Rabu, 16 Oktober 2013

Prasyarat Kehidupan




Saya kira sudah menjadi pengetahuan kita semua bahwa hidup itu tidaklah mudah, hidup selalu penuh dengan tantangan, hambatan, dan perjuangan untuk menggapai kebaikan dan kebahagiaan. Kebaikan dan kebahagiaan hidup itu tidak pernah datang dengan sendirinya, Mereka menuntut ditunaikannya rangkaian kewajiban – bisa pendek atau panjang, bisa mudah bisa teramat sulit, bisa cepat atau sangat lambat – sebagai prasyarat menuju kebaikan dan kebahagiaan hidup. Prasyarat inipun sesungguhnya bukan jaminan bahwa kebaikan dan kebahagiaan akan tergapai secara otomatis. Ini hanyalah langkah, tahapan, dan arah menuju kepada kebaikan dan kebahagiaan tadi. Bisa saja di tengah jalan atau diujung usaha kita, tiba-tiba datang lagi kesulitan yang lebih besar, sehingga upaya dan langkah panjang yang telah kita tempuh, kita anggap sebagai sebuah kegagalan. Meskipun tidak memberikan jaminan, namun tanpa ada upaya, langkah, tahapan, dan arah yang jelas, maka kebaikan dan kebahagiaan hidup akan jauh lebih sulit untuk diwujudkan.

Dan syukurlah bahwa hampir di seluruh sistem sosial budaya kita, kesadaran bahwa hidup memiliki prasyarat itu sudah tumbuh. Di masyarakat Sunda, misalnya, ada pepatah berbunyi teu ngakal moal ngakeul, yang kurang lebih artinya untuk ngakeul (proses akhir mengolah makanan) harus menggunakan akal alias berpikir kreatif. Ada pula pepatah lain: teu nyangkul moal mikul yang artinya jika kita tidak mencangkul (asosiasi untuk bekerja), maka kita tidak akan memanen (mendapatkan hasil). Istilah serupa yang sering terdengar misalnya indih tunduh teu indit butuh, yang bermakna bahwa kebutuhan hidup hanya bisa dipenuhi jika seseorang indit (pergi mencari nafkah atau berikhtiar), se-tunduh (mengantuk atau malas) apapun. Sementara itu di Jawa sejak jaman para pujangga dahulu kala sudah ada sepenggal bait tembang Dandanggula yang berbunyi ngelmu iku kalakone kanthi laku. Maknanya, ilmu (dalam arti luas bukan hanya pengetahuan semata) harus digapai melalui laku (usaha). Dalam pandangan orang Jawa lama, laku itu bisa bersifat rohaniah seperti meditasi, puasa, dzikir, dan sebagainya, atau bersifat jasmaniah seperti belajar, olah kanuragan, atau bekerja. Masyarakat di Eropa dan Amerika pun memiliki ekspresi sosial berbunyi no pain no gain. Artinya, tidak pernah ada gain (hasil, capaian, kemajuan) tanpa pain (penderitaan, perjuangan, pengorbanan).

Nilai-nilai sosial tadi juga sejalan dengan ajaran agama, misalnya salah satu ayat dalam Qur’an yang berbunyi innama ‘al ‘usri yusraa (sesungguhnya setelah kesulitan itu ada kemudahan). Tidak ada kemudahan selain setelah melewati kesulitan. Sama halnya tidak ada musim semi tanpa didahului oleh musin dingin yang menggigit tulang belulang; tidak ada pelangi yang indah dan ceria sebelum datang hujan lebat. Tidak ada bintang gemintang yang berkerlip ceria tanpa siang terik dan menyengat yang mendahuluinya. Baik, musim dingin, hujan lebat, maupun terik matahari di siang bolong, adalah prasyarat datangnya musim semi yang penuh bunga, pelangi berwarna warni, dan malam penuh bintang.

Jadi, ketka kita belum puas dengan kualitas hidup kita, maka perbaikilah prasyarat-nya: kerja lebih keras, berpikir lebih cerdas, berbuat lebih ikhlas, dan perbanyaklah doa, sedekah, dan terus menjalin silaturahmi. Kalaupun prasyarat kita masih saja belum mendatangkan kehidupan yang lebih baik dan membahagiakan, yakinlah bahwa semua itu bukan sesuatu yang sia-sia. Kita harus yakin bahwa kebaikan sekecil apapun tidak pernah sia-sia. Entah dimana, namun hasil dari kebaikan tadi akan menjadi tabungan bagi pelakunya. Sebagai tabungan, maka suatu ketika akan dapat diambil manfaatnya, entah sewaktu planet bumi masih eksis ataukah masa-masa setelah kemusnahan alam semesta. Dengan kata lain, kebaikan dan kebahagiaan hidup tadi akan tercapai setelah segala prasyarat dituntaskan. Mungkin ada hasil yang instant, namun mungkin juga akan terjadi delay dalam terwujudnya hasil dari prasyarat tadi. Kalaupun terjadi delay, bukan berarti hasil tadi tidak akan sampai dan diterima oleh seseorang. Sebagaimana sebuah tabungan, semakin lama mengendap, maka semakin besar pula “bunga” yang akan diterima selain nilai pokoknya.

Terlepas dari soal kapan manfaat akan diterima oleh seseorang yang telah menjalankan prasyarat, sebagai seorang hamba ciptaan Allah YMK tugas dan kewajiban kita adalah berikhtiar seoptimal mungkin, sementara hasilnya biarlah Sang Pencipta Yang Maha Berkehendak yang memutuskannya. Singkatnya, mari kita pikirkan dan lakukan prasyarat kehidupan semampu kita itu, jangan terlalu terganggu soal hasil nantinya. Do our best, and God will take the rest …

Jakarta, 16 Oktober 2013

Selasa, 15 Oktober 2013

Inovasi dan Isu Mobil Murah




Belum lama ini, masyarakat diramaikan dengan berita tentang mobil murah. Mobil murah ini diyakini sebagai sebuah inovasi yang memungkinkan kelompok ekonomi menengah kebawah memiliki mobil, ditengah merosotnya nilai tukar rupiah, naiknya inflasi, dan mahalnya harga-harga barang apalagi yang mengandung muatan impor. Hak orang untuk memiliki mobil dan menggunakan jalan raya yang dibangun dengan pajak rakyat, memang tidak bisa ditahan. Dan dengan alasan ini, tidak mungkin kita menahan arus produksi massal mobil murah.

Namun, apakah benar ada mobil murah itu? Dan apakah benar mobil murah itu adalah sebuah inovasi? Bagi saya, inovasi itu adalah menghasilkan barang yang sama secara kualitas dan kuantitas dengan biaya yang lebih sedikit; atau memanfaatkan input yang sama namun menghasilkan output/outcomes yang lebih banyak atau lebih baik; atau menghasilkan barang yang sama secara kualitas dan kuantitas, sama pula biayanya, namun dengan tampilan yang berbeda (lebih baik tentunya), atau dengan nilai tambah yang berbeda (lebih mudah diperoleh, lebih banyak outlet pelayanan, masa garansi lebih lama, dan sebagainya).

Nah, dengan menggunakan kriteris inovasi yang sederhana seperti itu, mobil murah seperti Agya dan Ayla itu agak sulit dikatakan sebagai sebuah inovasi. Harga yang murah ternyata harus dibayar dengan teknologi yang lebih rendah, fitur yang lebih sedikit, dan kualitas yang lebih buruk. Seorang tetangga saya bercerita bahwa dia baru saja melihat mobil murah di dealer Toyota. Kesan pertama dia, mobil murah tadi jauh sekali dibandingkan mobil yang sebenarnya masuk kelas yang sama seperti Avanza. Dia mengilustrasikan jok Avanza ibarat spring bed, sedangkan jok mobil murah seperti kasur busa. Begitu pula komponen dashboard, kaca spion, dan lain-lain, tidak menimbulkan ketertarikan karena rendahnya kadar inovasi yang dibawa oleh mobil murah ini.

Jika demikian adanya, maka mobil murah ini justru merupakan produksi yang jauh dari semangat inovasi. Maka, tidak aneh jika banyak pihak yang sinis dengan kehadiran mobil murah, yang dinilai semata-mata adalah strategi dagang yang berorientasi profit maximization belaka. Jika memang pemerintah beserta produsen mobil murah benar-benar ingin menciptakan inovasi dalam sistem transportasi publik, maka semestinya lebih fokus membangun MRT yang murah (terjangkau), berkualitas, mampu mengangkut penumpang dalam jumlah fantastis, serta menjadi solusi nyata bagi kemacetan lalu lintas. Dan memang, logikanya mobil murah akan semakin membuat problem kemacetan tambah parah, perilaku konsumtif makin menjadi-jadi, dan daftar korban akibat kecelakaan semakin panjang.

Masih mending kalau mobil murah tadi adalah 100 persen komponen lokal dan 100 persen produksi anak negeri, sehingga menjadi simbol kebangkitan nasional. Dalam hal ini, ada national dignity karena kemandirian bangsa menciptakan brand nasional. Dan jika setiap warga negara memiliki kesadaran yang sama dan kebanggaan yang besar terhadap brand nasional tadi, dengan hanya membeli produk dalam negeri, bukan tidak mungkin produk-produk impor akan mati di negeri ini, atau minimal dapat menurunkan standar harga mereka. Brand nasional ini sekaligus akan menjadi pendorong menguatnya daya saing bangsa yang selama ini terengah-engah dalam percaturan negara-negara ASEAN sekalipun. Namun jika ternyata mobil murah inipun tidak menguatkan semangat kebangsaan, apa lagi yang diharapkan dari produk seperti ini?

Kesimpulannya, jika murahnya harga mobil dianggap sebagai nilai tambah, maka nilai tambah ini tidak dapat dinilai sebagai inovasi jika tidak dibarengi dengan nilai tambah yang lain, bahkan mengurangi nilai tambah pada aspek yang lainnya. Istilah orang Jawa, ana rega ana rupa, yang kurang lebih artinya ada harga ada ada wujud (yang berkualitas). Pernyataan ini sesungguhnya adalah sindiran bahwa inovasi itu tidak pernah ada, nilai tambah baru akan selalu diikuti dengan penyesuaian tarif atau harga.

Pertanyaannya kemudian adalah, apakah inovasi selalu mahal? Secara logika iya, karena proses menghasilkan nilai tambah dalam sebuah produk atau jasa harus melalui sebuah intellectual exercise berupa R & D yang sering membutuhkan dana tidak sedikit. Namun ketika inovasi sudah menjadi proses yang melekat sekaligus kebutuhan dalam aktivitas sebuah organisasi/perusahaan, maka ongkos tadi tentu dapat diminimalisir. Artinya, inovasi tidak lagi menjadi sebuah agenda sesaat untuk menghasilkan sesuatu yang besar, namun lebih agenda harian untuk menyempurnakan sesuatu secara berkelanjutan meski bukan sebuah lompatan besar.

Hal terakhir yang ingin saya garisbawahi, inovasi mestilah membawa perbaikan baik berhubungan dengan bidang inovasi itu sendiri atau bidang terkait lainnya. Inovasi yang saya maksudkan disini adalah inovasi yang tidak menimbulkan keburukan bagi bidang atau pihak lain. Sebagai contoh, jika keberadaan mobil murah justru kontra produktif dengan kebijakan MRT atau kebijakan lain terkait upaya mengatasi kemacetan, maka ini adalah inovasi yang tidak membawa kebaikan. Sebagaimana ditulis oleh Hartly (2008), “The Innovation Lanscape for Public Service Organizations“, dalam Jean Hartly, C. Donaldson, and C. Wallace (ed.), Managing to Improve Public Services, UK: Cambridge University Press, ada empat bentuk relasi inovasi dengan perbaikan, yakni: 1) tanpa perbaikan tanpa inovasi; 2) perbaikan tanpa inovasi; 3) inovasi tanpa perbaikan; dan 4) inovasi dengan perbaikan.

Berdasarkan framework yang dikembangkan Heart tersebut, bisa jadi kasus mobil murah masuk kategori ke-3 yakni inovasi tanpa perbaikan, sementara yang dituju oleh semangat menemukan inovasi adalah terjadinya perbaikan (kategori ke-4).

Jakarta, 16 Oktober 2013

Inovasi Transportasi Publik




Pada tulisan saya sebelumnya berjudul “Uang Pecahan Baru dan Inovasi Kebijakan”, saya berjanji akan menulis tentang fenomena tidak inovatifnya penanganan lalu lintas. Ide saya ini dapat dikatakan teramat sangat sederhana. Mulanya, sebagai pendengar radio El-Shinta FM, saya tidak merasa aneh ketika banyak laporan pendengar El-Shinta tentang peristiwa di jalanan dari kecelakaan, kemacetan, keberadaan petugas, perbaikan jalan, hingga kasus kehilangan dan cuaca. Namun lama kelamaan terbersit pertanyaan dalam hati saya, mengapa El-Shinta mengetahui peristiwa di jalanan di seluruh penjuru tanah air secara real time, sementara aparat Polri hanya mendapat feeding dari El-Shinta? Bukankah tanggungjawab pengaturan lalu lintas hingga penanganan ketika muncul kejadian luar biasa (kecelakaan dan sebagainya) ada pada mereka? Tidak terhindarkan, sayapun membandingkan sumber daya El-Shinta dengan Polri. Berapa gelintir penyiar dan petugas teknis radio El-Shinta? Berapa pula anggaran yang mereka miliki dalam satu tahun? Hebatnya, mereka mampu menggerakkan aparat Jasa Marga, Kepolisian, hingga pejabat sipil dari level Menteri sampai Lurah, untuk bergerak melakukan tindakan nyata maupun untuk mengeluarkan statement terhadap suatu peristiwa. Sebaliknya, berapa ratus ribu aparat Polri yang ada, dan berapa trilyun yang dihabiskan dalam satu tahun? Namun, mengapa mereka tidak mampu berpikir, bertindak, dan memperoleh informasi secepat El-Shinta? Mengapa mereka nampak cukup puas menerima laporan dari El-Shinta?

Tanpa bermaksud merendahkan peran aparat Polri, saya menangkap kesan bahwa yang terjadi di Polri adalah paradigma doing less with more, sedangkan yang terjadi di El-Shinta adalah sebaliknya, doing more with less. Nah, ketika sebuah lembaga mampu berbuat lebih banyak dengan sumber daya yang lebih sedikit, itulah esensi dari inovasi. Dengan kata lain, inovasi di tubuh kepolisian, khususnya inovasi dalam manajemen jalan raya (highway management), masih harus terus dikembangkan. Ini bukan berarti tidak ada inovasi sama sekali dalam sistem transportasi publik yang dibangun oleh Polri. Adanya TMC (traffic management center), pemasangan CCTV di berbagai sudut dan simpang jalan, pemanfaatan social media seperti Facebook dan Twitter sebagai media komunikasi dan informasi publik, adalah bentuk-bentuk kebaruan dan terobosan yang patut diapresiasi.

Namun, ini saja belum cukup. Best practice seperti yang dilakukan El-Shinta, tidak ada salahnya diadopsi, direplikasi, dan dimodifikasi oleh Polri, misalnya dengan membangun Stasiun Radio yang khusus melayani pengguna jalan, menginformasikan segala sesuatu terkait layanan jalan raya told an non-tol, menampung berbagai informasi lagsung dari masyarakat yang sedang bepergian, dan menjalin koordinasi dengan berbagai pihak terkait. Dengan demikian, Polri tidak perlu lagi tergantung kepada El-Shinta, sehingga dapat lebih cepat memberikan pelayanan kepada publik.

Ketika Polri sudah memainkan peran barunya ini, bukan berarti El-Shinta kehilangan lahan dan perannya. El-Shinta tetap dapat menjadi mitra strategis Polri, terutama mengisi hal-hal yang belum dilakukan Polri. Keduanya juga tetap dapat saling melengkapi terkait pemberitaan dan informasi lalu lintas. Paling tidak, masyarakat tidak hanya memiliki pilihan tunggal dalam menyalurkan informasinya, namun tersedia pilihan yang lebih luas. Masyarakat juga bisa meminta langsung informasi tertentu dari Polri tanpa melalui perantaraan El-Shinta.

Mengapa Polri harus melakukan hal yang telah dengan baik dilakukan El-Shinta? Apakah itu justru tidak menimbulkan inefisiensi baru? Atau, bukankah hal itu melemahkan partisipasi masyarakat dalam urusan publik? Terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut, saya memiliki satu jawaban besar yaitu bahwa layanan publik (public goods) hendaknya dilakukan oleh institusi publik (pemerintah), sedangkan layanan privat (private goods) diberikan oleh swasta. Secara ideal, meski telah banyak pergeseran public goods ke private goods dan sebaliknya, namun tidak dibenarkan institusi publik mengurusi fungsi privat, sementara swasta menangani urusan publik. Nah, pertanyaannya, apakah layanan lalu lintas dan jalan raya itu merupakan public goods atau private goods? Menurut hemat saya, ini adalah domain institusi publik, sehingga aparat pemerintah tidak dibenarkan diam saja melihat urusan publik dilakukan oleh lembaga swasta. Jika ini berlangsung terus, suatu saat akan muncul tudingan bahwa pemerintah tidak berbuat sesuatu (procrastination), melakukan pembiaran, dan sejenisnya. Maka, atas nama partisipasi sekalipun, tidak dibenarkan fungsi publik dilakukan oleh swasta, dan sebaliknya.

Yang pasti, Polri masih harus menggali banyak inovasi untuk mengatasi problem jalanan yang semakin rumit dan kompleks. Polri tidak perlu malu belajar dan mem-benchmark inovasi dari siapapun, termasuk dari El-Shinta.

Jakarta, 15 Oktober 2013