Selasa, 28 Juni 2011

Reformasi Birokrasi, Keadilan, dan Tragedy of the Common


Dalam ceramahnya tentang konsep keadilan, Yudi Latif sempat menyinggung soal remunerasi yang diterima oleh kementerian tertentu. Beliau mengajukan pertanyaan retoris: apakah hanya karena mengurusi anggaran lantas kementerian tertentu berhak mendapat remunerasi jauh lebih besar dibanding pegawai kementerian/lembaga lain? Seketika, pernyataan tadi disambut dengan tepuk tangan riuh oleh peserta. Saya jadi teringat, pada ceramah perdana tentang reformasi birokrasi yang disampaikan Kepala LAN setelah pembukaan Diklatpim II, seorang peserta menanyakan tentang dasar logika yang digunakan pada kebijakan pemberian remunerasi kepada kementerian tertentu.

Ada dua nuansa yang yang dapat ditangkap dari dua peristiwa diatas. Pertama, terdapat kesan adanya kebijakan yang diskriminatif dan menciderai rasa keadilan masyarakat banyak. Alasan dan logika apapun terlalu sulit untuk diterima dengan akal sehat, mengapa orang yang bekerja di kementerian yang menangani keuangan memiliki penghasilan 5 hingga 6 kali lipat dibanding mereka yang bekerja di kementerian/lembaga lain, padahal mereka sama-sama mengabdi kepada republik dengan level jabatan yang sama, beban kerja yang sama, masa kerja yang sama, ataupun pangkat yang sama? Diskriminasi kebijakan seperti ini dapat diobservasi secara kasat mata tanpa memerlukan metodologi maupun pembuktian ilmiah apapun. Bahkan dari perspektif hukum, hal ini dapat pula dimaknai sebagai upaya memperkaya atau menguntungkan diri-sendiri. Tidak aneh jika kemudian banyak berkembang sinisme bahwa birokrasi di Indonesia sudah menganut paham kastanisasi. Dalam konteks kebijakan yang berkeadilan, secara langsung maupun tidak langsung, praktek seperti ini adalah bentuk pengingkaran terhadap Sila kelima Pancasila, yakni “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”.

Kedua, kentara sekali nuansa “cemburu” yang terpancar dari sikap para peserta setiap kali issu remunerasi diungkap. Namun, “kecemburuan” ini sebenarnya sangat logis dan beralasan. Bukankah orang yang bekerja di lembaga yang mengurusi soal kepegawaian juga tidak mendapat perlakuan istimewa di bidang kepegawaian? Bukankah orang yang bekerja menangani urusan asset (mobil, rumah dinas, komputer, dll) juga tidak memperoleh privilege untuk menggunakan asset tersebut? Jika asumsi yang digunakan adalah bahwa pemberian remunerasi dimaksudkan untuk menekan tingkat korupsi dan penyelewengan di kementerian tertentu, bukankah itu adalah asumsi yang sesat dan misleading? Korupsi dan penyelewengan hanya tepat diganjar dengan hukuman, bukan malah dianugerahi dengan remunerasi. Semestinya, remunerasi adalah bentuk penghargaan terhadap individu atau lembaga yang mampu bekerja dengan penuh integritas dan dibuktikan dengan kinerja optimal. Faktanya sekarang, kementerian yang telah mendapat remunerasi tetap saja gagal memberantas praktek-praktek koruptif di lingkungannya.

Secara kebetulan, beberapa hari yang lalu ada berita di media cetak bahwa beban APBN sudah sangat berat untuk membayar gaji pegawai. Bisa dibayangkan, jika kementerian/lembaga yang lain menuntut diberikan remunerasi yang sama seperti kementerian yang telah menerima sebelumnya, apakah tidak menyebabkan kebangkrutan total bagi negara? Namun jika kementerian/lembaga lain tidak diberikan hak yang sama sehingga menimbulkan kecemburuan serta kegelisahan yang semakin menumpuk, bukankah sama artinya dengan menyimpan bom waktu yang dapat meledak kapan saja tanpa dapat diprediksi? Dengan demikian, pemberian remunerasi secara merata kepada seluruh kementerian/lembaga, atau hanya memberikan keistimewaan bagi kementerian yang menangani urusan keuangan, sama-sama menyimpan potensi bahaya yang sangat besar.

Nah, ketika kami belajar tentang diagram pola dasar sistem (archetype diagram) sebagai piranti systems thinking, ada satu pola dasar yang nampaknya sangat tepat untuk menganalisis kasus reformasi birokrasi ini, yakni archetype tragedi bersama (tragedy of the commons). Archetype ini menggambarkan bahwa banyak individu (baik dalam pengertian orang maupun lembaga) yang memanfaatkan sumber daya milik bersama untuk keperluan pribadi tanpa memperhitungkan dampak dan kepentingan bersama yang berpengaruh pada kegiatan semua pihak. Pada keadaan tertentu, kegiatan perorangan itu melampaui batas dan menguras hampir seluruh sumberdaya (Modul 1.A-2 hal. 155-156).

Normalnya, archetype tragedi bersama sering diterapkan pada kasus-kasus eksploitasi sumber daya alam secara ekstraktif. Namun dalam kasus reformasi birokrasi-pun, ternyata archetype ini cukup tepat dan akurat. Reformasi birokrasi yang berimplikasi pada pembayaran remunerasi akan menjadi beban yang makin lama makin besar terhadap APBN. Ada dua skenario yang mungkin terjadi. Pertama, apabila sumber-sumber pendapatan baru tidak sebanding dengan tuntutan pembayaran remunerasi yang semakin banyak dari berbagai kementerian/lembaga yang belum menerima, maka beban APBN akan semakin besar lagi. Jika beban ini terus membesar, maka akan ada mata anggaran yang dikorbankan untuk menutup beban pembayaran remunerasi. Jika semakin banyak mata anggaran yang dikorbankan, maka kepentingan publik yang lebih luas akan menjadi “tumbal” reformasi birokrasi. Kedua, apabila kementerian/lembaga selain yang menangani keuangan tidak diberikan remunerasi guna meminimalisir tekanan terhadap APBN, maka akan muncul kecemburuan, kegelisahan, dan perasaan diperlakukan tidak adil. Jika perasaan ini terus terakumulasi, maka akan menurunkan semangat kerja dan kinerjanya. Jika kinerja turun, maka yang paling dirugikan adalah rakyat banyak yang semestinya dilayani dengan optimal berdasarkan prinsip “anggaran untuk rakyat”.

Dengan demikian, reformasi birokrasi yang berujung remunerasi sebaiknya dihentikan. Kebijakan pemberian remunerasi kepada kementerian yang menangani urusan keuangan harus dihentikan pula secepat mungkin sebelum menimbulkan ekses bola salju yang lebih besar. Namun program reformasi tetap perlu dilanjutkan tanpa harus dikaitkan dengan iming-iming untuk mendapatkan remunerasi. Remunerasi dapat dipikirkan kemudian ketika reformasi telah menunjukkan hasil berupa efisiensi anggaran yang signifikan. Atas dasar efisiensi itulah, remunerasi baru dapat dikalkulasi. Jadi jelaslah bahwa remunerasi sesungguhnya hanyalah by product dari proses reformasi, bukan tujuan utama.

Kampus Pejompongan Jakarta
Sabtu, 25 Juni 2011

Jurnal Harian, Tradisi Seorang Cendekia


Ada sebuah tradisi baru yang saya lakukan selama mengikuti Diklatpim II, yakni menulis Jurnal Belajar Pribadi, atau lebih dikenal dengan sebutan jurnal harian. Menurut Modul 1.A-1 (hal. 52), jurnal harian adalah suatu proses/teknik memperdalam kesadaran diri sendiri ke alur proses kehidupan kita secara total, atau sebuah proses belajar untuk mengerti diri sendiri dengan cara-cara baru. Jurnal harian juga sebuah refleksi dari dalam diri kita, yang dapat memberi stimulus atau dorongan untuk mencari banyak hal dari dunia luar. Adapun isi jurnal dapat berupa kejadian atau peristiwa tertentu yang menarik perhatian kita, kesan terhadap peristiwa tersebut, pembelajaran dan manfaat yang mungkin ditarik dari kejadian yang dialami.

Dengan demikian, sumber utama jurnal adalah pengalaman pribadi yang diendapkan. Dari hasil pengendapan ini kemudian dilakukan refleksi, mengapa suatu peristiwa/fenomena yang dialami tadi terjadi, apa hikmah atau lesson learned dari peristiwa/fenomena tadi, serta siapa dan bagaimana memanfaatkan pelajaran yang berhasil diambil. Dengan kata lain, proses refleksi yang mendalam akan menghasilkan konsepsi penulis jurnal terhadap peristiwa/fenomena yang dialaminya. Selanjutnya, untuk mematangkan konsepsi yang sudah terkonstruksi, kadang kala perlu adanya sebuah proses pengujian konstruksi melalui sharing pengalaman, silang refleksi, atau pengayaan konsepsi dengan jurnal yang ditulis orang lain. Proses dinamis dari pengamatan atas peristiwa, yang membentuk pengalaman, lantas direfleksikan dan membentuk konsepsi, untuk kemudian diuji ini sesungguhnya adalah sebuah siklus pembelajaran (the wheel of learning). Dengan roda pembelajaran seperti ini, tidak aneh jika menulis jurnal harian pada hakekatnya adalah pembelajaran yang paling efektif.

Bagi diri saya pribadi, saya sangat bersyukur dengan adanya kewajiban menulis jurnal harian. Saya merasakan banyak sekali manfaat dari menulis jurnal. Pertama, jurnal adalah sarana untuk mengikat ide-ide kita tentang sesuatu untuk kemudian mengembangkannya. Betapa sering terpetik inspirasi dalam benak kita yang datang secara mendadak. Inspirasi seperti ini, biasanya bersifat sekejap, namun memiliki kadar originalitas tinggi. Jika ide seperti itu tiba-tiba lenyap, betapa ruginya kita hanya karena kita malas menuliskannya dalam catatan kecil harian. Kedua, jurnal adalah sarana pembelajaran yang sesungguhnya bagi seseorang, terutama peserta diklat. Fungsi jurnal ini bukan sekedar menampung bahasa lisan (talking) yang direkam dalam tulisan, namun juga bahasa pikiran (thinking), bahasa tubuh (being), bahasa emosi (feeling), serta bahasa tindakan (behaving). Maka, tidak aneh jika jurnal merupakan satu-satunya produk pembelajaran dalam diklat aparatur yang paling subyektif, namun paling jujur. Lebih hebat lagi, jurnal bukan sekedar media komunikasi antara penulis dengan pihak diluar dirinya, lebih-lebih ia adalah cermin sekaligus sparring partner bagi dirinya sendiri.

Saya sudah merasakan betul manfaat menulis jurnal. Ketika belajar soal proses pembelajaran (learn, unlearn, relearn), saya langsung bisa mengkaitkannya dengan kebijakan desentralisasi (lihat Jurnal #3: Desentralisasi dalam Kacamata Learning Organization). Atau, ketika belajar tentang hukum disiplin kelima, tiba-tiba saya mendapat inspirasi untuk mengaplikasikan dalam kasus nyata di lapangan (baca Jurnal #4: Sudah Belajarkah Pemerintahan Kita?). Terlalu banyak konsep yang saya peroleh selama diklat dan sangat bermanfaat untuk menganalisis peristiwa di permanent system, namun sayang tidak semuanya mampu saya tuangkan dalam jurnal harian. Andai saja agenda diklat tidak tersita oleh diskusi-diskusi kelompok yang memakan waktu hingga larut malam – bahkan menjelang subuh – tentu produktivitas menulis jurnal akan dapat berlipat.

Saking berkesannya saya terhadap penulisan jurnal, saya sampai membayangkan alangkah bagusnya jika penulisan jurnal dijadikan sebagai kurikulum wajib dalam seluruh jenis diklat aparatur. Sudah waktunya penulisan jurnal ini menjadi mata diklat yang mandiri, bukan sekedar penugasan tambahan yang tidak memiliki angka kredit memadai. Jurnal dan pena bagi seorang cendekia, ibarat busur dan anak panah bagi seorang pemburu, laksana syair dan melodi bagi seorang penyanyi, bagaikan kanvas dan guratan bagi seorang maestro. Itulah media aktualisasi diri mereka. Cendekia tanpa jurnal, pemburu tanpa busur, penyanyi tanpa syair, atau maestro tanpa kanvas, adalah bukan siapa-siapa. Jurnal, busur, syair, dan kanvas, akan mengubah sesuatu yang bukan siapa-siapa menjadi seseorang yang penuh harga diri dan kehormatan. Maka, diklat tanpa jurnal atau cendekia tanpa jurnal-pun rasanya menjadi gersang seperti pohon tanpa dedaunan, hambar seperti canda tanpa tawa, serta hampa seperti berjalan tanpa tujuan …

Kampus Pejompongan Jakarta
Jum’at, 24 Juni 2011

Pengelolaan SDA dan Limits to Growth


Meski baru memasuki minggu ketiga Diklatpim II, saya berani merekomendasikan agar semua policy makers di Indonesia belajar systems thinking. Dengan memahami piranti-piranti yang ada pada systems thinking, akan dapat dihindari kesalahan sedini mungkin. Salah satu piranti yang sangat mujarab untuk membuat pemodelan tentang efektivitas kebijakan adalah archetype batas-batas pertumbuhan (limits to growth). Archetype ini menyediakan suatu gambaran bahwa pada mulanya sebuah usaha yang dilakukan menghasilkan suatu pertumbuhan. Upaya selanjutnya mendorong pertumbuhan itu lebih baik. Beberapa waktu kemudian, keberhasilan usaha itu mencapai batas maksimal, dan setelah beberapa lama akhirnya membawa usaha tersebut pada proses penurunan (Modul 1.A-2 hal. 131).

Contoh konkrit adalah usaha pengelolaan kayu (baca: penebangan hutan),penambangan batu bara, atau eksplorasi minyak bumi. Pada masa-masa awal operasi, usaha tersebut memberikan keuntungan yang berlimpah karena memang kapasitas daya dukung (carrying capacity) alam yang masih tinggi. Namun, satu hal yang seringkali dilupakan oleh manusia adalah bahwa alam dan seisinya semakin lama semakin berkurang daya dukungnya, sehingga eksploitasi lingkungan yang didasarkan pada kepentingan ekonomis semata, pada suatu ketika akan menyebabkan tergangunya keseimbangan ekologis. Dan apabila kekuatan ekologis ini telah sedemikian melemah, maka kesejahteraan yang dicapai manusia menjadi tidak bermakna. Sebab, kesejahteraan tadi harus dibayar dengan recovery cost untuk memulihkan dan menjaga kelestarian lingkungan – dan bahkan social cost yang sulit dihitung tingkat kerugiannya.

Dalam hal ini terjadi hubungan terbalik antara kebutuhan manusia dengan sumber daya alam atau lingkungan. Artinya, semakin banyak dan bervariasi kebutuhan manusia, maka kemampuan alam untuk menyediakannya semakin terbatas. Pada saat bersamaan, terjadi hubungan tegak lurus antara kebutuhan manusia dengan pencemaran, dimana semakin banyak dan bervariasi kebutuhan manusia yang dipenuhi lewat usaha industri, maka tingkat pencemaran lingkungan dapat dipastikan semakin tinggi pula. Dan jika trend tersebut berlangsung terus-menerus, pada suatu saat akan terjadi suatu keadaan dimana pertumbuhan ekonomi tidak dapat ditingkatkan lagi, sementara kemampuan dan kualitas lingkungan sulit untuk diperbaiki kembali. Inilah yang disebut dengan the limits to growth yang diperkenalkan oleh Meadows (dalam Berry, et.al., 1993).

Meadows membuat sebuah prediksi untuk kurun waktu 200 tahun (1900-2100) yang menggambarkan bahwa pada masa-masa awal, kondisi kependudukan, orde kebutuhan manusia serta aktivitas ekonomi dan industri masih relatif rendah, sementara kondisi lingkungan berada dipuncak ketangguhannya. Namun seiring dengan penambahan jumlah penduduk, dan tingkat polusi yang melekat pada ekspansi kegiatan industri, maka kualitas dan daya dukung (carrying capacity) lingkungan menjadi sedemikian merosot, hingga pada akhirnya keseimbangan menjadi goyah dan kurva sumber daya alam menjadi sangat merosot, bahkan sama sekali tidak mampu lagi mendukung aktivitas kemanusiaan.

Jika penurunan daya dukung lingkungan sudah dapat diproyeksi, maka kebijakan publik yang akan dirumuskan dapat diarahkan untuk mencapai dua kondisi, apakah untuk menghentikan kebijakan sebelumnya yang telah mengakibatkan penurunan daya saing lingkungan, ataukan untuk pemulihan dan reklamasi lingkungan. Jika ternyata kebijakan masih saja memberikan perijinan usaha untuk mengkeksploitasi sumber daya alam, hal itu menandakan bahwa policy makers telah gagal total dalam berpikir serba sistem (systems thinking). Pada tahap berikutnya, kegagalan berpikir serba sistem akan mengantarkan pada kegagalan kebijakan publik (policy failures) yang berdampak negatif terhadap masyarakat.

Sekali lagi, penguasaan policy makers terhadap disiplin learning organization khususnya disiplin kelimanya yakni systems thinking, dan lebih spesifik lagi pola-pola dasar sistem (archetype), akan sangat bermanfaat dalam memperkokoh kualitas kebijakan publik. Untuk itu, akan sangat ideal jika seorang policy makers adalah juga systems thinkers.

Kampus Pejompongan Jakarta
Senin, 27 Juni 2011

Quality Control Dalam Diklat Aparatur


Meskipun telah lebih 17 tahun bekerja di LAN, namun saya belum pernah mendapat penempatan di bidang diklat, kecuali pada saat orientasi semasa masih berstatus CPNS. Maka, tidaklah mengherankan jika saya juga tidak terlalu paham bagaimana kebijakan, proses, dan instrumen yang digunakan untuk menjamin kualitas diklat. Yang pasti, quality control adalah sesuatu yang mutlak harus ada dalam program diklat, sebab program diklat yang berkualitas akan melahirkan institusi penyelenggara yang berwibawa, dan wibawa organisasi akan membentuk citra positif organisasi (branding) dimata pelanggannya.

Dalam salah satu episode Golden Ways-nya, Mario Teguh pernah menyatakan bahwa citra organisasi ditentukan oleh keselarasan visi misi seluruh anggotanya. Jika ada perilaku anggota organisasi yang bertolak belakang dengan konsensus yang telah disepakati secara kolektif, maka akan hancurlah citra organisasi itu, ibarat peribahasa “karena nila setitik rusak susu se belanga”. Sehebat apapun Kepolisian RI melakukan reformasi internal, akan sia-sia jika di lapangan masih banyak dijumpai oknum yang melakukan pungli maupun penilangan yang berujung “perdamaian”. Demikian pula dalam penyelenggaraan diklat, seluruh komponen yang ada di dalamnya baik jajaran pembina (pejabat struktural), widyaiswara, pelaksana/panitia diklat, hingga petugas teknis seperti Satpam, haruslah memahami sepenuhnya dan memegang teguh shared vision dan values yang ada.

Nah, kuriositas dalam hati saya adalah, bagaimanakah manajemen diklat melakukan kendali terhadap seluruh komponen yang ada sekaligus menjamin bahwa mereka patuh dan tunduh terhadap sistem nilai yang berlaku? Kuriositas saya menjadi semakin menggumpal karena praktek-praktek yang semestinya tidak terjadi, justru terjadi di depan mata saya. Maklumlah karena posisi saya sebagai peserta diklat yang membaur dan hidup di tengah-tengah peserta lainnya, maka peristiwa yang muncul dan dialami teman-teman peserta tidak luput dari pengamatan saya.

Terjadinya distorsi antara sistem nilai dengan praktek misalnya terjadi dalam aturan tentang “jam malam”. Sebagaimana tertuang dalam buku panduan dan penjelasan program, pada jam 22.00 pintu gerbang sudah tertutup dan tidak diperkenankan peserta untuk keluar atau masuk kampus. Satpam juga diberi hak untuk menegur peserta jika melanggar ketentuan ini. Namun kenyataannya, cenderung terjadi opportunistic behavior yang mengorbankan sistem, dimana Satpam sebagai sub-sistem diklat memberi kelonggaran kepada peserta untuk menabrak aturan “jam malam” hanya karena mengharap sesuatu dari peserta.

Penyelenggara nampaknya juga mengalami keterbatasan kendali terhadap aturan yang berkenaan dengan kehidupan di asrama. Sebagai contoh, jika ada komplain tentang makanan yang kurang, protap (prosedur tetap) seperti apa yang ditempuh oleh penyelenggara, apakah menerimanya sebagai sebuah kebenaran ataukah ada proses check and cross-check untuk mengetahui kondisi riilnya? Demikian pula dalam hal terjadi pelanggaran disiplin seperti menerima tamu dalam kamar, bagaimana penyelenggara mendeteksi kasus ini? Kasus “besar” yang nampaknya juga luput dari perhatian penyelenggara adalah kasus seseorang yang tidak masuk kelas seharian namun daftar hadir lengkap karena diisi oleh temannya. Satu hal lagi, masalah klasik yang selalu terjadi dari tahun ke tahun adalah fakta adanya fenomena ghost writer yang mengerjakan tugas-tugas individu peserta. Meskipun tidak nampak, namun keberadaannya sangat mudah dirasakan. Sayangnya, respon penyelenggara masih kurang proaktif dan cenderung menggunakan prinsip “tutup mata, tutup telinga”. Artinya, penyelenggara sangat mengutuk praktek plagiarisme dan pengerjaan tugas oleh orang lain, akan tetapi tidak berbuat secara konkrit untuk memberantas “tuyul-tuyul” yang bergentayangan. Padahal, sebuah institusi akan berwibawa jika aturan yang dibuat dan disepakati dapat ditaati, dihormati, dan ditegakkan manakala terjadi pelanggaran. Jika tidak ada keberanian dan kemampuan untuk menegakkan aturan, lebih baik aturan tersebut tidak diberlakukan sejak awal.

Sekedar pemikiran untuk memperkuat fungsi quality control dalam diklat, saya meyakini bahwa pendekatan partisipatif merupakan metode yang sangat efektif untuk mengontrol program diklat A-Z. Maknanya, penyelenggara harus terlibat langsung dalam setiap aktivitas yang dilakukan peserta. Dengan demikian, penyelenggara perlu makan bersama, senam bersama, dan tinggal bersama peserta di asrama. Sementara dalam dimensi akademik, keterwakilan penyelenggara hendaknya selalu ada di setiap kelas.

Model partisipatif ini bukan berarti tidak memberikan ruang kebebasan kepada peserta atau tidak mempercayai perilaku harian peserta. Model ini justru dimaksudkan untuk mengurangi gap komunikasi antara peserta dan penyelenggara melalui hubungan yang cair, membaur, dan menyatu. Dalam hubungan yang cair seperti itu, maka tidak ada lagi kedudukan selaku peserta atau penyelenggara, namun keduanya sama-sama mengemban misi untuk menjaga diklat agar menjadi momentum yang menyenangkan dan program yang produktif untuk membangun kinerja organisasi.