DISADARI atau tidak, reformasi birokrasi memiliki
keterkaitan yang sangat erat dengan soal budaya. Dalam hal ini, ada 2 (dua)
cara berpikir tentang keterkaitan diantara keduanya. Pertama, pembenahan dimensi-dimensi budaya atau reformasi kultural
perlu ditempuh untuk mempercepat proses reformasi birokrasi. Kedua, reformasi yang dilakukan secara
konsisten akan melahirkan nilai-nilai budaya baru yang jauh lebih baik. Pola
pikir pertama memandang faktor budaya sebagai prakondisi bagi reformasi,
sedangkan pola pikir kedua melihat budaya sebagai hasil tidak langsung (by-product) dari rangkaian proses
reformasi. Diantara kedua pola pikir tersebut, terdapat sebuah pesan
tersembunyi bahwa budaya merupakan komponen yang tidak dapat dipisahkan dari
program reformasi, dan faktor budaya selayaknya tidak dijadikan sebagai alasan untuk
tidak melakukan reformasi.
Salah satu strategi kultural dalam menggulirkan
reformasi adalah dengan menempatkannya pada kerangka sejarah dan nilai
tradisional. Sebagai contoh, pada jaman Romawi, kereta perang ataupun kereta
bangsawan biasa ditarik oleh 2 (dua) kuda. Jarak diantara kuda adalah 4 kaki
(setara 8,5 inchi atau 1,44 m). Sangat mengejutkan, ternyata ukuran 1,44 m ini
sama persis dengan jarak real kereta api. Bahkan, jarak antara 2 (dua) sumbu mesin
peluncur roket juga memiliki ukuran yang sama. Ilustrasi diatas menjelaskan
bahwa reformasi tidak selamanya berarti perubahan secara total. Dalam kasus
transformasi moda transportasi kuda menjadi roket diatas, ukuran tetap
dipertahankan, namun yang berbeda adalah kapasitas dan kecepatannya. Dengan
kata lain, penambahan kompetensi pada level individu, unit, maupun organisasi,
adalah juga esensi penting dari reformasi.
Di Korea, adopsi nilai tradisional juga diterapkan
pada reformasi birokrasi. Sebagai contoh, birokrasi Korea saat ini terdiri dari
9 (sembilan) jenjang, dari yang tertinggi Asisten Menteri, hingga yang terendah
pegawai yang baru diangkat (Asisten Klerk). 9 jenjang ini ternyata diadopsi
dari model birokrasi yang pernah diterapkan oleh Dinasti Chosun, dimana 3
tingkat teratas adalah golongan berhak menggunakan jubah/kostum berwarna merah,
3 tingkat menengah berpakaian warna biru, sedangkan baju pegawai pada 3 tingkat
terendah berwarna hijau.
Karakter budaya birokrasi Korea sendiri nampaknya
mirip dengan Indonesia. Karakter bangsa yang bercirikan paternalism telah
mempengaruhi budaya birokrasi yang bersifat tertutup dan memiliki orientasi
senioritas yang sangat kuat. Akibatnya, sistem prestasi (merit), kompetisi
terbuka dan kompetensi relatif terabaikan. Dalam sistem yang tertutup seperti
itu, koneksi, kroniisme dan nepotisme menjadi tumbuh subur.
Namun sejak reformasi bergulir tahun 1998, segera
dirasakan adanya perubahan yang signifikan. Seleksi dan rekrutmen PNS dilakukan
secara sentralistis oleh MOPAS (Ministry
of Public Administration and Security) untuk menjamin adanya standar
nasional yang berat. Pendidikan tidak lagi menjadi syarat penempatan seorang
pelamar dalam tingkat jabatan tertentu, namun yang menentukan posisi seseorang
adalah kelulusan pada ujian tingkat tertentu. Contoh konkrit adalah mantan
Presiden Kim Dae-jung yang merupakan pengacara hebat meskipun tidak memiliki
dasar pendidikan formal bidang hukum. Kenaikan ke jenjang pangkat yang lebih
tinggi juga ditempuh melalui ujian yang sangat berat, dan tidak dikenal
kenaikan pangkat secara otomatis (berkala 4 tahunan) seperti di Indonesia.
Dengan demikian, prinsip competency-based
benar-benar telah diterapkan dalam sistem birokrasi di Korea Selatan. Untuk menghindari kecenderungan kolusi, maka
sistem rotasi/mutasi lebih dipercepat untuk jabatan tertentu. Dalam hal ini,
rata-rata perpindahan antar jabatan di Korea adalah 14 bulan, sementara di
Indonesia belum ada standar ideal, sehingga banyak kasus seseorang menduduki
jabatan terlalu lama (lebih dari 10 tahun), namun ada kalanya terlalu pendek
(dibawah 1 tahun).
Perubahan yang signifikan lainnya adalah sistem
evaluasi yang menggunakan metode 360 derajat. Dengan metode ini, bukan hanya
pimpinan yang mengevaluasi bawahan, namun dapat terjadi sebaliknya. Kriteria
yang digunakan tidak lagi yang bersifat sangat subyektif dan sulit terukur
seperti kesetiaan, kejujuran, prakarsa, kerjasama, dan sebagainya, melainkan
kompetensi (competency), perilaku (attitude), dan kinerja (performance). Konsekuensi dari sistem
evaluasi seperti ini, remunerasi yang diterima seorang pegawai akan sangat
berbeda dengan pegawai lainnya, tergantung dari unjuk kerja atau prestasi nyata
yang dihasilkan. Hal ini sekaligus memacu persaingan dan hasrat untuk terus
berkembang (need for achievement)
antar pegawai.
Meskipun demikian, harus diakui bahwa reformasi di
Korea bukanlah sesuatu yang mudah. Di awal gerakan reformasi ini, gejala
kegagalan dan penolakan yang cukup keras. Sebagai contoh, bangsa Korea pada
dasarnya adalah masyarakat yang selalu berkelompok dan beraktualisasi dalam
konteks kelompok (paguyuban). Namun,
reformasi yang berjalan membawa konsekuensi pemberian kompensasi/tunjangan yang
lebih besar kepada pegawai yang lebih berprestasi. Dengan demikian, reformasi
seolah-olah mengakibatkan terjadinya pergeseran orientasi dari masyarakat
kolektif menjadi tatahubungan yang lebih berorientasi individual. Hal ini
menimbulkan perasaan yang tidak nyaman serta lingkungan kerja yang aneh bagi
pegawai. Selain faktor resistensi tadi, reformasi pada tahap awal juga
menghadapi tantangan lain seperti tendensi untuk menghindari resiko dan
tanggungjawab, menyalahkan orang lain terhadap suatu masalah, bekerja dibawah
standar, dan sebagainya. Bahkan Prof. Jin Park dari Korea Development Institute menyatakan bahwa the culture strategy is weak.
Untungnya, kondisi tersebut dapat diatasi dengan 2
(dua) hal, yakni penerapan manajemen perubahan yang baik, serta adanya
konsistensi yang terus-menerus dalam penerapan program reformasi. Ketika
reformasi dapat dijalankan dengan sangat konsisten, maka akan lahirlah budaya
baru. Dalam kasus Korea, budaya baru yang lahir adalah budaya yang menghargai
kompetensi individual, munculnya iklim kompetisi yang lebih tinggi, serta
orientasi pada kinerja (performance).
PNS (birokrasi) Korea sendiri dipandang sebagai parameter
penting untuk menggambarkan kualitas pelayanan publik yang berkualitas. Itulah
sebabnya, reformasi haruslah meliputi reformasi SDM pula. Pola pikir seperti
ini mengadopsi pola budidaya anggur yang dipadu dengan tanaman bunga mawar
disela-sela tanaman anggur tersebut, sebagaimana dipraktekkan di banyak negara.
Ternyata, bunga mawar tersebut berfungsi sebagai early warning system terhadap kualitas anggur. Jika mawar tersebut
baik, dapat dipastikan bahwa kualitas anggur akan baik pula. Oleh karena itu,
analisis terhadap tanaman bunga harus seimbang dengan upaya peningkatan
kualitas anggur secara komprehensif.
Dalam konteks reformasi, eksistensi SDM yang
mumpuni sangatlah penting. Sebab, meskipun sistem birokrasi telah terbangun
dengan baik, namun kegagalan reformasi yang paling besar justru terjadi ketika
muncul resistensi dari kalangan pegawai, biasanya di level menengah. Artinya,
resistensi pegawai mencerminkan kecilnya kemungkinan keberhasilan reformasi.
Resistensi sendiri sering berhubungan dengan persepsi dan ekspektasi seseorang
terhadap reformasi. Jika reformasi dipercaya menghasilkan dampak yang menggangu
kemapanan atau kenyamanan yang telah ada, maka lahirlah resistensi tadi. Resistensi
terhadap perubahan yang diyakini mengganggu kenyamanan seperti dijelaskan
diatas, hanyalah salah satu dimensi kecil dari faktor budaya.
Dengan demikian, nyatalah bahwa reformasi harus dilakukan
dengan mempertimbangkan akar budaya dan kearifan lokal (local wisdom). Jika tidak, maka akan membuka kemungkinan kegagalan
lebih besar. Ilustrasi kegagalan kebijakan yang pernah terjadi di AS, mungkin
cukup tepat untuk dijadikan sebagai pembelajaran. Sebagaimana diketahui, pada
tahun 1947 terjadi banjir bandang akibat meluapnya Sungai Kissimmee di Florida
yang berkelak-kelok dan memiliki panjang 134 miles atau 216 km. Dengan maksud
untuk mencegah agar tidak terjadi peristiwa yang sama, pada tahun 1954 Parlemen
AS mengambil keputusan besar dengan menyetujui proyek raksasa kanalisasi sungai
Kissimmee. Proyek pelurusan aliran sungai sendiri dilakukan dari tahun 1962
hingga 1970 yang memakan biaya milyaran dollar dan memperpendek panjang sungai
menjadi 56 miles atau 90 km.
Setelah proyek selesai, wilayah banjir memang berkurang
hingga 160m2. Namun dampak negatifnya adalah kerusakan habitat
burung air sebesar 90% dan menjadikan jumlah bangau, kuntul dan sejenisnya
musnah hingga dua per tiga. Pada saat yang sama, polusi yang terjadi di Danau
Okeechobee (muara sungai Kissmmee) meningkat, yang diindikasikan dengan naiknya
kadar nitrogen sebesar 25% dan pospor sebanyak 20%. Rupanya, pemerintah AS lupa mengkaji aspek
sosial budaya yang selama ribuan tahun melekat dengan natural endowment sungai tersebut. Mengingat dampak yang semakin
buruk, maka pada tahun 1992 Parlemen AS menyetujui kembali mega proyek kedua
untuk mengembalikan sungai Kissemmee pada bentuk aslinya, tentu dengan biaya
yang jauh lebih besar. Proyek ini telah dimulai tahun 1997 dan diharapkan
selesai pada 2011.
Satu lagi kunci sukses reformasi birokrasi di Korea
adalah adanya pola pikir kolektif untuk melakukan reformasi. Reformasi bukan
saja merupakan tuntutan dan kewajiban, namun juga sebagai kebutuhan bersama.
Belajar dari kasus Korea, reformasi seyogyanya tidak dianggap sebagai syarat
memperoleh renumerasi yang lebih baik, namun benar-benar dijadikan sebagai
momentum pembenahan birokrasi secara sistemik melalui pembenahan pola pikir,
sikap dan perilaku dalam interaksi sehari-hari.
Penulis adalah Kepala Pusat Kajian Manajemen Kebijakan
LAN-RI.