Sabtu, 14 Mei 2016

Mengamati Shanghai Secara Acak


Pepatah “jangan lihat sesuatu dari kulitnya” mungkin ada benarnya. Namun bukan berarti bahwa melihat sesuatu secara singkat, acak, sedikit, dan dari luarnya saja, adalah hal yang sia-sia. Ketika membeli buah, pastilah yang kita amati adalah kulitnya dulu, apakah ada yang cacat atau tidak. Meskipun tidak ada jaminan bahwa kulit yang bagus berarti buah tersebut baik dan manis, paling tidak probabilitas untuk mendapatkab buah yang berkualitas lebih besar dibanding tidak melakukan pengamatan sama sekali terhadap kondisi kulit buah tersebut. Demikian pula, solusi paling cerdas terhadap sebuah permasalahan selalu diawali dengan pengamatan atau pertanyaan ringan terhadap fenomena surface (diatas permukaan) terkait masalah tersebut. Sekali lagi saya meyakini bahwa proses observasi terhadap sebuah obyek secara cepat dan acak dapat memberi manfaat tertentu, sekecil apapun itu.

Nah, pengamatan “sepele” seperti inilah yang ingin saya elaborasi lebih dalam terhadap Shanghai, sebagai bentuk pembejalaran dalam rangka benchmarking Diklatpim I/33. Ada dua kelompok fenomena yang saya amati, yakni fenomena positif yang sangat pantas untuk diteladani dan diadopsi, serta fenomena negatif yang membutuhkan terobosan agar tidak mengurangi citra kota ini di mata pendatang.

Cukup banyak hal positif yang saya temukan di Shanghai, khususnya yang berhubungan dengan tata kota dan pelayanan publik di perkotaan. Hal paling sederhana adalah dibersihkannya tempat sampah dengan lap basah, sehingga terlihat tetap bersih dan tidak jorok seperti layaknya tempat sampah di kota-kota besar di Indonesia. Petugas kebersihan memang sebaiknya tidak direduksi menjadi penyapu jalan atau pengumpul sampah semata, namun juga memelihara kebersihan fasilitas umum, baik berupa tempat sampah, kursi taman, halte, telepon umum, taman bermain anak-anak, dan sebagainya. Dengan menjaga kebersihannya, maka umur dari fasilitas publik tadi akan jauh lebih lama sehingga dapat dicegah orientasi untuk pengadaan fasilitas publik yang baru karena kondisinya yang jorok, bau, karatan, dan cepat rusak. Meskipun yang dilakukan petugas kebersihan di Shanghai tadi terkesan “menambah pekerjaan”, namun manfaat bagi pemerintah justru lebih signifikan pada jangka panjang.

Masih terkait penataan kota, keberadaan jembatan penyeberangan orang (JPO) saya lihat memegang peran penting dalam layanan publik bagi warga kota. Di Shanghai, setiap JPO selalu terlihat indah. Dilihat dari bawah maupun dilalui dari atas, JPO menawarkan daya tarik tersendiri. Banyak pelancong yang menikmati landscape perkotaan atau sengaja berfoto-foto di JPO. Apa rahasianya? Menurut pengamatan saya, tidak ada satupun JPO di Shanghai yang dimanfaatkan untuk memasang iklan baliho dalam ukuran besar, kontras sekali dengan situasi negeri kita. Kondisi JPO di Indonesia cukup memprihatinkan karena kotor, gelap, banyak pengemis, bahkan sering terjadi kasus kriminalitas. Hal itu bisa terjadi karena JPO tertutup oleh papan reklame disamping kanan kirinya. Alih-alih ingin berpose diatas JPO kita, banyak orang menghindari karena takut dengan hal-hal yang tidak diharapkan diatas JPO tersebut. Meskipun demikian dapat dipahami mengapa banyak pemerintah daerah yang sengaja membangun JPO. Selain untuk menekan kemacetan dan mengurangi risiko kecelakaan, JPO juga dibuat dengan maksud sebagai sumber pendapatan daerah berupa pajak reklame. Menggabungkan beberapa fungsi sekaligus seperti ini sesungguhnya merupakan sebuah teknik berinovasi. Hanya saja, mestinya dipikirkan agar hal-hal yang kurang baik dari adanya reklame tadi bisa diminimalisir. Selain tanpa reklame, JPO di Shanghai juga banyak yang dilengkapi dengan fasilitas toilet yang terjaga kebersihannya. Bagi saya pribadi, hal ini sangat membantu. Ketika saya jogging di pagi hari dan tiba-tiba ingin buang air kecil, dengan mudah saya menemukan toilet. Jika hal itu terjadi di lingkungan tempat tinggal saya, mungkin saya akan mencari tempat dibalik pepohonan atau diujung bangunan yang sepi untuk dapat menuntaskan hajat.

Layanan perkotaan lain yang terkesan “biasa-biasa saja” namun faktanya tidak mampu dilakukan oleh pemerintah kota di Indonesia adalah penyediaan sarana parkir khusus sepeda. Kota-kota besar seperti Jakarta dan Bandung sudah memiliki program untuk mendorong peralihan moda transportasi dari kendaraan bermotor ke sepeda. Sayangnya, kebijakan itu tidak diimbangi dengan sarana parkir sepeda. Perlakuan bagi pengguna sepeda dan sepedanya mestinya sebanding dengan perlakuan bagi pengendara kendaraan bermotor. Tanpa pemihakan yang kuat terhadap transportasi sepeda dan penggunanya, rasanya mustahil bangsa ini akan bisa mengubah mentalitas berkendaranya. Dengan pembangunan MRT di Jakarta, saya tidak bisa membayangkan jika pemerintah tidak juga menyediakan sarana parkir sepeda. Selain parkir sepeda, di sepanjang trotoar di seluruh penjuru kota juga tersedia telepon umum yang dilengkapi dengan sarana wi-fi. Kesan saya, meski jarang sekali terlihat ada warga yang memanfaatkannya, namun tidak dijadikan alasan bagi pemerintah setempat untuk menghapus layanan tersebut. Sementara di Indonesia, fasilitas telepon umum sudah seperti barang langka yang sangat sulit sekali ditemukan. Benar bahwa era teknologi informasi sudah sedemikian canggih sehingga hampir setiap orang telah memiliki smart-phone yang dilengkapi dengan akses internet. Namun faktanya, layanan wi-fi masih dicari-cari untuk alasan efisiensi. Betapa indahnya jika di semua ruas jalan protokol Jakarta dan kota-kota di Indonesia sudah terpasang fasilitas wi-fi gratis untuk rakyat, bukankah itu akan menjadikan kota-kota itu sebagai cyber city yang mampu mempercepat proses pencerdasan kehidupan berbangsa?

Hal terunik diantara semua obyek yang saya amati adalah adanya polisi bersepeda. Jika di militer ada korps infanteri (jalan kaki), artileri (lapis baja), atau kavaleri (berkuda), maka korps kepolisian-pun bisa memunculkan patroli bersepeda, disamping patroli mobil atau sepeda bermotor yang telah ada selama ini. Penggunaannya tentu bukan untuk mengejar penjahat atau pengawalan pejabat negara, melainkan lebih untuk kepentingan sosialisasi door to door, kampong to kampong, atau layanan kepolisian lain dengan jangkauan wilayah yang tidak terlalu luas. Polisi bersepeda menurut saya juga mengesankan lebih bersahabat dan lebih merakyat dibanding korps bermotor. Saya yakin, secara teknis operasional polisi bersepeda juga akan lebih mampu menjalin komunikasi interpersonal dengan warga sehingga dapat terbangun kemanunggalan polisi dengan warga, dan pada gilirannya akan meningkatkan citra polisi di mata masyarakat luas.

lssu minoritas di China pada umumnya dan di Shanghai pada khususnya adalah topik menarik lain yang sayang untuk dilewatkan. Beberapa waktu lalu, banyak berita memberitakan langkah represif pemerintah China terhadap etnis Uighur dan komunitas muslim Xin Jiang, bahkan sempat muncul kebijakan untuk membatasi aktivitas keagamaan. Namun yang saya rasakan dan alami, umat minoritas muslim dapat melakukan ibadah dengan tenang tanpa kekhawatiran kemungkinan munculnya intervensi dari aparat keamanan. Pada saat kami melakukan shalat Jumat tanggal 13 Mei 2016 di Masjid Xiao Tao Yuan, kesan kuatnya toleransi antara umat Islam dari beragam etnis dengan lingkungan sekitarnya terjaga dengan sangat baik. Dalam bidang usaha dan perdagangan, banyaknya rumah makan muslim atau halal food restaurant juga mengindikasikan dihormatinya hak-hak sipil kaum minoritas. Iklim politik di Shanghai saya perhatikan semakin fleksibel. Faham komunisme nampaknya hanya berlangsung di ruang-ruang formal pemerintahan, sementara dalam kehidupan pribadi, pilihan untuk beragama atau tidak beragama menjadi preferensi mutlak dari setiap warga negara.

Pada saat kunjungan ke Distrik Jiading, salah satu distrik termaju diantara 17 distrik lain di Shanghai, saya mendapat pembelajaran yang sangat mengesankan. Salah satu visi dari pemerintah distrik Jiading adalah menjadi kota sejarah dan budaya. Visi ini tidak berlebihan mengingat di Jiading inilah Dinasti Ming bertahta ratusan tahun yang lalu. Untuk mendukung visi tersebut, terdapat satu unit kerja yang khusus menangani soal manajemen kemasyarakatan (Community Management Office). Salah satu programnya adalah “Ramah Tetangga”, dimana kantor ini menyelenggarakan aktivitas yang bervariasi dan mengajak setiap penduduk disebuah permukiman untuk keluar rumah dan terlibat pada aktivitas tersebut. Kantor ini juga membentuk organisasi sosial yang beranggotakan penduduk yang bertetangga. Salah satu program yang diinisiasi adalah crowd funding (iuran secara gotong royong) untuk memperbaiki kondisi lingkungan yang tidak berfungsi optimal, seperti taman, saluran air, dan sebagainya. Terkait dengan program “Ramah Tetangga” ini, saya menyaksikan sendiri sebuah pertemuan pagi hari saat antar orang tua yang menunggu bis sekolah dan mengantarkan anak atau cucunya hingga bis berangkat. Kesempatan selama 15-20 menit itu dimanfaatkan untuk saling bertemu, berbincang-bincang, dan menjalin silaturahmi diantara mereka. Di sebuah kota super metropolitan seperti Shanghai yang sudah cenderung individualistik, adanya gagasan “Ramah Tetangga” atau berkumpul secara rutin sekedar untuk bersapa, menurut saya adalah sesuatu yang sangat penting.

Disamping layanan sosial kemasyarakat diatas, ada layanan khas lain yang kami terima. Begitu rombongan duduk dan acara dimulai, masulah dua orang office girls yang menuangkan air digelas yang telah tersedia sebelumnya. Tak lama kemudian, mereka membawakan handuk panas selayaknya layanan yang biasa tersedia di penerbangan internasional. Memang tidak seberapa dan boleh juga disebut sebagai hal “sepele”, karena hanya mereplikasi atau mengadopsi dari praktek yang telah terjadi di organisasi/perusahaan lain. Namun, adopsi sesungguhnya adalah salah satu teknik untuk berinovasi. Coba simak bagaimana Motorola dulu belajar dari Domino’s Piza untuk mengurangi waktu produksinya. Atau Hewlett Packard yang menciptakan printer karena terinspirasi cara bekerja mesin pembuat kopi. Tengok juga bagaimana PT. KAI mengimitasi Call Center (Contact 121) dari industri perbankan, menerapkan sistem pemesanan tiket melalui agen host-to-host dari industri penerbangan, dan teknik pemesanan tiket drive thru dari restoran cepat saji. Maka, apa yang dilakukan oleh Distrik Jiading bagi saya adalah sebuah pembaharuan dalam teknik melayani tamu, dan itu adalah sebuah inovasi.

Diantara berbagai sisi positif yang saya sebutkan diatas, ada sisi negatif yang sata temukan di Shanghai. Saya menemukannya justru di pusat keramaian di Nanjing Road, sebuah kawasan yang berdekatan dengan kawasan The Bund disisi Huang Po River. Ribuan turis lokal dan asing tumpah di lokasi yang sangat modern dengan pencahayaan yang menakjuban. Sayangnya, disinilah batuk saya kambuh seketika akibat bau rokok yang teramat menyengat. Polusi udara sudah sangat buruk di Shanghai, ditambah dengan bau rokok yang memuakkan, membuat saya sulit bernafas. Meskipun tempat ini sangat indah, rasanya saya tidak tertarik untuk kembali lagi. Selain itu, hal yang merusak keindahan Nanjing Road adalah perilaku pedagang-pedagang yang menawarkan dagangannya dengan harga berlipat ganda diluar akal sehat. Mereka juga cenderung memaksa dan terus menempel kemanapun kita melangkah. Sungguh, ini pengalaman yang paling tidak saya harapkan. Ketika saya tanyakan apakah hal seperti ini dibiarkan, seorang pejabat dari Konjen RI menjelaskan bahwa pemerintah setempat sudah berulang kali menertibkan kawasan tersebut, namun kelakuan pedagang yang datang dari desa-desa miskin diluar Shanghai juga tidak bisa dibendung. Masih banyak tugas otoritas Shanghai Municipal Government untuk menciptakan inovasi-inovasi di bidang sosial untuk menjadikan kota ini lebih ramah dan bersahabat.
                             
GA 895 Shanghai-Jakarta, 14 Mei 2016; finishing di Villa Melati Mas, 15 Mei 2016