Jumat, 28 Februari 2014

Antara Inovasi Sosial dan Inovasi Administrasi Negara



Dalam tulisan sebelumnya berjudul “Memaknai Inovasi Secara Inklusif”, saya sempat menyinggung tentang inovasi sosial dan inovasi administrasi negara. Inovasi sosial digagas oleh Institut Inovasi Sosial Indonesia, sedangkan inovasi administrasi negara merupakan salah satu ruang lingkup dari tugas utama LAN. Mungkin saja diantara keduanya memiliki batas-batas yang tipis, atau mungkin juga inovasi administrasi negara dapat dimasukkan sebagai bagian dari inovasi sosial. Hanya saja, karena LAN memiliki fokus yang lebih sempit dari khazanah ilmu sosial yang amat luas, maka muncullah konsep inovasi administrasi negara tersebut. Selain dari scope substansinya, inovasi administrasi negara juga berbeda dari inovasi sosial dilihat dari pelaku inovasinya. Dalam hal ini, inovasi administrasi negara lebih diarahkan kepada setiap perubahan positif yang terjadi di institusi pemerintahan dan dilakukan oleh aparatur pemerintahan. Tentu saja, ini hanya definisi umum untuk membedakan dengan inovasi sosial yang lebih berbasis masyarakat, namun dalam prakteknya tidak dapat dilakukan pembedaan secara hitam putih.

Mengingat karakteristiknya yang berbeda tipis, maka keduanya dapat merancang sebuah inovasi secara bersama-sama. Sebab, dalam banyak hal keduanya memang bisa membentuk irisan atau interseksi. Misalnya, ruang lingkup substansinya berhubungan dengan inovasi administrasi negara, namun dari sisi pelakunya murni oleh masyarakat madani. Apa contoh konkritnya?

Pada tanggal 26-2-2014 kemaren, Kompas Online memberitakan event yang dikelola oleh Mahkamah Agung, yakni “Kampung Hukum”. Ketika pertama kali membaca judul berita, saya langsung memiliki gambaran besar tentang kampung hukum itu, dan seketika saya menyebutnya sebagai inovasi. Namun setelah membaca paragraf demi paragraf, ternyata sangat kontras dengan gambaran saya. Event ini ternyata hanya temporer saja, tepatnya hanya berlangsung 1 hari, jauh dari bayangan saya sebagai sebuah program yang permanen dengan pembinaan rutin dari MA dan lembaga hukum lainnya. Event ini juga diikuti oleh lembaga-lembaga pemerintah yang bergerak di bidang hukum seperti MA, Kejaksaan Agung, PPATK, Kementerian Hukum dan HAM, Kepolisian, dan lain-lain, yang memberikan informasi terkait dengan tugas dan fungsi mereka. Akibatnya, event ini lebih menyerupai pameran, jauh dari yang saya bayangkan sebagai praktek kehidupan sosial yang taat hukum dari sekelompok anggota masyarakat.

Karena ternyata bersifat rutin tahunan dan tidak ada unsur kebaruan (novelty) dari event tersebut, maka dengan terpaksa saya mencabut pernyataan saya bahwa “Kampung Hukum” itu adalah sebuah inovasi. Sungguh sangat disayangkan, ketika ada peluang untuk membuat program yang lebih mendasar dengan kemanfaatan yang lebih besar, namun akhirnya hanya berupa aktivitas yang standar, untuk tidak menyebut formalitas belaka. Mudah-mudahan, pada kesempatan mendatang “Kampung Hukum” itu benar-benar berupa kampung yang dijadikan sebagai daerah binaan atau “laboratorium sosial” oleh MA sebagai role model terhadap kesadaran dan ketaatan hukum.

Dalam “Kampung Hukum” sebagai model inovasi, tingkat ketaatan hukum sangat tinggi sehingga menghasilkan pelanggaran hukum yang minimal bahkan nihil (zero disobedience). “Kampung Hukum” juga dicirikan dengan tingkat melek hukum (law literacy) yang sangat baik, dalam arti memiliki pemahaman yang baik sehingga meminimalisasi kemungkinan terjadinya kesalahan dalam menginterpretasikan dan menerapkan hukum atau kebijakan pemerintah. Tentu saja, itu semua butuh usaha dan proses yang sungguh-sungguh dari pembina “Kampung Hukum”. Selanjutnya, jika pembinaan terhadap sebuah kampung berhasil, maka model pembinaan akan dapat direplikasikan dan diciptakan kampung-kampung hukum lainnya. Diharapkan, adanya kampung hukum ini akan menjadi strategi budaya untuk mewujudkan bangsa yang bukan hanya sadar hukum dan taat hukum, namun juga cerdas hukum. Selanjutnya, masyarakat yang cerdas dan taat hukum ini akan menjadi pondasi yang kokoh untuk membangun interaksi sesama warga negara dan relasi antar institusi yang berbasis saling percaya (mutual trust). Ujung-ujungnya, tindak kriminalitas dapat ditekan, sementara penyalahgunaan wewenang juga makin minimal, sehingga lahirnya kehidupan kebangsaan yang harmonis.

Dalam model inovasi seperti itu, ruang lingkup dan substansinya berkaitan dengan administrasi negara, namun dilihat dari pelakunya lebih cenderung pada inovasi sosial. Itulah sebabnya, saya mengatakan bahwa antara inovasi administrasi negara dan inovasi sosial membentuk irisan yang dinamis dan saling memperkuat. Selain dalam kasus kampung hukum, “perkawinan” antara inovasi administrasi negara dan inovasi sosial juga dapat menjelma dalam berbagai kasus lainnya.

Kalau MA punya kampung hukum, Kementerian Pendidikan mestinya punya “kampung wajib belajar”. Sasarannya adalah terwujudnya sebuah kampung yang tidak memiliki pekerja anak dibawah umur, tidak ada kasus putus sekolah, tidak ada buta huruf, serta kampung yang memiliki prasarana belajar seperti perpustakaan, sanggar belajar, dan sebagainya. Kampung ini juga kedisiplinan anak-anak untuk belajar pada jam tertentu (misalnya jam 19.00–21.00) serta aktivitas kurikuler yang mendukung pelajaran. Dengan demikian, ketika anak-anak bermain di sore hari, mereka tidak sekedar bermain, namun bermain yang sudah dikemas dengan muatan pendidikan maupun tujuan meraih prestasi. Sebagai contoh, jika mereka bermain futsal, itu dilakukan dengan pendampingan pelatih yang memberikan dasar-dasar teknik futsal, sehingga aspek fun sekaligus prestasi didapatkan dalam satu aktivitas. Model-model pembelajaran kolektif seperti ini menurut saya harus mendapat perhatian yang proporsional dari pemerintah, termasuk hak untuk mendapat alokasi pengganggaran dari 20% APBN/D. Model pembelajaran konvensional di kelas sudah sangat ketinggalan jaman, sehingga perlu modifikasi dan kombinasi dengan berbagai sistem yang lain termasuk model “kampung wajib belajar” ini.

Hal serupa dapat dilakukan oleh instansi pemerintah yang lain seperti Kementerian Koperasi dan UKM, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, dan seterusnya. Jika selama ini sudah ada konsep Kabupaten/Kota Koperasi atau Kabupaten/Kota Bebas Pekerja Anak, maka konsep itu dapat diturunkan pada level kampung. Nah, kampung yang dijadikan percontohan sebagai kampung koperasi adalah kampung yang memiliki kehidupan sosial yang guyub (gemeinschaft) serta mendasarkan proses pemecahan masalah berbasis pengambilan keputusan secara musyawarah mufakat. Kampung ini juga memiliki spirit investasi melalui tradisi menabung, dan jauh dari pola hidup konsumtif. Lebih penting lagi, kampung koperasi juga perlu diarahkan sebagai model pengelolaan usaha berbasis kelompok yang didukung oleh kebijakan kredit lunak dari kalangan perbankan. Model pembinaan masyarakat desa yang dikembangkan Grameen Bank di Bangladesh dapat menajdi benchmark untuk membina kampung koperasi yang berjiwa entrepreneur.

Sementara sebuah daerah yang ditetapkan sebagai daerah ramah anak atau daerah bebas pekerja anak, model pembinaan yang dilakukan haruslah mampu mewujudkan lingkungan sosial yang anti bullying, bebas dari KDRT, serta ada kebebasan berekspresi bagi anak untuk mengungkapkan segenap kreativitasnya. Kampung ramah anak juga harus berisi program pendidikan yang meningkatkan kepedulian anak terhadap lingkungan, kepedulian terhadap teman sepermainan, dan kepedulian terhadap masa depan mereka sekaligus masa depan bangsa. Intinya, kampung ramah anak harus menyediakan berbagai infrastruktur yang dibutuhkan untuk berkembangnya potensi anak secara natural dan optimal.

Gagasan tentang kampung hukum, kampung koperasi, kampung ramah anak, atau mungkin juga kampung sehat, kampung sholeh/kampung integritas, kampung olahraga, dan lain-lain, akan melengkapi konsep “desa wisata” yang saat ini semakin merebak. Secara konsep sudah sangat baik, tinggal perlu ditingkatkan pembinaannya, agar segala sesuatu yang ada di desa/kampung itu benar-benar mencerminkan potensi wisata yang layak “dijual” hingga mancanegara. Dan seandainya saja setiap institusi pemerintah memiliki daerah/kampung binaan, bisa dibayangkan betapa kemajuan tidak hanya terjadi di ibukota dan kota-kota besar lainnya, namun justru tumbuh dari bawah. Ini jelas sebuah inovasi teramat besar dalam sistem administrasi negara maupun sistem sosial di tanah air. Semoga momentum Pemilu 2014 akan menjadi milestone dalam kebijakan publik di Indonesia dalam mendorong konsep mengelola pemerintahan dari bawah (governing from below).

Salam Inovasi
Tol Cikampek Km 21 menuju Bandung.
27 Februari 2014.

Memaknai Inovasi Secara Inklusif



Selama ini, inovasi lebih banyak dipahami sebagai sebuah perubahan atau kemajuan yang berbasis teknologi. Dari teknologi ruang angkasa hingga dasar laut, dari remote sensing (penginderaan jarak jauh) hingga ultrasonografi, dari nano-teknologi hingga mikro-biologi, dari teknik otomotif hingga teknik informatika, dari teknologi farmasi hingga pembenihan pertanian, dan sejenisnya, itulah yang sering dipandang sebagai wilayah inovasi. sementara disisi lain, perbaikan dalam sistem sosial budaya, kebijakan ekonomi dan pembangunan, atau reformasi aspek organisasi dan manajemen, sering dipandang sebagai “perubahan” saja dan bukannya inovasi. Inovasi menjadi sangat eksklusif karena hanya bisa terjadi di laboratorium penelitian yang dilakukan oleh para insinyur, teknisi, atau ilmuwan eksakta.

Fenomena tersebut menyiratkan bahwa pemahaman masyarakat – bahkan kalangan akademisi – tentang inovasi masih kurang tepat. Di satu sisi, pandangan seperti ini tidak memberikan insentif dan dorongan untuk lahirnya inovasi bidang sosial. Namun disisi lain, boleh jadi pandangan ini justru bersumber dari lambatnya ilmu-ilmu sosial dan humaniora dalam melakukan inovasi. Situasinya menjadi seperti pertanyaan ayam dan telor, mana yang ada terlebih dahulu? Sebuah pertanyaan yang tidak pernah terjawab secara tuntas.

Sekedar ilustrasi, kalau kita memasukkan frasa “inovasi sosial” di search engine-nya Google, akan muncul 18.500 hasil yang kita temukan. Sementara kalau kita gunakan frasa “social innovation”, akan ditemukan jumlah input yang jauh lebih banyak, yakni 1,4 juta. Ini saja sudah memberi gambaran bahwa inovasi sosial di Indonesia memang masih teramat minim, jika dibanding inovasi sosial di negara lain yang lebih maju. Bandingkan dengan keyword “inovasi teknologi”. Kita akan menemukan 1,65 juta hasil di Google. Sekali lagi, ini mengindikasikan ketidakseimbangan antara inovasi di bidang sosial dengan inovasi di ilmu-ilmu pasti. Bahkan dalam publikasi Komite Inovasi Nasional (KIN) berjudul “Prospek Inovasi Indonesia” (2012) tidak ada satupun istilah “inovasi sosial”. Sebaliknya pada halaman 24 disebutkan bahwa inovasi teknologi adalah engine pertumbuhan baru. Juga dinyatakan bahwa inovasi teknologi termasuk di dalam Faktor Produktivitas Total. Saya tidak tahu persis dimana posisi inovasi sosial dalam pemikiran KIN, dan apakah inovasi sosial include di dalam inovasi teknologi. Saya juga tidak paham apakah inovasi sosial dianggap sebagai sesuatu yang tidak berdampak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi produktivitas total bangsa ini.

Nah, jika inovasi sosial masih demikian terabaikan, inovasi administrasi negara-pun mengalami situasi yang kurang lebih sama. Jika kita masukkan kata kunci “inovasi administrasi negara” di Google, akan ditemukan hasil sebanyak 14.300, sedikit dibawah inovasi sosial. Entah harus bilang hebat ataukah sebaliknya, kalau harus saya katakan bahwa input yang muncul di Google tentang inovasi administrasi negara ini baru muncul sejak tahun 2013. Mungkin “hebat”, karena dalam waktu 1 (satu) tahun sudah mampu mengumpulkan 14.300 hasil di Google. Sebaliknya, ada perasaan “sedih” karena sudah hampir 70 tahun Indonesia merdeka namun ternyata belum memiliki konsep tentang inovasi administrasi negara (IAN). Kemunculan konsep IAN sendiri baru mulai berkembang setelah lahirnya Perpres No. 57/2013 tentang LAN, yang salah satunya membentuk unit kerja khusus yakni Deputi Inovasi Administrasi Negara. Termasuk dalam inovasi administrasi negara itu adalah inovasi tata pemerintahan (governance innovation), inovasi kelembagaan dan sumber daya aparatur (institutional and human resource innovation), serta inovasi pelayanan publik (public service innovation). Ketiga aspek dari inovasi administrasi negara ini, tentu saja adalah hal yang sangat baru, sehingga masih memerlukan waktu untuk mematangkan konsep dasarnya, membangun framework­-nya, hingga menetapkan target-target dari berbagai program yang dilakukan.

Mengingat masih timpangnya bidang-bidang inovasi sebagaimana uraian diatas, alangkah baiknya jika “sistem inovasi nasional” tidak diterjemahkan sebagai inovasi teknologi belaka, namun juga mengintegrasikan inovasi sosial budaya, inovasi administrasi negara, inovasi ekonomi politik, dan sebagainya. Kewajiban (dan hak) melakukan inovasi bukan lagi menjadi dominasi Kementerian Ristek dan LPNK yang ada dibawah koordinasinya, namun harus pula dilakukan secara seimbang oleh Kementerian/Lembaga yang lain, bahkan juga pemerintah daerah, BUMN/D, lembaga negara, hingga organisasi kemasyarakatan. Inovasi yang datang dan tumbuh dari berbagai penjuru dan dalam berbagai bidang ini nantinya diharapkan menjadi mesin pertumbuhan yang sesungguhnya bagi kemakmuran bangsa Indonesia. Bukankah peringkat Indonesia dalam Global Innovation Index (GII) juga tidak hanya dikontribusikan oleh kecanggihan teknologi? Justru dalam kerangka kerja GII dijelaskan bahwa perhitungan Innovation Efficiency Ratio dilakukan dengan mempertimbangkan komponen Institusional yang terdiri dari political, regulatory, and business environment. Selain itu, ada komponen human capital and research yang terdiri dari education, tertiary education, and research and development. Masih banyak lagi komponen dan parameter yang mengukur inovasi bukan hanya sebagai fungsi kemajuan teknologi semata.

Pemahaman secara inklusif tentang inovasi ini semakin penting karena tahun 2014 telah dicanangkan sebagai Tahun Inovasi Sosial oleh Institut Inovasi Sosial Indonesia (www.inovasisosial.com). Siapa tahu, LAN pun akan mencanangkan tahun 2016 sebagai Tahun Inovasi Administrasi Negara. Inisiatif untuk memperkuat dan mempromosikan inovasi di bidang sosial dan administrasi negara ini tentu juga harus disambut positif oleh pihak-pihak lain yang lebih dahulu berkutat dan berjuang dalam inovasi (teknologi). Inovasi adalah inovasi, sementara aspek teknologi, sosial, atau administrasi negara hanyalah ruang-ruang dimana inovasi bisa tumbuh subur dan dikembangkan secara sistemik.

Jakarta, 26 Februari 2014

Kreativitas: Bawaan Lahir atau Produk Kreatif?



Bakat, mungkin benar adalah anugerah dan kemurahan Tuhan YME yang telah diberikan kepada seorang hamba semenjak lahir. Dengan sifat Maha Agung dan Maha Adil-Nya, Tuhan memberi bakat kepada semua manusia, meski dengan bakat yang berbeda-beda, sebagaimana Tuhan menciptakan manusia secara berbeda-beda pula. Boleh jadi, semua ini adalah wujud keadilan Tuhan Yang Maha Kreatif, agar manusiapun menggunakan bakatnya secara kreatif untuk menunaikan tugas-tugasnya. Persoalan apakah bakat itu berkembang atau tidak, itu bukan lagi urusan Tuhan. Manusialah yang harus mengenali, menggali, dan mengembangkan bakatnya.

Maka, saya sepakat jika bakat dikatakan sebagai bawaan lahir. Namun sangat berbeda kasusnya dengan kreativitas. Jika bakat bersifat taken for granted from the heaven untuk ditumbuh kembangkan lebih lanjut, maka kreativitas adalah murni upaya sadar dan logis untuk membangun bakat tadi menjadi kebiasaan. Dalam bahasa Robert Sternberg (dalam Jane Porter, How to Cultivate a Creative Thinking Habit, Feb. 2014, www.fastcompany.com), “Creative people are creative … not as a result of any particular inborn trait, but, rather, through an attitude toward life”.

Dengan demikian, kadar kreativitas seseorang adalah agregat dari tekat, kesungguhan, dan usaha tiada henti (tentu juga doa) dari seseorang untuk selalu menjadi lebih baik. Kreativitas tidak pernah muncul tiba-tiba, melainkan hasil dari proses yang relatif panjang dan sungguh-sungguh. Ketika Isaac Newton menemukan Teori Gravitasi dari peristiwa jatuhnya apel saat ia duduk di bawah pohon apel, itu bukanlah kreativitas yang datang tiba-tiba, namun lebih karena ia sudah melakukan banyak riset yang mendukung teorinya. Sama halnya ketika Archimedes berendam di bak mandi dan tiba-tiba berteriak “eureka” karena telah menemukan hukum Archimedes, itupun bukan hal yang kebetulan. Dalam kesendirian di bawah pohon apel maupun di bak mandi, ada proses berpikir kreatif dalam otak kedua manusia istimewa tadi. Dan ketika terjadi fenomena lumrah seperti jatuhnya apel atau melubernya air saat ada benda masuk kedalam bak mandi, mereka dapat membaca gejala alam tadi secara berbeda. Kejadian yang teramat biasa itu oleh orang-orang kreatif dapat menjadi contoh yang menjelaskan teori besar.

Jadi, kreativitas sangat berbeda dengan ilham. Apa yang dialami Newton dan Archimedes boleh saja kita sebut sebagai ilham. Namun bisa saja kita menyebut itu bukan ilham, karena semua orang juga pernah mengalami peristiwa yang sama sebagaimana dialami Newton dan Archimedes, dan tidak menyebutnya sebagai ilham. Yang membedakan kedua orang ini dengan orang kebanyakan adalah bahwa mereka jauh lebih kreatif, sehingga mampu mengubah “ilham” menjadi sebuah penemuan yang monumental. Dengan kata lain, kreativitaslah yang menjadi syarat munculnya banyak penemuan (invensi) dan inovasi-inovasi besar di dunia.

Lantas, bagaimana membangkitkan dan menumbuhkan kreativitas itu? Bagaimana menjadikan kreativitas sebagai habit atau kebiasaan dalam keseharian kita? Menarik mencermati pendapat Tim Wesfix (Kreativitas Itu Dipraktekin, Grasindo, 2013) bahwa kreativitas itu seperti software, sedangkan otak ibarat hardware-nya. Untuk itu kreativitas harus di-install melalui pembiasaan. Dalam hal ini, ada 8 (delapan) langkah untuk menjadikan kreativitas sebagai kebiasaan, yakni:

1.      Questioning atau selalu bertanya tentang apa yang diperlukan untuk sebuah perubahan dan kebaikan. Mari kita lihat di sekeliling kita, anak-anak sekolah yang rajin bertanya sejak SD, biasanya tumbuh menjadi sosok yang bukan hanya pintar, namun juga kreatif, dalam arti memiliki ide-ide segar dan wawasan yang jauh melampaui teman seangkatannya.
2.      Exploring, yakni mencari informasi tambahan dari yang sudah kita miliki, atau menggali lebih dalam sebuah pemahaman agar lebih paham lagi. Rasa tidak puas dan rasa ingin tahu (curiosity) akan menjadi modal dasar untuk melakukan eksplorasi ini.
3.      Crafting, yakni membuat kesimpulan awal tentang ingin ditangani secara simple, atau menarik hipotesis, atau membentuk konstruksi awal tentang situasi problematik tertentu. Kemampuan ini dibangun dengan menghubung-hubungkan sebuah fenomena dengan fenomena lainnya, sebuah variabel dengan variabel lainnya, serta membangun sebab akibat antar fenomena/ variabel tersebut.
4.      Playing, artinya bermain-main dengan ide kreatif terkait sebuah masalah / kejadian yang dihadapi. Keberanian berpikir bebas akan menjadi faktor yang membantu memudahkan dalam mengembangkan banyak opsi untuk dipilih.
5.      Cutting, yakni keberanian untuk menentukan ide atau opsi mana yang akan dipilih untuk dikaji lebih lanjut. Adanya intuisi bahwa sebuah pilihan adalah yang terbaik, serta fantasi dan imajinasi tentang hasil akhir dari sebuah pilihan, akan membantu kita mendapatkan pilihan terbaik.
6.      Planning, artinya merancang langkah-langkah konkrit yang diperlukan untuk menindaklanjuti pilihan.
7.      Sharing, yakni berbagi dengan setiap orang tentang apa yang sudah kita rancang. Hal ini penting untuk mendapatkan feedback sekaligus menguji kualitas pilihan kita serta kemampuan kita dalam mempertahankan pilihan tersebut.
8.      Doing, yakni melakukan apa yang sudah kita pilih dan kiya yakini sebagai hal terbaik.

Oleh karena kreativitas adalah sebuah kebiasaan, maka untuk menilai kreativitas seseorang sesungguhnya teramat mudah, yakni nilailah bagaimana kebiasaan yang dilakukan setiap harinya. Jika ia melakukan hal-hal yang biasa dilakukan orang lain, maka dia tidak memiliki kreativitas. Terkait hal ini, menarik untuk menyimak kasus Mavis Gallant, seorang penulis Kanada yang meninggal pada tanggal 18 Februari 2014 yang lalu di Perancis dalam usia 92 tahun. Dalam sebuah wawancara dengan The Paris Review (1999), ia mengatakan: “Most days in the morning but some days anytime, afternoon or evening. It depends on what I’m writing and the state of the thing. It is not a burden. It is the way I live” (Jane Porter). Kebiasaan menulis setiap hari yang dilakukan Mavis Gallant, yang tidak dilakukan oleh orang lain bahkan yang lebih muda, memberi ilustrasi tentang kebiasaan kreatif yang dilakukan Gallant. Bagi dia, menulis bahkan adalah jalan hidup. Dia berani mendobrak rutinitas kaum jompo pada umumnya, dan mampu menghasilkan sesuatu yang berbeda dan jauh lebih bermakna.

Tentu saja, kreativitas ala Gallant ini bukanlah bawaan lahir, namun merupakan sebuah pembiasaan yang telah dijalaninya selama berpuluh-puluh tahun. Dengan kata lain, kreativitas adalah sebuah proses kreatif. Dan ketika proses kreatif ini sudah terbentuk pada diri seseorang, maka tinggal menunggu lahirnya banyak inovasi dari orang tersebut.

@Kantor, Jl. Veteran 10 Jakarta.
26 Februari 2014.