Jumat, 29 Maret 2013

Kepemimpinan: Mengapa Selalu Berfokus Pada Pemimpin?


Pada hari Kamis, 28 Maret 2013, kelas kami mendiskusikan tema kepemimpinan dengan menggunakan metode SSM (Soft System Methodology). Pemimpin harus memiliki peran yang kuat untuk mampu membangun sistem pelayanan publik yang berkualitas, daya saing bangsa yang kuat, serta mewujudkan kedaulatan bangsa yang kokoh.  

Peran pemimpin sendiri sangat beragam dalam pandangan para ahli. Menurut Vadim Kotelnikov (http://www.1000ventures.com), ada tiga peran utama pemimpin seorang pemimpin, yakni: 1) Visioning and Setting an Example, yang dijabarkan dalam peran yang lebih spesifik seperti create and inspiring vision and shared values, lead change, lead by example, dan demonstrate confidence; 2) Empowering and Energizing, yang terbagi lagi dalam peran inspire and energize people, empower people, communicate openly, dan listen, support, and help; serta 3) Leading Team, yang lebih diaktualisasikan dalam peran involve everyone & use team approach, coach & bring out the best of your people, encourage group decision, dan monitor progress but don’t micromanage 

Senada dengan pendapat Vadim diatas, Dave Ulrich, Norm Smallwood, and Kate Sweetman (The Leadership Code: Five Rules to Lead, Harvard Business School Press, 2009) mengemukakan lima kompetensi inti kepemimpinan sebagai berikut: 1) Strategist – Leaders shape the future; 2) Executor – Leaders make things happen; 3) Talent manager – Leaders engage today’s talent; 4) Human capital developer – Leaders build the next generation; serta 5) Personal proficiency – Leaders invest in their own development. Pandangan ini sangat serupa dengan Dept. of Education, Training, and Employment, Queensland Government dalam publikasi berjudul Capability and Leadership Framework, yang menyebutkan kompetensi inti kepemimpinan sebagai berikut: 1) Shapes strategic thinking; 2) Achieves results; 3) Cultivates productive working relationships; 4) Exemplifies personal drive and integrity; serta 5) Communicates with influence. 

Sementara itu, Peter Senge ("The Leader's New Work: Building Learning Organizations," in Sloan Management Review, 1990), berpendapat bahwa dalam organisasi pembelajaran (learning organization), pemimpin mempunyai tiga peran sebagai designers, teachers, dan stewards. Ketiga peran ini membutuhkan keterampilan baru yakni kemampuan membangun shared vision, menantang model mental yang berlaku (surfacing and testing mental model), dan mendorong pola yang lebih sistemik berpikir (systems thinking). Sebagai designer, pemimpin bertugas mendesain governing ideas tentang tujuan, visi, dan nilai-nilai inti organisasi. Tugas kedua adalah menerjemahkan guiding ideas menjadi keputusan bisnis. Sebagai teacher, pemimpin bertugas membantu setiap orang dalam organisasi untuk memperoleh pandangan yang lebih dalam tentang realitas saat ini. Adapun sebagai steward, pemimpin berprinsip servant first, bukan leader first. Stewardship ini terdiri dari dua hal, yakni stewardship untuk orang-orang yang dipimpin, dan stewardship untuk tujuan yang lebih luas atau misi yang memperkuat organisasi. 

Intinya, seorang pemimpin haruslah serba bisa alias multi talenta dan multi kompetensi. Itulah konsekuensi seseorang yang memiliki pengikut (follower). Sayangnya, diskusi dan analisis tentang kepemimpinan seringkali hanya dilihat dari sisi si pemimpin, dan jarang yang bicara soal pengikut (followership). Buku-buku tentang kepemimpinan begitu berlimpah, sementara buku tentang kepengikutan sangat sulit didapatkan. Pengikut masih lebih diposisikan sebagai obyek terhadap pemimpin sebagai subyek. Memang peran pemimpin sangatlah penting, sebagaimana tersirat dari ungkapan “An army of sheep led by a lion, is better than an army of lions led by a sheep” (Alexander The Great). Namun bukan berarti peran pengikut dapat dikecilkan. Sebagaimana ungkapan Barbara Kellerman: “Followers are more important to leaders than leaders are to followers”. Singkatnya, harus ada proporsi yang seimbang antara pemimpin dan pengikut saat membahas tentang leadership. Ini sejalan juga dengan perkataan Edith Wharton (dalam Vesalius in Zante, 1564): “There are two ways of spreading light: to be the candle or the mirror that reflects it”. 

Karena soal kepemimpinan terus diperbincangkan sementara kepengikutan seolah terabaikan, yang terjadi kemudian justru adalah krisis kepemimpinan. Pengalaman Indonesia maupun berbagai negara menunjukkan bahwa suksesi kepemimpinan nasional hampir selalu diwarnai oleh intrik politik yang jahat. Bahkan dalam masa kepemimpinan formal, seorang pemimpin terus saja digoyang dan dipertanyakan legitimasinya. Siapa yang melakukan itu? Tentu saja kalangan pengikutnya. Dan hal ini terjadi karena dimensi kepengikutan tidak pernah dipikirkan secara serius, atau dikembangkan sistem, strategi, dan kebijakan yang lebih tepat untuk mendukung fungsi kepemimpinan. 

Dalam kaitan dengan Diklat Aparatur, maka Diklat Kepemimpinan pada berbagai level semestinya tidak hanya membekali peserta untuk menjadi (calon) pemimpin yang baik, namun juga harus dikembangkan kurikulum untuk membentuk alumni diklat sebagai para pengikut yang baik, patuh, dan inovatif. Kita bisa belajar dari Alexander Agung  yang menjadi follower yang baik dari gurunya, Aristoteles. Atau, kita bisa menengok kisah tentang Pandit Jawaharlal Nehru, Perdana Menteri India pertama (1947-1964) yang merupakan murid utama Mahatma Gandhi. Mereka bisa menjadi pemimpin yang baik karena berhasil dengan gemilang ketika menjadi pengikut. Intinya, hanya mereka yang baik ketika menjadi follower yang memiliki probabilitas untuk menjadi leader yang baik.  

Maka, membangun kepemimpinan yang kuat sama pentingnya dengan menumbuhkan kepengikutan yang tangguh. 

Dari kamar B-315
Kampus Pejompongan, 1 April 2013

Kamis, 28 Maret 2013

Aktualisasi Keliru Metode Andragogi


Sudah menjadi pemahaman umum bahwa metode pembelajaran dalam Diklat Aparatur, terutama Diklat Kepemimpinan, adalah metode Andragogi, atau metode belajar untuk orang dewasa. Metode ini berpusat pada peserta (participant centered learning), yang membedakan dengan metode Paedagogi yang berpusat pada pengajar (teacher centered learning). Menurut penelitian Vadim Kotelnikov (http://www.1000ventures.com), metode kuliah atau ceramah (lecture) memang merupakan metode yang paling tidak efektif, dimana setelah kuliah selesai, persentase perolehan pengetahuan peserta hanya 5 persen. Metode yang lebih efektif dalam pembelajaran adalah reading (dengan perolehan pengetahuan sebesar 10 persen), audio visual (20 persen), demonstration (30 persen), group discussion (50 persen), learning by doing (75 persen), dan teaching one-to-one (90 persen). 

Metode Andragogi ini didasari pada asumsi bahwa peserta tidak datang dengan otak kosong, namun sudah cukup kaya dengan pengalaman dan pengetahuan, sehingga peserta akan bisa menjadi sumber belajar bagi peserta lain, bahkan bagi guru/widyaiswara yang hanya bertindak selaku fasilitator. Namun, metode ini sering disalahartikan oleh widyaiswara/fasilitator tertentu untuk menghindari dari kewajiban untuk menguasai bidang ilmu tertentu, untuk mengarahkan anak didik secara gamblang, untuk mejawab sebuah pertanyaan, untuk memenuhi rasa penasaran orang lain, dan seterusnya.  

Ini pulalah yang terjadi dalam pembelajaran di Diklatpim I ini. Atas nama metode Andragogi, seorang widyaiswara mengatakan “Tugas saya memang membuat confuse peserta. Jika peserta bingung, itu tandanya sedang berpikir”. Pada sessi diskusi kelompok dia juga mengatakan bahwa dia sengaja seminim mungkin untuk intervensi agar dapat melihat apa yang dihasilkan peserta. Sebenarnya tidak ada yang salah dari perkataannya. Namun menjadi salah jika itu hanya dalih untuk menutupi ketidakmampuannya menjawab pertanyaan atau memenuhi harapan peserta. Celakanya, banyak widyaiswara seperti ini yang tidak menyadari bahwa sesungguhnya peserta mampu melihat mana yang sekedar berdalih, dan mana yang benar-benar murni ingin mendorong peserta mengungkap problematika secara mandiri, sebelum ia sendiri akan memberikan pencerahan kepada peserta. 

Metode Andragogi juga sering disalahartikan dalam wujud lain. Widyaiswara seolah berkewajiban memberi apresiasi terhadap apapun hasil kerja peserta, meskipun sebenarnya hasil itu salah secara metofologis atau tidak tepat secara substantif. Akibat apresiasi yang seringkali berlebihan ini, maka peserta merasa bahwa hasil kerjanya sudah benar. Namun ketika dikonsultasikan kepada ahlinya, bisa jadi hasilnya justru bertolak belakang dan disalahkan.  

Oleh karena itu, metode Andragogi yang disalahartikan mengandung bahaya yang cukup besar. Ketika peserta bekerja mandiri tanpa pengarahan yang memadai, dan menghasilkan produk belajar yang dinilai baik (padahal sebaliknya), maka ini sama artinya dengan penyesatan ilmu pengetahuan. Dan dalam perspektif agama (Islam), ilmu yang salah namun diamalkan, akan mengakibatkan dosa bukan hanya bagi pelakunya, namun terlebih lagi untuk guru yang memberikan ilmu yang salah tersebut. 

Maraknya fenomena metode Andragogi dijadikan tempat bersembunyi para widyaiswara dari inkompetensinya ini menunjukkan adanya kesalahan dalam praktek penyelenggaraan Diklatpim secara keseluruhan. Untuk itu, banyak hal harus diperhatikan secara serius. Mekanisme dan persyaratan rekrutmen seorang widyaiswara adalah salah satu aspek terpenting yang harus dikoreksi. Gelar Doktor memang penting, namun gelar bukanlah segala-galanya. Kompetensi seseorang terbangun bukan hanya dari proses belajar di perguruan tinggi, namun juga dari pengalaman kerja, penghayatan dan kontemplasi atas jalan panjang kehidupan, interaksi dengan lingkungan, atau bahkan otodidak. Nama-nama besar seperti Bill Gates, Walt Disney, Agatha Christie, dan Henry Ford di luar negeri, atau Sudjatmoko, HAMKA, dan Bob Sadino di dalam negeri, adalah sedikit dari banyak tokoh besar karena determinasi pribadinya yang tangguh tanpa harus mengecap di bangku pendidikan formal tertinggi. Akan jauh lebih baik jika seleksi widyaiswara dilakukan dengan sistem persaingan sempurna (perfect competition) yang terbuka bagi siapapun tanpa harus dikerangkeng oleh persyaratan formal seperti gelar, jabatan, dan sebagainya. 

Selain itu, seorang widyaiswara harus benar-benar menghayati makna profesinya yang berarti istana ilmu pengetahuan (widya = ilmu; istana = iswara). Dari makna ini saja sudah terlihat bahwa widyaiswara sebuah sebuah kehormatan dan kemegahan yang begitu agung. Maka, perilaku yang tidak pantas hanya akan mengkhianati keagungan profesi widyaiswara. Dalam hubungan ini, alangkah baiknya para widyaiswara berkenalan dengan Pygmalion, salah seorang nama dalam legenda / mitologi Yunani. 

Pygmalion adalah seorang pematung yang selalu berpikiran positif dan berprasangka baik terhadap orang lain. Ia juga pribadi yang berorientasi kualitas. Sebagai pematung, Pygmalion tidak pernah setengah-setengah; setiap karyanya selalu menjadi masterpiece dalam hidupnya. Maka, setiap karyanya adalah penjelmaan dari spiritnya, penghayatannya terhadap nilai-nilai luhur yang diyakini, dan kualitas kebatinannya. Dan lebih hebat lagi, dalam menghasilkan karya-karya monumentalnya, Pygmalion tidak pernah memiliki pamrih rendahan. Apa yang dilakukan semata-mata karena memang ia harus melakukan itu, dan apa yang dihasilkan karena ia memang harus menghasilkan itu. Akhirnya … atas segala keluhuran kepribadiannya tadi, Dewi Aphrodite menganugerahi Pygmalion seorang istri jelita yang berasal dari patung ciptaannya. Patung yang menjelma menjadi istri Pygmalion ini diberi nama Dewi Galatea. Itulah imbalan yang sepadan bagi orang yang tulus ikhlas dalam setiap tugasnya, dan menyelesaikan tugasnya dengan penjiwaan penuh tentang makna hidup seseorang. 

Dalam ilmu manajemen, kisah Pygmalion bertansformasi menjadi Pygmalion Effect, atau Self Fulfilling Prophecy, adalah sebuah situasi ketika kita mengharapkan yang terbaik dari diri kita sendiri atau dari bawahan kita maka sering kita akan mendapatkan yang terbaik itu. Sebab, kekuatan pengharapan (the power of expectation) membuat semua orang akan berbuat sebaik mungkin untuk dapat mencapai harapan itu.  

Aktualisasi Pygmalion Effect dalam diri seorang widyaiswara dan proses pembelajaran Diklatpim adalah bahwa seorang widyaiswara harus mengubah orientasinya mendapatkan “JP” (jam pelajaran) dan honorarium, menjadi orientasi berbagi, memberi, membenahi kinerja peserta, serta mencerdaskan kehidupan bangsa. Seorang widyaiswara harus memiliki pengharapan yang besar bahwa apa yang diberikan akan berkontribusi positif terhadap reformasi di lingkungan organisasi masing-masing peserta. Namun jika pengharapan ini tidak disertai dengan kapasitas keilmuan yang mumpuni, bagaimana dia bisa berharap akan khasiat the power of expectation tadi?  

Singkatnya, metode apapun dapat dipakai oleh widyaiswara sepanjang ditopang oleh kompetensi yang cukup. Jika tidak, maka maka selamanya kita akan berbelas kasihan kepada si Andragogi karena selalu menjadi dalih atas disfungsi seorang widyaiswara. 

Dari kamar B-315
Kampus Pejompongan, 28 Maret 2013

Rabu, 27 Maret 2013

Negara Pekerja dan Nasionalisme


Pada ceramah tentang Perkembangan Paradigma Pembangunan Global dan Indonesia dan Visi Perjuangan NKRI, Dr. Purnaman meminta peserta menuliskan satu hal yang dianggap paling penting dan ingin dipelajari dalam hubungan dengan materi ceramah. Saat itu saya menuliskan “Membangun Bangsa Pekerja (Working Nation)”. Bagi saya, bermacam-macam paradigm pembangunan tidak ada artinya sama sekali tanpa dijalankan oleh manusia-manusia yang bermental baja dan tak pernah lelah bekerja demi kejayaan bangsanya. Dengan kata lain, spirit nasionalisme warga negara harus menjadi fundamen yang kokoh untuk berjalannya program dan kebijakan pembangunan. 

Kebetulan sekali, pada sesi ceramah berikutnya, Prof. Dr. Sri Edi Swasono menyinggung soal bonus demografi yang dimiliki Indonesia. Bonus demografi adalah peluang (window of opportunity) yang dinikmati suatu negara sebagai akibat dari besarnya proporsi penduduk usia produktif (rentang 15-64 tahun). Dalam konteks Indonesia, disebut “bonus” karena sekitar 60 persen dari total penduduk berada pada rentang usia 15-64 tahun tadi. Dengan jumlah penduduk berkisar 240 juta jiwa, maka ada 144 juta jiwa masuk dalam kategori usia produktif. Bayangkan saja, seandainya setiap penduduk produktif menambah jam kerjanya 1 jam saja setiap harinya, maka akan ada 144 juta jam kerja baru. Jika secara akumulatif nasional ada penambahan 144 juta jam kerja setiap hari, berapa milyar jam kerja yang bisa dilakukan bangsa ini dalam 1 tahun? Jika penambahan jam kerja setiap usia produktif setiap harinya ditingkatkan 2, 3, atau 4 jam, maka akumulasi nasional akan semakin berlipat ganda. Ini peluang yang teramat sangat dahsyat bagi negeri ini untuk menyelesaikan berjuta “proyek” dan pekerjaan rumah yang tertinggal. Saya membayangkan, tambahan milyaran jam kerja dalam 1 tahun itu equivalen dengan penyelesaian pembangunan Jembatan Selat Sunda (JSS). Singkatnya, pembangunan JSS bisa diselesaikan “hanya” dalam 1 tahun, jika bangsa ini menambah jam kerja hariannya minimal 1 jam.
 
Produktivitas Indonesia dibanding dengan negara tetangga, terus terang masih tertinggal cukup jauh. Laporan USAID (2010, Measure: Indonesia, The Enterprise Development Diagnostic Tool, Business Growth Initiate Project) menunjukkan bahwa produktivitas tenaga kerja per pekerja per tahun (labor productivity per person employed) Indonesia adalah USD 10,671.07, kalah dari Thailand dengan produktivitas sebesar USD 15,547.95, atau Malaysia sebesar USD 25,590.27, serta terlalu jauh dari Singapura sebesar USD 45,786.45.
Laporan ini sejalan dengan publikasi APO (Asian Productivity Organization) berjudul APO Productivity Databook 2012 (Keio University Press, Tokyo). Disini dikatakan bahwa per hour labor productivity levels (level produktivitas pekerja per jam) tahun 2010 di Indonesia (dalam USD) adalah 3,6, atau dibawah Filipina (4,3), Thailand (6,7), Malaysia (15,0) dan Singapura (40,2).
Itulah sebabnya, struktur demografi yang “gemuk” di bagian tengah yang dialami Indonesia merupakan berkah dan anugerah Tuhan YMK, yang semestinya bisa dimanfaatkan untuk menghasilkan nilai tambah secara nasional. Bonus demografi harus benar-benar disikapi positif oleh seluruh jajaran bangsa Indonesia, baik dari kalangan birokrat pemerintahan, maupun dari masyarakat luas. Jika tidak, bisa terjadi kondisi sebaliknya, dimana bonus demografi justru berubah menjadi musibah. Hal ini terjadi jika kelompok usia produktif tadi hanya diisi oleh manusia yang konsumtif, yang menyukai produk asing, yang tidak memiliki jam kerja tinggi, atau yang tidak memiliki kreativitas dan inovasi. 

Dalam kaitan inilah, maka persoalan nasionalisme menjadi sangat urgen. Sebagaimana dikatakan oleh Ian Lustic, “nasionalisme merupakan kekuatan pembangunan yang tak ada tandingannya di dunia masa kini”. Pertanyaannya adalah, bagaimana mengaktualisasikan nasionalisme di era globalisasi dan pasar bebas dewasa ini? Ketika generasi muda terlanjut terpikat dengan segala produk barang dan budaya yang berbau asing, ketika kapitalisme mulai menggeser para pelaku bisnis tradisional, ketika kebanggaan nasional mulai layu, ketika ketika para importer seenaknya memainkan komoditas dan harga demi kepentingan sempit mereka, ketika produk-produk murah luar negeri membanjiri pasar domestik, dan ketika negara terlihat bingung dengan situasi problematik yang dihadapi, bagaimana status nasionalisme kita?  

Dalam keadaan seperti itulah, justru penanaman kembali nilai-nilai dan semangat nasionalisme semakin mendesak. Dalam aktualisasinya, saya menyarankan agar nasionalisme diterjemahkan dalam bentuk kerja keras seluruh lapisan bangsa. Untuk itu, sangat direkomendasikan bagi pimpinan nasional untuk membuat Gerakan Nasional Kerja Keras. Kerja keras bukan hanya untuk mengejar ketertinggalan negara kita dari negara lain, namun untuk lebih memperkuat jati diri dan kontribusi Indonesia bagi dunia. Hal ini penting untuk digarisbawahi, karena Indonesia didirikan bukan hanya untuk mensejahterakan rakyatnya, tetapi juga untuk keselamatan dan kedamaian dunia. Demikian pula, Pancasila bukan hanya digali dari, oleh, dan untuk bangsa Indonesia, namun juga relevan dalam percaturan dunia internasional. Semakin besar kontribusi Indonesia untuk dunia, sesungguhnya semakin besar pula aktualisasi Pancasila sebagai dasar falsafah bangsa. 

Tentang aktualisasi nilai-nilai Pancasila dan nasionalisme sebagai “bangsa pekerja” (working nations) ini, termanifestasikan dalam dua hal. Pertama, menambah jam kerja formal maupun informal. Saat ini rata-rata jam kerja orang Indonesia adalah 38 jam per minggu, sementara orang Korea bekerja 62 jam per minggu. Perbedaan jumlah jam kerja ini terbukti berpengaruh amat besar terhadap produktivitas nasional. Kedua, menambah “RPM” (revolution per minute) dalam setiap jam yang digunakan. Artinya, kualitas, kreativitas, inovasi, dan produktivitas harus meningkat meski unit waktu yang tersedia sama. Untuk mendorong produktivitas nasional melalui peningkatan RPM (bukan penambahan jam kerja), maka investasi dalam sektor pendidikan merupakan keharusan. Dalam hal ini, pendidikan yang kita butuhkan bukan yang mencerdaskan otak manusia saja, namun harus pendidikan yang mencerdaskan kehidupan bangsa, sebagaimana amanat Pembukaan UUD 1945. 

Dari kamar B-315
Kampus Pejompongan, 27 Maret 2013

Selasa, 26 Maret 2013

Negara Gagal dan Nation Building


Ketika jurnal ini ditulis, issu kudeta terhadap Pemerintahan SBY sedang marak di berbagai media. Pada saat yang bersamaan, ada skandal berupa pemberondongan tahanan titipan Polri di Lapas Cebongan, Sleman. Keduanya adalah peristiwa yang terpisah dan berdiri sendiri, namun bisa dipandang memiliki keterkaitan. Karena negara (direpresentasikan oleh jabatan Presiden) terlalu berlebihan merespon issu kudeta yang hanya dilontarkan oleh segelintir masyarakat sipil, maka negara menjadi lalai menjaga keselamatan warganya. Melihat pada reaksi yang cenderung show of force dari aparat keamanan dengan mengerahkan kendaraan lapis baja di beberapa titik pusat kota Jakarta, nampak sekali bahwa sikap negara sudah tidak proporsional, hanya penghamburan energy, dan bahkan menyebarkan rasa cemas di banyak kalangan. 

Terkait dengan issu-issu diatas, Prof. Dr. Azyumardi Azra yang memberikan ceramah sessi pagi hari ini menyatakan bahwa negara membuat issu-issu yang tidak produktif, seperti issu kudeta tadi. Padahal, negara seharusnya memerankan diri sebagai faktor pemersatu bangsa dan menjaga kohesi sosial dalam masyarakat. Selain itu, demokrasi tidak bisa bekerja dengan baik jika negara lemah. Namun faktanya, sejak masa reformasi cenderung terjadi penurunan kapasitas negara bahkan bergerak kearah gagal. Negara kehilangan kewibawaannya, hingga banyak kalangan memprediksi akan terjadi efek Balkanisasi, yakni sebuah situasi diamna negara terpecah belah seperti di negara-negara Balkan (Kosovo, Bosnia, Monte Negro, Herzegovina, dll). Disisi lain, di tingkat grass root terdapat gejala merosotnya public civility (keberadaban publik), seperti bisa diamati dengan mudah pada perilaku pengendara di jalan raya yang suka menyerobot, kebiasaan membuang sampah sembarangan, keberingasan massa, ketidakpatuhan pada aturan, dan sebagainya. 

Mencermati situasi seperti itu, maka kegagalan negara sesungguhnya tidak hanya bersumber dari impotensi perangkat negara dalam menjalankan tugas dan misinya, namun juga dikontribusikan oleh perilaku publik yang tidak mencerminkan semangat disiplin nasional.  

Satu counter argument dapat diajukan untuk menilai benarkah Indonesia masuk dalam kategori negara gagal? Bukankah pertumbuhan ekonomi Indonesia terus tumbuh lebih dari 6 persen per tahun? Mengenai hal ini, Prof. Azyumardi Azra menjawab bahwa rakyat tidak cukup hanya dengan makan roti (we don’t live with bread alone). Selanjutnya, jawaban tertulis dapat dibaca dari tulisan beliau yang kebetulan dimuat di Kompas, 25-3-2013, berjudul “Hukum Rimba”, sebagai berikut: 

Mengapa sebuah negara yang secara ekonomi bisa bertumbuh dengan baik dapat terjerumus ke dalam labirin negara gagal? Hal ini terkait banyak dengan kegagalan kepemimpinan negara – yang kemudian menular ke daerah. Sekali para pejabat publik – baik eksekutif, legislative maupun yudikatif – terlihat oleh masyarakat luas dan anggota aparat keamanan/penegak hukum tidak sungguh-sungguh, tidak memiliki komitmen penuh, tidak berintegritas, tidak menyelaraskan perkataan dan perbuatan, terciptalah keadaan anomie. Jika keadaan anomie yang disertai disorientasi dan dislokasi kian meluas dalam masyarakat, bisa dipastikan hukum rimba menjadi order of the day.

Apa sesungguhnya negara gagal (state failure) itu? Secara konseptual, Armin von Bogdandy, et.,al, dalam publikasi berjudul State-Building, Nation-Building, and Constitutional Politics in Post-Conflict Situations: Conceptual Clarifications and an Appraisal of Different Approaches (Max Planck Yearbook of United Nations Law, Volume 9, 2005, p. 579-613, Netherlands, 2005) memberi definisi negara gagal sebagai the failure of public institutions to deliver positive political goods to citizens on a scale likely to undermine the legitimacy and the existence of the state itself (ketidakmampuan institusi negara untuk memberi kebajikan umum kepada warganya pada skala yang membuat legitimasi dan eksistensi negara dipertanyakan). 

Adapun 5 (lima) ciri dominan dari negara gagal adalah: 1) disharmony between communities, 2) inability to control borders and the entirety of the territory, 3) a growth of criminal violence, 4) corrupt institutions, and 5) a decaying infrastructure (Bogdandy, ibid.; Robert I. Rotberg, “Failed States, Collapsed States, Weak States: Causes and Indicators”, in: R.I. Rotberg (ed.), State Failure and State Weakness in a Time of Terror, 2003).  

Berdasarkan analisis Rotberg (2003) tadi, ada tujuh negara yang dikategorikan gagal (failed states), yakni Afghanistan, Angola, Burundi, Congo, Liberia, Sierra Leone, dan Sudan. Dibawah kategori ini ada Somalia yang dikelompokkan sebagai collapsed state. Sementara Indonesia sendiri digolongkan dalam weak states atau negara yang mendekati gagal (approaching failure) bersama dengan Colombia, Sri Lanka, and Zimbabwe.  

Studi Rotberg ini sejalan dengan publikasi The Fund For Peace tentang Failed State Index 2012. Laporan FFP tersebut menempatkan Indonesia pada kategori very high warning dengan skor 80,6. Sekedar perbandingan, Somalia dinilai sebagai negara paling gagal dan masuk kategori very high alert dengan skor 114,9. Sedangkan Finlandia adalah negara teraman di dunia yang dikategorikan sebagai very sustainable state dengan skor 20,0. 

Akan tetapi, saya ingin menggarisbawahi bahwa tidaklah penting memperdebatkan apakah Indonesia sudah masuk kriteria negara gagal atau baru mendekati kearah gagal, yang terpenting adalah bagaimana bangsa ini menemukan cara yang benar dan cepat untuk memulihkan kondisi kebangsaan yang sedang babak belur. Dengan kata lain, nation building dan character development bagi anak negeri menjadi kebutuhan yang tidak bisa ditawar lagi. Sebab, seperti yang dikatakan oleh Bogdandy (ibid), state failure dapat mendorong terjadinya nation failure (kegagalan bangsa), yang ditandai oleh tiga hal sebagai berikut: 

      a process in which the requirements of normal politics, the social substratum essential for the acceptance of majority and redistribution decisions, disappear;
      the cultural projection of a nation is no longer convincing to many; there is no consensus on the cultural traditions, customs, symbols, rituals, and the historical experience – there is no “usable past”;
      when individual and mutually exclusive nationalisms replace the former common identity. 

Sekali lagi, nation building dan character development menjadi conditio sine qua non untuk melanjutkan pembangunan nasional ke tahap-tahap berikutnya. Dalam kaitan ini, saya memaknakan nation building sebagai upaya merajut kembali keretakan dalam interaksi antar etnis, antar kelompok beragama, antar daerah, antar elit dan partai politik, antar angkatan dalam militer, antar aparat penegak hukum, antar pimpinan dan lembaga kemasyarakatan, antar pengusaha, serta antar susunan pemerintahan. Rajutan yang sobek disana-sini harus ditambal dengan falsafah fundamental bangsa Indonesia, yakni sila-sila dalam Pancasila. Ketika interaksi kebangsaan kita sudah sama-sama dilandasi oleh spirit dan semangat kejiwaan yang bersumber dari dasar filsafat yang sama, maka energi kebangsaan akan terkonsolidasi membentuk national power yang amat dahsyat. Pada gilirannya, mudah ditebak bahwa percekcokan elite tidak akan terjadi lagi (zero political disputes), dan konflik horisontal-pun dalam diminimalisir mendekati nihil (zero social conflict). 

Sementara yang saya maksudkan dengan character development adalah proses pendidikan mental spiritual untuk membentuk perilaku anak negeri secara individual. Karakter kerja keras, mengabdi sepenuh hati, kecintaan mendalam terhadap negeri kelahiran, tekad tidak akan mengkhianati negeri melalui tindakan dan pemikiran koruptif, menempatkan kolektivitas diatas individualitas, serta santun dalam kehidupan pribadi yang informal maupun dalam lingkungan formal. 

Hanya dalam konteks nation building dan character development itulah, kita berani bicara tentang “menjadi Indonesia” (on becoming Indonesia). Dalam hal ini, Indonesia bukan hanya entitas politik (state entity) yang bermodalkan territorial yang jelas, penduduk, pemerintahan, dan kedaulatan, namun lebih sebagai entitas kebangssan (nation entity) yang terbangun atas keberagaman latar belakang sejarah, budaya, dan kepentingan. Untuk itu, strategi yang jitu untuk nation building dan character development harus dirumuskan matang-matang, untuk kemudian diterapkan secara konsisten dan konsekuen. 

Diantara beberapa strategi Becoming Indonesia yang mungkin untuk dikembangkan adalah:

·         Mengaktifkan lagi transmigrasi sebagai upaya pemerataan distribusi penduduk dan menciptakan mutual understanding lintas budaya.
·         Terkait dengan strategi pertama diatas, maka perlu diperkuat dengan upaya mempromosikan perkawinan antar etnis, sehingga anak yang lahir dari pernikahan antar etnis akan beridentitas Indonesia.
·         Pernikahan antar etnik juga perlu dibarengi dengan “perkawinan” silang antar karya seni seperti motif batik, lukisan dan patung, seni tari dan pewayangan, dan seterusnya. Tujuannya, untuk menghasilkan sintesa baru dari karya seni dan karya budaya Indonesia. Batik, semestinya bukan hanya ada Batik Yogya, Batik Pekalongan, Batik Bali, dan seterusnya, namun harus ada “Batik Indonesia”.
·         Dalam tubuh birokrasi harus diciptakan sistem mutasi kepegawaian lintas daerah, lintas sektor, dan lintas susunan pemerintahan, untuk menumbuhkan sense of belongingness terhadap negeri. Meminjam analisis systems thinking, Indonesia bukanlah onggokan yang terdiri dari Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Papua, dan seterusnya. Indonesia adalah identitas baru hasil peleburan beratus-ratus bahkan beribu identitas budaya. Dengan kata lain, Indonesia adalah systems community atau komunitas serba sistem. Dalam perspektif seperti ini, maka paradigm “Indonesia adalah Papua, dan Papua adalah Indonesia” (sekedar mengambil contoh), perlu didampingi oleh paradigm “Papua adalah Jakarta, Surabaya adalah Bengkulu” dan seterusnya. Maka, jargon “putra daerah” semestinya sudah bergeser menjadi semangat “putra Indonesia”. 

Meskipun demikian, Becoming Indonesia tidak selamanya harus melalui proses akulturasi (persilangan) budaya. Setiap warga negara, setiap daerah otonom, atau setiap organisasi dari Sabang sampai Merauke tetap dapat menjadi Indonesia dalam ke-Jawa-an, ke-Sunda-an, ke-Batak-an, ke-Bugis-an mereka, dan seterusnya. Dan dalam konteks seperti “Menjadi Indonesia dalam Identitas Lokal” inilah justru Pancasila membuka peluang besar untuk menjadi pemersatu, jembatan komunikasi, dan pedoman perilaku bagi identitas lokal yang bertebaran di sepanjang zamrud khatulistiwa. 

Selain strategi diatas, pandangan Benedict Anderson (Imagined Community: Reflection on the Origin and Spread of Nationalism) dapat dimanfaatkan untuk proses nation building negara kita. Pada salah satu bagian, Anderson menyebut tentang Glorification of the past. Dalam konteks Indonesia, ini artinya bahwa nilai-nilai kejuangan perlu terus dikisahkan kepada generasi penerus sehingga para pahlawan dan nilai-nilai yang diperjuangkan tidak akan pernah hilang dari ingatan rakyat (collective memories of the nation).  

Tentu, proses nation building dan character development ini tidak diperlukan untuk menangkal issu musiman seperti kegagalan negara semata, namun harus dilakukan dalam segala situasi dan kondisi. Yang pasti, kemungkinan negara untuk gagal bisa dicegah dengan upaya nation building dan character development ini. 

Dari kamar B-315
Kampus Pejompongan, 25 Maret 2013

Senin, 25 Maret 2013

Jasmerah


Jasmerah! Adakah warga negara Indonesia yang tidak mengetahui istilah ini? Ini adalah judul pidato Bung Karno memperingati HUT RI pada tahun 1966.  

Istilah “Jasmerah” sendiri sudah begitu memasyarakat, namun tidak banyak yang paham esensinya, sejarahnya, serta nilai-nilai intrinsik yang terkandung di dalamnya. Kebetulan, agenda Diklatpim I hari ini adalah visitasi ke Arsip Nasional (ANRI). Deputi Konservasi Kearsipan yang menerima kami juga sempet mengingatkan bangsa ini agar tidak menjadi bangsa yang terjangkit penyakit amnesia, yakni lupa dengan sejarah bangsa sendiri. 

Pertanyaan yang perlu kita jawab adalah: mengapa kita harus ingat sejarah? Pasti akan banyak jawaban sesuai persepsi dan penghayatan seseorang terhadap kandungan sejarah bangsanya. Namun bagi saya, mengingat-ingat sejarah kebangsaan akan menjamin masyarakat memiliki jati diri dan identitas bangsa. Jika masa silam (sejarah) adalah “sangkan” (asal muasal), dan masa depan adalan “paran” (arah tujuan), maka kedua dimensi waktu tersebut sesungguhnya membentuk sebuah garis lurus secara imajiner. Dalam filsafat Jawa dikenal ungkapan sangkan paraning dumadi. Artinya, manusia harus tahu dari mana berasal, dan kemana dia akan menuju. Tidak masuk akal seseorang dapat mengkonstruksi masa depannya tanpa merekonstruksi masa silamnya. Kalaupun hal seperti itu terjadi, maka yang terjadi sesungguhnya adalah amnesia sejarah, yakni hilangnya kesadaran manusia dalam dimensi ruang dan waktu. 

Sangat boleh jadi, bangsa Indonesia dewasa ini mengalami gejala hilangnya kesadaran kolektif akan akar sejarah kemanusiaan. Sebagai contoh, ketika sekelompok orang Papua menginginkan berpisah dari Republik dengan mendirikan OPM, semestinya tidak dihadapi dengan kekuatan militer, namun cukup ditunjukkan dengan hasil Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat) tahun 1969, yang membuktikan bahwa masyarakat Irian Barat menghendaki bergabung dengan Indonesia. Bukti keinginan dari masyarakat Irian Barat itu adalah dengan adanya pernyataan tekad secara tertulis dan dikuatkan oleh tanda tangan atau cap jempol dari para Kepala Suku di Irian Barat. Selanjutnya hasil Pepera itu dibawa ke Sidang Umum PBB pada tanggal 19 November 1969, yang memutuskan menerima dan menyetujui hasil Pepera. Nah, jika saat ini ada generasi baru Papua yang menuntut merdeka, maka sebenarnya mereka adalah orang-orang yang amnesia, karena tidak pernah menengok pada sejarah para pendahulunya. 

Demikian pula dengan terjadinya hingar-bingar politik 10 tahun terakhir, rasanya teramat sulit bagi para elite politik di Pusat maupun Daerah untuk bersatu padu, merapatkan barisan, menyingsingkan lengan, saiyeg saeka praya, menyatukan kekuatan untuk membangun bangsa yang besar dan mensejahterakan rakyatnya. Yang terjadi adalah fakta sebaliknya, dimana rakyat disuguhi oleh berbagai tontotan berupa pertarungan kepentingan dan keserakahan menjadi penguasa, yang semuanya itu hanya akan melunturkan jiwa-jiwa kebangsaan. Mengapa mereka tidak bisa belajar dari sejarah, misalnya pada saat perumusan naskah Proklamasi di rumah Laksamana Muda Tadashi Maeda di Jalan Meiji Doori (sekarang Jl. Imam Bonjol No. 1). Sejak malam tanggal 16 Agustus 1945 hingga ditandatanganinya naskah tersebut oleh Soekarno Hatta menjelang fajar menyingsing tanggal 17 Agustus 1945, berkumpul 29 tokoh pergerakan yang berasal dari berbagai suku dan berbagai latang belakang, namun semuanya menyatukan diri hanya demi Indonesia Merdeka. 

Uniknya, ketika rezim Orde Baru tumbang dan masuklah era reformasi, tokoh-tokoh yang mengaku reformis juga sempat kumpul di gedung yang sekarang menjadi Museum Perumusan Naskah Proklamasi itu. Namun sayangnya, begitu pertemuan bubar, mereka kembali kepada kepentingannya masing-masing yang sempit dan melupakan kepentingan negara secara utuh (sumber: bapak Lutfi, pemandu museum). Tentu saja mereka selalu mengatasnamakan setiap langkah dan perilakunya sebagai perpanjangan suara dan mandat rakyat, namun rakyat pula yang dapat menilai apakah mereka benar-benar tulus dalam perjuangannya atau dilandasi pamrih-pamrih tertentu. Dalam konteks seperti inilah, kita sangat layak menyimak kembali sepenggal pidato Bung Karno sebagai berikut: 

Abraham Lincoln, berkata: “one cannot escape history, orang tak dapat meninggalkan sejarah”, tetapi saya tambah: “Never leave history”. Inilah sejarah perjuangan, inilah sejarah historymu. Peganglah teguh sejarahmu itu, never leave your own history! Peganglah yang telah kita miliki sekarang, yang adalah AKUMULASI dari pada hasil SEMUA perjuangan kita dimasa lampau. Jikalau engkau meninggalkan sejarah, engkau akan berdiri diatas vacuum, engkau akan berdiri diatas kekosongan dan lantas engkau menjadi bingung, dan akan berupa amuk, amuk belaka. Amuk, seperti kera kejepit di dalam gelap.

Bercermin pada kondisi kekinian tentang centang-perenang politik nasional yang gaduh dan menjengahkan, nampaknya itu semuanya bukti bahwa bangsa ini sudah terlalu jauh dan terlalu lama melupakan sejarah, sehingga terjadi berbagai disharmoni sosial antar komponen bangsa. Nampaknya para elite jaman “reformasi” ini tidak mampu mengambil moment of truth ketika berada di tempat yang disebut sebagai “Titik Nol Republik”. Mereka juga gagal menjawab pertanyaan: sudah seberapa jauhkah Republik ini berjalan sejak langkah pertama di titik nol? Ketika mereka gagal memanfaatkan moment of truth sekaligus menjelaskan kepada rakyat tentang jejak langkah Republik, maka pada hakekatnya langkah mereka tidak pernah beranjak maju, alias hampa dalam dinamika politik yang tidak produktif. 

Dalam konteks Diklatpim I, saya tiba-tiba khawatir bahwa kunjungan ke ANRI maupun Museum Naskah Proklamasi ini tidak akan membekas apapun dalam hati dan sanubari para peserta. Menanamkan nilai-nilai kejuangan seperti rela berkorban, mendahulukan kepentingan bangsa diatas kepentingan pribadi, semangat mengabdi bukan hasrat memimpin, adalah persoalan pembangunan karakter bangsa (nation building and character building), yang membutuhkan proses panjang dan berkesinambungan. Maka, kunjungan sehari dapat dipastikan tidak menimbulkan deep impact bagi peserta. Repetisi (pengulangan) untuk menggaungkan pidato pada tokoh kemerdekaan, kisah-kisah heroik para pejuang, promosi nilai-nilai kepahlawanan, dan  sebagainya, menjadi kata kunci untuk mengembalikan rasa kebangsaan (sense of nationality) yang mulai hambar. 

Metode pengajaran sejarah perjuangan bangsa untuk anak-anak SD, SMP, dan SMA pun, perlu ditinjau kembali. Menghapal saja tidaklah cukup. Mereka juga harus mampu “menurunkan” hapalan sejarah (dimensi kognitif) menjadi penghayatan (dimensi afentif), hingga akhirnya akan mempengaruhi perilaku kolektif generasi penerus bangsa (dimensi psikomotorik). Untuk itu, pembelajaran di kelas juga tida memadai lagi. Anak-anak itu harus sering-sering dibawa ke lokasi riil terjadinya peristiwa bersejarah, agar mereka tidak lupa sejarah nenek moyangnya, sekaligus menumbuhkan daya imajinasi dan visualisasi masa silam guna menangkap “roh” para pejuang dan kemudian me-utilisasi untuk merancang pembangunan nasional di masa depan berbasis karakter bangsa.  

Dari kamar B-315
Kampus Pejompongan, 25 Maret 2013

Jumat, 22 Maret 2013

Refleksi Kebangsaan (Calon) Pemimpin


Saya sungguh beruntung mendapat penugasan mengikuti Diklat Kepemimpinan Tingkat I. Sebagai seorang yang selalu mengaku sebagai pembelajar dan haus dengan kebaruan diberbagai bidang, saya sangat antusias untuk menjalani seluruh agenda yang ditawarkan penyelenggara. Sayapun telah menyiapkan diri 100 persen baik secara fisik maupun mental untuk mengambil manfaat terbesar bagi diri saya. Dari kemanfaatan diri ini, saya berharap akan dapat berbuat jauh lebih baik untuk institusi yang telah membesarkan saya selama 20 tahunan terakhir.
 
Pada saat upacara pembukaan, kami dapat informasi bahwa salah satu agenda yang didalami pada Diklatpim Tingkat I adalah Kajian Falsafah Bangsa, Paradigma Pembangunan, dan Kepemimpinan Nasional. Bukan berarti agenda lain tidak penting, namun saya memberi perhatian lebih untuk soal kebangsaan. Dan setelah mendengarkan ceramah Dr. Yudi Latif tadi pagi, saya semakin yakin bahwa pembangunan nilai-nilai kebangsaan (cinta tanah air, pride sebagai warga negara, tekad untuk mendarmabaktikan diri demi negeri) semakin urgen di era globalisasi dan demokrasi sekarang ini.
 
Banyak alasan yang mendasari pemikiran saya mengapa soal kebangsaan ini penting, terutama dalam konteks penyelenggaraan Diklatpim I. Pertama, peserta Diklatpim I adalah para pegawai yang hampir mendekati puncak karier. Artinya, cara pandang yang dimiliki tidak lagi berada pada level institusi apalagi unit kerja. Kapasitas (calon) pemangku jabatan Eselon I tentu tidak lagi pada tataran operasional, namun telah berpindah ke wilayah yang lebih strategis, yang menuntut keluasan perspektif dalam melihat suatu masalah serta kemampuan menganalisis kompleksitas permasalahan secara substansial.
 
Kedua, ada kecenderungan permasalahan kebangsaan dewasa ini semakin membesar. Di tingkat elite politik, terlihat secara kasat mata pertikaian antar politisi baik dalam parpol yang sama ataupun antar parpol. Koalisi yang tidak pernah sehati dan saling menyandera juga mewarnai perjalanan politik nasional 5 tahun terakhir. Di lingkungan eksekutif diwarnai oleh pertikaian para pembantu Presiden yang saling mengancam, misalnya terkait issu kongkalikong anggaran. Para Gubernur se Kalimantan juga pernah bersatu untuk memboikot pengiriman batu bara ke pulau Jawa sebagai bentuk kebijakan pembatasan kuota BBM bersubsidi. Di tataran akar rumput, konflik jauh lebih massive dan beragam, sejak kasus Sampit, Poso, dan Ambon, hingga kasus Ahmadiyah dan Gereja Yasmin. Singkatnya, konflik di Indonesia tidak hanya terjadi antara rakyat vs rakyat, namun juga rakyat vs negara, dan bahkan negara vs negara.
 
Belum lagi persoalan generasi muda yang semakin jauh dari nilai-nilai kebangsan dan religiositas sebagaimana terlihat dari kasus-kasus penyalahgunaan narkoba, seks bebas, dan yindakan hedonism lainnya. Hal inipun masih diperparah dengan semakin merebaknya kriminalitas di sekitar kita.
 
Berbagai fenomena diatas memberi alarm yang kuat bahwa ke-Indonesia-an kita sudah mulai retak dan semakin rapuh. Padahal, kurang apa dengan negeri yang terkenal gemah ripah loh jinawi tata tentrem kerta raharja ini? Dalam bahasa Jawa sering kita dengan ungkapan murah kang sarwa tinuku, tukhul kang sarwa tinandur, yang mengilustrasikan bahwa negeri ini diberkahi Sang Pencipta dengan karunia berlimpah. Perjuangan melawan kolonialisme Portugis, Belanda, dan Jepang, juga telah membentuk semangat kesatuan sebangsa dan setanahair, serta menumbuhkan rasa senasib sepenanggungan kebangsan yang begitu kuat, hingga terwadahi dalam prinsip Bhinneka Tunggal Ika, tan hana dharma mangrwa,
 
Jika dilacak jauh ke masa silam, bibit-bibit nasionalisme sudah terlihat ketika Kertanegara (Raja Singasari) pada tahun 1275 M memperkenalkan konsep Cakrawala Mandala Dwipantara. Inilah embrio awal dari “nusantara” yang kita kenal dewasa ini. Konsep Kertanegara tersebut diperkuat lagi dengan Sumpah Palapa dari Mahapatih Gadjah Mada tahun 1336 M yang tidak akan melepaskan puasanya sebelum seluruh nusantara bersatu. Di awal abad 20, Ki Hajar Dewantara telah melontarkan semboyan  Een voor Allen maar Ook Allen voor Een" (satu untuk semua, tetapi semua untuk satu juga, 1913). Ini jelas sekali merujuk pada aneka ragam suku dan budaya yang tersebar dan terbentang di seluruh penjuru nusantara. Jika dewasa ini kita sering mendengar semboyan The Three Musketeers yakni “One for All, All for One”, maka jauh hari sebelumnya bangsa kita telah mempraktekkannya.
 
Tidak ketinggalan dengan para pendahulunya, para pemuda di tahun 1928 telah mendeklarasikan Sumpah Pemuda yang semakin memperkuat tekad mewujudkan kesatuan tumpah darah, kesatuan bangsa, dan kesatuan bahasa, Indonesia. Akhirnya, berbagai tautan historis tadi diukir dengan tinta emas dalam naskah Proklamasi 17-8-1945 dan UUD 1945 tanggal 18-8-1945.
 
Menjadi pertanyaan bagi seluruh pewaris kemerdekaan, mengapa perjuangan yang sedemikian panjang dan telah berhasil membentuk identitas kebangsaan bernama Indonesia, tiba-tiba goyah dan limbung? Apakah gejala dekadensi nilai kebangsaan adalah hal yang lumrah dalam iklim globalisasi, sebagaimana juga dialami oleh India? Menurut Yudi Latif dalam ceramahnya, India adalah negara yang memproduksi Doktor terbanyak di dunia, namun tidak memiliki nilai kebangsaan yang kuat. Bahkan untuk menetapkan pakaian tradisional sebagai pakaian nasional harus dikatakan oleh orang lain (khususnya Inggris sebagai bekas penjajahnya). Erosi dan krisis kebangsaan telah begitu dalam mwabah di India, hingga akhirnya muncul gagasan untuk menulis ulang sejarah mereka (Re-write Indian History).
 
Sayangnya, Yudi Latif tidak menjawab pertanyaan saya, apakah Indonesia juga harus melakukan penulisan kembali sejarah kebangsaannya? Jika ya, bagaimana melakukan penulisan ulang sejarah itu, dan apa muatan yang harus ditulis? Namun meski tidak mendapat jawaban, saya pribadi yakin bahwa harus ada Rewriting Indonesia history. Ini adalah bagian dari proses nation building and character building, agar Indonesia dapat mengembalikan semangat kebangsaan dan bersatu padu menatap masa depan mewujudkan cita-cita bersama, yakni Indonesia yang adil dan makmur. Bagaimana menulis ulang sejarah Indonesia itu, semoga saya dapat meng-explore pada kesempatan yang lain …
 
Dari kamar B-315
Kampus Pejompongan, 22 Maret 2013

(Mencoba) Berpikir Berbeda tentang Diklat Kepemimpinan


Pada hari pertama pelaksanaan Diklatpim I Angkatan XXV/2013 kemaren, telah dilakukan pemetaan kepribadian menggunakan instrumen Myers Briggs Tipe Indicator (MBTI). Hasilnya, saya masuk dalam tipe kepribadian INFJ (Introvert – Intuition – Feeling – Judging). Secara parsial, saya merasa bukan manusia dengan tipe introvert yang mengumpulkan informasi berdasarkan intuition, mengambil keputusan dengan mengandalkan feeling, serta memiliki gaya hidup judging. Namun secara keseluruhan, kepribadian INFJ dikatakan sebagai kepribadian Most Contemplative, yang nampaknya memang bersesuaian dengan diri saya pribadi. 

Sebagai pegawai yang telah “berkubang” di dunia penelitian selama hampir 20 tahun, wajar kiranya jika terbentuk dalam diri saya kebiasaan untuk berpikir, berkontemplasi, bermimpi, bahkan berandai-andai. Dan “hobby” berkontemplasi saya ini semakin menjadi setelah saya mendapat musibah kehilangan mobil pada tanggal 22 Januari 2013 yang lalu. Hanya, kontemplasi saya terhadap musibah ini bukan untuk mengembangkan banyak alternatif dan merekomendasikan kebijakan terbaik sebagaimana yang saya kerjakan selaku peneliti. Saya lebih mencoba mencari hikmah dan rahasia Ilahi dibalik keputusan-Nya yang terasa amat pahit buat saya se-keluarga. 

Dengan semangat berkontemplasi itu pula, bermunculan ide-ide baru dalam benak saya tentang diklat aparatur, khususnya Diklat Kepemimpinan. Tidak terhindarkan bahwa pandangan baru saya ini banyak dipengaruhi oleh musibah yang saya alami, dan kebetulan juga memiliki keterkaitan dengan zero mind process yang saya tulis pada Jurnal #1 (Untuk Apa Saya Disini?).  

Pada jurnal sebelumnya saya mempertanyakan, mengapa peserta Diklatpim (terutama jenjang Eselon 1) harus dilengkapi dengan fasilitas yang cukup mewah? Mental model birokrasi kita selama ini memandang lazim bahwa semakin tinggi jabatan identik dengan makin banyak dan mewahnya fasilitas yang harus disediakan. Nah, sekarang saya telah mengubur dalam-dalam pandangan seperti ini. Logikanya, jika semakin tinggi jabatan seseorang maka semakin dalam dan besar tanggungawabnya untuk melayani masyarakat, apakah penambahan fasilitas akan menjamin seseorang tersebut dapat lebih baik dalam melayani masyarakat? Bagi saya ini sebuah logika yang kurang pas, kalau tidak dikatakan keliru. Maka, mestinya tidak perlu ada penambahan sarana atau privilege tertentu. Pejabat yang baik sangat mungkin justru menanggalkan berbagai kemudahan yang menjadi haknya berdasarkan aturan yang berlaku. Perilaku Gubernur DKI Jakarta Jokowi barangkali bisa menjadi contoh, bahwa pejabat tinggi tidak selamanya harus dikawal oleh ratusan orang dan puluhan mobil. Juga bahwa pejabat sekaliber Gubernur bisa melakukan hal ekstrem seperti turun ke gorong-gorong, turut membersihkan sampah di sungai, dan sebagainya. 

Dalam konteks kediklatan, maka fasilitas yang megah sebenarnya bukanlah atribut yang melekat pada sistem dan program diklat, terlebih jika indahnya fasilitas semakin menjauhkan para peserta diklat dari “konstituen” yang harus dipikirkan dan dilayani. Seorang pejabat yang baik mestinya bisa membuktikan kepada siapapun bahwa dia tetap mampu menjalankan kewajiban sebagai peserta diklat meski tanpa didukung sarana yang berlebih, dan tetap tanpa keluhan (zero complaint).  

Bagi saya, seseorang yang masuk dalam lingkungan pendidikan, lebih logis jika dihadapkan pada situasi yang serba sulit, serba terbatas, dan serba kekurangan. Dari situasi seperti itulah diharapkan muncul sikap dan perilaku tangguh, sekaligus membangun kompetensi inovatif dalam dirinya. Sebaliknya dengan fasilitas yang serba nyaman, bukankah hanya akan menciptakan para birokrat yang manja, cengeng, dan mudah mengeluh? 

Dengan minimalnya sarana diklat tadi (jika ide ini dapat diterima), maka metode penyampaian materi, penanaman nilai-nilai, dan internalisasi doktrin (jika ada) juga perlu diubah. Pembelajaran tidak harus berlangsung di dalam kelas, namun justru harus diarahkan pada sistem pembelajaran di alam terbuka. Salah satu alam terbuka yang bisa dijadikan sumber pembelajaran adalah kantong-kantong kemiskinan atau pemukiman kumuh di sepanjang rel kereta. Atau bisa juga situasi di dalam kereta ekonomi. Atau mungkin juga kehidupan sehari-hari tukang sapu, tukang ojeg, dan kelompok masyarakat lain yang selama ini dianggap “terpinggirkan”.  

Ide ini muncul dari pengalaman pribadi saya menggunakan jasa KA jurusan Serpong – Tanah Abang. Sejak kehilangan mobil, saya memang beralih ke moda transportasi rakyat ini. Dan ternyata, begitu banyak pembelajaran yang saya peroleh dari “interaksi” saya dengan wong cilik. Pertama kali saya naik KA ekonomi, saya begitu terperanjat dengan begitu banyaknya penyandang cacat yang tidak berkaki dari pangkal pahanya. Namun mereka tidak memperlihatkan raut muka menyesal, marah, serakah, ataupun sedih. Mereka terlihat enjoy menjalani takdirnya dengan menjadi peminta atau pengamen. Saya sempat bertanya dalam hati: dimana negara saat dibutuhkan warganya? Bukankah mereka bisa saja menuntut negara untuk menegakkan Pasal 33 dan 34 UUD 1945? Pertanyaan saya pun berlanjut: kemana perginya para pejabat pemerintah sehingga tega menelantarkan saudara-saudara kita yang membutuhkan uluran tangan? Mengapa justru ada larangan para pengemis, pedagang asongan, dan pengamen untuk memasuki kereta dan peron? Bukankah ini adalah kebijakan yang sangat tidak merakyat, diskriminatif, bahkan bertentangan dengan konstitusi? 

Pada kesempatan lain, saya melihat sepasang suami istri yang buta keduanya, dengan membawa 3 anak, dengan salah satunya masih bayi dan berada dalam gendongan sang ibu. Saya begitu trenyuh melihat mereka dan tidak sanggup membayangkan bagaimana cara mereka mengasuh anak, menyiapkan makanan, mencari nafkah, dan seterusnya? Sayapun mengutuk diri saya dengan mengatakan pada diri sendiri betapa tidak bermanfaatnya saya selaku pemangku jabatan Eselon II namun tidak berdaya melihat situasi ketidakberdayaan masyarakat di depan mata. Saya memiliki angan-angan besar untuk memuliakan manusia-manusia “terlantar” seperti mereka, namun yang mampu saya berikan pada akhirnya hanyalah memberikan beberapa lembar uang ribuan. Sungguh betapa malunya saya … 

Di hari lain, saya mengamati para penghuni pemukiman kumuh di sepanjang rel kereta yang begitu damai ditengah kemiskinan yang menghimpit. Tanpa aliran listrik legal, tanpa saluran air bersih, tanpa fasilitas MCK yang sehat, namun mereka bisa makan bersama keluarga dan bercengkerama riang gembira. Saya pun kembali bertanya-tanya: apa sesungguhnya yang membuat mereka begitu ikhlas dan bahagia? Sayapun terpikir, sudahkah para pejabat mengunjungi mereka dan belajar makna kehidupan dari mereka? 

Peristiwa-peristiwa seperti itulah yang membentuk weltanschauung (worldview) baru dalam diri saya. Saya sangat menganjurkan penyelenggara diklat untuk mengakomodir interaksi langsung peserta dengan kelompok masyarakat yang kurang beruntung, on the spot. Disitulah para pejabat tadi harus mengenali kebutuhan dan aspirasi rakyat, sekaligus menggali banyak hal agar dapat menemukan esensi pembelajaran yang sejati. Saya juga berpikir bahwa pejabat sekaliber Menteri dan Presiden sekalipun, hendaknya sekali-kali pergi ke kantornya dengan menggunakan moda transportasi rakyat seadanya, agar mereka mengetahui itulah kondisi faktual kehidupan rakyat kita, itulah kualitas pelayanan publik, dan itulah tingkat kinerja mereka (para pejabat). Ketika mereka menyadari bahwa kinerjanya selama ini mengecewakan rakyat, diharapkan segera merombak cara kerja dan orientasi program, juga melakukan realokasi anggaran yang lebih tepat sasaran. 

Lebih ekstrem lagi, saya membayangkan situasi dimana para peserta Diklat Kepemimpinan juga dibebani tugas yang “mustahil”, misalnya dengan membersihkan WC, menyapu halaman, mengepel lantai (bukan untuk kamarnya), membersihkan selokan, atau merawat taman dan membuang sampah ke TPS/TPA. Mengapa tidak? Bukankah kita pernah mendapat cerita ketika seorang ulama besar didatangi orang yang meminta nasihat, dan setelah orang tersebut pulang, maka sang ulama kemudian membersihkan WC dan mengepel lantai. Ketika ditanya mengapa ia melakukan hal tersebut, sang ulama menjawab bahwa dia takut menjadi sombong dan merasa lebih pandai dari pada orang yang meminta nasihat. Artinya, aktivitas yang “menjijikkan” seperti menyikat kloset, sesungguhnya akan banyak menggugurkan sifat sombong yang banyak menjangkiti para pejabat tinggi. 

Bagi saya, metode ini adalah participatory technique (terlibat langsung dalam sebuah situasi atau aktivitas tertentu), yang selama ini vacuum dari metodologi diklat aparatur. Dan dengan metode yang baru ini, diharapkan Diklat Kepemimpinan akan menghasilkan efek mendalam (deep impact), bukan efek yang dahsyat (high impact). Deep impact adalah dampak yang bersifat fundamental dan long lasting, sedangkan high-impact lebih bersifat ledakan sesaat (temporary blasting). Dengan deep impact ini, Diklatpim 1 harus menghasilkan dampak mendalam yang nyata melalui internalisasi nilai melalui eksperimentasi partisipatoris. Teknik belajar dari orang miskin hanyalah salah satu cara, dan terbuka teknik lain seperti enginap di penjara KPK, menjalankan tugas sebagai orang miskin, menjalani kehidupan di wilayah konflik atau bencana, dan sebagainya. 

Keterlanjuran saya untuk suka berkontemplasi juga mengantarkan saya pada pemikiran bahwa waktu penyelenggaraan diklat sebaiknya tidak selalu berhimpit dengan jam kerja normal (antara jam 08.00 – 16.30). Mengapa tidak dicoba pembelajaran tengah malam? Bukankah Allah sendiri sangat menganjurkan umatnya untuk bangun di sepertiga malam terakhir, karena pada waktu itulah Allah akan menurunkan banyak hidayah, ilmu, dan segala macam kebaikan kepada mereka yang bangkit dari tidurnya. Bukankah dari aspek kesehatan hal ini juga sangat baik dan dianjurkan? Nah, jika kita memiliki waktu-waktu istimewa, mengapa tidak dicoba diterapkan dalam mendesain jadual Diklat Kepemimpinan? Mungkin sekali banyak diantara kita yang akan menolak ide seperti ini. Namun penolakan terhadap kebaruan (novelty) hanya akan membuktikan bahwa kita resisten terhadap perubahan, bahwa kita senang dengan kenyamanan yang telah kita rasakan, bahwa kita tidak pernah maju meski hanya selangkah. 

Dengan perubahan pada metodologi dan penambahan content pembelajaran yang saya sebutkan diatas, saya percaya bahwa alumni Diklatpim I akan menghasilkan (calon) pemimpin yang memaknai kepemimpinan bukan hanya sebuah seni dalam alam teori atau di ruang kantor, namun merupakan aksi di lapangan (action leadership). 

Dari kamar B-315
Kampus Pejompongan, 21 Maret 2013