Minggu, 31 Agustus 2014

Arti Sebuah Kemasan



Don’t judge a book from its cover. Demikian pepatah yang sangat terkenal berisi nasihat untuk tidak melihat kepribadian dan kualitas seseorang dari penampilannya semata. Namun dalam konteks Thailand, pepatah seperti itu nampaknya sudah sangat usang. Kemasan, penampilan, dan cara penyajian justru menjadi cara ampuh untuk meyakinkan siapapun bahwa kualitas Thailand sama seperti yang terlihat. Itulah sebabnya, di Thailand kita bisa memberikan penilaian (judgement) hanya dengan mengamati apa yang terlihat di sekeliling kita (cover). Itulah kesan paling menonjol yang saya dapatkan dari negeri kerajaan yang terkenal dengan sebutan negeri gajah putih itu.

Ya, teknik mengemas sebuah produk atau jasa di Thailand merupakan daya tarik utama yang membuat seseorang mau mencoba sesuatu atau membeli sesuatu. Jika pedagang di berbagai negara pada umumnya langsung mempromosikan barang dagangannya, beberapa pengusaha Thailand justru sangat inovatif dengan mengajak pengunjungnya untuk mengetahui berbagai hal sekitar produk tersebut. Sebagai contoh, ketika rombongan kami mengunjungi Gems and Jewelry di Pattaya, saya berpikir bahwa kami akan langsung melihat aneka ragam permata dan perhiasan lainnya. Ternyata kami diarahkan kedalam sebuah gua gelap dengan mengendarai kereta bermuatan empat orang, mirip sekali dengan istana boneka di Dufan Ancol. Saya masih belum paham apa yang akan terjadi, hingga seorang petugas menekan tombol berbendera Merah Putih. Setelah tombol tersebut ditekan, barulah saya mengerti bahwa kami akan diajak tour melihat bagaimana batu-batu mulia digali hingga dibentuk menjadi cincin atau perhiasan lainnya. Sepanjang tour tersebut kami dibawa kedalam kehidupan bawah tanah untuk mengetahui bagaimana para penambang bekerja menemukan, membongkar, mengangkat, dan mengolah batu-batuan melalui teknik penambangan dan penggalian yang paling tradisional hingga teknik hidrologi.

Ketika kami keluar dari “gua” tersebut, lebih dari 10 anak-anak muda telah menunggu rombongan kami. Mereka adalah orang yang dididik secara khusus untuk melayani dengan menggunakan bahasa negara asal pengunjung tersebut. saya sungguh surprise dengan kemampuan berbahasa Indonesia mereka yang begitu sempurna sampai-sampai saya memastikan bahwa mereka memang bukan orang Indonesia. Kami dilayani dengan prinsip “satu pelanggan satu pelayan” (one costumer one servant), dan ini saya anggap sebagai sebuah terobosan besar dari pemilik toko permata tersebut dengan mempekerjakan begitu banyak orang untuk melayani tamu dari berbagai negara. Merekapun begitu professional saat menjelaskan bagaimana batu-batu mulia tadi dipecah menjadi kecil-kecil, dibentuk, digosok, dan seterusnya hingga dipajang di gallery.

Perlu saya tambahkan disini bahwa sepanjang perjalanan kami di “gua” itu, disela-sela penjelasan tentang proses dihasilkannya perhiasan tersebut, mereka juga menyisipkan pesan bahwa batu-batu permata tersebut adalah benda yang tidak ternilai harganya, yang sangat cocok dijadikan sebagai tanda cinta untuk orang-orang yang paling kita cintai. Meski saya paham bahwa pesan seperti ini adalah upaya menyentuh alam bawah sadar (subconscious mind) pengunjung, namun dengan kesadaran penuh saya membenarkannya, dan bahkan saya menjadi salah satu “korban” dari bagusnya cara mereka mengemas. Sebagai seorang yang awam tentang batu permata, sikap professional dan pelayanan prima yang mereka tunjukkan membuat saya tidak ragu-ragu untuk membeli sepotong cincin. Seumur hidup, baru kali inilah saya membeli cincin untuk orang yang paling saya cintai, karena pada saat menikahpun saya mempercayakan istri saya untuk membeli cincin pernikahan. Ini semua terjadi karena efek pengemasan yang luar biasa tadi. Pendeknya, mereka tidak meminta saya membeli, apalagi memaksa-maksa dengan menawarkan potongan harga, melainkan sayalah yang ingin membelinya. Bayangkan, berapa ratus orang yang bisa mereka pengaruhi dalam satu hari, sebagaimana mereka telah mempengaruhi saya.

Teknik promosi (mengemas dan menyajikan) yang sangat baik juga saya saksikan di sebuah toko madu. Rombongan kami tidak dibiarkan bebas melihat-lihat atau menawar, melainkan dimasukkan dalam sebuah ruang seperti meeting room, dimana disana sudah disiapkan gelas kecil berisi madu untuk seluruh rombongan. Selanjutnya, pemilik toko atau pegawainya memberi penjelasan tentang bagaimana madu, bee pollen, dan royal jelly dihasilkan dan diolah. Mereka juga menjelaskan dengan rinci tentang manfaat ketiga produk itu dan cara pemakaiannya. Satu hal yang pasti, presentasi itu diberikan dalam bahasa sesuai asal negara pengunjung. Tidak lupa pula mereka memberi sample bee polen dan royal jelly untuk kami cicipi secara langsung.

Mereka tidak berkata: “belilah produk kami, karena produk kami adalah produk nomor satu”, seperti lazimnya pedagang kecap berkata. Mereka cenderung menyampaikan pesan: “inilah kami dan produk kami, keputusan ada pada anda untuk membeli atau tidak”. Teknik komunikasi bisnis yang persuasif namun meyakinkan seperti inilah yang saya anggap inovatif dan jauh lebih efektif untuk menggaet pembeli baru dan mempertahankan pelanggan lama. Sebenarnya sayapun cukup terpengaruh dengan cara berjualan mereka ini. Hanya saja, saya menghindar membeli barang yang harus masuk bagasi pesawat, karena saya lebih nyaman dengan barang di kabin. Itulah sebabnya, saya mengurungkan niat untuk membeli madu. Bee pollen dan royal jelly saya memang tidak tertarik karena harganya yang terlalu mahal untuk ukuran saya.

Sedikit berbeda dengan kasus toko permata atau toko madu diatas, Thailand juga punya cara mengemas sesuatu secara spektakuler. Mereka menawarkan makan malam diatas kapal yang menyusuri Sungai Chao Phraya selama dua jam. Bagi saya, sebenarnya tidak ada yang istimewa dengan hal ini. Kapalnya terhitung kapal biasa dan jauh dari kelas kapal pesiar. Menu makanannya-pun sangat standar, tidak lebih baik dibanding makanan di sebuah resepsi pernikahan. Indonesia memiliki sungai-sungai besar yang jauh lebih banyak dan lebih eksotis. Yang membedakan adalah kemampuan mereka mengemas potensi, mengelolanya dengan baik, dan mempromosikannya dengan gencar. Mereka menyambut tamunya dengan dua pemain saxophone di pintu masuk kapal, setelah sebelumnya mereka sambut dengan tarian khas bartender dari atas kapal. Dan, master of ceremony sekaligus penyanyi diatas kapal mampu meyanyikan lagu-lagu dari seluruh negara asal pengunjung. Indonesia sebagai negara dengan tamu terbanyak mendapatkan kehormatan dengan jumlah-lagu-lagu yang didendangkan. Dari lagu Bujangan, Kemesraan, Cucakrowo, Kopi Dangdut, hingga lagu yang dipopulerkan oleh Caesar dengan goyang Caesar-nya, menjadi menu yang memeriahkan suasana malam itu. Disitulah pengunjung dari berbagai negara lebur menjadi satu, berjoged bersama dan saling menebar kebahagiaan. Maka, makan malam diatas kapal menjadi sebuah kemewahan dan momen yang istimewa. Rasanya belum ke Bangkok jika kita belum menikmati sungai terbesar di Thailand ini pada malam hari bersama ribuan pengunjung lainnya.

Sesungguhnya masih banyak lagi contoh-contoh bagaimana Thailand mengemas sesuatu yang sederhana dan memberikan nilai tambah yang sangat besar, sehingga produk yang sederhana tadi berubah menjelma menjadi produk baru yang berbeda. Sebagai contoh, ketan adalah sesuatu yang murah dan sederhana. Harga ketan-pun pada umunya sangat terjangkau karena mudah diperoleh dimana-mana. Namun, ketika ketan tadi dipadu dengan buah manga, durian, dan sedikit ditambah santan (teknik kombinasi dalam inovasi), maka berubahkan status ketan yang biasa nongkrong di pasar-pasar tradisonal menjadi sajian berkelas untuk tamu hotel atau peserta konferensi internasional.

Ternyata, kemasan bisa jauh lebih penting dari isinya, sepanjang kita bisa menembahkan nuansa inovasi didalamnya. Jangan pernah sepelekan persoalan kemasan. Kesan pertama terhadap seseorang, suatu bangsa, atau sebuah produk, selalu diawali dari penampilan atau kemasan. Jika kemasannya sudah tidak menarik, jangan pernah berharap orang akan penasaran untuk mengetahui atau menikmati isinya. Untuk itu, pemerintah dan para pelaku usaha di Indonesia harus mulai memberi perhatian serius untuk mengemas produk-produk unggulan, baik barang maupun jasa, sebaik dan semenarik mungkin. Benar bahwa a cover can’t tell everything inside the book, tetapi we can judge a book from its cover, indeed

Hotel Asia Bangkok, 31 Agustus 2014
*menjelang check-out dan kembali ke tanah air tercinta*

Belajar Inovasi Dari Thailand



Dalam banyak hal, Indonesia sesungguhnya tidak banyak tertinggal dari Thailand. Apa yang terjadi di Thailand pada saat bersamaan sudah dilakukan secara efektif di Indonesia. Sebagai contoh, Pemerintah Kota Pattaya memiliki layanan Call Center 1337 yang memberi informasi 24 jam tentang apapun yang ada dan terjadi di kota pantai di timur Thailand itu. Masyarakat juga bisa menyampaikan saran, kritik, atau keluhan melalui jalur bebas pulsa tersebut. Selain mendekatkan birokrasi kepada masyarakat dan menciptakan pelayanan secara non-stop, model layanan seperti ini juga memperkuat akuntabilitas aparat dimata publiknya. Tapi jangan berdecak kagum dulu, karena layanan seeprti ini juga sudah banyak diterapkan di Indonesia, misalnya PT. KAI yang memiliki Call Center 121, atau UPIK (Unit Pelayanan Informasi dan Keluhan) Kota Yogyakarta yang memiliki SMS Center 08122780001. Apapun yang membuat anda jengkel saat berada di Yogya, kirimkan saja keluhan anda melalui nomor tersebut, dan anda akan segera mendapatkan respon dari pihak berwenang setempat (baca artikel sebelumnya berjudul “Berenang di Kolam Inovasi”).

Selain Call Center, Kota Pattaya juga memiliki layanan CCR (Command and Control Room), sebuah ruang yang terhubung dengan CCTV yang dipasang di berbagai sudut kota, sehingga kondisi kota dapat diketahui secara real time, dan jika ada masalah dapat segera diambil langkah-langkah untuk menanganinya. Jika dibandingkan dengan perangkat yang sama yang dimiliki TMC Polda Metro atau NTMC Polri, fasilitas Kota Pattaya jauh sekali tertinggal baik dalam hal jumlah layak monitor, jangkauan wilayah, dan sistem pelaporannya kepada masyarakat. Bedanya, kewenangan monitoring lalu lintas di Indonesia dipegang oleh kepolisian, sedangkan di Pattaya merupakan urusan pemerintah daerah, sama seperti Dewan Bandaraya Kuala Lumpur.

Sedikit perbandingan diatas mengilustrasikan bahwa kita tidak kalah dibanding negeri tetangga tersebut. Bahkan dalam berbagai hal kita lebih unggul. Tengok saja, layanan wi-fi yang di Indonesia bisa diperoleh secara gratis hingga di taman-taman kota, hotel melati, atau café kecil, ternyata di Bangkok masih merupakan barang mewah. Buktinya, di Hotel Asia, hotel bintang empat yang kami huni, hanya untuk tersambung internet selama 20 menit saja kami harus membayar sebesar 200 Baht. Sungguh tidak sesuai dengan tagline mereka yang berbunyi The most comfortable hotel in Thailand dan Start your experience … journey with us. Di bidang lain seperti pertanian, keanekaragaman hasil pertanian Indonesia tidak pernah bisa disamai oleh Thailand. Begitu pula kekayaan perikanan laut Indonesia yang begitu melimpah hingga menjadi sasaran pencurian oleh para nelayan Thailand. Singkatnya, keunggulan berbanding (comparative advantage) komoditas Indonesia masih jauh lebih hebat dibanding negeri gajah putih.

Persoalannya, mengapa Thailand justru mampu membangun keunggulan bersaing (competitive advantage) yang jauh lebih kuat dibanding Indonesia? Mengapa dengan sumber daya yang lebih sedikit namun mereka memiliki pendapatan per kapita yang lebih tinggi, infrastruktur yang lebih lengkap dan modern, tingkat kemiskinan dan tingkat pengangguran yang lebih kecil, juga peringkat yang lebih baik dalam berbagai indikator makro (ease of doing business, innovation index, government effectiveness, dll) dibanding Indonesia? Bagi saya jawabannya hanya satu, yaitu bahwa Thailand mampu melakukan inovasi dengan progresif, teramat jauh dibanding apa yang telah dilakukan pemerintah Indonesia.

Inisiatif inovasi di Pattaya yang sempat saya catat antara lain adalah adanya kebijakan pemda setempat yang mewajibkan rakyatnya untuk mampu membaca dan menulis minimal dalam dua bahasa negara ASEAN. Dengan kemampuan berkomunikasi ini, jelas sekali bahwa orang Thailand akan jauh lebih siap untuk berkompetisi dibanding penduduk negara ASEAN lainnya. Hal ini kami buktikan sendiri, dimana di setiap restaurant dan tempat belanja yang kami kunjungi, disana banyak sekali anak-anak muda Thailand yang mahir berbahasa Indonesia. Bahkan mereka juga menyiapkan para pelayan yang menguasai bahasa-bahasa lain di dunia.

Di kota yang masuk dalam wilayah Provinsi Chanburi ini juga ada inovasi berupa pengembangan wilayah khusus pariwisata yang terintegrasi dengan pemukiman warga. Dalam bayangan saya, obyek wisata itu bukan hanya tempat-tempat bersejarah atau pemandangan indah semata, namun juga pemukiman warga yang ditata secara khas dengan mengedepankan identitas etnik. Saya jadi teringat ketika pemukiman di sepanjang Sungai Code di Yogyakarta pernah menjadi international best practice dan mendapatkan penghargaan Agha Khan Award. Saya juga teringat bahwa pemukiman kumuh di Jakarta dengan jalan yang sempit-sempit, justru menjadi potensi wisata yang menarik bagi turis asing. Atau, rumah-rumah terapung di Balikpapan, Samarinda, Bontang, atau Banjarmasin, adalah potensi wisata yang sangat menjanjikan jika dikelola dengan baik dan didukung oleh promosi yang memadai.

Disamping kedua hal tersebut, masih banyak gagasan dan praktek inovasi dalam manajemen pemerintahan di Pattaya, misalnya pelayanan kesehatan yang berstandar swasta namun dengan tariff pemerintah. Inilah yang oleh Peter F. Drucker disebut sebagai situasi The Incongruities, yakni sebuah situasi dimana ada dua nilai yang berbeda namun harus dapat dipenuhi kedua-duanya dengan sama baik. Teknologi flash-disk atau hard-disk adalah juga contoh the incongruities, dimana tuntutan masyarakat adalah memiliki alat penyimpan data yang semakin kecil ukurannya namun semakin besar kapasitasnya. Masih ada lagi inovasi di Pattaya yakni kebijakan publik yang membuka ruang partisipasi seluas mungkin bagi para sukarelawan, misalnya sebagai penjaga pantai. Sebagaimana halnya di pantai Kuta Bali, pemuda-pemuda lokal rata-rata memiliki keterampilan berenang dan berselancar yang sangat baik. Sayang sekali jika keberadaan mereka hanya sekedar melayani turis asing secara pribadi namun tidak dimanfaatkan untuk membantu pemerintah menjaga keselamatan pengunjung pantai. Dengan pola kemitraan ini, maka pemerintah tidak perlu repot-repot merekrut tenaga SAR, sementara masyarakatpun merasa diberdayakan oleh pemerintah. Dengan model itu pula, maka terjadilah hubungan mutual co-existence antara pemerintah dengan warganya.

Adapun inovasi terakhir yang saya catat adalah kegiatan pengelolaan sampah di sekolah. Disamping menanamkan kesadaran perlunya menjaga kebersihan dan kesehatan lingkungan di kalangan pelajar sejak dini, praktek ini juga mengurangi beban pemerintah, dalam arti tidak seluruh sampah harus dikelola sendiri oleh pemerintah. Syaratnya, pemerintah harus menyediakan sarana yang lengkap dan pendidikan kepada kelompok masyarakat, sehingga mereka mampu mengelola sendiri sampah yang dihasilkan. Terkait dengan inovasi di bidang lingkungan hidup diatas, pemerintah Pattaya juga memproduksi biodiesel yang diambil dari sisa minyak rumah tangga (minyak jelantah). Dengan demikian, minyak jelantah tadi tidak dibuang dan mencemari lingkungan, sebaliknya diolah menjadi energi baru dan terbarukan sebagai alternatif energi fosil.

Sementara di tingkat nasional, inovasi besar yang dilakukan adalah membangun konektivitas antar negara untuk menjamin arus barang dan jasa bisa mengalir keluar masuk Thailand secara lancar. Demi terwujudnya konektivitas yang optimal, maka seluruh provinsi di Thailand telah terhubung dengan jalan raya dengan kualitas seperti jalan tol di Indonesia. Jaringan jalan raya dari China ke Thailand juga sudah terbangun sehingga tidak perlu lagi ada pengiriman barang antar kedua negara yang dilakukan melalui kapal laut; dan ini mampu mempercepat waktu tempuh hanya menjadi 24 jam.

Thailand dengan sangat optimis dan percaya diri telah mendeklarasikan diri sebagai logistic hub antara ASEAN dengan China dan India, hub untuk produk-produk halal, serta hub untuk pelayanan kesehatan. Sebagai logistic hub, peta arus barang ekspor impor Thailand kedepan tidak lagi melewati Singapura, melainkan langsung dari Thailand ke China, India, atau ke Timur Tengah melalui Andaman. Sebagai hub produk halal, Thailand masuk lima besar negara pengekspor produk halal. Hal ini antara lain didukung oleh adanya Halal Science Center yang berkedudukan di Chulalongkorn University. Uniknya, jumlah penduduk muslim di Thailand tidak lebih dari 5 persen dari total populasi, namun mereka mampu melihat dan memanfaatkan keberadaan umat muslim diluar Thailand sebagai peluang untuk mengdongkrak ekonominya. Artinya, Thailand benar-benar memiliki kapasitas untuk berpikir yang tidak dipikirkan negara lain (think the unthinkable) dan melihat peluang yang tidak dilihat negara lain (see the unseen), dan itu adalah kapasitas inovasi yang luar biasa. Adapun sebagai health center hub, Thailand menawarkan paket wisata dan layanan kesehatan secara terpadu. Di RS Bumungrat, misalnya, perawat mahir berbahasa Inggris dan Arab untuk melayani turis yang berobat ke RS tersebut. Selain itu, di bandara Suwarnabhumi terdapat counter kesehatan yang bisa langsung menangani pasien yang turun dari pesawat.

Terkait dengan sektor pertanian, meskipun Thailand lemah dalam hal diversifikasi produk, namun menang telak dalam hal differensiasi produk. Sebagai contoh, durian tidak hanya dijual sebagai durian segar, namun juga diolah menjadi kue semprong dan wafer rasa durian, serta kue kering durian yang rasanya tidak berkurang sedikitpun dibanding durian segar. Kemampuan melakukan differensiasi ini masih ditopang pula dengan pengemasan (packaging) yang menarik. Semuanya ini menjadikan produk makanan ringan ini mampu menembus pasar dunia. Hebatnya lagi, produk-produk seperti ini dihasilkan oleh pengusaha UKM di desa-desa, atau yang disebut Tambol. Setiap Tambol memiliki paling sedikit satu produk unggulan, yang sering dikenal dengan istilah OTOP (one Tambol one product).

Tidak seperti di Indonesia dimana gagasan OVOP (one village one product) atau Saka Sakti (satu kabupaten satu kompetensi inti) gagal direalisasikan. Di Thailand OTOP berkembang pesat dan menjadi salah satu tulang punggung perekonomian nasional selain dari sektor pariwisata. Kuncinya, ada kerjasama dan keterpaduan antara pemerintah, lembaga pendidikan dan penelitian, serta kalangan penguasa atau industri. Dengan kata lain, mekanisme triple helix dalam pengembangan UKM berjalan dengan sangat baik, dimana pemerintah melakukan pembinaan dan menyediakan dana, sementara lembaga pendidikan dan penelitian melakukan pengkajian terhadap desain kemasan, sedangkan pengusaha besar (misalnya mall, gallery, hotel) menampung hasil OTOP sebagai komoditi yang dijual di tempat mereka. Disini nampak sekali adanya sinergisitas antar berbagai aktor, sehingga tidak mengherankan jika industri kecil dan menengah tumbuh menjadi primadona dalam perekonomian Thailand.

Belajar dari inovasi dan kisah sukses Thailand diatas, ada baiknya Indonesia segera merapatkan barisan, memperkuat koordinasi dan silaturahmi antar aktor, menyamakan visi dan persepsi, serta menyatukan tekad dan langkah konkrit membangun perekonomian nasional. Kebiasaan terlalu banyak berwacana sudah selayaknya dilupakan, dan beranjak kepada aktualisasi gagasan OVOP/ Saka Sakti, triple helix, dan sebagainya. Tidak ada kata terlambat untuk memulai sebuah inovasi dan kebaikan. Potensi sudah terhampar luas, kemampuan SDM sudah cukup mendukung, tinggal eksekusi manis yang masih dinantikan oleh seperempat milyar penduduk negeri ini. Momentum suksesi kepemimpinan nasional mudah-mudahan dapat dijadikan tonggak kebangkitan menjadikan kembali Indonesia sebagai keajaiban ekonomi Asia.

Pada hari berikutnya dalam rangka program benchmarking Diklatpim II Angkatan XL Kelas B, kami mengunjungi dua instansi yakni National Institute of Development Administration (NIDA) dan Ministry of Commerce (Moc), dua institusi yang memiliki tugas, karakter, dan segmen pelanggan yang sangat berbeda. NIDA adalah lembaga pendidikan yang fokus untuk mencetak kader professional melalui pendidikan formal jenjang Master dan Doktor, sementara MoC adalah kementerian yang bertugas menjamin agar ekonomi Thailand berkembang secara aman, adil, berkelanjutan, dan tahan terhadap segala bentuk ketidakpastian demi kesejahteraan rakyat secara keseluruhan.

Meskipun keduanya sangat berbeda, namun saya menangkap ada kesamaaan dalam hal spirit untuk menempatkan masyarakat yang dilayani dengan sepenuh hati. Untuk kasus NIDA, tidak dipungkiri bahwa lembaga ini memiliki motif ekonomi sebagai revenue center. Besaran SPP atau tuition fee untuk program internasional Ph.D in Business Administration sebesar 1,1 juta Baht (USD 36,667), atau program MBA  sebesar 500.000 Baht (USD 16,667), menggambarkan betapa mahalnya biaya pendidikan di NIDA. Namun disisi lain, NIDA juga memiliki tanggungjawab sosial untuk menciptakan lingkungan sekitar kampus yang lebih baik maupun memberikan program pelatihan secara gratis untuk siapapun yang berminat atau membutuhkan. Hal ini sesuai dengan shared values mereka yakni “Wisdom for Change”, dimana kata WISDOM merupakan akronim dari World-class, Innovation, Social Responsibility, Discipline, Open-mindedness, dan Morality.

Nah, sebagai wujud dari nilai social responsibility itulah, NIDA secara aktif turut menjaga kebersihan sungai yang terletak di belakang kampus, mengembangkan konsep green society, serta memberikan layanan pelatihan secara gratis. Beberapa pelatihan gratis yang telah dilaksanakan diantaranya adalah: 1) Program for Young Leaders; 2) Academic discussion in the topic of Investment Direction of Thailand in 2012 Following the Flood Crisis; 3) Training course of Self-Development Strategy for Enhancing Competency in Performance; dan 4) Training of Reinforced Innovation for coping with ASEAN Economic Community. Selain itu, mereka juga mempromosikan upaya pelestarian seni budaya, misalnya dengan mengadakan seminar bagi warga muslim setelah hari raya lebaran (Idul Fitri).

Sementara untuk kasus MoC, mereka juga memberikan pelatihan secara gratis kepada para pelaku usaha, khususnya kelompok kecil dan mikro, kemudian memberikan fasilitasi berupa lokasi untuk promosi. Pada saat kami memasuki areal kementerian ini, terlihat deretan stand/kios menyerupai pameran yang sebagian besar menjajakan aneka makanan dan kerajinan. Ternyata, mereka adalah para pedagang kecil yang telah diberikan bekal keterampilan untuk meningkatkan usaha, sejak proses produksi hingga pengemasannya. Dan situasi seperti pameran ini berlangsung terus sepanjang tahun dengan pelaku dan jenis usaha yang berganti-ganti. Tidak heran jika usaha mikro, kecil dan menengah di Thailand berkembang pesat karena memang didukung oleh komitmen penuh dari pemerintah.

Dari perspektif inovasi, saya memandang bahwa apa yang dilakukan oleh MoC ini adalah wujud dari praktek inkubasi inovasi. Sebab, dengan diberikannya pelatihan serta kesempatan untuk promosi secara gratis, para pelaku usaha tadi akan dapat merasakan perbedaan sebelum dan sesudah diberikannya program inkubasi tadi, baik dalam hal proses produksi, kualitas produk, daya tarik kemasan, teknik melayani pelanggan, dan sebagainya. Pada saat mereka dilepas untuk kembali ke tempat asal masing-masing, diharapkan mereka telah memiliki kesiapan yang jauh lebih baik untuk menjalankan bisnisnya secara penuh. Mungkin saja para pejabat MoC sendiri tidak menyadari bahwa mereka telah melakukan salah satu tahapan penting dalam manajemen inovasi, yakni inkubasi. Namun bagi saya, perlakuan mereka terhadap para pelaku usaha kecil tadi telah berkontribusi terhadap maraknya inovasi di sektor ekonomi kerakyatan.

Pengalaman kedua instansi diatas memberi lesson learned bagi saya bahwa setiap instansi pemerintah harus memiliki program social responsibility atau philanthropy untuk kemajuan masyarakat secara luas. Sayangnya, dewasa ini ada indikasi bahwa instansi pemerintah lebih asyik dengan dirinya sendiri, dimana proporsi anggaran yang dimiliki lebih banyak dinikmati oleh pegawainya dibanding alokasi untuk rakyat banyak. Pemerintah yang sejatinya memang harus memiliki jiwa sosial, menjadi semakin berjarak dengan konstituennya, karena program-program yang dijalankan sering tidak berhubungan langsung atau memiliki dampak langsung bagi publik. Akibatnya, kemanfaatan instansi pemerintah bagi masyarakat sangat sulit untuk diukur dengan pasti. Pemerintah sering meng-klaim bahwa mereka telah berhasil menaikkan tingkat pendapatan masyarakat atau menurunkan angka kemiskinan, padahal boleh jadi naiknya pendapatan dan turunnya kemiskinan itu karena masyarakat yang bekerja lebih keras, atau karena naiknya permintaan barang konsumsi dari negeri tetangga, atau karena jumlah kunjungan wisatawan asing yang berlipat, atau sebab lain yang bukan karena intervensi langsung dari pemerintah.

Atas dasar itulah, saya memandang tetap ada baiknya setiap instansi pemerintah menciptakan program yang langsung memenuhi kebutuhan masyarakat tertentu, secara gratis. LAN misalnya, selain menyelenggarakan program rutin yang terstruktur seperti kajian kebijakan atau diklat aparatur, ada baiknya membuat pelatihan aplikatif bagi mahasiswa, wiraswasta, kaum pengangguran, atau siapapun yang selama ini tidak masuk dalam stakeholder LAN. Pelatihan metode penelitian, penulisan karya tulis ilmiah, dasar-dasar organisasi dan manajemen, dan sejenisnya bagi mahasiswa, atau pelatihan kewirausahaan bagi wiraswasta atau pengangguran, adalah wujud nyata dari social responsibility LAN. Demikian pula, seluruh instansi di tingkat pusat dan daerah, seyogyanya mendefinisikan social responsibility yang dapat diberikan oleh instansinya masing-masing. Dengan demikian, bukan hanya kinerja instansi pemerintah yang akan meningkat, namun secara lebih luas juga akan membawa dampak positif yang sistemik bagi kemajuan bangsa dan negara.

Bangkok, 30 Agustus 2014
*catatan hasil benchmarking peserta diklatpim 2 angkatan 40 kelas b*