Rabu, 06 April 2011

Dimensi Kultural Reformasi Birokrasi (Belajar dari Korea Selatan)


DISADARI atau tidak, reformasi birokrasi memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan soal budaya. Dalam hal ini, ada 2 (dua) cara berpikir tentang keterkaitan diantara keduanya. Pertama, pembenahan dimensi-dimensi budaya atau reformasi kultural perlu ditempuh untuk mempercepat proses reformasi birokrasi. Kedua, reformasi yang dilakukan secara konsisten akan melahirkan nilai-nilai budaya baru yang jauh lebih baik. Pola pikir pertama memandang faktor budaya sebagai prakondisi bagi reformasi, sedangkan pola pikir kedua melihat budaya sebagai hasil tidak langsung (by-product) dari rangkaian proses reformasi. Diantara kedua pola pikir tersebut, terdapat sebuah pesan tersembunyi bahwa budaya merupakan komponen yang tidak dapat dipisahkan dari program reformasi, dan faktor budaya selayaknya tidak dijadikan sebagai alasan untuk tidak melakukan reformasi.

Salah satu strategi kultural dalam menggulirkan reformasi adalah dengan menempatkannya pada kerangka sejarah dan nilai tradisional. Sebagai contoh, pada jaman Romawi, kereta perang ataupun kereta bangsawan biasa ditarik oleh 2 (dua) kuda. Jarak diantara kuda adalah 4 kaki (setara 8,5 inchi atau 1,44 m). Sangat mengejutkan, ternyata ukuran 1,44 m ini sama persis dengan jarak real kereta api. Bahkan, jarak antara 2 (dua) sumbu mesin peluncur roket juga memiliki ukuran yang sama. Ilustrasi diatas menjelaskan bahwa reformasi tidak selamanya berarti perubahan secara total. Dalam kasus transformasi moda transportasi kuda menjadi roket diatas, ukuran tetap dipertahankan, namun yang berbeda adalah kapasitas dan kecepatannya. Dengan kata lain, penambahan kompetensi pada level individu, unit, maupun organisasi, adalah juga esensi penting dari reformasi.

Di Korea, adopsi nilai tradisional juga diterapkan pada reformasi birokrasi. Sebagai contoh, birokrasi Korea saat ini terdiri dari 9 (sembilan) jenjang, dari yang tertinggi Asisten Menteri, hingga yang terendah pegawai yang baru diangkat (Asisten Klerk). 9 jenjang ini ternyata diadopsi dari model birokrasi yang pernah diterapkan oleh Dinasti Chosun, dimana 3 tingkat teratas adalah golongan berhak menggunakan jubah/kostum berwarna merah, 3 tingkat menengah berpakaian warna biru, sedangkan baju pegawai pada 3 tingkat terendah berwarna hijau.

Karakter budaya birokrasi Korea sendiri nampaknya mirip dengan Indonesia. Karakter bangsa yang bercirikan paternalism telah mempengaruhi budaya birokrasi yang bersifat tertutup dan memiliki orientasi senioritas yang sangat kuat. Akibatnya, sistem prestasi (merit), kompetisi terbuka dan kompetensi relatif terabaikan. Dalam sistem yang tertutup seperti itu, koneksi, kroniisme dan nepotisme menjadi tumbuh subur.

Namun sejak reformasi bergulir tahun 1998, segera dirasakan adanya perubahan yang signifikan. Seleksi dan rekrutmen PNS dilakukan secara sentralistis oleh MOPAS (Ministry of Public Administration and Security) untuk menjamin adanya standar nasional yang berat. Pendidikan tidak lagi menjadi syarat penempatan seorang pelamar dalam tingkat jabatan tertentu, namun yang menentukan posisi seseorang adalah kelulusan pada ujian tingkat tertentu. Contoh konkrit adalah mantan Presiden Kim Dae-jung yang merupakan pengacara hebat meskipun tidak memiliki dasar pendidikan formal bidang hukum. Kenaikan ke jenjang pangkat yang lebih tinggi juga ditempuh melalui ujian yang sangat berat, dan tidak dikenal kenaikan pangkat secara otomatis (berkala 4 tahunan) seperti di Indonesia. Dengan demikian, prinsip competency-based benar-benar telah diterapkan dalam sistem birokrasi di Korea Selatan.  Untuk menghindari kecenderungan kolusi, maka sistem rotasi/mutasi lebih dipercepat untuk jabatan tertentu. Dalam hal ini, rata-rata perpindahan antar jabatan di Korea adalah 14 bulan, sementara di Indonesia belum ada standar ideal, sehingga banyak kasus seseorang menduduki jabatan terlalu lama (lebih dari 10 tahun), namun ada kalanya terlalu pendek (dibawah 1 tahun).

Perubahan yang signifikan lainnya adalah sistem evaluasi yang menggunakan metode 360 derajat. Dengan metode ini, bukan hanya pimpinan yang mengevaluasi bawahan, namun dapat terjadi sebaliknya. Kriteria yang digunakan tidak lagi yang bersifat sangat subyektif dan sulit terukur seperti kesetiaan, kejujuran, prakarsa, kerjasama, dan sebagainya, melainkan kompetensi (competency), perilaku (attitude), dan kinerja (performance). Konsekuensi dari sistem evaluasi seperti ini, remunerasi yang diterima seorang pegawai akan sangat berbeda dengan pegawai lainnya, tergantung dari unjuk kerja atau prestasi nyata yang dihasilkan. Hal ini sekaligus memacu persaingan dan hasrat untuk terus berkembang (need for achievement) antar pegawai.

Meskipun demikian, harus diakui bahwa reformasi di Korea bukanlah sesuatu yang mudah. Di awal gerakan reformasi ini, gejala kegagalan dan penolakan yang cukup keras. Sebagai contoh, bangsa Korea pada dasarnya adalah masyarakat yang selalu berkelompok dan beraktualisasi dalam konteks kelompok (paguyuban). Namun, reformasi yang berjalan membawa konsekuensi pemberian kompensasi/tunjangan yang lebih besar kepada pegawai yang lebih berprestasi. Dengan demikian, reformasi seolah-olah mengakibatkan terjadinya pergeseran orientasi dari masyarakat kolektif menjadi tatahubungan yang lebih berorientasi individual. Hal ini menimbulkan perasaan yang tidak nyaman serta lingkungan kerja yang aneh bagi pegawai. Selain faktor resistensi tadi, reformasi pada tahap awal juga menghadapi tantangan lain seperti tendensi untuk menghindari resiko dan tanggungjawab, menyalahkan orang lain terhadap suatu masalah, bekerja dibawah standar, dan sebagainya. Bahkan Prof. Jin Park dari Korea Development Institute menyatakan bahwa the culture strategy is weak.

Untungnya, kondisi tersebut dapat diatasi dengan 2 (dua) hal, yakni penerapan manajemen perubahan yang baik, serta adanya konsistensi yang terus-menerus dalam penerapan program reformasi. Ketika reformasi dapat dijalankan dengan sangat konsisten, maka akan lahirlah budaya baru. Dalam kasus Korea, budaya baru yang lahir adalah budaya yang menghargai kompetensi individual, munculnya iklim kompetisi yang lebih tinggi, serta orientasi pada kinerja (performance).

PNS (birokrasi) Korea sendiri dipandang sebagai parameter penting untuk menggambarkan kualitas pelayanan publik yang berkualitas. Itulah sebabnya, reformasi haruslah meliputi reformasi SDM pula. Pola pikir seperti ini mengadopsi pola budidaya anggur yang dipadu dengan tanaman bunga mawar disela-sela tanaman anggur tersebut, sebagaimana dipraktekkan di banyak negara. Ternyata, bunga mawar tersebut berfungsi sebagai early warning system terhadap kualitas anggur. Jika mawar tersebut baik, dapat dipastikan bahwa kualitas anggur akan baik pula. Oleh karena itu, analisis terhadap tanaman bunga harus seimbang dengan upaya peningkatan kualitas anggur secara komprehensif.

Dalam konteks reformasi, eksistensi SDM yang mumpuni sangatlah penting. Sebab, meskipun sistem birokrasi telah terbangun dengan baik, namun kegagalan reformasi yang paling besar justru terjadi ketika muncul resistensi dari kalangan pegawai, biasanya di level menengah. Artinya, resistensi pegawai mencerminkan kecilnya kemungkinan keberhasilan reformasi. Resistensi sendiri sering berhubungan dengan persepsi dan ekspektasi seseorang terhadap reformasi. Jika reformasi dipercaya menghasilkan dampak yang menggangu kemapanan atau kenyamanan yang telah ada, maka lahirlah resistensi tadi. Resistensi terhadap perubahan yang diyakini mengganggu kenyamanan seperti dijelaskan diatas, hanyalah salah satu dimensi kecil dari faktor budaya.

Dengan demikian, nyatalah bahwa reformasi harus dilakukan dengan mempertimbangkan akar budaya dan kearifan lokal (local wisdom). Jika tidak, maka akan membuka kemungkinan kegagalan lebih besar. Ilustrasi kegagalan kebijakan yang pernah terjadi di AS, mungkin cukup tepat untuk dijadikan sebagai pembelajaran. Sebagaimana diketahui, pada tahun 1947 terjadi banjir bandang akibat meluapnya Sungai Kissimmee di Florida yang berkelak-kelok dan memiliki panjang 134 miles atau 216 km. Dengan maksud untuk mencegah agar tidak terjadi peristiwa yang sama, pada tahun 1954 Parlemen AS mengambil keputusan besar dengan menyetujui proyek raksasa kanalisasi sungai Kissimmee. Proyek pelurusan aliran sungai sendiri dilakukan dari tahun 1962 hingga 1970 yang memakan biaya milyaran dollar dan memperpendek panjang sungai menjadi 56 miles atau 90 km.

Setelah proyek selesai, wilayah banjir memang berkurang hingga 160m2. Namun dampak negatifnya adalah kerusakan habitat burung air sebesar 90% dan menjadikan jumlah bangau, kuntul dan sejenisnya musnah hingga dua per tiga. Pada saat yang sama, polusi yang terjadi di Danau Okeechobee (muara sungai Kissmmee) meningkat, yang diindikasikan dengan naiknya kadar nitrogen sebesar 25% dan pospor sebanyak 20%.  Rupanya, pemerintah AS lupa mengkaji aspek sosial budaya yang selama ribuan tahun melekat dengan natural endowment sungai tersebut. Mengingat dampak yang semakin buruk, maka pada tahun 1992 Parlemen AS menyetujui kembali mega proyek kedua untuk mengembalikan sungai Kissemmee pada bentuk aslinya, tentu dengan biaya yang jauh lebih besar. Proyek ini telah dimulai tahun 1997 dan diharapkan selesai pada 2011.

Satu lagi  kunci sukses reformasi birokrasi di Korea adalah adanya pola pikir kolektif untuk melakukan reformasi. Reformasi bukan saja merupakan tuntutan dan kewajiban, namun juga sebagai kebutuhan bersama. Belajar dari kasus Korea, reformasi seyogyanya tidak dianggap sebagai syarat memperoleh renumerasi yang lebih baik, namun benar-benar dijadikan sebagai momentum pembenahan birokrasi secara sistemik melalui pembenahan pola pikir, sikap dan perilaku dalam interaksi sehari-hari.

Penulis adalah Kepala Pusat Kajian Manajemen Kebijakan LAN-RI.