Senin, 01 November 2010

Menyimak Kembali Checks and Balances dalam Sistem Ketatanegaraan di Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945


Pengantar

Tumbangnya Orde Baru yang disusul dengan amandemen UUD 1945, menandai perubahan yang radikal dari sistem ketatanegaraan yang sentralistik otoritarian menjadi rezim yang demokratis dan egalitarian. Perubahan bandul pada tataran supra-struktur politik ini pada gilirannya mendorong terjadinya perubahan pada tataran infra-struktur politik, yakni perubahan pola manajemen pemerintahan daerah dari pendekatan top-down yang berorientasi efisiensi, menjadi pendekatan bottom-up yang lebih mementingkan terjadinya proses pemberdayaan segenap potensi bangsa. Dengan demikian, tidaklah berlebihan untuk menyatakan bahwa lahirnya orde reformasi merupakan koreksi total terhadap praktek penyimpangan konstitusional pada era sebelumnya.

Salah satu kelemahan fundamental dalam sistem politik Orde Baru adalah kecenderungan adanya dominasi dan konsentrasi kekuasaan pada salah satu cabang penyelenggara pemerintahan tertentu, yakni pada lembaga eksekutif. Bahkan dalam Penjelasan UUD 1945 secara eksplisit dinyatakan bahwa “Dalam menjalankan pemerintahan negara, kekuasaan dan tanggung jawab adalah di tangan presiden (concentration of power and responsibility upon the President)”. Ketentuan inilah yang sering dipahami sebagai prinsip executive heavy dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia, yang sedikit banyak bertentangan dengan paham pembagian dan/atau pemisahan kekuasaan (distribution of powers, separation of powers).

Ketentuan dalam Konstitusi yang “berpihak” pada satu cabang kekuasaan tertentu seperti diatas, dapat kita kategorikan sebagai kelemahan dalam dimensi instrumentasi. Pada tataran Undang-Undang, kelemahan instrumentasi juga cukup menonjol, seperti yang tertuang dalam Bab III Pasal 19 UU No. 19 Tahun 1964 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Pasal ini menegaskan: “Demi kepentingan revolusi, kehormatan negara dan bangsa atau kepentingan masyarakat mendesak, Presiden dapat turun atau campur tangan dalam soal-soal pengadilan”. Nampaklah bahwa Undang-Undang ini memperkuat paham executive heavy yang dianut dalam UUD 1945.

Selain kelemahan instrumentasi, praktek ketatanegaraan kita pada masa Orde Baru juga mengalami kelemahan dalam dimensi implementasi. Kelemahan implementasi ini misalnya berupa terus membesarnya kekuasaan Presiden dan cenderung kurang diimbangi dengan sistem kontrol dari kekuasaan lainnya. Akibatnya, Presiden dengan mudah dapat menerbitkan produk hukum berupa Keputusan (beschikking) baik yang bersifat menetapkan (declaratory) maupun mengatur (regulatory). Hasil kajian MTI (Masyarakat Transparansi Indonesia) mungkin sangat gamblang mendeskripsikan adanya kelemahan mendasar dalam tata hubungan antar poros kekuasaan negara.[1]

Mengingat cukup maraknya penyimpangan atau kelemahan konstitusional pada era Orde Baru, maka wajarlah jika gerakan reformasi 1998 mengusung agenda strategis berupa amandemen UUD 1945, dimana salah satu poin terpentingnya yakni mewujudkan pola hubungan yang lebih egaliter dan produktif diantara poros-poros kekuasaan Negara, termasuk pembentukan lembaga-lembaga barui negara seperti DPD (Dewan Perwakilan Daerah) dan MK (Mahkamah Konstitusi). Kesemuanya tadi tidak lain adalah upaya membangun sistem check and balances yang lebih baik berdasar prinsip saling percaya (trust) dan saling menghormati (reciprocal honor).


Esensi Checks and Balances

Checks and Balances pertama kali dimunculkan oleh Montesquieu pada Abad Pertengahan atau yang sering dikenal dengan abad pencerahan (enlightenment atau aufklarung). Gagasan ini lahir sebagai hasil dari ajaran klasik tentang pemisahan kekuasaan (separation of power), dan pertama kali diadopsi kedalam konstitusi negara oleh Amerika Serikat (US Constitution 1789).

Berdasarkan ide ini, suatu negara dikatakan memiliki sistem checks n balances yang efektif jika tidak ada satupun cabang pemerintahan yang memiliki kekuasaan dominan, serta dapat dipengaruhi oleh cabang lainnya (A government is said to have an effective system of checks and balances if no one branch of government holds total power, and can be overridden by another).

Secara etimologis, checks and balances memiliki dua suku kata, yakni checks dan balances. Komponen pertama mengandung arti adanya hak untuk ikut memeriksa / menilai / mengawasi / mencari informasi dan konfirmasi terhadap suatu keadaan (the right to check); sedangkan komponen kedua merujuk pada alat untuk mencari keseimbangan (the means to actively balance out imbalances). Instrumen ini dinilai sangat penting mengingat secara alamiah manusia yang mempunyai kekuasaaan cenderung menyalahgunakan, dan manusia yang mempunyai kekuasaan tak terbatas pasti akan menyalahgunakannya (power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely).

Secara tersirat dapat ditangkap bahwa esensi pokok dari prinsip checks and balances ini adalah menjamin adanya kebebasan dari masing-masing cabang kekuasaan negara sekaligus menghindari terjadinya interaksi atau campur tangan dari kekuasaan yang satu terhadap kekuasaan lainnya. Dengan kata lain, inti gagasan demokrasi konstitusional adalah menciptakan keseimbangan dalam interaksi sosial politik. Namun, upaya menciptakan keseimbangan tersebut tidak dilakukan dengan melemahkan fungsi, mengurangi independensi, atau atau mengkooptasi kewenangan lembaga lain yang justru akan mengganggu kinerja lembaga yang bersangkutan.

Dengan demikian, checks and balances sesungguhnya bukanlah tujuan dari penyelenggaraan entitas politik bernama negara (nation-state). Konsep ini lebih merupakan elemen pemerintahan demokratis untuk mewujudkan cita-cita besar membangun sosok pemerintahan yang demokratis (democratic and egalitarian), bersih dan kuat (good and strong), serta mendorong perwujudan good society, melalui penyempurnaan tata hubungan kerja yang sejajar dan harmonis diantara pilar-pilar kekuasaan dalam negara.

Dalam rangka mewujudkan tujuan besar tersebut, maka penerapan checks and balances dalam penyelenggaraan pemerintahan harus memperhatikan prinsip non-dichotomy (tidak berpikir dualistis atau memisahkan secara tegas fungsi pilar-pilar kekuasaan); mendorong terbentuknya team-building (semangat korps atau jiwa korsa); serta systemic and comprehensive (mencakup semua aspek dan seluruh pihak / stakeholders).

Hakikat dari prinsip checks and balances diatas adalah bahwa semestinya tidak ada lagi sekat-sekat psikologis, kultural maupun struktural yang memisahkan kekuasaan Legislatif – Eksekutif – Yudikatif, atau cabang kekuasaan lainnya. Diantara poros-poros kekuasaan tadi, terdapat saling keterhubungan (interconnectedness), saling ketergantungan (interdependence), dan irisan (intercourse) yang erat satu sama lain.

Walaupun implementasi checks and balances menjanjikan manfaat yang luar biasa besar, namun hal tersebut tidak muncul dengan tiba-tiba. Dalam hal ini, ada beberapa prasayarat atau prakondisi yang memungkinkan berkembangnya checks and balances tadi secara optimal. Adapun prasyarat yang dibutuhkan paling tidak meliputi empat aspek sebagai berikut:

·         Proses demokratisasi dari tingkat pusat hingga ke daerah tidak terputus. Artinya, kesadaran untuk secara terus menerus melakukan perbaikan baik dari kalangan politisi, birokrat maupun masyarakat luas, perlu dibina secara berkelanjutan pada berbagai jenjangnya.
·         Adanya pemahaman konsep politik kenegaraan dan kepemerintahan yang bulat dari segenap pelaku atau penyelenggara negara. Pada saat yang sama, dibutuhkan pula adanya kedewasaan politik para anggota DPRD serta kalangan birokrasi dan penegak hukum, bahkan juga kalangan masyarakat pada umumnya.
·         Adanya pemahaman fungsi dan peranan eksekutif, legislatif, dan yudikatif yang seimbang (asymmetric information) serta tata hubungan kerja dinamis dan produktif diantara poros-poros kekuasaan tersebut. Adanya kecurigaan atau kekurangpercayaan antar aparat pemegang kekuasaan menunjukkan adanya ketimpangan dalam pola komunikasi antar pemegang kekuasaan tersebut.
·         Adanya kesadaran penuh untuk memangku hak dan kewajiban masing-masing secara terbuka dan bertanggungjawab untuk mewujudkan cita-cita tertinggi pembentukan negara, yakni mewujudkan kesejahteraan dan keadilan bagi masyarakat.


Perubahan Paradigma Konstitusionalisme di Indonesia Pasca Amandemen

Diatas telah disinggung bahwa sistem checks and balances selama periode Orde Baru berjalan kurang seimbang, sehingga interaksi antar poros kekuasaan negara menjadi tidak lancar. Itulah sebabnya, amandemen UUD 1945 dilakukan untuk menciptakan tata hubungan yang lebih harmonis dan fair. Dengan kata lain, paradigma konstitusionalisme di Indonesia sudah bergeser seiring dengan dilakukannya amandemen UUD 1945 sejak tahun 1999 (amandemen pertama) hingga tahun 2002 (amandemen keempat).

Beberapa paradigma konstitusionalisme baru yang diusung oleh UUD 1945 pasca amandemen adalah sebagai berikut:

1.      UUD 1945 lebih memperkuat paradigma yang sudah ada, dengan diberi sifat normatif. Misalnya, pengaturan tentang pelaksanaan asas kedaulatan rakyat tidak lagi menyangkut lembaga pelaksananya, namun fondasi normatifnya, yakni harus dilaksanakan menurut UUD (Pasal 1 ayat 2). Demikian juga soal asas negara hukum, dalam Batang Tubuh dinyatakan dengan tegas bahwa Negara Indonesia adalah Negara Hukum (Pasal 1 ayat 3).
2.      UUD 1945 juga memberi jaminan tentang kelangsungan dasar negara, bentuk negara dan sistem pemerintahan. Dalam hubungan ini, Dasar Negara Pancasila tetap dipertahankan dan diperkuat dalam Pembukaan UUD 1945. Bentuk Negara Kesatuan dan Bentuk Pemerintahan Republik juga dimantapkan dalam Pasal 1 ayat (1). Selain itu, meskipun tidak secara eksplisit, namun corak dari Sistem Pemerintahan Presidensiil juga sangat dominan, seperti bisa disimak dari Pasal 4 ayat (1), Pasal 5, dan Pasal 7.
3.      UUD 1945 meniadakan ketentuan yang diskriminatif dan menegaskan pentingnya prinsip persamaan antar warga negara. Sebagai contoh, Pasal 6 ayat (1) yang mengatur tentang Calon Presiden dan Wakil Presiden, tidak harus berasal dari etnis pribumi (WNI asli), namun terbuka kemungkinan bagi WNI keturunan sepanjang memenuhi ketentuan Undang-Undang.
4.      UUD 1945 memberi pengakuan dan perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia yang semakin nyata dan jauh lebih luas. Rincian HAM yang diatur meliputi hak untuk hidup serta hak mempertahankan hidup dan kehidupannya (Pasal 28A); hak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah, selain hak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta hak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi (Pasal 28A). Disamping itu, UUD 1945 juga melindungi hak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, hak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, serta hak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat (Pasal 28C). Selanjutnya, Pasal 28D mengatur tentang hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum; hak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja; hak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan; serta hak atas status kewarganegaraan. Secara lebih lengkap, hak-hak asasi manusia diatur dalam pasal 28 hingga huruf J.
5.      UUD 1945 menegaskan kembali hubungan antar lembaga-lembaga negara dengan meniadakan disfungsionalisasi lembaga. Amandemen telah menghapus lembaga DPA (Dewan Pertimbangan Agung) yang dinilai tidak efektif disatu pihak, dan memunculkan lembaga-lembaga baru sesuai kebutuhan kontemporer, misalnya DPD (Dewan Perwakilan Daerah), dan MK (Mahkamah Konstitusi). Selain itu, diatur pula tentang perubahan tugas dan fungsi lembaga negara tertentu, seperti Majelis Permusyawaratan Rakyat (Pasal 3). Dalam hal ini, MPR tidak lagi memiliki kewenangan menetapkan GBHN atau berkedudukan sebagai mandan (yang memberikan mandat kepada) Presiden.
6.      UUD 1945 memperkokoh hubungan Pusat – Daerah melalui pemberian otonomi daerah yang lebih luas dalam kerangka NKRI (Pasal 18). Pada saat yang sama, UUD 1945 juga memberikan legalitas bagi Kepala Daerah untuk dipilih secara demokratis, yang melahirkan adanya Pemilu langsung bagi Gubernur / Bupati / Walikota dan wakilnya.
7.      UUD 1945 juga menjamin adanya keragaman daerah, serta mengakui dan menghormati satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa (Pasal 18). UUD 1945 juga memberi penguatan terhadap Kesatuan Masyarakat Hukum Adat dan Hak-hak Tradisional, sepanjang masih hidup dan tidak bertentangan dengan prinsip NKRI (Pasal 18B ayat 2).
8.      UUD 1945 lebih menegaskan kembali paham konstitusionalisme melalui pengaturan prinsip checks and balances. Hal ini bisa di simak dari pasal-pasal 7, 13, 14, 20, 22, 23, dan 24 (lihat uraian dibawah).


Checks and Balances di Indonesia dan Amerika Serikat

Sebagaimana telah disinggung diatas, konsep checks and balances memungkinkan suatu cabang kekuasaan negara tertentu untuk menjalankan fungsi (meskipun minimal) pada cabang kekuasaan negara lainnya. Di Indonesia, konsepsi dan implementasi checks and balances jauh lebih mudah ditemukan pada UUD 1945 hasil amandemen. Beberapa pasal yang menggambarkan adanya prinsip checks and balances dalam UUD 1945 (pasca amandemen) adalah sebagai berikut:

a.      Pasal 7A: Presiden/Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh MPR atas usul DPR.
b.      Pasal 7B: Mahkamah Konstitusi memeriksa, mengadili dan memutus pendapat DPR dalam 90 hari. Jika dikabulkan, DPR menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian kepada MPR. Selanjutnya, MPR menyelenggarakan sidang dalam 30 hari setelah menerima usul DPR.
c.       Pasal 7C: Presiden tidak dapat membekukan / membubarkan DPR.
d.      Dengan persetujuan DPR, Presiden dapat menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian internasional (Pasal 11), serta dapat menetapkan Perpu (Pasal 22).
e.      Pasal 23E: Hasil pemeriksaan keuangan negara oleh BPK diserahkan kepada DPR, DPD, dan DPRD.
f.        Pasal 24A: Calon hakim agung diusulkan Komisi Yudisial kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan.
g.       Dengan pertimbangan DPR, Presiden dapat mengangkat Duta dan Konsul (Pasal 13), serta dapat memberikan Amnesti dan Abolisi (Pasal 14).
h.      Dengan pertimbangan MA, Presiden dapat mengangkat Grasi dan Rehabilitasi (Pasal 14).
i.         Pasal 20: Setiap RUU dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama.
j.         Pasal 20A: DPR memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran dan fungsi pengawasan. Hak DPR lainnya: hak interpelasi, hak angket, hak menyatakan pendapat, hak mengajukan pertanyaan, hal menyampaikan usul dan pendapat, serta hak imunitas.
k.      Pasal 22D: DPD ikut membahas dan dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan UU mengenai otonomi daerah, pembentukan / pemekaran / penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam, pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan, dan agama.

Sebagaimana yang terjadi di Indonesia, prinsip check and balances juga terjadi di berbagai negara, termasuk AS (lihat Tabel 1). Sebagai contoh, kekuasaan eksekutif memiliki wewenang untuk turut mengontrol, atau mempengaruhi kekuasaan legislatif dalam hal-hal antara lain: 1) wewenang untuk mem-veto undang-undang; 2) wewenang untuk menolak pelaksanaan undang-undang tertentu; 3) wewenang untuk menolak penggunaan anggaran untuk kegiatan tertentu; 4) wewenang sepihak untuk membiayai perang; tanggungjawab untuk membuat pernyataan tertentu, misalnya keadaan darurat; dan sebagainya. Sebaliknya, kekuasaan eksekutif juga berwenang membuat keputusan di ranah eksekutif, misalnya: 1) wewenang untuk menentukan peraturan yang berlaku atau akan diberlakukan; 2) wewenang membuat aturan untuk membatasi upaya penyidikan, penangkapan, dan penahanan; 3) wewenang untuk meratifikasi traktat atau perjanjian internasional; 4) wewenang menetapkan anggaran bagi eksekutif; 5) wewenang untuk memakzulkan atau mengganti pimpinan eksekutif (dengan dukungan dua per tiga anggota), dan lain-lain.

Sementara itu, kekuasaan eksekutif juga dapat memainkan peran sebagai penyeimbang terhadap kekuasaan yudikatif, misalnya wewenang untuk menunjuk hakim agung dan memberi pengampunan (grasi/amnesti/abolisi). Sedangkan wewenang yudikatif terhadap kekuasaan eksekutif antara lain mencakup: 1) wewenang menyatakan tindakan tertentu dari pemerintah sebagai tindakan yang cacat atau salah; 2) wewenang untuk menentukan aturan mana yang tepat dan harus dipergunakan sebagai rujukan atau dasar hukum.

”Persinggungan” wewenang antara kekuasaan legislatif dan kekuasaan yudikatif pun juga diatur dengan tegas. Dalam hal ini, wewenang kekuasaan yudikatif di ranah legislatif misalnya wewenang menyatakan undang-undang tidak sah dan menyimpang dari konstitusi, atau wewenang untuk menentukan aturan mana yang tepat dan harus dipergunakan sebagai rujukan atau dasar hukum. Sedangkan wewenang kekuasaan eksekutif terhadap fungsi yudikatif antara lain: 1) wewenang untuk melakukan amandemen konstitusi (dengan dukungan 2/3 suara di parlemen dan dukungan 3/4 negara bagian); 2) wewenang untuk menentukan struktur dan besaran pengadilan (termasuk Mahkamah Agung); 3) wewenang untuk mengalokasikan anggaran bagi kepentingan peradilan; 4) wewenang untuk memilih kandidat hakim; 5) wewenang memakzulkan dan mengganti hakim; serta 6) wewenang untuk menentukan batas-batas kompetensi teritorial peradilan.


Penutup


Penyempurnaan tata hubungan kerja antara eksekutif dengan legislatif dan internalisasi prinsp checks and balances, sesungguhnya hanyalah usaha kecil untuk mewujudkan cita-cita besar membangun sosok pemerintahan daerah yang demokratis (egalitarian local governance), bersih dan kuat (good and strong local governance), serta mendorong perwujudan good society. Dengan kata lain, sistem checks and balances bukanlah tujuan dari proses penyelenggaraan negara, melainkan sebuah instrumen atau mekanisme agar negara dan lembaga-lembaga negara dapat menjalankan tugasnya dengan optimal dalam melayani masyarakat.


Daftar Referensi

Mahkamah Konstitusi RI dan Konrad Adenauer Stiftung, 2005, Mekanisme Impeachment dan Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Hasil Penelitian, Jakarta.
Nasution, Adnan Buyung, 1995, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia: Studi Sosio-Legal atas Konstituante 1956-1959, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti
Nasution, Mirza, 2004, Negara dan Konstitusi, makalah, Medan: FH-USU
MTI (Masyarakat Transparansi Indonesia), tanpa tahun, Keputusan Presiden yang Menyimpang Periode 1993-1998.
Strong, CF., 2008, Konstitusi-Konstitusi Politik Modern: Studi Perbandingan Tentang Sejarah dan Bentuk-Bentuk Konstitusi Dunia, Terjem. SPA Teamwork, Cet. II, Jakarta: Nusa Media.
Subekti, Valina Singka, 2008, Menyusun Konstitusi Transisi: Pergulatan Kepentingan dan Pemikiran dalam Proses Perubahan UUD 1945, Jakarta: Rajawali Press.
Thaib, Dahlan, Jazim Hamidi, dan Ni’matul Huda, 1999, Teori dan Hukum Konstitusi, Jakarta: Rajawali.
Utomo, Tri Widodo W., Tinjauan Kritis Tentang Pemerintah dan Kewenangan Pemerintah Menurut Hukum Administrasi Negara, dalam Jurnal Unisia, No. 55/XXVIII/I/2005, hal. 28-43, Yogyakarta: UII Press.
Wardani, Kunthi Dyah, 2007, Impeachment Dalam Ketatanegaraan Indonesia, Yogyakarta, UII Press.
Jurnal KONSTITUSI, 2006, Vol. 3, No. 3, September, Jakarta: MK-RI.
Berbagai UUD/Konstitusi dan Peraturan Perundang-Undangan terkait.


*)  Tulisan ini disusun untuk didedikasikan kepada Jurnal Ilmu Hukum, Universitas Widyagama Mahakam, Samarinda.


[1]     Dalam salah satu hasil kajiannya, MTI menegaskan bahwa sekurang-kurangnya 79 Keputusan Presiden yang dikeluarkan antara tahun 1993 sampai dengan 1998, telah menyimpang baik secara legalitas, materi, maupun dampaknya bagi kehidupan masyarakat. Lebih lanjut, Kepres-Kepres tersebut telah dijadikan alat legitimasi dalam penyalahgunaan kekuasaan, sehingga tindak penyelewengan terlindungi secara legal, dan berlangsung terus menerus dalam kurun waktu yang cukup lama. Apabila dicermati dalam pembuatan Kepres tersebut terdapat indikasi penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) atau penggunaan kekuasaan yang berlebihan (excessive use of power).

Anakronisme dalam Kebijakan Publik


SEMENJAK lahir hingga matinya, seorang warga negara selalu dan terus berurusan dengan negara melalui seperangkat tata nilai dan pedoman perilaku yang disebut kebijakan publik (public policy). Pengertian dan ruang lingkup kebijakan publik sendiri sangat luas, meliputi segala sesuatu yang dilakukan maupun yang tidak dilakukan oleh pemerintah (whatever the governments choose to do or not to do). Sedangkan output dari kebijakan adalah serangkaian tindakan yang dibutuhkan untuk memecahkan berbagai masalah yang dihadapi sekaligus mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan. Singkatnya, kebijakan publik adalah sebuah instrumen yang dimiliki oleh negara untuk menjalankan fungsinya memberikan pelayanan dan meningkatkan kesejahteraan warga negara.

Oleh karena kebijakan merupakan instrumen untuk melayani dan membangun kesejahteraan publik, maka harus dijamin bahwa kebijakan tadi benar-benar dibuat melalui proses dan analisis yang cermat serta dengan menetapkan target atau tujuan-tujuan yang rasional dan sesuai kebutuhan masyarakat. Kegagalan dalam mengidentifikasikan tujuan kebijakan serta proses formulasi yang tepat, akan berdampak pada kegagalan implementasi kebijakan itu sendiri.

Salah satu bentuk kegagalan kebijakan (policy failure) adalah terjadinya anakronisme kebijakan. Anakronisme sendiri adalah sebuah gaya bahasa pertentangan, atau menggambarkan sebuah paradoks dan anomali. Anakronisme juga merujuk pada istilah yang sering digunakan untuk menjelaskan adanya kesalahan logika dalam memahami suatu fenomena atau peristiwa, atau berpikir tidak sesuai dengan zaman ketika sebuah fenomena atau peristiwa terjadi. Dengan kata lain, anakronisme, seperti diperkenalkan oleh Mohammed Arkoun dan Mohammad Abed Al Jabiri, adalah pembacaan atas sebuah pemikiran dengan tafsiran-tafsiran yang berasal dari luar konteks historisitasnya (Ahmad Baso, 1999). 

Salah satu wujud anakronisme dalam kebijakan publik adalah fakta adanya kesenjangan ekonomi regional dan keterbelakangan daerah yang dijawab dengan pemekaran wilayah. Kebijakan pemekaran wilayah dipandang sebagai obat mujarab terhadap disparitas pembangunan, dan hingga saat ini terbukti salah. Pemekaran wilayah secara esensial bukanlah issu ekonomi pembangunan atau ekonomi spasial, melainkan issu administrasi pemerintahan. Artinya, tujuan pemekaran akan lebih cocok untuk mengatasi problem rentang kendali (span of control) pemerintahan dan kecepatan pelayanan publik disbanding menyelesaikan soal kesenjangan tadi. Seorang petinggi Kementerian Dalam Negeri, Dr. Made Suwandi, bahkan pernah mengatakan bahwa menjawab kesenjangan dengan pemekaran wilayah sama artinya dengan sakit kepala diobati dengan obat sakit perut.

Setelah satu dekade pemekaran berjalan, terbukti bahwa 80 persen daerah otonom baru (DOB) divonis gagal. Sayangnya, indikasi kegagalan DOB tidak dijawab dengan upaya pengembangan kapasitas atau mengatasi aspek-aspek yang dianggap gagal, justru dijawab dengan moratorium (penghentian sementara). Akibatnya, terjadi lagi anakronisme kebijakan. Moratorium pemekaran, selain tidak ada landasar yuridis yang eksplisit, juga berpotensi menutup hak-hak daerah yang benar-benar sudah cukup mampu secara ekonomis maupun administratif, untuk dikembangkan menjadi DOB. Oleh karena itu, kebijakan yang lebih tepat untuk menyikapi kegagalan DOB bukanlah moratorium, namun seleksi yang lebih ketat terhadap nafsu pemekaran yang melanda para politisi lokal. Menghentikan – meskipun sementara – hak yang tertuang dalam konstitusi, adalah sebuah langkah yang inkonstitusional.

Kasus otonomi khusus yang dimiliki Aceh dan Papua juga bisa diamati sebagai sumber anakronisme kebijakan. Penerbitan UU No. 21/1999 untuk Papua serta UU No. 18/1999 jo. UU No. 11/2006 untuk Aceh adalah jawaban pemerintah pusat untuk mengatasi potensi disintegrasi dan problem ekstraksi sumber daya alam yang berlebihan. Kelemahan dan kekurangan dalam implementasi otsus bagi kedua daerah tersebut, akan menjadi anakronisme jika dijawab dengan meninjau ulang kebijakan otonomi khusus. Dalam hal ini, harus dipahami bahwa otsus adalah refleksi dari komitmen pusat. Jika ternyata hasilnya belum sesuai harapan, maka bukan otsusnya yang perlu digugat, tetapi komitmennya yang perlu diperkuat. Bahkan jika memungkinkan, penguatan komitmen ini dapat diperluas untuk daerah-daerah lain dengan mendesain otsus-otsus baru yang benar-benar membumi dan tidak seragam (asymmetrical decentralization).

Dalam tulisannya berjudul “Pilkada yang Tersandera” (Kompas, 16/7/10), peneliti LIPI, Syarif Hidayat, secara tidak langsung juga mengamati terjadinya anakronisme kebijakan dalam konteks pemilihan umum kepala daerah. Menurutnya, pilkada sangat penting dalam mewujudkan demokratisasi di tingkat lokal dan untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. Namun, saat ini pilkada sedang tersandera oleh anasir pragmatisme politik elit, sehinga kurang mampu mencapai tujuan yang dikehendaki. Langkah pembenahan kedepan bukanlah “menganiaya” atau bahkan “membunuh” pilkada, melainkan membebaskan pilkada dari “sandera” yang mengurungnya.

Berbagai kasus diatas mengilustrasikan bahwa disadari atau tidak, ternyata banyak kebijakan publik di sekitar kita yang tidak sesuai dengan semangat awal atau filosofi dasar pada saat kebijakan tersebut dirumuskan. Pertanyaannya kemudian adalah, mengana anakronisme tadi dengan mudah menjangkiti kebijakan publik di Indonesia, dan apa faktor-faktor yang mempengaruhinya?

Salah satu jawaban yang paling mungkin adalah adanya pragmatisme dalam proses perumusan kebijakan, yakni kecenderungan mencari cara instant terhadap permasalahan yang timbul, tanpa dikaji efektivitas dari pilihan-pilihan kebijakan dan tanpa memperhitungkan tingkat probabilitas keberhasilan suatu kebijakan. Selain itu, anakronisme dalam kebijakan publik juga dipicu oleh kurang mentradisinya atau kurang dihargainya policy research sebagai bagian tak terpisahkan dari policy making. Akibatnya, kebijakan yang ada memiliki kemungkinan gagal (implementation failure) yang lebih besar, atau hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu secara tidak berimbang.

Kebijakan yang melenceng dari semangat awal serta menghasilkan keuntungan kepada pihak-pihak tertentu secara tidak seimbang ini sering dikenal dengan istilah kebijakan simbolis (symbolic policy). Christina Andrews dan Michiel de Vries dalam papernya berjudul Between symbolic and evidence-based policies: The Brazilian efforts to increase the quality of basic education (2010) memberi ilustrasi yang sangat gamblang tentang symbolic policy yang terjadi di Brazil.

Dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan dasarnya, pemerintah Brazil memberlakukan kebijakan semua guru harus memiliki kualifikasi minimal sarjana. Namun seiring dengan gelombang desentralisasi yang terjadi di negara tersebut, para guru yang telah mencapai jenjang pendidikan tinggi cenderung pindah ke daerah yang memberikan tunjangan atau insentif lebih besar kepada guru. Akibatnya, investasi pemerintah untuk menyekolahkan para guru membawa manfaat secara tidak seimbang bagi daerah maupun bagi masyarakat umum pengguna jasa layanan pendidikan dasar. De Vries juga memberi perbandingan dengan Mongolia yang memiliki kemampuan anggaran jauh lebih kecil dibanding Brazil, dan dengan kondisi geografis yang sangat luas dan berat, namun ternyata kinerjanya jauh lebih baik dalam hal tingkat melek huruf (literacy), tingkat partisipasi sekolah (years of schooling), serta indikator-indikator pendidikan dasar lainnya.

Ironisnya, Indonesia-pun mengalami situasi seperti yang terjadi di Brazil. Selain kasus pendidikan dasar, kasus pemberian berbagai macam subsidi juga mencerminkan merebaknya anakronisme atau symbolic policy tadi. Subsidi yang semestinya lebih banyak dinikmati oleh penduduk miskin (the poors), kenyataannya lebih banyak dinikmati oleh kelompok kaya (the haves). Kelompok kaya yang memiliki aset seperti pabrik, mobil, atau mesin-mesin, jelas memanfaatkan subsidi jauh lebih besar dibanding kelompok yang tidak memilikinya.

Mencermati fenomena diatas, maka jelas diperlukan adanya sebuah perombakan yang cukup mendasar dalam sistem formulasi kebijakan publik di masa-masa mendatang. Anakronisme maupun symbolic policy harus dihindari semampu mungkin. Maka, adanya kebijakan yang didasarkan pada hasil kajian (research-based policy), atau kebijakan yang dirumuskan dengan memperhatikan bukti-bukti nyata (evidence-based policy), sangat perlu untuk dibudayakan. Dengan research-based policy, sebuah kebijakan hanya layak deimplementasikan apabila telah mengalami telaah akademis melalui kajian yang komprehensif dan teruji. Dengan evidence-based policy, sebuah kebijakan akan dibuat dan dilaksanakan apabila fakta-fakta obyektif memang menuntut untuk itu. Dengan kata lain, kedua hal ini diharapkan dapat menghindari jebakan kebijakan berupa lahirnya anakronisme dalam kebijakan publik ataupun symbolic policy. © Tri Widodo WU

Otonomi dan Altruisme Kepala Daerah


MENURUT data Kementerian Dalam Negeri, dari seluruh penyelenggaraan Pilkada periode 2005-2009, 210 diantaranya masuk kategori “bermasalah”, dengan rincian 14 pemilihan gubernur, 163 pemilihan bupati, dan 33 pemilihan walikota (Koran Sindo, 9/4/2010). Jenis-jenis masalah yang ditemui sangat beragam, mulai dari data pemilih yang tidak akurat, persyaratan calon yang tidak lengkap, kesalahan penghitungan, kerusuhan massa, hingga kasus-kasus politik uang (money politics) yang berakhir di pengadilan. Fakta seperti ini perlu dicermati dan dijadikan pelajaran berharga agar tidak terulang lagi, mengingat pada tahun 2010 ini saja akan dilaksanakan 244 pilkada, dari total 532 pilkada hingga 2014.

Meskipun masih banyak Pilkada bermasalah, namun harus diakui bahwa secara umum dampak yang dihasilkan dari Pilkada secara “demokratis” ini cukup menggembirakan, misalnya makin menguatnya desentralisasi fiskal yang berdampak pada meningkatnya uang beredar di daerah dan munculnya kaum entrepreneur baru. Jika sebelum era otonomi 70% uang beredar di Jakarta, pada tahun 2007 jumlah tersebut turun menjadi 47% (Harian Kabar Indonesia, 6/8/2008). Selain itu, semangat otonomi juga mampu mendongkrak inovasi para kepala daerah terpilih, yang antara lain diindikasikan oleh keberhasilan meraih penghargaan dalam berbagai sektor pembangunan.

Namun, otonomi daerah juga menyisakan kisah-kisah unik yang kurang enak didengar. Kebijakan yang merupakan “anak kandung” reformasi ini tidak hanya melahirkan raja-raja kecil di daerah seperti dikhawatirkan banyak pihak selama ini, namun juga sosok “manusia setengah dewa”. Sosok seperti ini misalnya tercermin dari cerita seorang teman dari salah satu daerah di Jawa Tengah yang terkenal sebagai penghasil susu sapi yang menuturkan bahwa bupatinya hidup teramat sederhana sehingga sampai saat inipun belum memiliki rumah pribadi dan terpaksa tinggal bersama mertuanya. Senada dengan cerita diatas, teman lain dari salah satu daerah di Jawa Timur yang menjadi basis ormas Islam terbesar di Indonesia, bercerita bahwa bupatinya tidak pernah mau menggunakan dana APBD meski untuk membiayai perjalanan dinas. Dia juga dengan bangga meyakinkan bahwa bupatinya sangat sedikit waktu untuk istirahat karena masih menerima tamu hingga dini hari, dan bahkan menjelang fajar-pun sudah harus menerima tamu yang sebagian besar masyarakat miskin.

Fenomena unik tadi tidak terkecuali terjadi juga di Kalimantan. Dalam sebuah kesempatan memfasilitasi penyusunan standar pelayanan di sebuah SKPD, tiba-tiba muncul celetukan yang cukup menggelitik dari seorang peserta bahwa di daerahnya tidak pernah ada keluhan dari masyarakat. Pada saat itu saya kemukakan adanya dua kemungkinan dari fakta tersebut, yakni kinerja pelayanan daerah memang sudah sangat baik, atau masyarakat belum memiliki keberanian untuk mengadu dan menyampaikan keluhan. Ternyata, argumen saya dimentahkan dengan jawaban: ”di daerah kami, keluhan disampaikan langsung oleh masyarakat kepada bupati”. Di daerah yang sama juga pernah muncul keluhan dari aparat Satpol PP yang melakukan penertiban PKL yang melanggar Perda, namun si pedagang kemudian mengadu langsung kepada bupati dan sang bupati memerintahkan Satpol PP untuk mengembalikan gerobak dagangan si PKL. Akibatnya, petugas Satpol PP merasa frustasi karena hasil kerjanya menjadi sia-sia dan dimentahkan oleh diskresi bupati yang semestinya justru menjadi pihak paling berkepentingan terhadap penegakan aturan di daerah. Bupati daerah ini memang dikenal sangat dekat dengan rakyat dan menerapkan pendekatan secara personal atau non-kedinasan terhadap masyarakat.

Berbagai fenomena diatas sesungguhnya menjelaskan tentang altruisme, atau sebuah sikap pengorbanan diri demi kebaikan dan kesejahteraan orang lain (selfless concern for the welfare of others, Wikipedia). Terminologi altruisme sendiri secara khusus bersumber dari ilmu ethology (studi tentang perilaku binatang), dan secara umum dari ilmu evolusi sosial. Istilah ini merujuk pada perilaku seekor binatang yang memberikan kekuatan kepada binatang lain namun mengurangi kekuatan dirinya sendiri (self-sacrifice for the benefit of others).

Secara teoretik, pemberian pelayanan dan pemenuhan kebutuhan barang/jasa bagi masyarakat sendiri dapat ditempuh melalui empat mekanisme, yakni: 1) altruisme (belas kasihan); 2) anarkhi (ketiadaan sistem/aturan); 3) mekanisme pasar (hukum permintaan dan penawaran); serta 4) mekanisme pemerintah/negara (kebijakan publik). Altruisme adalah pola alokasi sumber ekonomi atas dasar hubungan pemberian (gift relationship, charity). Sementara itu, mekanisme anarkhi akan muncul manakala ada komoditas yang terbatas namun dibutuhkan dan diperebutkan oleh orang banyak. Pembagian sembako di musim lebaran yang sering menelan korban karena berdesak-desakan, adalah contoh nyata dari bekerjanya mekanisme anarkhi ini.

Dalam konteks kebijakan publik maupun penyelenggaraan pemerintahan, dua mekanisme pertama sangat tidak dianjurkan. Mekanisme anarkhi, dengan alasan apapun jelas harus dihindarkan. Sedangkan untuk mekanisme altruisme, meskipun cukup baik namun sifatnya sangat rapuh karena efektif tidaknya sangat tergantung kepada kerelaan hati dan keikhlasan seseorang untuk berbuat sesuatu. Dengan kata lain, mekanisme altruistik bekerja dalam ranah privat (perseorangan) dan hampir tidak mungkin dilembagakan secara formal (institutionalized) sebagai bagian dari penyelenggaraan pelayanan publik. Selain itu, kebijakan yang bertumpu pada belas kasihan ini juga memiliki beberapa kelemahan mendasar.

Pertama, kurang mendidik dan meninabobokan masyarakat. Sistem pemerintahan dipersonifikasikan dalam figur pimpinan daerah: jika baik individu si pemimpin, maka baik pula pemerintahan daerah secara menyeluruh, dan sebaliknya. Masyarakat menjadi kurang aware tentang sistem, mekanisme, dan/atau tata kelola pemerintahan. Akibatnya, bukan sistem yang berjalan, namun kehendak individu seorang pemimpin. Dan ini dapat membuka peluang terjadinya ketidaktaatan terhadap asas dan perangkat aturan yang ada (legal disobedience). Kedua, kondisi seperti ini juga berpotensi meninggalkan ”bom waktu” untuk pejabat yang akan datang. Artinya, jika terjadi pergantian pimpinan di daerah yang lebih mengedepankan pendekatan sistem dan prinsip taat asas, maka sangat mungkin terjadi gejolak di masyarakat karena beranggapan pemimpin baru tidak sebaik yang lama.

Pertanyaan yang menarik untuk dikemukakan adalah: apakah memang pejabat publik atau birokrasi harus bersifat altruistik? Benarkah birokrasi dapat memenuhi kepentingan-kepentingan individual masyarakat, sekaligus menghubungkan kepentingan individual tersebut dengan kepentingan umum? Untuk mengurai permasalahan atau menjawab pertanyaan ini, analisis Abdul Syani (2008) menarik untuk disimak. Merujuk pada teori rasionalitas birokrasi dari Weber, Syani mengemukakan bahwa birokrasi mengemban tugas dan fungsi besar sebagai medium untuk mencapai harmonisasi hubungan antara rakyat. Dalam perannya tersebut, birokrasi harus mensucikan dan memurnikan diri untuk tak terjebak pada kepentingan subyektif. Dengan kata lain, birokrasi diimajinasikan sebagai sebuah sistem yang apolitik dan bebas nilai.

Dari cara berpikir tersebut, maka pelayanan seorang Kepala Daerah (dalam kedudukan dan jabatannya) kepada anggota masyarakat secara individual, kurang dapat dibenarkan. Sebab, duduknya seseorang dalam jabatan publik, dan dimilikinya kewenangan menerbitkan kebijakan baginya, semata-mata dimaksudkan untuk melayani publik atau masyarakat secara kolektif. Hal ini bukan berarti bahwa masyarakat secara individual tidak dapat dilayani oleh birokrasi, namun pelayanan secara individual tersebut haruslah ditempatkan dalam kerangka sistem birokrasi. Sekali lagi, kurang masuk akal dalam kerangka sistem penyelenggaraan pemerintahan daerah terjadi interaksi secara individual antara seorang warga dengan seorang pejabat. Pada saat seorang pejabat melakukan interaksi individual, maka wajib baginya melepaskan atribut-atribut jabatan atau kedinasan yang disandangnya. Namun, dalam atribut jabatannya, ia harus melayani masyarakat secara sama dan bersama-sama (inclusive), tidak berpihak, tidak diskriminatif, dan oleh karenanya tidak bersifat altruistik.

Pandangan bahwa birokrasi pemerintahan harus merepresentasikan kepentingan secara umum antara lain dikemukakan oleh Hegel, yang kemudian terkenal dengan teori birokrasi Hegelian. Menurut Hegel, dalam suatu masayarakat negara terdapat dua kepentingan, yakni kepentingan partikular dan kepentingan general. Kepentingan partikular (particular interests) adalah kepentingan kelompok-kelompok tertentu dalam suatu masyarakat (interest groups), sedang kepentingan general adalah kepentingan yang mewakili semua kelompok-kelompok partikular tersebut. Kelompok general ini bisa berwujud pemerintah atau negara yang bisa mengatasi semua kepentingan partikular.

Persoalannya menjadi rumit ketika dihadapkan pada pertanyaan apakah memang birokrasi mencerminkan kepentingan partikular? Marx dengan tegas menolak paham Hegel, dan menyatakan bahwa kepentingan partikular dan kepentingan umum, hingga kapan pun tak mungkin dapat dipertemukan. Problema besar dalam perspektif Marxis adalah bahwa birokrasi/negara tidak akan pernah bisa merepresentasikan kepentingan umum.

Analisis Marx barangkali keliru mengingat eksisnya kepentingan kolektif seperti rasa aman dan hidup secara damai, hasrat atas pelayanan publik yang fair dan adil, atau cita-cita adanya masyarakat yang maju dan sejahtera. Namun dalam realitanya, sejarah sering memperlihatkan kepentingan partikular yang menghegemoni kepentingan partikular lain dalam kehidupan masyarakat. Akibatnya, birokrasi cenderung menjadi tidak steril dan berpihak kepada kekuatan tertentu atau pada golongan yang dominan (Miftah Thoha, 1999).

Kembali pada soal altruisme Kepala Daerah, adanya sikap yang berlebihan kepada pihak-pihak tertentu, dapat diduga sebagai pengejawantahan dari kepentingan partikular, dan oleh sebab itu harus dihindari. Seorang Kepala Daerah dipilih oleh seluruh masyarakat, dan oleh karenanya harus mengembalikan kepercayaan secara seimbang kepada seluruh masyarakat pula. Proses Pilkada atau Pemilu Kada dalam era desentralisasi mestinya menghasilkan pemimpin-pemimpin yang berkualitas tinggi yang bekerja berdasarkan aturan dan sistem yang berlaku; bukannya menghasilkan manusia setengah dewa yang melayani berdasarkan belas kasihan. © Tri Widodo WU.


Desentralisasi Asimetris dan/dalam Negara Kesatuan


TIDAK dapat disangkal lagi bahwa desentralisasi merupakan sebuah trend global yang sangat dipercaya mampu mengatasi berbagai persoalan negara-negara modern. Di Indonesia sendiri, desentralisasi merupakan perubahan radikal yang berjalan dalam satu paket dengan reformasi politik, yang ditandai dengan runtuhnya rezim Orde Baru di penghujung akhir abad 20. Oleh karena desentralisasi dan reformasi politik merupakan suatu paket perubahan dalam manajemen negara dan pemerintahan, wajarlah jika salah satu tuntutan utama dari aksi reformasi adalah penerapan desentralisasi yang hakiki, bukan desentralisasi yang sentralistis sebagaimana terjadi dimasa sebelumnya.

Setelah big bang decentralization dibawa oleh UU No. 22/1999, nampaknya terjadi pelambatan sejak diganti dengan UU No. 32/2004. Akibatnya, baru dalam hitungan dua atau tiga tahun, tuntutan untuk melakukan revisi sudah cukup santer. Salah satu aspirasi untuk melakukan revisi adalah bagaimana daerah diberikan lagi kebebasan atau kemandirian yang lebih besar untuk mengurus rumah tangganya. Dengan kata lain, desentralisasi yang ada saat ini masih dinilai besar kadar sentralisasinya, sehingga perlu dikembangkan ide berupa desentralisasi yang asimetris.

Namun bicara soal desentralisasi, pasti akan selalu rumit. Dan karena kerumitan itulah maka pembicaraan soal desentralisasi selalu menarik. Salah satu kerumitan dalam diskusi desentralisasi adalah adanya variabel bentuk negara kesatuan (unitary state). Pertanyaan klasiknya adalah: “Sejauhmana kewenangan (degree of freedom) yang dapat dimiliki daerah otonom, dan sejauhmana pula pembatasan terhadap hak turut campur (degree of intervention) pemerintah pusat terhadap daerah?”. Literatur manapun hingga saat ini belum ada yang berani membuat kesimpulan terkait dengan proprosi ideal antara degree of freedom dengan degree of intervention tersebut.

Pertanyaan yang menggelitik lainnya adalah: ”Logiskah sebuah negara berbentuk kesatuan memberikan desentralisasi kepada daerah-daerah di wilayahnya secara tidak seragam (asymmetrical decentralization)? Bukankah hal tersebut sudah mengarah pada bentuk negara federasi?”. Meskipun pertanyaan tersebut sangat logis, namun filosofi desentralisasi sendiri justru ingin menghilangkan keseragaman yang diciptakan oleh pusat, serta mengakui hak-hak tradisional masyarakat yang memiliki karakteristik beranekaragam serta ke-khas-an sejarah, budaya, etnologi, pranata dan nilai-nilai sosial, maupun kearifan lokal lainnya. Desentralisasi yang mengabaikan fakta obyektif berupa artitektur kekayaan dan warisan budaya (social endowment), atau yang berpikir bahwa masyarakat bergerak linier dalam satu arah dan cara yang sama, bukanlah desentralisasi yang sesungguhnya.

Maka, ketika UU Nomor 22/1999 diganti dengan UU Nomor 32/2004, muncullah banyak kritik dan keberatan dari berbagai kalangan, khususnya aktor-aktor di tingkat lokal. Aturan yang baru ini dianggap membawa agenda sentralisasi atau penyeragaman baru. Semangat keragaman menjadi menipis, dan pengakuan terhadap karakteristik yang khas dari suatu daerah semakin menghilang. Atas berbagai kritik ini, berkembanglah wacana tentang desentralisasi asimetris tadi.

Oleh sebab itu, gagasan tentang desentralisasi asimetris mestinya tidak dipersepsi sebagai bentuk penyimpangan dari ide dasar desentralisasi negara kesatuan, namun justru dipandang sebagai instrumen untuk memperkuat tujuan desentralisasi yakni menciptakan efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan negara, sekaligus memperkokoh struktur demokrasi di tingkat lokal. Pembangunan demokrasi lokal memiliki probabilitas untuk lebih diperkuat dengan cara mengakui dan mengakomodasikan setiap perbedaan karakteristik, potensi, kebutuhan, dan latar belakang sejarah masing-masing daerah kedalam sistem kebijakan nasional. Dan mengingat bahwa setiap daerah / wilayah dalam sebuah negara memiliki anatomi politik, sosial, maupun kultural yang beragam, maka desain desentralisasi yang berbeda (atau asimetris) menjadi alternatif yang strategis untuk menghindari terjadinya kekecewaan daerah terhadap pemerintah nasional. Itulah sebabnya, baik di negara kesatuan maupun di negara federal pada masa modern sekarang ini, desentralisasi cenderung tidak sekedar dijadikan sebagai strategi politik melalui transfer wewenang/kekuasaan, atau strategi ekonomi melalui perimbangan keuangan dan fiskal, namun juga menjadi strategi kultural untuk merealisasikan prinsip diversity in unity atau unity in diversity.

Konsep desentralisasi asimetris sendiri berkembang dari konsep tentang asymmetric federation yang diperkenalkan oleh Charles Tarlton pada tahun 1965 (Tillin, 2006: 46-48). Menurut Tillin, terdapat dua jenis asymmetric federation, yakni de facto dan de jure asymmetry. Jenis pertama merujuk pada adanya perbedaan antar daerah dalam hal luas wilayah, potensi ekonomi, budaya dan bahasa, atau perbedaan dalam otonomi, sistem perwakilan atau kewenangan yang timbul karena adanya perbedaan karakteristik tadi. Sedangkan asimetri kedua merupakan produk konstitusi yang didesain secara sadar untuk mencapai tujuan tertentu. Hal ini berhubungan dengan alokasi kewenangan dalam besaran yang berbeda, atau pemberian otonomi dalam wilayah kebijakan tertentu, kepada daerah tertentu saja.

Jika di negara federal terdapat dua jenis federasi asimetris, jenis-jenis atau bentuk-bentuk desentralisasi asimetris apa saja yang dapat diperkenalkan untuk negara kesatuan, khususnya Indonesia? Dalam hal ini, paling tidak ada tiga bentuk yang dapat dipertimbangkan dan/atau dikembangkan lebih lanjut dalam konteks revisi UU Pemerintahan Daerah.

Pertama, desentralisasi asimetris yang dikemas dalam kerangka UU yang berlaku saat ini, yakni UU Nomor 32/2004. Harus diakui bahwa UU ini sebenarnya membuka peluang terjadinya desentralisasi asimetris, meski hanya dilihat dari jenis atau bidang urusan pemerintahan saja. Konsep urusan konkuren (urusan yang dilaksanakan bersama-sama), mestinya disikapi setiap daerah dengan mengidentifikasikan potensi dan karakteristik daerahnya masing-masing, dan tidak perlu berpretensi bahwa seluruh bidang urusan harus dilaksanakan oleh daerahnya. Sebuah daerah yang tidak memiliki wilayah laut, tentu tidak layak membentuk Dinas Perikanan dan Kelautan. Demikian pula suatu daerah yang bercirikan kota besar, bahkan metropolitan, pembentukan Dinas Kehutanan dan Perkebunan adalah hal yang tidak perlu. Jika setiap daerah tidak memiliki orientasi untuk membentuk kelembagaan secara maksimal, maka desentralisasi asimetris berdasarkan jenis-jenis urusan akan terbangun dengan sendirinya.

Kedua, desentralisasi asimetris sesungguhnya juga sudah terjadi di Indonesia dalam bentuk variasi otonomi yang diberikan kepada daerah. Saat ini, terdapat empat bentuk otonomi daerah, yakni: 1) otonomi luas untuk kabupaten/kota secara umum, 2) otonomi terbatas untuk provinsi, 3) otonomi khusus untuk Papua ( UU No. 21/1999) dan Nangroe Aceh Darussalam (UU No. 18/1999 jo. UU No. 11/2006), serta 4) otonomi khusus Jakarta sebagai Ibukota Negara (UU No. 29/2007). Ketika beberapa bentuk otonomi dijalankan secara bersamaan seperti inilah, maka asymmetric decentralization telah terjadi.

Ketiga, desentralisasi asimetris yang lebih bervariasi dibanding bentuk pertama dan kedua diatas. Dalam bentuknya yang paling luas ini, desentralisasi asimetris merupakan reaksi atau treatment individual pemerintah pusat kepada daerah berdasarkan kebutuhan nyata, potensi, dan akar permasalahan yang ada di daerah tersebut. Bali, misalnya, selain memiliki otonomi terbatas sebagai sebuah provinsi, perlu diberikan otonomi khusus dalam bidang kebudayaan, pariwisata dan pengembangan kepercayaan (cq. Agama Hindu). Yogyakarta juga dapat diberikan otonomi khusus dengan pertimbangan sejarah, kedudukan pimpinan daerah, dan akar politik lama sebagai bekas negara yang berdaulat (Kasultanan). Sementara Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat dapat diberikan otonomi khusus dalam pembangunan kawasan dan pengelolaan sumber daya alam wilayah perbatasan. Pada saat yang sama, tujuh provinsi kepulauan (Maluku, Maluku Utara, Sulawesi Utara, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Bangka Belitung, dan Kepulauan Riau) harus diberikan wewenang tambahan yang lebih luas di bidang perhubungan laut dan udara, perikanan dan kelautan, serta konservasi lingkungan hidup. Singkatnya, Pusat dapat memberikan model-model otonomi berdasarkan identifikasi dan usulan spesifik dari setiap daerah.

Apakah pemberian desentralisasi asimetris tadi akan mengancam keutuhan negara kesatuan (cq. NKRI)? Kekhawatiran ini nampaknya terlalu berlebihan, mengingat negara-negara kesatuan di dunia juga banyak yang menerapkan desentralisasi asimetris, seperti di Jepang, China, atau Perancis. Faktanya, meskipun mereka menerapkan desentralisasi asimetris, namun keutuhan atau integritas negara kesatuan tidak tergoyahkan, dengan pengecualian ”kasus kecil” berupa gerakan separatisme di Uighur, China.

Di Jepang, desentralisasi asimetris bisa disaksikan dalam kebijakan Penetapan suatu daerah sebagai kota inti (Chukaku-shi) atau kota dengan kasus istimewa (Tokurei-shi). China juga memberikan perlakuan berbeda kepada daerah melalui penerapan konsep market decentralization. Berdasarkan konsep ini, pemerintah China menciptakan kawasan ekonomi khusus, kota-kota pantai (open coastal cities), dan zona pembangunan. Pada tahun 1978 ditetapkan empat kawasan ekonomi khusus, yakni Shenzhen, Zhuhai, Shantou dan Xiamen. Kebijakan ini dibarengi juga dengan pemberian otonomi yang sangat luas kepada provinsi Guangdong and Fujian untuk membangun ekonomi di wilayahnya, misalnya diberikannya kewenangan untuk menyetujui investasi bernilai lebih dari US $ 30 juta. Untuk lebih memperkuat market decentralization tadi, hingga 1984 telah ditetapkan 14 kota-kota pantai dan beberapa kota di pedalaman (sepanjang daerah aliran sungai Yangtze dan perbatasan dengan Russia) yang diberikan kewenangan luas serupa dengan kawasan ekonomi khusus (Montinola, Qian and Weingast, dalam Basuki, 2006). Hal serupa terjadi di Perancis dimana dari 22 Region yang ada, wilayah Corse atau Corsica merupakan region yang diberi otonomi khusus yang tidak dimiliki oleh 21 Region lainnya. Secara obyektif hal ini didorong oleh posisi geografis Corsica yang agak terpisah dari wilayah daratan serta memiliki latar belakang sejarah yang spesifik.

Selain itu, dapat dikatakan pula bahwa desentralisasi asimetris bukan hanya layak dikembangkan di negara federal. Konsep otonomi pada negara kesatuan dan negara federal sesungguhnya tidak dapat dibedakan secara mendasar, seperti dikatakan Work (2002: 11): ”There is no broad-based generalisation that can be made about the correlation of federal/unitary states and decentralisation”. Fakta menunjukkan bahwa negara federal dapat bersifat sangat sentralistis, seperti Malaysia, sebaliknya negara kesatuan seperti China justru memiliki derajat desentralisasi (ekonomi) yang relatif tinggi.

Meskipun demikian, ada sebuah trend yang terjadi di kedua bentuk negara, yakni pergerakan bandul sistem politik yang lebih mengarah pada penguatan desentralisasi serta keseimbangan wewenang dan tanggungjawab dalam penyelenggaraan negara dan pemerintahan. Hal ini berimplikasi pada tuntutan untuk mengurangi campur tangan atau wewenang pusat, yang selama ini dikemas dalam kerangka dekonsentrasi. Pergerakan bandul desentralisasi itu sendiri memiliki kecepatan dan variasi yang berbeda di masing-masing negara, yang mendorong terjadinya konstruksi desentralisasi secara asimetris.

Yang pasti, desentralisasi bukanlah tujuan. Desentralisasi, apakah simetris atau asimetris, hanyalah alat untuk mewujudkan tujuan berbangsa dan bernegara, yakni pemerintahan yang bersih dan efektif disatu sisi, serta masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera disisi lain. © Tri Widodo WU