Kamis, 20 September 2012

Toleransi Dalam Perspektif Hukum Publik (Kasus Penggunaan Mobil Dinas Untuk Keperluan Pribadi)


Oleh: Tri Widodo W. Utomo 

TOLERANSI sering kita dengar dalam konteks hubungan antar umat beragama, dimana umat agama tertentu wajib menghormati adanya perbedaan keyakinan, tradisi, cara pandang terhadap sesuatu, maupun praktik-praktik perilaku dari penganut agama yang lain. Toleransi dalam kehidupan agama bahkan merupakan sebuah kebutuhan untuk mewujudkan hubungan yang rukun, bersahabat, dan damai. 

Namun, bagaimanakah toleransi dalam bidang hukum? Apakah toleransi juga menjadi sebuah pilihan yang baik untuk mewujudkan penegakan hukum yang memenuhi rasa keadilan masyarakat? Jika kita menyimak dari berbagai ungkapan seperti tegakkan keadilan meski langit runtuh (fiat justitia ruat caelum), zero tolerance, pemerintah tidak akan pandang bulu terhadap pelanggar hukum, dan sebagainya, maka nampaknya “toleransi” menjadi kata yang tabu dalam rezim hukum, baik pidana maupun administrasi negara. Dunia hukum publik kita nampaknya hanya akrab dengan bunyi undang-undang dan tidak terbiasa dengan dialog, musyawarah, atau konsensus untuk mencari kompromi terhadap sebuah situasi atau polemik. 

Dengan cara berpikir ini pula, seorang penasehat KPK tidak memberi toleransi terhadap pemakaian kendaraan dinas untuk keperluan pribadi. "Apapun itu, jika menggunakan fasilitas negara untuk kepentingan pribadi apalagi mudik berarti korupsi," ujar Abdullah Hehamahua kepada wartawan, usai acara pemberian paket sembako di kantor KPK (15/8/2012). “Imbauan penghalalan pemakaian mobil dinas itu merupakan imbauan yang salah kaprah, karena hal itu jelas menyalahi semangat pemerintah yang sedang menggalakkan program pemberantasan korupsi”, sambungnya. Wilayah publik nampaknya menjadi sangat dikotomis dan tidak boleh saling bercampur dengan wilayah privat atau pribadi. 

Faktanya, praktek pemakaian kendaraan dinas atau fasilitas negara yang lain untuk kepentingan pribadi, selama ini cenderung masuk wilayah abu-abu. Artinya, tidak ada aturan tertulis yang melarangnya (yang ada hanya sekedar himbauan), namun juga tidak ada dasar legalitas yang membenarkannya. Pemakaian fasilitas publik (negara) untuk kepentingan pribadi lebih dimaknakan sebagai perbuatan yang tidak etis, namun bukan pelanggaran hukum. Ketika sebuah aturan tidak mengatur secara tegas tentang larangan atau kewajiban untuk berbuat sesuatu, maka muncullah toleransi itu. Sebagai contoh, ditengah kelatahan instansi pemerintah melarang pemakaian kendaraan dinas untuk mudik, Gubernur Jambi dan Walikota Jambi justru membolehkan jajarannya menggunakan mobil dinas untuk angkutan mudik lebaran, dengan catatan tidak menggunakan uang dinas untuk keperluan minyak dan servis kendaraan, serta jika terjadi kerusakan menjadi tanggung jawab pribadi (Jambi Ekspres, 07/08/2012). Hal yang sama terjadi di Pemkab Semarang yang tidak membatasi penggunaan kendaraan dinas sepanjang mematuhi peraturan dan ketentuan pembatasan bahan bakar bersubsidi, serta menjaga dan merawat kendaraan tersebut dengan baik (Republika, 03/08/2012). Jika dicermati secara jujur, masih banyak lagi instansi pemerintah pusat maupun daerah yang bersikap lebih lunak dan mendiamkan pemakaian mobil dinas untuk mudik karyawannya. 

Apakah dengan demikian bisa dikatakan bahwa Gubernur Jambi, Walikota Jambi, dan Bupati Semarang telah menyetujui, bahkan menganjurkan perbuatan korupsi di lingkungannya masing-masing? Jika jawabannya ya, tentu saja KPK tidak boleh tinggal diam melihat fakta seperti ini. Diamnya KPK secara tidak langsung menyiratkan bahwa KPK-pun menerapkan toleransi dalam praktek/kasus seperti ini. Toleransi disini dimaknakan sebagai suatu perbuatan yang tidak ideal namun masih dinilai dalam batas-batas kewajaran. Dengan kata lain, meskipun improper use of government property merupakan perbuatan yang kurang etis, namun fairness adalah salah satu prinsip dasar dari etika. 

Itulah sebabnya, kebijakan Gubernur Jambi, Walikota Jambi, dan Bupati Semarang dapat dilihat sebagai bentuk toleransi untuk mengkompromikan situasi bernilai ganda. Disisi lain, apa yang dilakukan oleh ketiga Kepala Daerah tersebut justru menimbulkan keseimbangan antara kepentingan organisasi dengan kepentingan pribadi karyawan. Paparan dibawah ini memberi penjelasan bagaimana kepentingan publik dan privat tersebut dapat diselaraskan, dan bukannya dikontradiksikan. 

Baru-baru ini Microsoft melakukan survey yang hasilnya mengejutkan. Karyawan yang kelihatan tekun ternyata banyak menghabiskan jam kerjanya untuk melakukan kegiatan yang tidak terkait pekerjaan, seperti online shopping atau chating di berbagai media sosial. Ternyata, penelitian ini juga menemukan bahwa karyawan ini juga menjawab email, mengerjakan proyek, menyelesaikan laporan, serta menghubungi pelanggan dari rumah. Sebanyak 75% orang menggunakan computer kantor tidak hanya untuk mengerjakan tugas kantor, tetapi juga untuk keperluan pribadi. Sebaliknya, 64% karyawan mengerjakan tugas-tugas kantor di rumah. Hal ini menunjukkan bahwa batasan waktu dan tempat antara kehidupan kerja dan kehidupan pribadi semakin memudar. Istilah yang sedang hits untuk situasi ini adalah having it all atau blurring work and personal life (Eileen Rachman dan Sylvina Savitri, “Work Life Mix”, Kompas, 11/08/2012). 

Kehidupan manusia Indonesia, terutama yang tinggal di perkotaan, juga tidak terlepas dari fenomena Work Life Mix tersebut. Banyak pegawai yang menenteng laptop pribadi berisi dokumen-dokumen kerja. Komunikasi kedinasan-pun teramat sering dilakukan dengan pulsa yang dibayar sendiri, sehingga menghemat pemakaian telepon kantor. Tidak jarang pula pegawai secara sukarela mengumpulkan dana untuk membangun tempat ibadah di lingkungan kantor, karena memang tidak ada anggaran pembangunan masjid. Masih banyak lagi perilaku altruism pegawai terhadap organisasinya. Hal-hal seperti inilah yang selayaknya juga menjadi pertimbangan dalam memberikan toleransi ketika seorang pegawai menikmati fasilitas publik untuk keperluan pribadinya. 

Lagi pula, dalam hukum administrasi negara sesungguhnya juga dikenal mekanisme toleransi yang berwujud lembaga dispendasi dan lembaga pemutihan. Keduanya adalah instrumen kebijakan yang mengubah tindakan hukum yang semula illegal menjadi legal atau menjadi hilang unsur pelanggaran hukumnya. Contoh dari dispensasi adalah dalam kasus perkawinan. Menurut UU No. 1/1970, seseorang dapat melakukan pernikahan jika sudah mencapai umur tertentu. Jika ternyata orang tadi belum memenuhi syarat umur minimal, maka harus ada dispensasi terlebih dahulu, baru dapat melangsungkan pernikahan. Adapun contoh pemutihan adalah pemutihan IMB. Orang yang tidak memiliki IMB atas bangunan yang dimilikinya, dianggap tidak melanggar hukum sampai dengan saat dilakukannya pemutihan tersebut. Bedanya, dispensasi diberikan sebelum suatu tindakan hukum dilakukan, sedangkan pemutihan diberikan sesudah terjadinya suatu tindakan hukum. 

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa toleransi sesungguhnya merupakan urat nadi dalam interaksi bermasyarakat maupun bernegara, termasuk di bidang hukum. Penegakan hukum dan pemberantasan korupsi seyogyanya tidak dilakukan secara “hitam-putih” atau “benar-salah”, namun lebih menyelami lebih dalam semangat kebatinan yang berkembang dalam hati sanubari masyarakat. 

Penulis adalah Ahli Peneliti Utama Bidang Administrasi Publik; Kepala Pusat Kajian Manajemen Kebijakan LAN-RI

Konflik Sosial dan Perijinan


Oleh: Tri Widodo W. Utomo

DALAM segmen Teropong, KOMPAS edisi 27/7/2012 membuat laporan investigasi yang sangat menyentuh tentang konflik antar warga Kecamatan Balaesang Tanjung, Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah. Konflik ini dipicu oleh dikeluarkannya Ijin Usaha Pertambangan (IUP) untuk PT Cahaya Manunggal Abadi dengan luas areal sekitar 5.000 hektar yang mencakup delapan desa. Bahkan Ijin Amdalnya keluar tanpa sepengetahuan atau persetujuan warga. 

Sikap sebagian besar warga menolak rencana penambangan tersebut karena secara turun-menurun mereka telah menyandarkan hidup dari hasil kebun dan ladang yang amat subur dan ditanami dengan jenis komoditas kakao, cengkeh, kelapa, dan lainnya. Sayangnya, penolakan mereka tidak pernah didengar oleh pemerintah. Potensi konflik semakin meruncing saat muncul sebagian warga yang sepakat dengan rencana penambangan tersebut. Meski sebagian warga yang mendukung rencana tersebut mengaku karena terpaksa, tidak urung konflik kedua belah pihak telah menimbulkan korban jiwa maupun korban material yang tidak sedikit. 

Bukan yang Pertama 

Konflik sosial yang dipicu oleh pemberian ijin pertambangan bukan sekali ini terjadi. Kasus Balaesang Tanjung seakan menjadi pengulangan kasus-kasus yang terjadi d berbagai daerah. Rasanya masih hangat dalam ingatan masyarakat terjadinya kerusuhan Bima yang terjadi Desember 2011 silam. 

Pemicu kerusuhanpun sama, yakni dikeluarkannya Ijin Usaha Pertambangan (IUP) untuk PT Sumber Mineral Nusantara dengan luas areal lebih dari 24 ribu hektar. Protes warga yang sudah berjalan lebih dari setahun tidak digubris, termasuk rekomendasi Komnas HAM kepada Bupati Bima. Puncaknya, pada tanggal 24/12/2011 massa memblokir Pelabuhan Sape dan terjadilah peristiwa berdarah yang menewaskan 4 orang dan puluhan korban hilang (Sumbawa News, 25/12/2011). 

Selain kasus Balaesang Tanjung maupun kasus Bima, masih banyak konflik sosial yang dipicu oleh kebijakan pemerintah mengeluarkan perijinan. Scale-up, sebuah LSM yang bergerak dalam bidang pembangunan sosial berkelanjutan, misalnya, menyebut banyaknya tumpang tindih perijinan lahan di lapangan yang memicu konflik sosial. Di Riau saja, terdapat 241 konflik sosial yang terjadi dalam 4 tahun terakhir (http://scaleup.or.id). Belum lagi konflik di daerah dan sektor lainnya.  

Pengulangan berbagai konflik sosial tersebut seolah memberikan gambaran kepada kita bahwa pemerintah tidak pernah belajar dari kasus-kasus lama untuk mencegah agar kasus yang sama tidak berulang di daerah lain. Praktek perijinan selalu saja penuh dengan kepentingan kelompok tertentu dan merugikan kelompok lainnya. Proses pengambilan keputusan hingga munculnya ijin tersebut nampaknya juga hanya mempertimbangkan sisi prosedural, namun kurang mendalami aspek sosiologis dan psikologis warga yang terkena kebijakan. Negara gagal mengelola perijinan sebagai instrumen negara kesejahteraan (welfare state) sekaligus memfungsikannya sebagai wahana rekayasa sosial.  

Rekayasa Sosial 

Meski citra perijinan sekarang sudah teramat buruk dimata publik karena praktek-praktek yang buruk, namun harus disadari bahwa munculnya perijinan sebagai tindakan administratif pemerintah justru dimaksudkan untuk mewujudkan perlindungan pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda warga negara. Secara lebih detil, perijinan yang baik akan dapat mencapai tujuan-tujuan ideal sebagai berikut: 1) mewujudkan tertib sosial dan tertib hukum dalam masyarakat; 2) meningkatkan pemerataan dan mengentaskan kemiskinan; 3) mendorong iklim investasi dan pertumbuhan ekonomi sektor riil di daerah; 4) mencegah pengelolaan sumber daya alam secara ekstraktif eksploitatif; serta 5) menjadi sumber pendapatan daerah/negara (Utomo, 2010). 

Dengan kata lain, perijinan yang benar mestinya dapat mendorong efek positif berupa pertumbuhan ekonomi, sekaligus mencegah sejak dini kerusakan lingkungan alam maupun sosial. Namun jika dikelola dengan kurang bijak, maka justru efek negatiflah yang akan terjadi. Itulah sebabnya mengapa perijinan dikatakan sebagai sebuah instrumen rekayasa pembangunan atau rekayasa sosial (social reengineering). Rekayasa yang baik akan memberi hasil yang baik, sementara rekayasa yang buruk akan memberi hasil buruk juga. 

Bagaimana perijinan dapat menjadi alat rekayasa sosial? Aliran utilitarianisme dalam khazanah hukum administrasi negara menyatakan bahwa perijinan diperlukan bukan sekedar memberikan legalitas terhadap aktivitas tertentu dari seorang warna negara, namun juga jaminan bahwa aktivitas tersebut bermanfaat baik bagi dirinya, keluarganya, maupun orang lain. Artinya, perijinan memiliki wajah ganda, yakni wajah kepastian hukum di satu sisi dan kemanfaatan publik disisi lain. 

Agar dua sisi tersebut bisa berjalan seimbang, maka pemerintah berhak menetapkan persyaratan, kewajiban, dan larangan yang melekat pada perijinan tertentu. Persyaratan adalah kondisi-kondisi yang harus dipenuhi pemohon ijin seperti kelengkapan administratif, kualifikasi personal atau badan usaha, dan lain-lain. Penetapan persyaratan ini pada hakekatnya merupakan upaya pengendalian, yang berarti bahwa tidak setiap orang atau setiap badan usaha dapat diberikan ijin tertentu. Kewajiban adalah hal-hal yang harus dilakukan pemegang ijin seperti keharusan menjaga kelestarian lingkungan, mempekerjakan penduduk sekitar, menggunakan bahan dasar lokal (local content), atau membayar retribusi/pajak kepada pemerintah, yang apabila tidak dilakukan maka ijin yang telah diberikan dapat dicabut kembali disertai ancaman sanksi. Jadi, penetapan kewajiban ini dimaksudkan untuk menggaransi dampak positif dari pemberian ijin. Adapun larangan berisi pembatasan bagi pemegang ijin untuk tidak menyelenggarakan aktivitas selain dari yang disebutkan dalam ijin, atau larangan menggunakan bahan baku dari luar negeri, memproduksi barang lebih dari ketentuan yang berlaku, dan sebagainya. Hal ini diperlukan untuk mencegah kemungkinan dampak negatif dari pemberian ijin tersebut. 

Dalam realitanya, sebuah ijin jarang sekali menekankan aspek kewajiban dan larangan tersebut. Ijin cenderung mudah dikeluarkan sepanjang persyaratan administratif sudah lengkap. Maka, perijinan tidak pernah menjadi alat rekayasa sosial. Perijinan lebih banyak dimanfaatkan sebagai sumber pendapatan daerah semata, tanpa memperhatikan fungsi perijinan yang lain secara seimbang. Akan lebih buruk lagi ketika kepentingan politis masuk dalam rezim perijinan, maka potensi konflik sosial akan semakin besar, seperti terlihat dalam berbagai kasus yang muncul belakangan ini. 

Dengan demikian, untuk mencegah merebaknya konflik sosial di kemudian hari, pendekatan hukum saja sangat tidak memadai. Pendekatan teknokratis-administratif dengan memperbaiki sistem perijinan secara menyeluruh, diyakini menjadi pilihan solusi yang lebih jitu dan cerdas untuk jangka panjang. 

Penulis adalah Ahli Peneliti Utama Bidang Administrasi Publik, LAN-RI

Minggu, 10 Juni 2012

Merenungkan Kembali Desentralisasi Asimetris


1.      Selama ini cukup sering muncul pertanyaan yang belum terjawab tuntas, yakni: “apakah kebijakan otonomi daerah berdasarkan UU No. 32/2004 juga mengakomodir desentralisasi asimetris?” Banyak pihak yang menyatakan bahwa kajian tentang desentralisasi asimetris tidak terlalu urgen mengingat UU No. 32/2004 sendiri sesungguhnya sudah bersifat asimetris. Hal ini bisa dilihat misalnya dari konsep kewenangan pilihan sesuai dengan potensi daerah, atau tipologi besaran OPD yang berbeda, atau variasi jumlah DAU yang diterima, atau beragamnya Perda yang diterbitkan, hingga keleluasaan kebijakan lain yang dimiliki oleh daerah. Dengan kata lain, desentralisasi di Indonesia saat ini adalah desentralisasi asimetris. Tugas tim peneliti selanjutnya adalah mencari faktor determinan yang menjadikan kebijakan ini cenderung seragam (simetris) pada tahap implementasinya.

Namun saya memiliki pandangan pribadi yang agak berbeda. Bagi saya, desentralisasi UU No. 32/2004 dan UU Pemerintahan Daerah sebelumnya masih bernuansa sentralistis, karena perbedaan yang diusung masih pada tataran prinsip (beginsel) dan belum sampai kepada tataran implementasi (praktijk). Pengakuan terhadap keanekaragaman daerah bahkan hak-hak asal-usul (autochtoon rechts) ternyata masih pada level konstitusi, dan belum menjelma dalam aktualisasi kebijakan, terutama dibawah UUD dan UU. Dalam praktiknya, peraturan perundang-undangan setingkat PP kebawah nampaknya memberi pedoman yang cenderung seragam, hanya berbeda dalam kadarnya saja.

Artinya, desentralisasi yang masih seragam secara prinsipiil pada hakekatnya adalah sentralisasi. Desentralisasi yang hakiki harus membuka kemungkinan perbedaan se-ekstrim apapun sepanjang perbedaan tersebut benar-benar obyektif/faktual, dapat dibuktikan/dilacak secara akademik, dan mendapat pengakuan luas dari publik. Perbedaan-perbedaan seperti wewenang pilihan, tipologi besaran OPD, variasi jumlah DAU, atau keragaman Perda, hanyalah perbedaan dalam skala (perbedaan administratif), bukan perbedaan dalam identitas (perbedaan substantif/prinsip/material). Artinya, perbedaan dalam wewenang pilihan, tipologi besaran OPD, variasi jumlah DAU, dan lain-lain cukup diterjemahkan sebagai wewenang yang asimetris, kelembagaan OPD yang asimetris, dan perimbangan keuangan yang asimetris, namun bukan desentralisasi asimetris.

Perbedaan skala diatas saya maksudkan sebagai sebuah kondisi yang relatif sama dan ada di sebagian besar daerah otonom, hanya berbeda dalam skalanya saja. Sementara perbedaan identitas saya maknakan sebagai sebuah kondisi faktual yang ada di suatu daerah otonom, namun tidak ditemukan sama sekali di daerah otonom yang lain. Meskipun perbedaan dalam skala tetap layak diapresiasi dalam koridor perwujudan pemerintahan demokratis (democratic governance), namun kebijakan desentralisasi di Indonesia akan lebih meyakinkan disebut asimetris yang hakiki jika berani mengakomodir jenis perbedaan yang kedua.



2.      Kondisi antar daerah di Indonesia yang teramat berbeda juga mempersulit diskursus serta upaya mendesain kebijakan tentang desentralisasi asimetris. Paling tidak, keragaman daerah di Indonesia dapat diklasifikasikan menjadi beberapa kelompok, yakni:

a.       Secara sosiologis, ada daerah yang memiliki latar belakang budaya (cultural affairs) yang sangat khas, yang secara fisik membedakan dengan identitas budaya yang lain. Contoh konkrit faktor budaya ini misalnya Papua yang merupakan ras Polinesia, sementara bagian barat dan tengah Indonesia sebagian besar adalah ras Melanesia.

b.      Secara historis politis, ada daerah yang memiliki hak atas territorial (right to territorial integrity), dan hak menentukan nasib sendiri, termasuk memilih pemimpinnya (right to self-determination). Contohnya adalah DIY yang merupakan eks kerajaan Mataram dengan wilayah sebagian Jawa Tengah dan Jawa Timur dan memiliki perjanjian politik dengan pemerintah Belanda (http://id.wikisource.org/wiki/Perjanjian_Politik_1940).

Daerah dengan faktor sosiologis kultural maupun historis politis seperti itulah yang secara konseptual paling berhak untuk menerima desentralisasi asimetris. Diluar kedua karakter dasar tersebut memang dimungkinkan adanya perbedaan antar daerah, yang kemudian direspon dengan treatment kebijakan yang berbeda (asimetris). Bedanya, kebijakan asimetris untuk kategori (a) dan (b) diatas muncul karena dorongan dari bawah, sementara pada daerah lain yang tidak memiliki alasan sosiologis kultural maupun historis politis, kebijakan asimetrisnya lebih merupakan grant dari atas (pemerintah pusat).


Rabu, 02 Mei 2012

Air yang Istiqamah


Air adalah salah satu kebutuhan vital hidup kita. Banyak pelajaran yang bisa kita ambil dari AIR yang paling mendasar adalah sifatnya yang selalu mencari tempat yang rendah. Hal ini merupakan suatu isyarat bagi kita, bahwa dalam hidup ini manusia seharusnya tidak berpatah arang dalam berusaha menggapai cita-citanya. "Dimana ada kemauan, disitu pasti ada jalan", begitu pepatah mengatakan. 


Kita mendapati, betapa istiqomahnya air dalam menempuh perjalanan untuk mencapai tempat yang rendah. Dari tempat yang tinggi, air meluncur membelah bumi hingga menjadi aliran yang kita sebut sungai. Disitu air mengalir bebas menuju tempat rendah mana saja yang ia sukai. Tidak jarang air itu secara beramai-ramai mengalir, menghantam, atau menghanyutkan apa saja yang mengganggu perjalannya. Dengan tekadnya, dia terus berusaha menuju tempat yang rendah. 


Kalau ia menemui onggokan tanah yang kuat atau apa saja yang menghalangi perjalanannya, maka ia akan membuat manuver dengan membuat kelokan dan mencari jalan alternatif, atau berpisah dengan kawan-kawannya melingkari penghalang itu, yang akhirnya terjadi dua aliran. Sepintas aliran itu terlihat saling bercerai, tapi kalau kita jeli, itu merupakan suatu strategi untuk mencapai tujuannya. 


Bila rintangan itu bendungan kokoh maka ia akan membuat kumpulan yang nantinya sebagian diantara mereka tidak dapat terbendung lagi, dengan begitu ia dapat meneruskan perjalanannya. Dan andaipun kumpulannya kurang, ia akan mencari jalan lain yaitu menguap. Ia akan berkumpul bersama diangkasa dalam gumpalan awan, dan apabila telah mencapai titik kulminasinya, ia akan membentuk titik-titik hujan. Semakin tebal awan itu, semakin lebat pula hujan yang turun. Dengan begitu ia akan mencapai tempat tujuannya, yaitu tempat yang rendah. 


Betapa besarnya pelajaran yang bisa kita ambil dari peristiwa perjalanan air itu, yakni kosistensinya, dan tak mengenal putus asa dalam mencapai tujuannya. Dan sifat itu pula yang semestinya senantiasa menjiwai diri kita. Imam Syafi'i dalam salah satu syairnya, menjadikan dinamika sifat air ini sebagai suatu bukti bahwa dalam bergerak dan beraktifitas akan ada kebaikan, dalam diam dan tanpa karya akan banyak kerugian dan kerusakan.


Sumber: Anonim

Doa Jenderal Douglas Mc Arthur Untuk Anaknya


Tuhanku,

Bentuklah putraku menjadi manusia yang cukup kuat untuk menyadari manakala ia lemah, dan cukup berani untuk menghadapi dirinya sendiri manakala ia takut. Manusia yang selalu memiliki rasa bangga dan keteguhan dalam kekalahan, rendah hati serta jujur dalam kemenangan.

Bentuklah putraku menjadi manusia kuat dan mengerti bahwa mengetahui dan kenal akan dirinya sendiri adalah dasar dari segala ilmu yang benar. 

Tuhanku,

Jangan putraku dibimbing atas jalan yang mudah dan lemah, biarlah Kau bimbing di bawah tempa dan desak kesulitan tantangan hidup. Bimbinglah putraku supaya tegak berdiri di tengah badai, berbelas kasih kepada mereka yang jatuh.

Bentuklah putraku menjadi manusia berhati bening dengan cita meninggi langit. Seorang putra yang sanggup memimpin dirinya sendiri sebelum ia berhasrat memimpin orang lain. Seorang putra yang menjangkau ke hari depan tapi tidak melupakan masa lampau. 

Dan setelah segala menjadi miliknya, semoga putraku dilengkapi hati yang ringan untuk menari serta selalu akan bersungguh hati, tapi jangan sekali-kali menganggap dirinya terlalu berkesungguhan. Berikanlah padanya kepadanya kerendahan hati, kesederhanaan dan keagungan hakiki, pikiran cerah dan terbuka bagi sumber kearifan dan bagi kelembutan dari kekuatan sebenarnya. Dan aku, orangtuanya 'kan berani berbisik, "Hidup kami tidaklah sia-sia".


Sumber:
"A Soldier's Prayer for His Son" (Gen. Douglas Mac Arthur)

Berpikir Positif ...


Terima kasihlah kepada orang yang telah mencelakai Anda, karena dia telah melatih kegigihan hati Anda.
Terima kasihlah kepada orang yang telah menipu Anda, karena dia telah menambah pengalaman dan wawasan Anda.
Terima kasihlah kepada orang yang telah mencambuk Anda, karena dia telah membuat Anda berlari sangat kencang, melebihi kecepatan normal Anda.
Terima kasihlah kepada orang yang telah meninggalkan/mencampakkan Anda, karena dia telah mendidik Anda untuk mandiri.
Terima kasihlah kepada orang yang telah menjatuhkan Anda, karena dia telah menguatkan kemampuan Anda.
Terima kasihlah kepada orang yang telah memarahi Anda, karena dia telah membantu menumbuhkan ketenangan dan kebijaksanaan Anda.
Terima kasihlah kepada semua orang yang telah membuat Anda kuat, kokoh dan berhasil.

Meja Kayu


Suatu ketika, ada seorang kakek yang harus tinggal dengan anaknya. Selain itu, tinggal pula menantu, dan anak mereka yang berusia 6 tahun. Tangan orangtua ini begitu rapuh, dan sering bergerak tak menentu. Penglihatannya buram, dan cara berjalannya pun ringkih. Keluarga itu biasa makan bersama di ruang makan. Namun, sang orangtua yang pikun ini sering mengacaukan segalanya. Tangannya yang bergetar dan mata yang rabun, membuatnya susah untuk menyantap makanan. Sendok dan garpu kerap jatuh ke bawah. 

Saat si kakek meraih gelas, segera saja susu itu tumpah membasahi taplak. Anak dan menantunya pun menjadi gusar. Mereka merasa direpotkan dengan semua ini. "Kita harus lakukan sesuatu," ujar sang suami. "Aku sudah bosan membereskan semuanya untuk pak tua ini." 

Lalu, kedua suami-istri ini pun membuatkan sebuah meja kecil di sudut ruangan. Disana, sang kakek akan duduk untuk makan sendirian, saat semuanya menyantap makanan. Karena sering memecahkan piring, keduanya juga memberikan mangkuk kayu untuk si kakek. 

Sering saat keluarga itu sibuk dengan makan malam mereka, terdengar isak sedih dari sudut ruangan. Ada airmata yang tampak mengalir dari gurat keriput si kakek. Namun, kata yang keluar dari suami-istri ini selalu omelan agar ia tak menjatuhkan makanan lagi. 

Anak mereka yang berusia 6 tahun memandangi semua dalam diam. Suatu malam, sebelum tidur, sang ayah memperhatikan anaknya yang sedang memainkan mainan kayu. Dengan lembut ditanyalah anak itu. "Kamu sedang membuat apa?". Anaknya menjawab, "Aku sedang membuat meja kayu buat ayah dan ibu untuk makan saatku besar nanti. Nanti, akan kuletakkan di sudut itu, dekat tempat kakek biasa makan." Anak itu tersenyum dan melanjutkan pekerjaannya. 

Jawaban itu membuat kedua orangtuanya begitu sedih dan terpukul. Mereka tak mampu berkata-kata lagi. Lalu, airmatapun mulai bergulir dari kedua pipi mereka. Walau tak ada kata-kata yang terucap, kedua orangtua ini mengerti, ada sesuatu yang harus diperbaiki. Mereka makan bersama di meja makan. Tak ada lagi omelan yang keluar saat ada piring yang jatuh, makanan yang tumpah atau taplak yang ternoda. Kini, mereka bisa makan bersama lagi di meja utama.

Teman, anak-anak adalah persepsi dari kita. Mata mereka akan selalu mengamati, telinga mereka akan selalu menyimak, dan pikiran mereka akan selalu mencerna setiap hal yang kita lakukan. Mereka adalah peniru. Jika mereka melihat kita memperlakukan orang lain dengan sopan, hal itu pula yang akan dilakukan oleh mereka saat dewasa kelak. Orangtua yang bijak, akan selalu menyadari, setiap "bangunan jiwa" yang disusun, adalah pondasi yang kekal buat masa depan anak-anak. Mari, susunlah bangunan itu dengan bijak. Untuk anak-anak kita, untuk masa depan kita, untuk semuanya. Sebab, untuk mereka lah kita akan selalu belajar, bahwa berbuat baik pada orang lain, adalah sama halnya dengan tabungan masa depan. 

Jika anak hidup dalam kritik, ia belajar mengutuk
Jika anak hidup dalam kekerasan, ia belajar berkelahi
Jika anak hidup dalam pembodohan, ia belajar jadi pemalu
Jika anak hidup dalam rasa dipermalukan, ia belajar terus merasa bersalah
Jika anak hidup dalam toleransi, ia belajar menjadi sabar
Jika anak hidup dalam dorongan, ia belajar menjadi percaya diri
Jika anak hidup dalam penghargaan, ia belajar mengapresiasi
Jika anak hidup dalam rasa adil, ia belajar keadilan
Jika anak hidup dalam rasa aman, ia belajar yakin
Jika anak hidup dalam persetujuan, ia belajar menghargai diri sendiri
Jika anak hidup dalam rasa diterima dan persahabatan, ia belajar mencari cinta di seluruh dunia.

Betapa terlihat disini peran orang tua sangat penting karena mereka diistilahkan oleh Khalil Gibran sebagai busur kokoh yang dapat melesatkan anak-anak dalam menapaki jalan masa depannya. Tentu hari ini harus lebih baik dari hari kemarin, dan esok harus lebih baik dari hari ini dan tentu kita selalu berharap generasi yang akan datang harus lebih baik dari kita ....

Never Perfect in the World


Suatu ketika, terdapat sebuah kerajaan yang diperintah seorang raja yang bijaksana. Namanya Raja Henry. Raja Henry yang telah tua itu ingin segera turun takhta.Raja Henry memiliki seorang anak bernama Pangeran Arthur. 

Putra mahkota itu baik hati, bertanggung jawab, serta bijaksana. Ia juga dekat dengan rakyat. Itu sebabnya ia sangat cocok untuk memerintah kerajaan itu. Tetapi sayangnya ia belum beristeri. Padahal salah satu syarat untuk menjadi raja di kerajaan itu, pangeran harus memiliki isteri.Kesibukan di istana pun dimulai. Seluruh anggota kerajaan sibuk mencarikan wanita yang cocok untuk Pangeran.  

Tapi, tak satu pun wanita yang dapat membuat Pangeran Arthur jatuh cinta. Selalu saja ada kekurangannya di mata Pangeran Arthur. Pada suatu hari, datanglah seorang pemuda pengembara. Ia datang ke kerajaan dan menemui Pangeran yang sedang melamun di taman istana.  

"Selamat pagi Pangeran Arthur!" sapa sang pengembara.
"Selamat pagi. Siapakah kau?" tanya Pangeran Arthur.
"Aku pengembara biasa. Namaku Theo. Kudengar, Pangeran sedang bingung memilih calon isteri?" tanya Theo.

"Ya, aku bingung sekali. Semua wanita yang dikenalkan padaku, tidak ada yang menarik hati. Ada yang cantik, tapi berkulit hitam. Ada yang putih, tetapi bertubuh pendek. Ada yang bertubuh semampai, berwajah cantik, tetapi tidak bisa membaca. Aduuh!" keluh Pangeran dengan wajah bingung. 

"Hmm, bagaimana kalau kuajak Pangeran berjalan-jalan sebentar. Siapa tahu di perjalanan nanti Pangeran bisa menemukan jalan keluar," ajak Theo sambil memandang wajah Pangeran yang tampak letih. "Ooh, baiklah," jawab Pangeran sambil melangkah. Mereka berdua lalu berjalan-jalan ke luar istana. 

Theo mengajak Pangeran ke daerah pantai. Disana mereka berbincang-bincang dengan seorang nelayan.Tak lama kemudian nelayan itu mengajak pangeran dan Theo ke rumahnya. "Isteriku sedang memasak ikan bakar yang lezat. Pasti Pangeran menyukainya," ujar si nelayan.Setibanya di rumah nelayan,terciumlah aroma ikan bakar yang sangat lezat. Mereka duduk di teras rumah nelayan itu. Tak lama kemudian keluarlah istri nelayan menghidangkan ikan bakar. Istri nelayan itu bertubuh pendek. Ketika sang istri masuk ke dalam,Theo bertanya, "Wahai Nelayan! Mengapa engkau memilih istri yang bertubuh pendek?" Nelayan itu tersenyum lalu menjawab: 

"Aku mencintainya. Lagipula, walau tubuhnya pendek, hatinya sangat baik. Ia pun pandai memasak." Theo dan Pangeran Arthur mengangguk-angguk mengerti. Selesai makan, mereka berterima kasih dan melanjutkan perjalanan. 

Kini Theo dan Pangeran Arthur sampai di rumah seorang petani. Disana mereka menumpang istirahat. Rumah Pak Tani sangat bersih. Tak ada sedikit pun debu. Mereka beberapa saat bercakap dengan Pak Tani. Lalu keluarlah isteri Pak Tani menyuguhkan minuman dan kue-kue kecil. Bu Tani bertubuh sangat gemuk. Pipinya tembam dan dagunya berlipat-lipat. Setelah Bu Tani pergi ke sawah, Theo pun bertanya, "Pak Tani yang baik hati. Mengapa kau memilih isteri yang gemuk?"Pak Tani tersenyum dan menjawab dengan suara bangga, "Ia adalah wanita yang rajin. Lihatlah, rumahku bersih sekali bukan? Setiap hari ia membersihkannya dengan teliti. Lagipula, aku sangat mencintainya."Pangeran dan Theo mengangguk-angguk mengerti. Mereka lalu pamit, dan berjalan pulang ke Istana.  

Setibanya di Istana, mereka bertemu seorang pelayan dan isterinya. Pelayan itu amat pendiam, sedangkan isterinya cerewet sekali. Theo Kembali bertanya, "Pelayan, mengapa kau mau beristerikan wanita secerewet dia?" Pelayan menjawab sambil merangkul isterinya, "Walau cerewet, dia sangat memperhatikanku. Dan aku sangat mencintainya". Theo dan Pangeran mengangguk-angguk mengerti. Lalu berjalan dan duduk di tepi kolam istana. 

Pangeran berkata pada Theo, "Kini aku mengerti. Tak ada manusia yang sempurna. Begitu pula dengan calon isteriku. Yang penting, aku mencintainya dan hatinya baik. "Theo menarik nafas lega. Ia lalu membuka rambutnya yang ternyata palsu. Rambut aslinya ternyata panjang dan keemasan. Ia juga membuka kumis dan jenggot palsunya. 

Kini di hadapan Pangeran ada seorang puteri yang cantik jelita. Puteri itu berkata, "Pangeran, sebenarnya aku Puteri Rosa dari negeri tetangga. Ibunda Pangeran mengundangku ke sini. Dan menyuruhku melakukan semua hal tadi. Mungkin ibundamu ingin menyadarkanmu..." Pangeran sangat terkejut tetapi kemudian berkata, "Akhirnya aku dapat menemukan wanita yang cocok untuk menjadi isteriku". Mereka berdua akhirnya menikah dan hidup bahagia selamanya. 

Sumber: Anonim

Hidup Hanya Sebuah Perjalanan


Dulu, ada seorang Kaisar yang mengatakan pada salah seorang penunggang kudanya, jika dia bisa naik kuda dan menjelajahi daerah seluas apapun, Kaisar akan memberikan kepadanya daerah seluas yang bisa dijelajahinya. Kontan si penunggang kuda itu melompat ke punggung kudanya dan melesat secepat mungkin untuk menjelajahi dataran seluas mungkin. 

Dia melaju dan terus melaju, melecuti kudanya untuk lari secepat mungkin. Ketika lapar dan letih, dia tidak berhenti karena dia ingin menguasai dataran seluas mungkin. Akhirnya, sampailah dia pada suatu tempat di mana cukup luas daerah telah berhasil dijelajahinya, dan dia menjadi begitu kelelahan dan hampir mati. Lalu dia berkata terhadap dirinya sendiri, "Mengapa aku memaksa diri begitu keras untuk menguasai daerah yang begitu luas? Sekarang aku sudah sekarat, dan aku hanya butuh tempat yang begitu kecil untuk menguburkan diriku sendiri."  

Cerita ini mirip dengan perjalanan hidup kita. Kita memaksa diri begitu keras tiap hari untuk mencari uang, kuasa, dan keyakinan diri. Kita mengabaikan kesehatan kita, waktu kita bersama keluarga, dan kesempatan mengagumi keindahan sekitar, hal-hal yang ingin kita lakukan, dan juga kehidupan rohani dan pelayanan kita. 

Suatu hari ketika kita menoleh ke belakang, kita akan melihat betapa kita tidak membutuhkan sebanyak itu, tapi kita tak mampu memutar mundur waktu atas semua yang tidak sempat kita lakukan. Maka, sempatkanlah untuk memikirkan barang sejenak apa yang akan kita lakukan apabila kita mati besok. Atau apa yang akan kita lakukan jika kita meninggal dalam waktu seminggu? Sebulan? Setahun? Sepuluh tahun? 40 tahun lagi? Bukankah suatu hal yang menyenangkan sekaligus menyeramkan mengetahui kapan kita akan mati? Cuma yaitu--kita tidak tahu, kita semua tidak ada yang tahu... 

Jalanilah hidup yang seimbang - Belajarlah untuk menghormati dan menikmati kehidupan, dan yang terutama:  Mengetahui apa yang TERPENTING dalam hidup ini. 

Sumber: Unknown (Anonim)

7 Keajaiban Dunia


Sekelompok pelajar kelas geografi belajar mengenai "Tujuh Keajaiban Dunia." Pada akhir pelajaran, pelajar tersebut di minta untuk membuat daftar apa yang mereka pikir merupakan "Tujuh Keajaiban Dunia" saat ini. Walaupun ada beberapa ketidaksesuaian, sebagian besar daftar berisi:  

1)      Piramida Besar di Mesir
2)      Taj Mahal
3)      Grand Canyon
4)      Panama Canal
5)      Empire State Building
6)      St. Peter's Basilica
7)      Tembok China  

Ketika mengumpulkan daftar pilihan, sang guru memperhatikan seorang pelajar, seorang gadis yang pendiam, yang belum mengumpulkan kertas kerjanya. Jadi, sang guru bertanya kepadanya apakah dia mempunyai kesulitan dengan daftarnya. Gadis pendiam itu menjawab,  

"Ya, sedikit. Saya tidak bisa memilih karena sangat banyaknya." Sang guru berkata, "Baik, katakan pada kami apa yang kamu miliki, dan mungkin kami bisa membantu memilihnya." Gadis itu ragu sejenak, kemudian membaca, "Saya pikir Tujuh Keajaiban Dunia adalah:

1)      Bisa menyentuh
2)      Bisa mencicip
3)      Bisa melihat
4)      Bisa mendengar  

Dia ragu lagi sebentar, dan kemudian melanjutkan...

5)      Bisa merasakan
6)      Bisa tertawa
7)      Dan bisa mencintai  

Ruang kelas tersebut sunyi seketika. Alangkah mudahnya bagi kita untuk melihat pada
eksploitasi manusia dan menyebutnya "keajaiban" sementara kita lihat lagi semua yang telah Tuhan lakukan untuk kita, menyebutnya sebagai "biasa". Semoga Anda hari ini diingatkan tentang segala hal yang betul-betul ajaib dalam kehidupan Anda.  

Sumber: Utami Henrica S.

Perumpamaan Air Mendidih


Seorang anak mengeluh pada ayahnya mengenai kehidupannya dan menanyakan mengapa hidup ini terasa begitu berat baginya. Ia tidak tahu bagaimana menghadapinya dan hampir menyerah. Ia sudah lelah untuk berjuang. Sepertinya setiap kali satu masalah selesai, timbul masalah baru. Ayahnya, seorang koki, membawanya ke dapur. Ia mengisi 3 panci dengan air dan menaruhnya di atas api. Setelah air di panci-panci tersebut mendidih. Ia menaruh wortel di dalam panci pertama, telur di panci kedua dan ia menaruh kopi bubuk di panci terakhir. Ia membiarkannya mendidih tanpa berkata-kata. Si anak membungkam dan menunggu dengan tidak sabar, memikirkan apa yang sedang dikerjakan sang ayah. Setelah 20 menit, sang ayah mematikan api. 

Ia menyisihkan wortel dan menaruhnya di mangkuk, mengangkat telur dan meletakkannya di mangkuk yang lain, dan menuangkan kopi di mangkuk lainnya. Lalu ia bertanya kepada anaknya, "Apa yang kau lihat, nak?" "Wortel, telur, dan kopi" jawab si anak. Ayahnya mengajaknya mendekat dan memintanya merasakan wortel itu. Ia melakukannya dan merasakan bahwa wortel itu terasa lunak. Ayahnya lalu memintanya mengambil telur dan memecahkannya. Setelah membuang kulitnya, ia mendapati sebuah telur rebus yang mengeras. 

Terakhir, ayahnya memintanya untuk mencicipi kopi. Ia tersenyum ketika mencicipi kopi dengan aromanya yang khas. Setelah itu, si anak bertanya, "Apa arti semua ini, Ayah?"  

Ayahnya menerangkan bahwa ketiganya telah menghadapi kesulitan yang sama, perebusan, tetapi masing-masing menunjukkan reaksi yang berbeda. Wortel sebelum direbus kuat, keras dan sukar dipatahkan. Tetapi setelah direbus, wortel menjadi lembut dan lunak. Telur sebelumnya mudah pecah. Cangkang tipisnya melindungi isinya yang berupa cairan. Tetapi setelah direbus, isinya menjadi keras. Bubuk kopi mengalami perubahan yang unik. Setelah berada di dalam rebusan air, bubuk kopi merubah air tersebut. "Kamu termasuk yang mana?," tanya ayahnya. 

"Ketika kesulitan mendatangimu, bagaimana kau menghadapinya? Apakah kamu wortel, telur atau kopi?" Bagaimana dengan kamu? Apakah kamu adalah wortel yang kelihatannya keras, tapi dengan adanya penderitaan dan kesulitan, kamu menyerah, menjadi lunak dan kehilangan kekuatanmu. 

Apakah kamu adalah telur, yang awalnya memiliki hati lembut? Dengan jiwa yang dinamis, namun setelah adanya kematian, patah hati, perceraian atau pemecatan menjadi keras dan kaku. Dari luar kelihatan sama, tetapi apakah kamu menjadi pahit dan keras dengan jiwa dan hati yang kaku? Ataukah kamu adalah bubuk kopi? Bubuk kopi merubah air panas, sesuatu yang menimbulkan kesakitan, untuk mencapai rasanya yang maksimal pada suhu 100 derajat Celcius. Ketika air mencapai suhu terpanas, kopi terasa semakin nikmat. Jika kamu seperti bubuk kopi, ketika keadaan menjadi semakin buruk, kamu akan menjadi semakin baik dan membuat keadaan di sekitarmu juga membaik. 

Sumber: Unknown (Anonim)

Kakak Seorang Gelandangan


Roy Angel adalah pendeta miskin yang memiliki kakak seorang milyuner. Pada tahun 1940, ketika bisnis minyak bumi sedang mengalami puncak, kakaknya menjual padang rumput di Texas pada waktu yang tepat dengan harga yang sangat tinggi. Seketika itu kakak Roy Angel menjadi kayaraya. Setelah itu kaka Roy Angel menanam saham pada perusahaan besar dan memperoleh untung yang besar. Kini dia tinggal di apartemen mewah di New York dan memiliki kantor di Wallstreet. 

Seminggu sebelum Natal, kakaknya menghadiahi Roy Angel sebuah mobil baru yang mewah dan mengkilap. Suatu pagi seorang anak gelandangan menatap mobilnya dengan penuh kekaguman. 

"Hai.. nak" sapa Roy. Anak itu melihat pada Roy dan bertanya "Apakah ini mobil Tuan?"
"Ya," jawab Roy singkat. "Berapa harganya Tuan?"
"Sesungguhnya saya tidak tahu harganya berapa". "Mengapa Tuan tidak tahu harganya, bukankan Tuan yang punya mobil ini?" Gelandangan kecil itu bertanya penuh heran.
"Saya tidak tahu karena mobil ini hadiah dari kakak saya" Mendengar jawaban itu mata anak itu melebar dan bergumam, "Seandainya....  seandainya..." 

Roy mengira ia tahu persis apa yang didambakan anak kecil itu, "Anak ini pasti berharap memiliki kakak yang sama seperti kakakku". Ternyata Roy salah menduga, saat anak itu melanjutkan kata-katanya: "Seandainya ... seandainya saya dapat menjadi kakak seperti itu ..." 

Dengan masih terheran-heran Roy mengajak anak itu berkeliling dengan mobilnya. Anak itu tak henti-henti memuji keindahan mobilnya. Sampai satu kali anak itu berkata, "Tuan bersediakah Tuan mampir ke rumah saya ? Letaknya hanya beberapa blok dari sini". Sekali lagi Roy mengira dia tahu apa yang ingin dilakukan anak ini. "Pasti anak ini ingin memperlihatkan pada teman-temannya bahwa ia telah naik mobil mewah", pikir Roy. 

"OK, mengapa tidak", kata Roy sambil menuju arah rumah anak itu. Tiba di sudut jalan si anak gelandangan memohon pada Roy untuk berhenti sejenak, "Tuan, bersediakah Tuan menunggu sebentar? Saya akan segera kembali". Anak itu berlari menuju rumah gubuknya yang sudah reot. Setelah menunggu hampir sepuluh menit, Roy mulai penasaran apa yang dilakukan anak itu dan keluar dari mobilnya, menatap rumah reot itu. Pada waktu itu ia mendengar suara kaki yang perlahan-lahan. Beberapa saat kemudian anak gelandangan itu keluar sambil menggendong adiknya yang lumpuh. Setelah tiba di dekat mobil anak gelandangan itu berkata pada adiknya: 

"Lihat... seperti yang kakak bilang padamu. Ini mobil terbaru. Kakak Tuan ini menghadiahkannya pada Tuan ini. Suatu saat nanti kakak akan membelikan mobil seperti ini untukmu".  

Bukan karena keinginan seorang anak gelandangan yang hendak menghadiahkan mobil mewah untuk adiknya yang membuat Roy tak dapat menahan haru pada saat itu juga, tetapi karena ketulusan kasih seorang kakak yang selalu ingin memberi yang terbaik bagi adiknya. Sandainya saya dapat menjadi kakak seperti itu. 

Sumber: Stories for the family's heart by Alice Gray.

Renungan Tagore


Jangan biarkan aku berdoa agar terlindung dari bahaya; melainkan biarlah aku menghadapinya dengan tak gentar.
Jangan biarkan aku memohon agar kepedihan dihilangkan; melainkan biarlah aku diberi semangat untuk menaklukannya.
Jangan biarkan aku mencari sekutu dalam pertempuran hidup; melainkan biarlah aku mencari kekuatanku sendiri.
Jangan biarkan aku mengharapkan agar diselamatkan; melainkan biarlah aku mengharapkan kesabaran untuk memenangkan kemerdekaanku.
Buatlah aku agar jangan jadi pengecut; yang mengharapkan belas kasihMu hanya dalam keberhasilanku.
Tapi biarlah aku mencari genggaman tanganMU di dalam kegagalanku. 

Let me not pray to be sheltered from dangers, but to be fearless in facing them.
Let me not beg for the stilling of my pain but for the heart to conquer it.
Let me not look for allies in life's battlefield, but to my own strength.
Let me not crave in anxious fear to be saved, but hope for the patience to win my freedom.
Grant me that I may not be a coward, feeling Your mercy in my success alone.
But let me find the grasp of Your hand in my failure. 

RABRINDRANATH TAGORE (1861 -1941)
Filsuf dan penyair berkebangsaan India. Peraih Nobel Sastra tahun 1913 

Sumber: Unknown (Anonim)