yang jorok seperti sampah yang berserakan, toilet-toilet yang bau dan kotor, taman-taman dan gedung yang tidak terpelihara, bahkan fasilitas umum yang terbengkalai dan menjadi pemandangan tidak sedap dalam wajah perkotaan kita.

Dengan demikian, upaya memuliakan Rupiah sesungguhnya bukan hanya refleksi penghormatan terhadap simbol negara semata, namun juga sebuah transformasi budaya secara bertahap dimulai dari hal-hal kecil. Sulit rasanya membangun sistem disiplin nasional, etos kerja produktif dan kompetitif, semangat berbagi dan toleransi antar berbagai perbedaan, ataupun tradisi yang bebas korupsi, jika uang kertas yang notabene adalah milik kita sendiripun tidak kita perlakukan dengan layak dan terhormat.

Yang menjadi catatan saya, “transformasi Rupiah” harus dilakukan secara inovatif. Penukaran setahun sekali setiap lebaran atau kampanye layanan masyarakat saja tidaklah cukup. Pemerintah (Bank Indonesia) harus memiliki komitmen bulat untuk mewujudkannya, bukan sekedar retorika yang menghabiskan biaya besar untuk biaya advertorial. Kesan saya, upaya memperbaharui wajah Rupiah masing setengah-setengah dan sepenggal-penggal. Kesan ini langsung muncul ketika saya menarik uang dari ATM (kebetulan saat itu BCA dan BRI), yang keluar adalah uang-uang lusuh, kotor, kumal, penuh noda, dan menjijikkan. Saya langsung bertanya dalam hati: “apa gunanya Bank Indonesia menyediakan triliunan rupiah uang-uang baru, dan menyediakan counter penukaran di berbagai bank, jika mereka pada saat yang sama juga menyebarkan uang-uang lusuh di seluruh ATM? Saya sempat berseloroh bahwa Bank Indonesia seolah menebar banyak obat namun pada saat yang sama juga menebar banyak racun. Sebuah langkah yang teramat sia-sia. Kesia-siaan ini terlihat dari berulangnya fenomena antrian di bank-bank pada musim lebaran hanya untuk menukar uang baru. Apakah hal ini yang ingin dipertahankan Bank Indonesia sebagai ritual tahunan?

Inilah yang saya anggap sebuah langkah tidak cerdas dan tidak inovatif. Sebenarnya, Bank Indonesia tidak perlu menyediakan uang baru setiap lebaran, dan bank-bank pun tidak perlu membuat counter khusus penukaran uang, jika ATM hanya berisi uang baru. Apabila pilihan ini yang diambil, saya yakin kualitas uang kertas yang beredar di Indonesia akan sangat jauh berbeda dibanding yang ada saat ini.

Kasus ini memberi pelajaran pada kita bahwa inovasi merupakan suatu hal yang amat diperlukan dalam sebuah kebijakan. Kebijakan yang tidak inovatif, cenderung menghasilkan aksi pengulangan (repetisi) yang tidak pernah menyelesaikan masalah fundamentalnya. Kebijakan yang tidak inovatif juga cenderung menghamburkan banyak biaya yang tidak banyak membawa manfaat.

Sayangnya, kebijakan yang tidak inovatif juga terjadi di berbagai sektor atau bidang pembangunan lain. Pada kesempatan lain saya akan menulis tentang fenomena tidak inovatifnya penanganan lalu lintas. Wait and see ya, don’t miss itJ


Jakarta, 19 Agustus 2013

Sabtu, 17 Agustus 2013

"Mempermasalahkan" lagi Reformasi Birokrasi


Pada tulisan saya sebelumnya berjudul “Anomali Dalam Reformasi Birokrasi (Tabukah PNSMengkritik Birokrasi?)”, saya telah mengemukakan 5 hal yang saya pandang sebagai anomali dalam reformasi. Sesungguhnya saat itu saya sudah berniat untuk menghentikan tulisan tentang RB, namun ternyata hati saya terus tergelitik untuk mencatat berbagai hal yang dalam pandangan saya menajdi faktor pelemah atau penghambat pelaksanaan RB di Indonesia. Maka, dengan “terpaksa” saya memutuskan untuk melanjutkan kembali “pembedahan” terhadap makhluk baru bernama reformasi birokrasi ini. 

Hal pertama yang harus saya katakana adalah bahwa RB nampaknya tidak bersifat sistemik. Sebagai contoh, RB di K/L dan RB di Pemda tidak berjalan simultan. Pedoman-pedoman teknis yang dikeluarkan Menpan mengenai RB untuk K/L (pemerintah pusat) berbeda dengan RB untuk pemerintah daerah. Bahkan di Kementerian PAN ada pejabat yang membidangi urusan RB untuk pemerintah pusat, namun ada juga yang membidangi khusus untuk RB Pemda. Seolah-olah birokrasi dan upaya reformasinya bisa dipenggal-penggal atau didikotomikan menajdi birorkasi pusat dan birokrasi daerah. Hingga saat inipun, di daerah hanya ada percontohan yang terdiri dari seluruh provinsi, serta 1 Kota dan 1 Kabupaten untuk setiap provinsi. Saya masih belum mendapat jawaban yang mengesankan, mengapa daerah yang lain harus ditunda dari kewajiban melakukan RB? Saya juga berpikir, jika indikator Indonesia di dunia internasional jeblok seperti IPM/HDI, government effectiveness, ease of doing business, dan sebagainya, bukankah itu cermin dan akumulasi kinerja yang rendah dari seluruh jajaran birokrasi baik di pusat maupun daerah? Lantas mengapa hanya K/L saja yang “dikejar-kejar” untuk melakukan RB? Karena RB Daerah masih sekedar menjadi percontohan (itupun baru tahap awal), maka terjadi variasi yang sangat tajam antar daerah, misalnya dalam kebijakan menetapkan remunerasi/tunjangan daerah. Daerah dengan PAD/APBD besar akan cenderung memberikan tunjangan yang besar pula kepada pegawai daerahnya. Maka, situasinya menjadi turunan dari situasi di pusat, dimana ada daerah yang memberi tunjangan besar, ada yang memberi tunjangan relatif kecil, serta ada yang belum memberikan tunjangan tambahan penghasilan sama sekali. 

Tidak sistemiknya RB juga bisa dilihat misalnya antara wilayah perubahan dengan monitoring dan evalausi RB. Pada 8 area perubahan, tidak ditentukan secara eksplisit tentang kepemimpinan, yang antara lain terdiri dari sub-kriteria perencanaan strategis (Renstra) dan Kemitraan. Nah, dalam PMPRB (Penilaian Mandiri Pelaksanaan RB), justru kepemimpinan dijadikan sebagai aspek pengungkit utama dalam monev RB. Kasarnya, apa yang dilaksanakan tidak dimonitor dan dievaluasi, apa yang dimonitor dan dievaluasi malah tidak dilaksanakan. 

Contoh lain yang sederhana dan bisa mengilustrasikan pendekatan kesisteman yang lemah dalam RB adalah penggunaan “norma waktu” pada dokumen SOP dan pada Analisis Beban Kerja (ABK). Pada ABK, perhitungan aktivitas seseorang/suatu unit kerja dihitung berdasarkan “menit”, sedangkan dalam SOP cenderung menggunakan satuan “hari”. Selain itu, makna “hari” dalam SOP dan ABK bisa berbeda 360o. pada ABK, 1 hari ekuivalen dengan 5 jam atau 300 menit. Asumsinya, jam kerja 1 hari adalah 8 jam, sementara jam kerja efektif (JKE = total jam kerja dikurangi aktivitas tidak produktif seperti istirahat, makan, shalat, menerima telpon, ke belakang, dan lain-lain). Sedangkan dalam SOP, 1 hari dapat bermakna 24 jam karena memungkinkan aktivitas tertentu dilakukan di malam hari atau diluar kantor, misalnya penandatanganan dokumen kerja. 

Padahal jika norma waktu pada SOP dan ABK ini bisa dibuat seragam, maka begitu sebuah instansi selesai menyusun SOP, pada saat itu pula mereka telah selesai melakukan ABK dan langsung dapat diketahui adanya kelebihan atau kekurangan pegawai pada instansi tersebut. Tidak compatible-nya norma waktu pada SOP dan ABK selain berdampak pada inefisiensi dalam penyiapan kedua dokumen tersebut, juga berpotensi menimbulkan “konflik” antar keduanya. Jika ini terjadi, maka esensinya tidak terjadi sebuah proses reformasi, namun sebaliknya. 

Hal kedua yang harus dikritik dari RB adalah bahwa RB dapat dinilai sebagai sebuah langkah ahistoris alias tidak memperhatikan jalinan kesejarahan (historical nexus). Artinya, ada kesan bahwa RB dimaknakan sebagai sebuah perubahan menuju perbaikan yang berdiri sendiri, terpenggal-penggal (piecemeal), dan tidak berkelanjutan dari program sejenis pada masa-masa sebelumnya. Padahal, RB sesungguhnya bukanlah program musiman dari rezim pemerintahan tertentu, namun memiliki saling keterkaitan dan kesinambungan antar rezim. Oleh karena itu, agar tidak ahistoris, RB harus melihat kebelakang apa saja yang pernah dilakukan dan apa hasil-hasil yang sudah dicapai. Dan faktanya, reformasi sesungguhnya sudah berjalan baik pada pemerintahan Orde Lama maupun Orde Baru. Pada masa Orla misalnya, setelah keluarnya Dekrit Presiden 1959 dibentuklah Panitia Retooling Aparatur Negara (PARAN) yang antara lain, menghasilkan Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 1962 tentang Pokok-pokok Organisasi Aparatur Pemerintah Negara Tingkat Tertinggi. Dua tahun kemudian dibentuk Komando Tertinggi Retooling Aparatur Revolusi (KONTRAR) dengan Keppres Nomor 98 Tahun 1964.

Sementara pada masa Orba, RB sudah dimulai sejak Repelita I hingga Repelita VI. Pada masa Repelita V, misalnya, telah lahir Keputusan Menpan No. 90/1989 tentang Program Pemacu sebagai prioritas PAN, atau sering dikenal dengan 8 Program Pemacu PAN. Program pemacu ini meliputi 8 sasaran pokok yakni: 1) Pelak­sanaan Pengawasan Melekat; 2) Penerapan Analisis Jabatan; 3) Penyusunan Jabatan Fungsional; 4) Peningkatan Mutu Ke­pemimpinan Aparatur; (5) Penyederhanaan Prosedur Kepegawaian; 6) Penyederhanaan Tata Laksana Pelayanan Umum; 7) Sistem Informasi Administrasi Pemerintahan; dan 8) Penitikberatan Otonomi di Daerah Tingkat II. Dikaitkan dengan 8 area perubahan yang diusung pada Permenpan No. 20/2010 tentang Roadmap RB, pertanyaan yang harus dijawab adalah: 1) Adakah hubungan antara 8 program pemacu PAN dengan 8 area perubahan RB?; 2) Jika ada, bagaimana bentuk hubungan diantara kedua dokumen tersebut, apakah kelanjutan / penajaman terhadap dokumen yang lebih lama, ataukah saling mengisi / saling memperkuat?; 3) Mengapa muncul area perubahan yang berbeda, atau mengapa ada area perubahan pada dokumen yang lama yang hilang dan tidak dilanjutkan, apakah sasarannya sudah tercapai atau memang dinilai tidak prioritas? 

Hal ketiga yang sangat mendasar adalah lemahnya kepercayaan (trust) birokrasi di pusat maupun di daerah terhadap program RB. Penyebab utamanya justru karena tidak konsistennya pelaksanaan program RB tersebut. Di berbagai kesempatan misalnya, para pejabat Kementerian PAN dari Menteri hingga Eselon III-nya sering melempar wacana bahwa kedepan tidak dimungkinkan lagi ada Sarjana Agama yang dapat diangkat menjadi Kepala Dinas PU, Sarjana Sastra sebagai Kepala Dinas Kesehatan, dan seterusnya. Pengangkatan jabatan harus benar-benar berbasis pada kompetensi, yang salah satu indikatornya adalah kesesuaian latar belakang pendidikan dengan karakteristik jabatan, dan pengalaman jabatan seseorang. Namun yang terjadi saat ini, ada seorang Pejabat Eselon I di Kementerian yang berlatar belakang teknik namun didudukkan pada urusan SDM. Pada kasus yang lain, seseorang yang sepanjang karirnya menangani urusan pemeriksaan keuangan, didudukkan pada posisi yang mengurusi pelayanan publik. Fakta seperti inilah yang akan membuat hilangnya kepercvayaan dan munculnya keraguan terhadap keseriusan pemerintah dalam menjalankan reformasi. Salah-salah, inkonsistensi antara retorika para pejabat dengan tindakan nyata yang dilakukan ini hanya akan menimbulkan persangkaan tentang hipokritas dalam program reformasi. 

Yang menarik, meskipun secara disiplin keilmuan maupun pengalaman jabatan tidak sesuai dengan jabatan yang diduduki saat ini, namun proses seleksi dan pengangkatan jabatan tadi dilakukan melalui open bidding atau lebih populer dikenal dengan lelang jabatan. Dengan asumsi bahwa proses open bidding tadi berjalan secara obyektif dan terbuka, maka hasil yang diperoleh tentunya adalah kandidat yang paling kompeten dan kapabel, terlepas dari latar belakang pendidikan dan pengalaman kerjanya. Namun jika hal ini yang terjadi, sama artinya seleksi jabatan secara terbuka (open bidding) membantah asumsi sebelumnya bahwa Sarjaka Teknik tidak layak memimpin unit kerja yang mengurusi SDM, bahwa Sarjana Agama tidak dapat diangkat menjadi Kepala Dinas PU, bahwa Sarjana Sastra tidak mungkin menduduki jabatan sebagai Kepala Dinas Kesehatan, dan seterusnya. Lantas jika demikian, maka yang harus dijadikan referensi dalam penempatan jabatan, hasil open bidding secara murni, ataukah kompetensi yang terbangun oleh sistem pendidikan dan pengalaman kerja selama bertahun-tahun?

Hal keempat yang juga mendasar adalah bahwa RB saat ini nampaknya tidak dilandasi pada sebuah strategi kebudayaan yang jelas. Aspek budaya hanya menjadi salah area perubahan yang dikenal dengan mindset dan culture set, namun bukan sebuah reformasi budaya yang menyeluruh meliputi seluruh are perubahan. Dalam pemikiran saya, reformasi budaya adalah basis dari seluruh perubahan yang ada. Maka, jika ada area kelembagaan akan direformasi, maka haruslah sebuah reformasi kelembagaan berbasis budaya. Demikian pula, perubahan pada aspek tatalaksana adalah reformasi tatalaksana yang berbasis budaya. Oleh karena itu, semestinya aspek budaya bukan menjadi aspek yang terpisah dari aspek-aspek reformasi lainnya, melainkan melekat pada seluruh area perubahan yang ada 

Dari berbagai refleksi diatas dapat kita simpulkan bahwa evaluasi terhadap program RB dan implementasinya merupakan sebuah kebutuhan yang sangat mendesak, terutama menjelang tahun 2014. Sebagaimana diketahui, permenpan No. 20/2010 tentang Roadmap RB akan berakhir pada tahun 2014, dan untuk itu pada tahun 2013 ini sudah harus dilakukan upaya serius untuk menyiapkan Roadmap RB II. Jika tidak, maka pelaksanaan RB pada periode 2014-2019 terancam mandeg dan tidak ada rujukan secara nasional. Jika ini yang terjadi, maka tidak akan dapat dilakukan evaluasi kinerja program RB. Dan bila ini yang terjadi, maka pada hakekatnya kita mengalami kemunduran dalam menata birokrasi pemerintahan. Jelas kita tidak menginginkan hal ini terjadi. Untuk itu, evaluasi pelaksanaan RB dalam periode 2010-2013 saat ini segera diselesaikan sebagai input merancang Roadmap RN ke-2.