Senin, 22 Agustus 2011

Menjelang Perpisahan


Siklus organisasi, hidup manusia, bahkan sistem tata surya nampaknya tidak terlepas dari Kurva S (S Curve). Secara sederhana, Kurva S dapat didefinisikan sebagai suatu grafik hubungan antara waktu berjalannya sesuatu dengan nilai akumulasi progress sesuatu tersebut. Sebagai contoh, sebuah kegiatan yang baik dalam organisasi, pada awalnya dicirikan oleh kecepatan yang pelan, kemudian cepat dan sibuk di bagian tengah, dan kemudian santai di penghujung. Demikian pula dengan manusia, pada saat lahir lemah tidak berdaya, kemudian kuat dan produktif pada masa muda, hingga akhirnya kehilangan kekuatan lagi saat menjelang senja.  

Saya amati, peserta diklatpim juga terkena sindrom Kurva S tersebut. Pada awalnya sangat antusias dan cenderung menggebu-gebu dalam mengikuti diklat, di tengah-tengah mulai banyak keluhan dan berprinsip “ikan sepat ikan gabus” (makin cepat makin bagus), namun di akhir program menjelang penutupan justru terasa ada yang hilang. Harus diakui bahwa di minggu-minggu terakhir tidak ada lagi suara-suara yang menginginkan percepatan program diklat. Yang terjadi justru keakraban yang makin terajut, dan hubungan yang makin cair. Dan ketika hal itu mulai dirasakan, saat perpisahan justru semakin dekat.  

Secara kebetulan, program Diklatpim II yang saya ikuti bersamaan dengan bulan Ramadhan. Maka sayapun mengkaitkan Diklatpim dengan Ramadhan. Ternyata diantara keduanya ada kemiripan. Bulan Ramadhanpun disambut dengan antusias di depan, biasa-biasa di tengah, dan dirindukan ketika mendekati datangnya hari lebaran. Mungkin memang begitulah hukum alam: ketika kita belum merasa dekat dengan sesuatu, sesuatu tersebut terasa begitu lama berada di sekitar kita meski kadang tidak diharapkan. Namun begitu kita sudah merasa nyaman dengannya, sesuatu tadi justru sudah pada masanya meninggalkan kira.   

Maka, tidaklah aneh ketika Diklatpim II kami tinggal tersisa satu hari, yang dilakukan teman-teman adalah upaya saling mengenal dan mendekatkan satu sama lain seperti merekam nomor hp, berjanji untuk saling kontak dan mengunjungi, dan sejenisnya. Namun, saya pribadi kehilangan momentum karena saat Jurnal ini saya tulispun, saya masih menunggui istri menjelang persalinannya. Kondisi HB-nya yang rendah mengharuskan dia untuk menerima transfusi 6 kantong darah. Namun disela-sela transfusi dan infus, sesekali diselingi dengan kontraksi perut dan keluhan-keluhan lain seperti sesak nafas, jantung berdebar-debar, kesakitan pada tulang kemaluan, dan banyak lagi. Maka, saya harus tetap terjaga agar dapat hadir setiap kali dibutuhkan. Dan untuk menjaga agar tetap terjaga, menulis jurnal inilah salah satu resep mujarabnya.  

Sampai disini, catatan harian selaku peserta Diklatpim II saya akhiri seiring dengan datangnya saat berpisah. Namun, ketika perpisahan dengan teman-teman peserta sudah diambang pintu, ketika itu pula saya tengah menantikan kehadiran dua buah hati tercinta, si kembar Tri Widodo yunior. Kehadirannya bagi saya berada dalam momentum yang sangat baik, yakni di 10 hari terakhir Ramadhan yang penuh ampunan Ilahi Rabbi, bersamaan pula dengan keebrhasilan saya menyelesaikan tugas kedinasan mengikuti Diklatpim Tingkat II. Momentum Ramadhan merefleksikan hubungan manusia dengan Khaliq-nya, sementara Diklatpim melambangkan tugas kekhalifahan manusia di muka bumi. Semoga, keseimbangan dimensi vertikal berupa penghambaan dan penyerahan sepenuhnya (total devotion and total submission) dengan dimensi horizontal berupa tugas memakmurkan dunia dan memuliakan sesama, akan menjadi bekal mereka berdua dalam mengarungi kehidupan di dunia.  

Semoga Allah senantiasa membimbing calon anakku berdua menjadi manusia utama lagi mulia, yang tangguh mengarungi samudera dan angkasa raya, yang menjadi tokoh sentral dalam membangun masyarakat sejahtera dan beradab, yang selalu berpikiran positif dan merubah keburukan menjadi kebaikan, yang selalu menyebarkan salam dan kedamaian, yang selalu bersih ucapan/pikiran/perbuatannya, yang selalu menyandarkan diri hanya kepada Allah Azza wa Jalla, yang memegang teguh perjanjian dengan Rabb-nya ketika berada di Arsy-Nya, yang menjadikan segalanya sebagai jalan ibadah menuju ridha dan surga-Nya.  

Amin amin amin ya rabbal ‘alamiin … 

Kampus Pejompongan Jakarta
Selasa dini hari, 23 Agustus 2011, 04.00 Wib.

Sekedar Gagasan Ringan Untuk Beberapa Perbaikan


Hingga Jurnal ke 44 ini, sesungguhnya masih teramat banyak ide yang ingin saya tulis dan tuangkan dalam tulisan. Namun tugas-tugas lain yang mengantri panjang serta kondisi domestik yang tidak memungkinkan, memaksa saya untuk mengerem diri, jika bukan mengakhiri. Itulah sebabnya, pada catatan ke-44 ini saya tidak bicara soal issu yang spesifik; saya mencoba mengumpulkan beberapa memori yang berserakan yang pernah terpikir sepanjang keikutsertaan saya dalam Diklatpim Tingkat II Angkatan XXXI ini. 

Hal pertama yang perlu diseriusi adalah soal standarisasi kualitas widyaiswara, baik dalam penguasaan materi, teknik penyampaian materi, sikap / perlakuan terhadap peserta. Dari Kajian Paradigma, dilanjutkan dengan Kajian Kebijakan Publik, Kajian Manajemen Strategis, dan diakhiri dengan Aktualisasi, saya merasakan kualitasnya semakin menurun. Entah karena mereka terserang kejenuhan atau kemalasan, atau sebab lain, saya melihat penguasaan materi mereka sangat minim dan serba menggantung saat ditanya oleh peserta. Tahap terakhir agaknya menjadi tahap paling krusial, dimana widyaiswara dituntut memiliki kesamaan pandangan soal format, proses, dan konten KKT Kelompok, SL, dan KKT Kelas, namun sayangnya tidak terjadi. Bahkan sempat terjadi kompromi bahwa cara kerja dan format laporan antar kelompok dibiarkan bebas sesuai perspektif masing-masing kelompok. Saya menangkap kesan para widyaiswara kalah wibawa dalam berargumentasi dengan peserta yang berdebat secara emosional, atau mungkin mereka bermaksud menjaga wibawanya dengan melakukan “pembelaan” secara parsial. Jika memang kelompok dibiarkan bebas berkreasi, untuk apa penjelasan yang diberikan berkali-kali sebelumnya, untuk apa ada pedoman aktualisasi, dan untuk apa ada KKT integrasi? Kompromi inilah yang paling mengecewakan saya hingga saat ini. 

Pengalaman seperti ini harus benar-benar dipahami oleh penyelenggara, untuk kemudian diambil langkah-langkah konsolidasi agar tidak terjadi lagi pada angkatan selanjutnya. Pola penunjukan widyaiswara tidak boleh lagi didasarkan pada “urut kacang” dan pemerataan, namun harus benar-benar berbasis kompetensi. Widyaiswara harus dipetakan dan diklasifikasikan berdasarkan talent dan competence-nya, sehingga seorang widyaiswara tidak bisa masuk ke seluruh talent-pool atau competence-pool. Setelah pemetaan bakat dan kompetensi tercapai, masih ada “PR” lain yakni menjamin bahwa widyaiswara yang berada pada pool yang sama harus benar-benar memiliki cara pandang yang simetris, atau tidak saling memotong dan merasa diri paling menonjol. Jika mereka tidak bisa menempatkan diri sebagai mitra antar sesama widyaiswara, bagaimana mungkin mereka akan menjadi mitra yang baik untuk peserta diklat?

Saran kedua yang ingin saya sampaikan adalah soal memecah kekakuan hubungan antar peserta atau icebreaking. Menurut saya, icebreaking diawal lebih baik dilakukan di tingkat kelas, bukan di tingkat kelompok. Sebab, hingga masuk Kajian Manajemen Strategis, bahkan pada saat berada di lokasi SL, masih ada saja beberapa teman yang salah menyebut nama temannya, yang mengindikasikan bahwa mereka belum saling mengenal. Hubungan yang belum mencair hingga 3/4 perjalanan program diklat, jelas mengurangi kualitas komunikasi dan kualitas mekanisme kerja dalam setiap kelompok. Bahkan jika perlu, perlu diciptakan momen-momen khusus yang mempertemukan kelas A dan B, sehingga komunikasi tidak terbatas dalam ruang-ruang yang saling terpisah. Jika perlu lagi, akan sangat baik jika ada forum komunikasi dan interaksi antara peserta Diklatpim III, II dan I, sehingga suasana kampus benar-benar merefleksikan kondisi riil dalam organisasi permanen.  

Hal lain yang juga sangat prinsip untuk dilakukan adalah mental-building. Caranya antara lain adalah: pada awal program, peserta perlu dimotivasi sebaik mungkin untuk menyetel frekuensi hati, cara berpikir, dan kesiapan mental peserta sebelum memasuki program diklat yang panjang dan berat. Salah satunya adalah dengan mengingatkan tentang tujuh kebiasaan manusia yang paling efektif, khususnya yang terakhir. Dalam bukunya, Stephen R. Covey menegaskan bahwa manusia adalah ibarat gergaji. Gergaji tersebut akan dapat berfungsi dengan baik jika terus diasah dan dipelihara dengan baik pula. Jika gergaji tersebut dipakai secara terus menerus tanpa jeda dan tanpa perawatan, maka akan cepat usang, tumpul, dan pada akhirnya rusak. Saat ia rusak, maka tidak akan ada lagi yang peduli dengannya, bahkan dengan mudahnya gergaji tersebut dicampakkan begitu saja, dibuang dalam tumpukan sampah busuk, seolah-olah ia tidak pernah berjasa kepada tuannya. Demikian pula kita sebagai pegawai pemerintah, secara periodik kita harus jeda untuk menjalani treatment atau maintenance. Nah, pendidikan atau pelatihan adalah salah satu bentuk maintenance yang paling efektif untuk menjaga konsistensi dan meningkatkan kompetensi seorang pegawai.  

Program diklatpim yang sedang diikuti, pada hakekatnya juga adalah waktu jeda dari rutinitas harian yang begitu padat dan acapkali tidak memberi kesempatan kita untuk menghela nafas. Dengan kata lain, diklat adalah “gergaji” yang memberikan jaminan agar seorang pegawai tetap tajam, baik dalam pemikiran maupun kinerjanya. Bayangkan jika seorang pegawai bekerja terus tanpa henti, pasti akan mengalami kejenuhan, dan pada akhirnya mengalami penurunan kreativitas dan penurunan kinerja. Oleh karena itu, diklat bukan hanya strategi untuk membangkitkan kinerja pegawai, namun sekaligus juga wahana penyegaran (refreshment) dari dunia rutinitas agar muncul ide-ide kreatif dan potensi inovatif yang ada dalam diri setiap pegawai. Dan jika peserta sudah benar-benar memahami spirit diklat, maka mereka akan mengikutinya dengan kesadaran penuh dan membuang jauh-jauh prinsip formalitas. 

Ide terserak terakhir yang ingin saya sumbangkan adalah soal sosiogram atau penilaian antar sesama peserta. Dengan adanya model pemeringkatan 10 Besar yang masih diragukan obyektivitasnya, semestinya sosiogram dapat menjadi kontrol terhadap akurasi pada komponen penilaian lainnya. Namun yang terjadi dapat sebaliknya, dimana sosiogram justru menjadi pengacau penilaian atau pengabur obyektivitas. Ada kecenderungan peserta mengisi secara “ngawur” untuk menguji apakah penyelenggara benar-benar memiliki instrumen yang mampu mendeteksi kemampuan dan kinerja riil peserta. Oleh karena itu, sosiogram apa adanya sekarang sulit diandalkan, dan untuk membenahinya perlu dilengkapi dengan metode lain, misalnya survey secara aksidental. Maksudnya, penyelenggara sebaiknya tidak “menelan mentah-mentah” informasi dalam sosiogram, namun juga berusaha mencari cara lain sebagai media cross-check terhadap kebenaran sosiogram tersebut. Salah satu caranya adalah dengan membuat survey tadi, yakni menanyakan secara langsung kepada beberapa peserta tertentu yang dinilai tepat, jujur, dan seimbang untuk menggambarkan situasi nyata di kelompok maupun di kelas.

Sebenarnya masih ada beberapa ide sederhana yang ingin saya utarakan, namun sekali lagi berbagai keterbatasan membuat saya memilih untuk berhenti sampai disini dan mengambil jeda hingga kesempatan yang lebih baik menyambangi saya … J 

Kampus Pejompongan Jakarta
Minggu, 21 Agustus 2011

Tentang Ujian KTP-2


Hari Kamis dan Jumat kemarin kami menjalani ujian KTP-2 (Karya Tulis Prestasi Perseorangan). Penulisan KTP-2 sendiri mengikuti alur seperti penulisan karya tulis ilmiah, yang didahului dengan penetapan pembimbing, pengajuan TOR atau proposal, rangkaian konsultasi per bab, hingga kaidah penulisan yang haru memenuhi standar akademis pula. Namun dilihat dari waktu yang tersedia serta tumpukan tugas-tugas lainnya, agak sulit mengharapkan lahir sebuah karya tulis yang baik dan mampu merumuskan rekomendasi kebijakan yang bersifat terobosan (breakthrough). Bayangkan saja, pada saat berangkat SL sebagian besar peserta baru menyelesaikan Bab I dan II, bahkan pembimbing baru memberikan persetujuan atas konsep Bab I. Namun hanya 2 hari sepulang dari SL, peserta sudah harus menyerahkan draft KTP-2 lengkap. Akhirnya mudah diterka, bahwa konsep KTP-2 yang diajukan peserta tidak mendapat perhatian, catatan, dan perbaikan yang memadai dari widyaiswara pembimbing.

Dalam keadaan KTP-2 yang tidak mendapat bimbingan cukup itulah kami harus paparkan di depan widyaiswara penguji. Maka, mudah diterka pula jika penguji dengan mudah menemukan banyak kekurangan dan kelemahan dari paparan peserta. Di pihak lain, cukup wajar jika peserta yang merasa hasil karyanya “diobrak-abrik” oleh penguji lantas mencari sisi lemah dari sistem atau pola penulisan dan pembimbingan KTP-2 tersebut. Seperti yang dialami seorang dari Kalimantan yang mendapat banyak catatan, beliau merasa keberatan karena diuji tanpa didampingi oleh pembimbing. Teman ini lantas membandingkan dengan ujian thesis atau disertasi yang selalu didampingi pembimbing atau promotor. Beliau juga mengkhawatirkan adanya perbedaan persepsi antara pembimbing dan penguji, yang berujung pada banyaknya catatan perbaikan saat ujian tersebut. 

Pada kasus lain, perbedaan persepsi diantara peserta tentang “binatang” bernama KTP-2 juga tidak dapat dihindari. Salah seorang peserta yang bergelar Doktor dan berprofesi sebagai dosen di PTN di Jakarta melihat KTP-2 murni sebagai produk akademik sekelas thesis. Oleh karenanya, pada saat menjadi pembahas-pun beliau menceritakan pengalaman pribadinya selaku penguji thesis, dan memberikan komentar terhadap KTP-2 temannya benar-benar layaknya menguji thesis. Padahal, bagi peserta lain (termasuk saya), KTP-2 bukanlah produk akademik sepenuhnya. Dilihat dari proses penulisan serta metodologi yang digunakan saja, KTP-2 sangat jauh untuk disebut sebagai karya ilmiah sekelas thesis. KTP-2 lebih merupakan dokumen kerja atau dokumen perencanaan dalam rangka penjabaran Tupoksi organisasi, sehingga dialah yang diasumsikan paling memahami isi dari KTP-2, bukan pembimbing, atau penguji, atau pembahas. Oleh sebab itu, “mengobrak-abrik” KTP-2 orang lain semestinya bukan sebuah hal yang ideal, sepanjang penulis KTP-2 benar-benar menguasai substansi serta benar-benar bertanggungjawab terhadap isi karya tulisnya. Hal ini berbeda dengan karya ilmiah thesis atau disertasi, dimana pembimbing (promotor) atau penguji memang memiliki kompetensi akademik untuk “mengobrak-abrik” jika tidak sesuai dengan kaidah ilmiah yang benar.

Satu hal lagi, kesan umum yang agak sulit dihindari adanya kesan bahwa KTP-2 hanyalah formalitas belaka dari rangkaian program Diklatpim II. Ketidakseriusan peserta untuk bertanya secara tajam dan kritis adalah salah satu indikasinya. Indikasi lain, banyak peserta yang sesungguhnya tidak menguasai apa yang disampaikan. Mereka lebih fasih membaca dari pada menganalisis. Hal ini menghidupkan lagi kecurigaan tentang kemungkinan “sumber yang sama” dalam penulisan KTP-2 dan penyiapan paparan, terbukti dari banyaknya kemiripan yang sangat kentara dari model slide powerpoint antar peserta. Ironisnya, indikasi-indikasi seperti ini seolah-olah dipandang sebagai kelaziman yang tidak diikuti dengan langkah konkrit untuk mengatasinya. 

Dalam konteks kedepan, sesi penulisan, pembimbingan dan ujian KTP-2 ini harus diposisikan sebagai dimensi kritis dari upaya perbaikan sistem diklat, khususnya Diklatpim II. Salah satunya adalah dengan melakukan pengaturan jadual yang lebih realistis, serta pengurangan tugas-tugas yang tidak perlu namun menyita waktu banyak (time consuming). Pembenahan sistem penulisan hingga ujian KTP-2 juga sangat terkait dengan bergentayangannya para tuyul yang merusak integritas peserta dan kredibilitas program diklat (Baca Jurnal #15). Maka, menyempurnakan manajemen KTP-2 juga harus sistemik, sebagaimana para Widyaiswara mengajarkan bahwa pejabat eselon II harus mampu berpikir secara sistemik atau serba sistem. 

Kampus Pejompongan Jakarta
Sabtu, 20 Agustus 2011

Minggu, 21 Agustus 2011

Antara Tugas Dinas dan Ibadah Keagamaan


Mengikuti Diklatpim II selama bulan Ramadhan mengandung pergulatan batin yang tidak akan ditemui diluar bulan suci umat Islam ini. Pergulatan itu adalah antara keinginan untuk mengisi bulan puasa dengan ibadah-ibadah tambahan seperti shalat tarawih, I’tikaf (berdiam diri di masjid), membaca surat-surat suci Al-Quran, dan sebagainya. Maklumnya, pahala ibadah sunah selama bulan Ramadhan disamakan dengan pahala ibadah wajib, sementara ibadah wajib dilipat gandakan pahalanya.  

Namun, apakah hal tersebut dapat menjadi pembenar bagi kita untuk meninggalkan kewajiban dalam program diklat? Pantaskah kita mengatakan bahwa tugas-tugas selama diklat hanyalah urusan dunia belaka yang tidak penting karena tidak akan kita bawa mati? Bukankah Islam mengajarkan keseimbangan antara urusan dunia dan akherat? Bukankah urusan dunia adalah ladang untuk bekal menuju akherat?  

Terus terang saya sering merasa iri dengan orang-orang yang berpandangan seperti itu. Mereka begitu gampangnya meninggalkan kelompok dengan dalih ibadah. Sayapun ingin sekali rasanya meninggalkan kelompok dan bertafakur khidmat dalam sujud dan doa kepada-Nya. Tapi terus terang, saya tidak bisa dan tidak tega. Ketika saya membayangkan untuk meninggalkan kelompok, saya merasa seperti seorang pejuang yang mundur sebelum sampai di medan perang. Saya seperti seorang pecundang yang takut gagal dengan mencari segudang alasan. Saya seperti seorang yang mau berbuat namun tidak mau menerima akibat. Maka, akhirnya saya putuskan bahwa saya tidak akan pernah meninggalkan kelompok. Bahkan saya pernah bekerja seorang diri pada saat SL di Kalsel untuk memilah-milah jawaban kuesioner dari para responden, untuk didistribusikan kepada kelompok masing-masing. Kenyataannya, saat itu semua angkat tangan dan tidak ada satupun yang menyentuh dokumen tersebut!  

Konsekuensinya jelas, saya kehilangan kesempatan untuk duduk termenung memikirkan soal kematian, soal dosa yang menggunung, soal pengakuan dosa dan pertaubatan, soal muhasabah untuk memperbaiki diri, dan sebagainya dan seterusnya. Ironisnya, ketika saya melakukan urusan “duniawi” tadi, ada saja teman yang menasihati agar saya tidak terlalu memikirkan urusan duniawi. Bukankah apa yang saya lakukan adalah juga urusan yang mereka tinggalkan? Saya yakin benar bahwa merkapun sadar bahwa apa yang saya kerjakan bukanlah semata-mata urusan pribadi saya. Namun tetap saja mereka merasa sebagai orang suci yang sedang meluruskan jalan seorang pendosa. 

Pengalaman ini terus berjalan sejak tahap Studi Lapangan hingga penulisan akhir KKT Kelompok dan KKT Kelas. Dan pengalaman seperti inilah yang saya katakan menimbulkan pergulatan batin. Untunglah bahwa saya mampu mengendalikan emosi untuk tidak membalikkan omongan sok suci dari seseorang. Saya juga menilai diri saya beruntung tetap dapat mengerjakan tugas-tugas kelompok meski dalam dasar hati sering berontak dan protes keras dengan sikap egois beberapa teman. Lebih dari itu, saya juga merasa beruntung bahwa saya memiliki pemahaman yang saya pegang teguh bahwa meskipun saya sedang mengerjakan urusan duniawi, namun nilai ibadahnya tidak kalah dengan ibadah teman-teman lain. Sebab, bagi saya ibadah bukanlah urusan ritual belaka, namun lebih kepada pemberian makna kebaikan dan ketulusan terhadap apapun yang kita lakukan, disertai dengan harapan bahwa apapun yang kita lakukan akan memberi kemudahan dan kemanfaatan bukan hanya bagi diri pribadi kita, namun juga bagi kelompok yang lebih luas. 

Dengan kata lain, saya mencoba tidak membuat dikotomi antara tugas kedinasan (termasuk tugas mengikuti Diklatpim) dengan ibadah keagamaan. Keduanyapun dapat menjadi ibadah tergantung kepada niat kita: tugas kedinasan adalah ibadah dalam dimensi horizontal, sedangkan ibadah keagamaan lebih pada dimensi vertikal. Saya sering mendengar ceramah bahwa tugas-tugas sosial kadang lebih penting dibanding ibadah ritual. Kisah-kisah tentang seorang anak sholeh yang sulit melewati sakaratul maut karena belum ada maaf dari Ibunya, atau kisah seorang yang memberi minum anjing yang kehausan, atau kisah Khalifah Umar yang memanggul beras untuk rakyatnya, dan sebagainya, adalah sedikit contoh betapa kita harus memperhatikan dimensi horizontal selama hidup di dunia. Penyakit bangsa kita adalah kesolehan individu yang tidak pernah menjelma menjadi kesolehan sosial, karena setiap individu lebih mementingkan dimensi vertikalnya. Maka, keduanya haruslah seimbang, sebagaimana keseimbangan sistem tata surya dalam alam semesta raya ini. 

Kampus Pejompongan Jakarta
Jumat, 19 Agustus 2011

Menyoal Pemeringkatan


Ketika kami hendak berangkat dari asrama menuju bandara dalam rangka kegiatan Studi Lapangan, di dalam bis terdapat situasi yang cukup kontras. Disatu pihak, banyak peserta yang menyalami temannya yang masuk ranking 10 besar untuk Kajian Kebijakan Publik, namun dilain pihak, ternyata lebih banyak nada sinisme yang dilontarkan beberapa orang tertentu.  

Saya sangat menyadari adanya situasi yang kontras tadi. Bagi kelompok yang sejak awal memang merasa diri mereka tidak layak masuk dalam jajaran The Big 10, tidak jadi masalah bagi mereka siapapun yang akan menempati urutan tangga prestasi di level kelas tersebut. Oleh karenanya, orang-orang tipe seperti ini juga nampak tulus dan nothing to loose ketika menyalami rekannya yang berhasil masuk ranking. Sebaliknya bagi sekelompok orang yang merasa dirinya lebih layak masuk 10 besar namun ternyata tidak, maka muncullah banyak pertanyaan sekitar obyektivitas penilaian dan kemungkinan adanya permainan yang kurang layak (unfair play) dalam penentuan peringkat tersebut. 

Pertanyaan tentang obyektivitas penilai memang sangatenyeluruh. wajar mengemuka, mengingat dari 10 peringkat terbaik sebelumnya pada Kajian Paradigma, lima orang diantaranya terlempar dari urutan 10 besar pada Kajian Kebijakan Publik, empat diantaranya bahkan telah menyandang gelar Doktor. Sebagai gantinya, masuklah “muka-muka baru” yang sebelumnya tidak diperhitungkan sama sekali karena memang tingkat aktivitas dan prestasi di kelas kurang menonjol.  

Kebetulan sekali, sepanjang perjalanan ke bandara tadi, saya berdampingan dengan salah seorang Doktor yang terlempar dari 10 besar. Entah dari mana data yang beliau peroleh, namun beliau menyatakan bahwa dalam urusan pemeringkatan tadi terdapat click atau “persekongkolan” antar kekuatan tertentu, layaknya persaingan antara Mafia Harvard dengan Mafia Berkeley dalam perebutan posisi kunci bidang perekonomian dalam kabinet Indonesia sepanjang masa. Beliau juga mensinyalir adanya pihak-pihak tertentu yang “terbeli” sehingga memberi standar penilaian yang tidak setimbang antar peserta. Bahkan beliau juga mengatakan bahwa jika sistem pemeringkatan tidak dibenahi dan dapat dijamin obyektivitasnya, akan memalukan bagi peserta tertentu maupun bagi penyelenggara. Bagi peserta tertentu, kegagalan masuk 10 besar dapat disebut sebagai kegagalan secara keseluruhan atau rendahnya kompetensi dimata pimpinannya. Sedangkan bagi penyelenggara, ketidakobyektifan penilaian akan mempertaruhkan kredibilitas lembaga secara keseluruhan. 

Bagi saya, pemeringkatan bisa menjadi baik namun bisa juga menjadi buruk. Jika dilakukan dengan professional dan mampu mengukur kinerja riil peserta, maka pola penilaian prestasi seperti ini akan sangat baik. Peringkat juga akan menjadi indikator pencapaian hasil diklat, dan menjadi dasar untuk pengambilan keputusan lanjutan. Seperti yang saya tulis pada Jurnal #36, pemeringkatan dapat dan perlu dikemas dalam sebuah rewarding system, atau dikaitkan dengan civil effect bagi peserta diklat. Namun jika peringkat tersebut lahir dari metodologi yang cacat dan integritas penilai yang diragukan, maka jauh lebih baik pemeringkatan tersebut dihapuskan saja. Selain tidak ada manfaat yang nyata, pola yang tidak jelas malah menimbulkan polemik serta prasangka dan kebencian terselubung diantara sesama peserta. 

Saya sendiri memiliki pandangan bahwa untuk kondisi apa adanya saat ini, pemeringkatan nampaknya kurang tepat untuk dilakukan. Saya mengetahui betul bahwa ada dua orang Doktor yang KTP-2 nya adalah hasil karya Tuyul, namun tetap saja keduanya masuk rangking 10 besar. Tentu hal semacam ini menciderai persaingan yang sehat dan berimbang. Saya juga mengamati sebuah situasi antara dua orang yang sama-sama berasal dari kementerian yang sama, namun memiliki karakter yang berbeda. Si “A” lebih banyak bicara di kelas namun sangat minim kontribusinya dalam kerja kelompok. Sedangkan si “B” lebih sering diam dalam forum kelas namun memiliki kontribusi terhadap kelompok yang jauh lebih besar dibanding si “A”. dalam kacamata saya, si “B” jauh lebih layak masuk 10 besar, namun justru si “A”lah yang dua kali berturut-turut masuk 10 besar, sementara si “B” tidak sekalipun masuk 10 besar. Fakta lain, si “B” pernah ditunjuk jadi ketua kelompok KMS, sedang si “A” tidak pernah sekalipun memimpin kelompok. Sangat boleh jadi ada penilaian dari unsur lain, namun fakta yang saya paparkan mestinya juga menjadi pertimbangan serius dalam rangkaian sistem penilaian. 

Jika kelemahan-kelemahan dalam sistem penilaian dapat diatasi secara memuaskan, maka saya 1000 persen mendukung adanya sistem pemeringkatan dalam diklat aparatur, apapun jenis dan tingkatan diklatnya. Dalam ranah ideal saya, adanya pemeringkatan justru menjadi tolok ukur kualitas sebuah diklat. Program diklat yang berani mengukur dan mengumumkan kinerja peserta atau alumninya tanpa memunculkan sanggahan yang berarti dari mayoritas peserta (secara terbuka atau diam-diam) adalah program diklat yang dapat diandalkan. Program diklat yang berani mengukur dan mengumumkan kinerja peserta atau alumninya namun memunculkan banyak sanggahan, adalah program diklat yang ceroboh dan gegabah. Program diklat yang tidak berani mengukur dan mengumumkan kinerja peserta atau alumninya adalah program diklat yang asal-asalan dan sia-sia. 

Kampus Pejompongan Jakarta
Rabu, 10 Agustus 2011

Sabtu, 13 Agustus 2011

Dari RPL ke RPL


RPL yang pertama adalah Recognition of Prior Learning sedangkan RPL kedua adalah Recognition of Post Learning. Mirip-mirip dengan konsep Pre-test dan Post-test, namun dengan proses dan treatment kebijakan yang sangat berbeda.  

Pada konsep Pre-test dan Post-test, calon peserta diberi soal ujian sebelum mengikuti program diklat, dan diberi soal yang sama setelah menyelesaikannya. Jika skor/nilai post-test lebih baik dibanding pre-test, maka disimpulkan bahwa diklat tersebut telah berhasil meningkatkan kompetensi peserta. Meski tidak sepenuhnya salah, namun konsep Pre-test dan Post-test ini mengandung banyak kelemahan. Salah satunya adalah hasil post-test tidak menunjukkan kompetensi yang sesungguhnya, apalagi jika belum ada direktori standar kompetensi, sehingga sulit untuk membandingkan antara capaian dengan standar yang ditetapkan. Kelemahan lain, ujian yang sama (dengan soal yang relatif sama) jika diberikan untuk kedua kali, tentu saja akan memberikan hasil yang lebih baik, karena peserta ujian sudah mengetahui jenis soal yang diberikan. Artinya, tanpa harus mengikuti diklatpun, dapat ditarik hipotesis bahwa post-test akan selalu lebih baik dari pada pre-test. 

Oleh karena itu, konsep RPL sementara ini diyakini sebagai sebuah terobosan yang lebih baik untuk mengukur peningkatan kompetensi peserta diklat sekaligus mengukur efektivitas program diklat. Cara kerja RPL (pertama) secara garis besar adalah sebagai berikut. Calon peserta diklat diseleksi secara administratif, dan jika memenuhi syarat administratif, kompetensinya diasses untuk mendeteksi atau memetakan kompetensi awal yang telah dimiliki. Apabila calon peserta tersebut dianggap telah memiliki kompetensi sebagai pejabat eselon tertentu, maka instansi yang bertanggungjawab di bidang pendayagunaan aparatur (MenPAN), menerbitkan sertifikat kompetensi dan yang bersangkutan tidak perlu mengikuti diklat. Namun ada kalanya calon peserta diklat tidak lulus assessment, dan hanya dinyatakan lulus bersyarat dalam tes seleksi. Dalam kasus seperti ini, maka calon peserta tersebut wajib mengikuti diklat untuk menutupi gap kompetensinya. Kemungkinan ketiga, ada calon peserta diklat yang tidak lulus assessment, dan diberikan kesempatan untuk mencoba ikut tes assessment sebanyak tiga kali. Jika gagal untuk ketiga kalinya, maka yang bersangkutan tidak diperkenankan mengikuti diklat. Asumsinya, meskipun diikutsertakan dalam diklat apapun, yang bersangkutan memang tidak memiliki dasar kompetensi yang memadai sehingga jika dipaksa masuk program diklat hanya menjadi pemborosan sumber daya. 

Dalam hal seseorang telah mengkuti diklat, maka pada akhir pembelajaran dilakukan RPL lagi (kedua). Jika dinyatakan lulus dan dianggap telah memiliki kompetensi baru, maka yang bersangkutan berubah status menjadi alumni dan diberi STTPP (sertifikat kompetensi) dari LAN atau Kantor MenPAN. Sedangkan calon peserta yang tidak lulus ujian, akan diberi kesempatan untuk mengikuti ujian ulang sampai dengan 3 (tiga) kali, jika tetap tidak lulus maka diberikan surat keterangan telah mengikuti diklat saja (bukan sertifikat kompetensi). 

Konsep baru ini menawarkan banyak keuntungan. Pertama, akan menekan inefisiensi dalam investasi SDM (human investment) sektor publik, karena mereka yang tidak layak atau tidak memiliki cukup kompetensi dasar akan terseleksi dengan sendirinya. Sementara bagi yang sudah memiliki kompetensi, juga tidak perlu membuang waktu hanya untuk mengikuti diklat. Pola baru seperti ini tidak memandang diklat (khususnya Diklat Kepemimpinan) sebagai program yang paling tepat untuk kondisi yang berbeda (one size fits all). Kedua, orang-orang yang masuk program diklat adalah mereka yang memiliki kadar kompetensi relatif berimbang, tidak ada yang terlalu tinggi, namun juga tidak terlalu rendah. Dengan tingkat kompetensi yang relatif berimbang ini, maka persaingan antar peserta selama berada dalam kelas diharapkan dapat berjalan lebih dinamis dan seimbang pula. 

Program Diklatpim II selama ini bukan berarti tidak memberi efek positif untuk peningkatan kompetensi peserta/alumni. Namun, saya yakin bahwa dengan menerapkan RPL (pre) dan RPL (post) dalam siklus diklat, maka kualitas diklat secara keseluruhan dapat ditingkatkan secara signifikan. Tentu saja banyak prakondisi yang ahrus disiapkan, namun jika tidak dimulai sekarang, kapan lagi? So, mari kita gulirkan terus ide reformasi diklat aparatur, mumpung nuansa reformasi birokrasi tengah bergaung dimana-mana. 

Kampus Pejompongan Jakarta
Selasa, 9 Agustus 2011

Alumni Sebagai Institutional Resources


Bagaimana perasaan kita jika usaha kita terus menuai hasil dan keuntungan yang melimpah? Apa yang kita rasakan ketika asset dan sumber daya kita terus berkembang? Dari sudut pandang spiritualisme, minimal kita layak memanjatkan syukur dan akan merasa senang atau nikmat yang terus bertambah. Namun dari sudut pandang manajemen, senang dan bersyukur saja tidaklah cukup. Kita masih dituntut untuk mengolah resources yang melimpah tadi menjadi modal untuk menghasilkan resources yang lebih lebih banyak lagi, dan begitu seterusnya membentuk siklus pengembangan sumber daya. 

Apa hubungannya dengan LAN, khususnya Diklatpim II? Disadari atau tidak, LAN memiliki resources yang terus bertambah dengan sendirinya hanya dari pelaksanaan tupoksi rutinnya. Asset atau sumber daya tadi tidak berupa keuntungan finansial atau asset fisik, melainkan sesuatu yang memiliki nilai jauh melampaui asset fisik dan keuangan. Sumber daya itu adalah alumni diklat. Saya bahkan berani menyebut bahwa alumni adalah sumber daya organisasi (institutional resources) yang terpenting, dengan beberapa alasan. 

Pertama, semakin banyak alumni identik dengan semakin luasnya networking. Networking sendiri merupakan kunci untuk membangun koordinasi dan sinergi lintas instansi. Ketika kita memiliki keperluan dengan kementerian tertentu, dapat dipastikan jalur networking alumni akan jauh efektif dibanding jalur formal melalui pengiriman surat, pendisposisian, pengagendaan, penjadualan pertemuan, dan seterusnya. Dengan kata lain, hubungan antar pejabat berubah dari pola yang formal dan kaku menjadi pola yang cair dan personal. Networking yang optimal juga akan memperlancar arus informasi antar instansi, yang berarti pula mempercepat proses pengambilan keputusan.  

Kedua, alumni dapat diibaratkan anggota keluarga yang terus berkembang. Diantara anggota keluarga biasanya terbentuk ikatan emosional dan kepedulian yang sangat kuat, sehingga membentuk solidaritas yang kokoh. Itulah sebabnya, anggota keluarga yang sukses akan berusaha mengangkat anggotanya yang belum sukses, atau selalu rela dan ikhlas dalam membesarkan keluarga besarnya. Namun, manakala ikatan emosional antara seseorang dengan keluarganya tidak terbentuk, maka orang tersebut dapat dipastikan tidak akan peduli dengan keluarganya. Dalam konteks diklat, seorang alumni yang kebetulan jobless atau non-job, sangat mungkin mendapatkan posisi yang prestisius karena bantuan alumni lainnya. Atau, ketika LAN sebagai induk para alumni memiliki program unggulan berskala nasional, maka keberadaan alumni dapat dimanfaatkan sebagai sponsor atau supporter dari kegiatan tersebut. 

Ketiga, hampir seluruh pejabat karir di seluruh Indonesia pernah menempuh pendidikan di LAN atau di tempat lain atas supervisi dan pembinaan langsung dari LAN. Para alumni diklat tersebut saat ini sudah bertebaran di seluruh penjuru nusantara dan menempati posisi strategis, dari Menteri/Kepala LPNK, Gubernur, Bupati/Walikota, anggota DPR/DPRD, anggota Lembaga Tinggi Negara, Direktur BUMN/D, Direktur Jenderal, dan lain-lain. Pendeknya, LAN adalah guru bangsa yang turut mewarnai hitam putihnya perjalanan bangsa ini. Fakta ini menjelaskan betapa besar peran dan kontribusi LAN dalam pembangunan karakter bangsa (character building) serta pembangunan kompetensi aparatur pemerintah. Disisi lain, bangsa Indonesia masih memegang teguh budaya menghormati gurunya. Meski seringkali seorang guru tidak cukup memiliki kecakapan yang memadai, namun statusnya telah menempatkan dirinya pada posisi mulia di mata peserta didiknya. Dengan budaya seperti ini, saya menarik asumsi bahwa seluruh alumni Diklat di LAN tetap menaruh respek terhadap lembaga dan pejabat di LAN sebagai guru bangsa. Kondisi ini, tentu saja, merupakan faktor kekuatan (strength) yang dimiliki LAN yang mampu memperkokoh branding dan daya tawar organisasi (bargaining position) LAN terhadap lingkungan strategisnya. 

Maka, menjadi aneh jika LAN tidak menjadikan alumninya sebagai institutional resources yang terdepan. Ini bukan hanya menjadi sebuah kemubadziran, namun juga kebodohan. Hal yang semestinya dilakukan LAN adalah memberikan Kartu Alumni lengkap dengan nomor registrasinya, seketika seseorang dinyatakan lulus diklat. Selanjutnya, perlu dilakukan pembinaan alumni dengan membentuk Pengurus Alumni Pusat dan Wilayah; melakukan forum-forum komunikasi, pertukaran informasi, serta kerjasama antar instansi, antar daerah, dan antar negara; membangun sistem informasi alumni yang modern dan selalu updated; serta melibatkan alumni dalam pembelajaran bagi peserta diklat (calon alumni). 

Pengalaman organisasi alumni lain seperti Ikatan Alumni ITB, Keluarga Alumni HMI, dan sebagainya telah membuktikan bahwa forum alumni bukan sekedar forum arisan dan nostalgia belaka, melainkan sebuah forum pemikir (think tank) yang mampu menelorkan gagasan-gagasan besar untuk pembangunan bangsa. Jika mereka bisa, kenapa tidak dengan LAN? Where there is a will, there will be many ways … pasti bisa !!! 

Kampus Pejompongan Jakarta
Senin, 8 Agustus 2011

Rabu, 10 Agustus 2011

Antara SL dan Istri Tercinta


Hari ini kami memulai kegiatan Studi Lapangan sebagai bagian dari aktualisasi pembelajaran terhadap tiga kajian yang telah kami selesaikan, yakni Kajian Paradigma, Kajian Kebijakan Publik, dan Kajian Manajemen Strategis. Dengan aktualisasi ini, peserta dituntut mampu mengimplementasikan secara terpadu teori/konsep yang telah dipelajari, dan mengkaitkannya dengan tema diklat. Lokus SL adalah Provinsi Kalimantan Selatan dengan sub-lokus Kota Banjarmasin, Kabupaten Banjar Baru, dan Kabupaten Tanah Laut, dan akan memakan waktu selama 6 hari, termasuk perjalanan pergi dan pulang.  

Dalam rangkaian SL nantinya, kami akan mengunjungi beberapa instansi untuk melakukan audiensi yang dilanjutkan dengan pengumpulan data, baik melalui wawancara maupun eksplorasi data sekunder dan tersier (jika diperlukan). Kami juga harus melakukan pengolahan dan analisis data, pelaporan dan penyajian dalam bentuk slide tayangan, serta mempresentasikan hasil di depan nara sumber terpilih. Semuanya ini harus kami selesaikan hanya dalam waktu empat hari, sebuah target ambisius yang kurang realistis, atau sebuah mission impossible. Namun kami sedang dilatih untuk memungkinkan segala yang tidak mungkin, membisakan yang tidak bisa, membiasakan yang tidak biasa, dan memastikan sesuatu yang tidak pasti. 

Sebagai seorang peneliti, sesungguhnya bagi saya aktivitas seperti diatas tidaklah asing, bahkan dapat dikatakan sudah menjadi makanan sehari-hari. Sayapun cukup terbiasa dengan kerja model Sangkuriang yang menciptakan telaga atau Bandung Bondowoso yang menciptakan 1000 candi (dikenal dengan Candi Prambanan atau Candi Rara Jonggrang) hanya dalam satu malam. Maka, urusan SL tidaklah menggelisahkan saya setitikpun.  

Namun, ada sesuatu yang sedikit membuat saya setengah hati menjalaninya, yakni keharusan meninggalkan istri di rumah yang sedang dalam keadaan hamil tua. Status saya saat ini bukan hanya peserta Diklatpim II, namun lebih-lebih adalah suami Siaga, yang harus siap 24 jam secara lahir batin, jasmani rohani, dan materiil maupun immaterial untuk menjaga, mengawal, dan melayani sepenuhnya apapun masalah dan kebutuhan istri. Jika saja SL dan Diklatpim II bukan kewajiban organisasi yang harus saya tunaikan dengan sepenuh hati pula, tentu saya akan memilih menjaga dan melayani istri. Akan tetapi, profesi sebagai PNS dan LAN sebagai wadah pengabdian adalah pilihan hidup yang sudah saya tetapkan dengan penuh kesadaran lebih dari 17 tahun lalu. Demikian pula, istri yang saya nikahi adalah pilihan hidup yang saya ambil melalui olah jiwa yang mendalam dan penyerahan diri secara total kepada Yang Maha Kuasa. 

Maka, SL tetap harus saya jalani, sementara nasib istri saya titipkan dan kembalikan lagi kepada Sang Pencipta Yang Maha Pelindung. Perlindungan seorang suami terhadap istrinya, tidak setitikpun sebanding dengan perlindungan-Nya. Kebahagiaan seorang istri bersama suaminya, tidak berarti sedikitpun dibanding kebahagiaan yang dianugerahkan Allah. Dengan meyakini hal tersebut, maka saya putuskan mengikuti SL sebagai wujud “jihad” saya kepada Yang Maha Penggenggam hati sanubari manusia dan alam semesta. Apapun yang akan terjadi terhadap saya dan istri saya, bahkan juga anak-anak saya, sepenuhnya kami (saya dan istri) yakini sebagai kebaikan untuk dunia dan akherat kami. Oleh karena saya meyakini bahwa saya tengah berjihad, maka saya berusaha tidak setengah-setengah menjalani tugas ini. Selain harus fokus memimpin kelompok Ketatalaksanaan, saya juga harus mengurus kelas dari sisi akademis, seperti distribusi bahan, sinkronisasi instrumen dan alat analisis, dan sebagainya. Entah kenapa, ketika kita sudah membulatkan tekad, tidak pernah datang kesempatan untuk bersantai-santai. 

Ketika partisipasi dalam SL saya maknai sebagai jihad, maka demikian pula adanya dengan istri tercinta saya. Ketika tidur tak lagi nyaman; ketika berjalan sudah sedemikian berat dan kakipun membengkak; ketika makan menjadi moment yang dilematis antara rasa eneg dengan keharusan mencukupi nutrisi bayi janin; ketika bernafas sering tersengal-sengal karena desakan si jabang bayi ke ulu hati atau ke seluruh penjuru kandungan; ketika rasa sakit atau kram sering datang secara mendadak, ketika mental tiba-tiba melemah dan hati merasa gundah gulana … semuanya adalah jihad yang tak terperi untuk seorang wanita dan seorang istri, khususnya saat mengandung makhuk Allah yang masih suci dan baru saja mengadakan “kontrak” dengan-Nya di Lauhul Mahfudz. Saya yakinkan berkali-kali bahwa setiap saat hal-hal tersebut terjadi, sesungguhnya saat itu pulalah Allah akan menggantinya dengan gugurnya dosa-dosa, berlipatnya pahala, dan berlimpahnya ridho. Sebagaimana sering saya baca di berbagai sumber, wanita yang hamil akan mendapat pahala berpuasa pada siang hari dan pahala beribadat pada malam hari. Sementara saat persalinan, ia akan mendapat pahala 70 tahun solat dan puasa, dan setiap rasa sakit pada satu uratnya Allah akan mengaruniakan satu pahala haji. Insya Allah. 

Ini bukanlah penghibur dari sebuah kondisi berat yang tengah kami alami; ini adalah keyakinan yang menghunjam dalam hingga menembus wilayah keimanan. Ketika kita yakin, percaya, dan mengimani sepenuhnya hal tersebut, dan ketika kita terus memelihara prasangka baik kepada Yang Maha Perkasa, maka akan terjadilah kenyataan. Dalam istilah duniawi, ini adalah hukum keyakinan (the power of believe) yang berbunyi: What you get is what you believe (apa yang akan kamu peroleh adalah apa yang kamu yakini). Apalagi Allah sendiri sudah memberi jaminan bahwa ‘ud uni astajib lakum dan kun fayakun. Maka, kekuatan mana lagi yang akan menenteramkan jiwa kita selain kekuatan-Nya? Maha Suci Allah yang sedemikian bermurah hati kepada hamba-Nya, yang sedemikian besar kasih sayang-Nya, yang sedemikian luas membuka pintu-pintu rahmat-Nya. 

Ketika perjuangan istri saya maknai sebagai jihad, sesungguhnya anak-anak sayapun tengah berjihad. Meski mereka seperti tidak terpengaruh dengan situasi yang tengah dihadapi kedua orang tuanya, namun tetap saja mereka telah berkorban diri dengan tidak mendapat perhatian sepenuhnya dari ayah ibunya. Contoh kecil saja, anak saya yang terkecil selalu menciumi ketiak saya sebelum tidur. Dia mengatakan bahwa ketiak bapaknya beraroma coklat yang sebelah kanan dan strawberry yang sebelah kiri. Setiap kali saya harus meninggalkan rumah, setiap kali itu pula ia harus “berpuasa”. Demikian pula saat ia merengek ingin dimandikan oleh ibunya, saat itu pula ia harus rela dimandikan oleh pembantu, yang tentu saja, tidak disertai dengan belaian lembut penuh kasih sayang. 

Anak-anak saya yang pertama dan keduapun terkena imbas. Seringkali mereka harus memijit kaki ibunya kapan saja dibutuhkan. Mereka juga harus siap sedia mengambilkan kebutuhan tertentu, atau harus memandikan dan memakaikan baju adiknya secara bergantian. Bahkan tidak jarang mereka menyiapkan makanan sendiri. Untuk usia 10 dan 9 tahun, merebus nasi, membuat telor ceplok, atau merebus mie sendiri, dan kadang-kadang diselingi dengan tugas menyapu dan membersihkan kamar sendiri, jelas sebuah efforts yang luar biasa. 

Last but not least, dua jabang bayi kembar yang ada dalam kandungan istri, saya yakin juga tengah menjalani jihadnya. Sempitnya rongga perut tentu akan membuat mereka saling berdesakan dan menuntut mereka berkompromi untuk tidak saling dorong, saling sikut atau saling tendang. Dengan kata lain, mereka sudah mengembangkan sikap toleransi dan empati pada usia yang masih teramat dini. Dan semakin besar usia kandungan, semakin besarlah pertumbuhan mereka, dan otomatis semakin sempitlah ruang gerak mereka. Dalam keadaan seperti itu, Alhamdulillah mereka tetap sabar, tetap kompak satu sama lain, dan tetap bertahan hingga saatnya kelak dilahirkan.  

Maka, melalui jurnal ini saya ingin menyampaikan terima kasih yang tak terhingga untuk istri dan anak-anakku, juga untuk calon anakku yang Insya Allah sebentar lagi akan melihat indahnya alam dunia. Hanya rasa cinta yang bisa saya berikan untuk kalian semua, disertai doa semoga Allah melanggengkan rasa cinta di antara kita hingga kelak kita berkumpul bersama lagi di surga-Nya. Marilah kita jalani kehidupan ini dengan sabar, saling percaya, sambil terus saling mengingatkan dan menyuburkan kasih sayang diantara kita. 

Program Diklatpim yang saya ikuti mengharuskan saya dan anak-anak dan istri untuk “berjihad”. SL telah menghasilkan trade-off bagi keluarga saya. Meskipun terasa berat, namun rasa syukur harus mengalahkan beratnya cobaan, dan the show must go on! Hadapi saja hidup ini dengan senyum, syukur, dan semangat (3S). Mengakhiri jurnal ini, tiba-tiba saya teringat lagu lawas dari Koes Plus … 

Jo padha nelangsa, jamane jaman rekasa …
Urip pancen angel, kudune ra usah ngomel …
Ati kudu tentrem, nyambut gawe karo seneng …
Ulat aja peteng, yen dikongkon yo sing temen.

Kampus Pejompongan Jakarta
Minggu, 7 Agustus 2011

Sabtu, 06 Agustus 2011

Ide Kecil dari Survey Sederhana tentang Diklatpim II


Hari ini, tidak ada peristiwa yang menarik untuk dicermati. Semua berjalan normal dan rutin, tanpa dinamika yang unique atau peristiwa menarik. Sebagai gantinya, saya mencoba melakukan penelusuran tentang persepsi teman-teman peserta terhadap program diklat yang sedang kami jalani bersama. Tentu, metodologinya tidak ilmiah meskipun kaidah-kaidah metodologis tidak saya abaikan sama sekali. Sebagai contoh, “responden” yang saya pilih adalah mereka yang di mata saya memiliki keseriusan untuk mengikuti diklat. Bagi mereka yang hanya melihat diklat sebagai formalitas pejabat eselon II, atau sekedar mencari teman baru, atau hanya mengikutinya dengan setengah hati, jauh dari kriteria saya untuk menjadikannya selaku nara sumber.

Pertanyaan yang saya ajukan hanya satu dan sangat sederhana meski bersifat eksploratif. Pertanyaan saya: menurut anda, apa yang perlu dilakukan untuk membenahi penyelenggaraan Diklatpim II dimasa mendatang? Jawabannya cukup beragam, dan saya hanya menggarisbawahi beberapa saja yang menurut saya layak dan kebetulan sejalan dengan pemikiran saya sendiri.

Jawaban yang paling banyak saya terima adalah waktu yang terlalu panjang dan cenderung tidak efektif karena mengejar target kuantitas dari pada kualitas. Tanpa harus mengorbankan kualitas, sebenarnya durasi diklat bisa lebih dipersingkat dengan mengurangi penugasan-penugasan yang tidak terlalu urgen. Dengan penugasan yang begitu banyak, akhirnya peserta cenderung mengejar target penyelesaian tugas namun berimplikasi pada proses dan mutu yang tidak optimal.

Untuk diketahui, produk pembelajaran yang harus dihasilkan peserta teramat banyak dengan waktu yang saling berkejar-kejaran. Belum lagi tugas A tuntas, sudah peserta juga harus mengerjakan tugas B, C dan D secara bersamaan. Belum lagi tugas DIT Individu selesai, misalnya, mereka juga harus menyusun jurnal harian, DIT integrasi, KTP-2, KKT, TOR SL, atau bahkan presentasi bahasa Inggris. Keadaan overload seperti ini terus “menghantui” peserta sejak awal hingga akhir, ibaratnya sekedar untuk menghela nafaspun tak lagi sempat. Sekeras apapun peserta bekerja, tetap saja tidak bisa maksimal. Ujung-ujungnya, munculnya istilah “ah, ini kan cuma latihan”, atau “tidak usah terlalu ngoyo lah, yang penting tugas selesai”, atau “siapa juga yang akan ngoreksi hasil kerja peserta yang sedemikian banyak, paling cuma dibaca secara sekilas”, atau ungkapan-ungkapan lainnya yang jelas tidak mendukung semangat membangun kualitas.

Pada dasarnya, mayoritas peserta sangat eager untuk menyerap materi pembelajaran, namun konsentrasi mereka menjadi terpecah belah dengan adanya target-target laporan. Akibatnya, ditengah-tengah materi pembelajaran, malah banyak yang mengerjakan tugas-tugas tersebut, sehingga proses pembelajaran menjadi kurang efektif.

Maka, alangkah baiknya jika urusan kuantitas mulai dikurangi dan difokuskan pada proses yang lebih kualitatif. Peserta hendaknya tidak diarahkan untuk menjadi “atlet loncat gawang” yang harus meloncati satu gawang untuk beralih ke gawang berikutnya dan melupakan gawang sebelumnya. Mungkin ada baiknya peserta diarahkan untuk memilih dan memiliki satu gawang, dan gawang itulah yang harus dia jaga betul, dia percantik, dia kembangkan, dia perkuat, sehingga pada akhirnya benar-benar menjadi gawang yang kokoh dan indah. Peserta hendaknya juga tidak dibentuk sekedar menjadi generalis yang mengetahui banyak hal secara sedikit, atau menjadi spesialis yang hanya mengetahui sedikit hal secara mendalam, namun harusnya menjadi sosok generalis yang terspesialisasi.

Konsep pembelajaran yang berlaku saat ini boleh saja diteruskan karena membangun kompetensi generalis, namun dengan dua catatan. Pertama, kurangi frekuensi penugasan yang berujung formalitas. Kedua, beri kesempatan peserta untuk memilih satu atau dua materi atau jenis kompetensi tertentu untuk didalami. Setiap peserta boleh saja memilih jenis keahlian yang berbeda, misalnya SWOT, Analisis Kebijakan, Scenario Planning, atau yang lain. Tugas penyelenggara adalah menyediakan pembimbing yang memiliki kompetensi tidak setengah-setengah dalam setiap bidang kompetensi tersebut. Dengan cara ini, pada akhir diklat setiap peserta tidak hanya improved kompetensi generalisnya, namun juga memiliki keahlian khusus sesuai minat dan kebutuhannya. Artinya, status peserta hanya boleh beralih menjadi alumni jika benar-benar telah memiliki spesialisasi tertentu. Jika perlu, LAN dapat mengeluarkan sertifikat khusus atau surat keterangan tambahan yang menerangkan bahwa yang bersangkutan benar-benar telah memiliki spesialisasi di bidang tertentu.

Hal lain yang saya tangkap dari pendapat teman-teman adalah tidak adanya sistem insentif dalam diklat kepemimpinan sehingga tidak merangsang tumbuhnya motivasi. Idealnya, memang diklat formal yang merupakan amanat peraturan perundang-undangan, haruslah memberi reward atau insentif, misalnya berupa civil effect (efek kepegawaian). Sebagai contoh, seseorang yang berhasil menduduki peringkat 1 hingga 3 mendapat hak kenaikan pangkat istimewa dari negara, medali penghargaan (gold medal) dari Kepala LAN, dan plakat dari Kapus Diklat SPIMNAS Bidang Kepemimpinan. Selanjutnya, peringkat 4 hingga 6 akan mendapat medali penghargaan (silver medal) dari Kepala LAN dan plakat dari Kapus Diklat SPIMNAS Bidang Kepemimpinan. Adapun peringkat 7 hingga 10 akan menerima medali penghargaan (bronze medal) dari Kepala LAN dan plakat dari Kapus Diklat SPIMNAS Bidang Kepemimpinan. Selain plakat, Kepala LAN juga dapat memberikan surat rekomendasi kepada pimpinan instansi peserta yang berprestasi, yang berisi pernyataan bahwa peserta tersebut sangat layak untuk mendapatkan promosi jabatan setingkat lebih tinggi.

Dengan iming-iming seperti itu, gairah peserta tentu akan terbangkitkan dan adrenalin mereka pun pasti bergejolak dahsyat. Namun, jika hal ini akan direalisasi, tentu penyelenggara harus melakukan pembenahan menyeluruh dalam sistem penyelenggaraan diklat agar tidak menimbulkan kesan subyektivitas, dugaan KKN, atau kemungkinan lain yang tidak diinginkan. Namun, tantangan seperti ini bagi saya adalah sebuah “godaan” yang menggelorakan dan seolah-olah menuntut pembuktian bahwa kita benar-benar “laki-laki”. Maka, bagi saya pribadi, tidak ada jawaban lain kecuali Siaaaappppppp grak !!

Kampus Pejompongan Jakarta
Kamis, 4 Agustus 2011

Semua Kembali Kepada Diri Sendiri


Entah ada hubungannya atau tidak, tiba-tiba saya ingin menganalogikan diklat dengan agama. Selama ini orang mengkritik diklat dengan mengatakan bahwa alumni diklat tidak berubah setelah kembali ke induk organisasinya, atau bahwa alumni diklat banyak yang tersangkut kasus korupsi, atau bahwa mereka berkontribusi positif terhadap kinerja lembaga, dan seterusnya. Seolah-olah, diklat adalah obat mujarab untuk semua penyakit organisasi atau tempat pengecoran logam dimana kita bisa mengolah logam cair menjadi bentuk apapun yang kita kehendaki. Maka, diklat menjadi “tertuduh” ketika gagal menghasilkan manusia yang unggul dan bermutu tinggi, berbudi luhur dan berkarakter mulia, cekatan dan terampil, dan sebagainya.

Sama kasusnya dengan pendidikan agama. Meski sekolah agama bertebaran dimana-mana, pengajian dan kebaktian digelar dengan frekuensi yang amat tinggi, media dakwah juga beraneka ragam, tetap saja banyak kasus pelanggaran nilai-nilai keagamaan seperti mencuri (termasuk korupsi), berbohong, memfitnah, dan beragam tindakan tidak terpuji lainnya. Dalam kasus seperti itu, apakah agama harus disalahkan? Tentu saja tidak.

Diklat maupun agama hanyalah berisi program-program penyadaran dan pencerahan. Soal apakah keduanya dapat menjadikan orang tersadarkan atau tercerahkan, akan sangat tergantung kepada pribadi orang tersebut, apakah ada niat bulat untuk menerapkan nilai-nilai yang diperoleh dari diklat dan ajaran agama, atau tidak. Sebagai contoh, di Diklatpim II ini ada peserta yang sangat sungguh-sungguh belajar dengan segenap kemampuannya dilandasi hasrat meningkatkan kompetensi dirinya, namun ada pula yang sekedar mencari sertifikat kelulusan. Nah, ketika hasil yang mereka peroleh sangat bertolak belakang, semestinya bukan program diklat yang dikambinghitamkan. Sama halnya ketika banyak tindakan asusila atau perbuatan dosa yang dilakukan seseorang, bukan agama atau ustadznya yang dipersalahkan.

Hal terpenting adalah bahwa program diklat tersebut sudah didesain sedemikian rupa sehingga membentuk sebuah sistem yang dapat diandalkan untuk membangun profesionalisme seseorang. Soal apakah dia mau memanfaatkan kesempatan ikut diklat sebagai kesempatan emas membangun kapasitas individunya atau tidak, hal itu sepenuhnya berkaitan dengan motivasi intrinsiknya, bukan tanggungjawab program diklat. Dalam bahasa agama, kita tidak bisa memaksa seseorang untuk beriman, karena iman akan datang seiring dengan upaya kita mencari hidayah dari Sang Maha Pencipta.

Baik diklat maupun agama hanyalah trigger dari luar diri seseorang, yang kekuatannya jauh lebih kecil dibanding semangat dan motivasi yang berasal dari dalamnya lubuk hati. Dalam beberapa hal, nilai-nilai yang dikembangkan dalam diklat atau diajarkan dalam agama memang dapat merangsang tumbuhnya kesadaran seseorang untuk menjadikan dirinya lebih berkualitas atau lebih mulis (outside in). Namun, internalisasi nilai-nilai diluar kejiwaan seseorang ini seringkali bersifat temporer, sehingga tidak dapat terlalu diharapkan untuk merubah perilaku seseorang untuk jangka panjang. Model pembentukan karakter dan kepribadian yang jauh lebih efektif adalah melalui proses pengendapan, penghayatan dan penanaman keyakinan terhadap sebuah sistem nilai, untuk kemudian diaplikasikan dalam perbuatan sosial (inside out).

Oleh karena diklat maupun ceramah agama hanya dapat mempengaruhi sikap mental seseorang secara temporer, maka sedapat mungkin program diklat dan ceramah tadi harus dilakukan secara terus-menerus atau berkelanjutan (sustain) dan berulang-ulang (repetitive). Sesungguhnya hanya sebuah kemubaziran ketika satu jenjang jabatan (eselon) hanya menyediakan satu kali diklat. Akan lebih baik kiranya jika didesain program diklat yang pendek-pendek namun dengan frekuensi yang lebih sering. Selain dapat menjadi forum penyegaran terhadap materi yang pernah diberikan pada diklat yang sebelumnya, frekuensi keikutsertaan dalam diklat yang lebih banyak juga memberi peluang interaksi antar pejabat yang lebih sering pula, sehingga terjadi efek cross learning, experience sharing, sekaligus membangun mutual understanding antar institusi.

Ini hanyalah pemikiran sederhana yang mungkin dapat dipertimbangkan untuk mengupayakan perbaikan sistem diklat aparatur. Meskipun demikian, apapun upaya yang akan ditempuh, semuanya akan kembali kepada masing-masing individu, apakah akan menjadikan materi diklat sebagai pelecut kinerja, atau ceramah agama sebagai pengobar semangat berbuat kebaikan, ataukah tidak. Sebagaimana Firman Allah bahwa nasib suatu kaum tidak akan berubah kecuali kaum tersebut yang mengubahnya, maka kompetensi seseorang juga tidak akan pernah meningkat selama ia tidak sungguh-sungguh ingin meningkatkannya. Pandai dan bodoh bukanlah takdir, sebagaimana sukses dan gagal bukanlah kehendak Tuhan. Semuanya adalah pilihan dan kehendak bebas (free will) kita sendiri. Maka, tentukan pilihanmu … sekarang!

Kampus Pejompongan Jakarta
Jum’at, 5 Agustus 2011

Rabu, 03 Agustus 2011

Merenungkan Filosofi Dasar Diklat


Suatu ketika, saya mendapatkan sebuah inspirasi dari widyaiswara sit-in pada Kajian Paradigma. Beliau memberi nasihat yang bersumber dari filosofi orang Jawa sebagai berikut:

Yen kenceng aja nglancangi …
Yen landhep aja natoni …
Yen pinter aja ngguroni …

Ungkapan berbahasa Jawa diatas kurang lebih artinya adalah: jika kita bisa berlari kencang, hendaknya tidak meninggalkan teman/orang lain; jika kita memiliki kemampuan berpikir dan berbicara secara kritis, hendaknya tidak menimbulkan perasaan sakit hati atau ketersinggungan; dan jika kita pandai, usahakan agar jangan meremehkan orang lain dan merasa diri kita paling hebat atau paling pintar. Sebab, pada dasarnya tidak ada seorangpun yang suka dilangkahi, dilukai, dan dibodohi.

Kalau kita perhatikan, esensi diklat adalah menghasilkan alumni yang dapat bekerja dan mengambil keputusan secara cepat namun akurat (kenceng), yang mampu berpikir jernih dan mampu memberikan solusi fundamental terhadap masalah yang dihadapi (landhep), serta yang memiliki kemampuan intelektual dan daya nalar yang tangguh (pinter). Justru patut dipertanyakan jika seseorang yang sudah lulus diklat masih saja ragu-ragu dalam menghadapi dinamika organisasi, atau tidak mampu mengayomi dan mengakomodir perbedaan pendapat dan aspirasi anak buahnya, serta tidak memiliki konsep untuk kemajuan dan masa depan organisasi.

Jika diperhatikan lebih jauh, kompetensi kenceng, landhep, dan pinter adalah kompetensi pada domein kecerdasan intelektual (intellectual quotient) belaka. Jelas ketiga kompetensi ini menjadi target penting dari penyelenggaraan diklat. Namun dibelakang ketiga kata tersebut terdapat kata aja, yang berarti jangan. “Jangan” adalah sebuah sinyal filsafati yang berfungsi sebagai alat kendali agar seseorang tidak terjerumus oleh kelebihannya sendiri. Banyak kasus dimana orang pandai justru gagal karena kepandaiannya, orang cantik/ganteng yang terhina karena kecantikan/ kegantengannya, atau orang kuat yang menjadi lemah oleh kekuatannya sendiri. Selain ketiga ungkapan diatas, masih ada ungkapan-ungkapan Jawa lainnya yang menggunakan kata aja dengan fungsi yang mirip. Beberapa diantaranya adalah aja dumeh, aja nggege mangsa, ngono ya ngono ning aja ngono, dan sebagainya.

Oleh karena itu, kata aja lebih mengedepankan kecerdasan emosional (emotional quotient), yang sekaligus menjadi penyeimbang terhadap kecerdasan intelektual. Artinya, kecerdasan intelektual semata tidak ada maknanya tanpa kecerdasan emosional, dan kecerdasan intelektual akan bermakna ganda saat dilandasi oleh kecerdasan emosional. Dengan fondasi kecerdasan emosional ini, maka ketajaman tidak akan melukai, kepandaian tidak menjadikan orang minder, kecepatan tidak akan mengabaikan atau meninggalkan orang lain, kekuasaan tidak akan men-dzalimi sesama, dan kekuatan tidak akan merusak lingkungan sekitarnya.

Dalam konteks inilah, diklat aparatur mendapat tantangan berat untuk tidak sekedar menghasilkan manusia-manusia pintar, kreatif, cekatan, atau tajam dalam berargumentasi, melainkan juga harus mampu membentuk insan-insan yang santun, menghormati dan berempati kepada orang lain, mementingkan keharmonisan dan keseimbangan dalam kelompok, serta ringan tangan dalam memberdayakan rekan-rekannya.

Saya sendiri belum tahu strategi diklat seperti apa yang efektif untuk membangun kompetensi emosional tersebut. Tentu saja, metode ceramah dan diskusi tentang change management, mindset and culture-set, building shared-vision and team-learning, dan sebagainya masih tetap relevan, meski lebih banyak mengasah otak kiri. Secara simultan, metode tadi perlu diimbangi dengan kerja kelompok dan teknik-teknik alternatif lainnya seperti praktek pelayanan, pembimbingan, pembiasaan bahasa tubuh dalam interaksi sehari-hari, dan sebagainya.

Singkatnya, saya – dan mungkin banyak orang yang lain – mendambakan sebuah sistem diklat yang mampu melahirkan sosok-sosok yang pinter otaknya sekaligus baik perilaku dan hatinya, sebuah perpaduan yang begitu ideal bagi jajaran abdi negara dan abdi masyarakat!

Kampus Pejompongan Jakarta
Rabu, 3 Agustus 2011