Kamis, 03 Februari 2011

Semangat Kebatinan Wong Yogya dan Paham Konstitusionalisme


MESKIPUN sedikit mereda, namun polemik tentang DIY nampaknya masih belum akan berakhir. Menurut rencana, pada tanggal 2 Februari 2011 yang akan datang, DPR akan mulai menggelar rapat dengar pendapat umum untuk menerima masukan dari masyarakat, dan akan dilanjutkan setiap hari Rabu. Sayangnya, sikap pemerintah yang cenderung keukeuh RUU Keistimewaan DIY (RUUK-DIY) dan kegigihan warga Yogya untuk mempertahankan keistimewaan daerahnya, mempersulit tercapainya titik temu atas permasalahan ini.

Jika kita pelajari secara lebih jernih, sesungguhnya konsep yang tertuang dalam RUUK-DIY sudah cukup bagus dan telah berusaha mengakomodir berbagai aspirasi untuk mempertahankan hak-hak istimewa bagi DIY. Bahkan kalangan akademisi di Yogya-pun banyak yang mendukung konsep versi pemerintah ini. Disisi lain, banyak warga Yogya yang tidak bisa menjelaskan secara rasional fanatisme mereka mendukung daerahnya. Bagi mereka, harga mati tidak hanya berlaku untuk NKRI, namun terlebih lagi keistimewaan Yogya itu sendiri. Dan ketika seseorang sudah menjadikan “harga mati” sebagai basis argumen, maka sesungguhnya dia sedang berpikir irrasional, karena rasionalitas apapun akan ditolak secara mentah-mentah.

Namun, selalu ada rasionalisasi terhadap irrasionalitas. Demikian pula, terhadap fenomena reaksi warga Yogya yang terkesan irrasional-pun, terdapat logika tertentu yang dapat menjelaskannya. Dalam hal ini, penulis melihat dari suasana kebatinan masyarakat dan kaitannya dengan paham konstitusionalisme dalam interaksi negara dengan warganya.

Manunggaling kawula gusti
Dalam historiografi tradisional, kedudukan Raja adalah adalah sebagai pusat mikrokosmos (dunia manusia) dan puncak hirarki status dalam negara. Mikrokosmos ini sejajar dan membentuk kesatuan dengan makrokosmos (dunia supra manusia). Itulah sebabnya, Raja Jawa (khususnya masa Hindu) sebagai representasi mikrokosmos disamakan dengan Dewa (biasanya Wisnu) sebagai representasi makrokosmos. Selain konsep kemanunggalan penguasa dengan dewa dalam satu sosok Raja ini, terdapat pula konsep kemanunggalan penguasa dengan rakyatnya, yang termanifestasikan dalam ungkapan manunggaling Kawula-Gusti.

Konsep ini sesungguhnya adalah refleksi paham demokrasi pada masa kerajaan, dimana rakyat dan rajanya tidak dipecah-pecah dalam struktur kasta sosial, namun melebur menjadi satu konsep yang integral (manunggal). Dalam konsep kemanggulan tadi terdapat sebuah belief system dikalangan rakyat jelata bahwa raja adalah manusia yang suci, sakral, dan keramat, sedangkan rakyat adalah kelompok profan. Meskipun demikian, Raja tidak semata-mata simbol negara, melainkan juga pemimpin nyata baik dalam lapangan sosial, keagamaan, maupun pemerintahan.

Dalam konteks semangat kebatinan seperti itu, maka tidak dapat dihindari lahirnya RUUK-DIY yang memisahkan jabatan Sultan dengan Gubernur, menimbulkan resistensi fundamental dari rakyat Yogya, karena dikhawatirkan memecah-belah kemanunggalan raja dan rakyat (Kawula-Gusti). “Gusti” yang sebelumnya adalah Raja (merangkap Gubernur), menjadi bergeser ke sosok Gubernur yang bukan Sultan. Selain itu, “perceraian” antara raja dengan rakyat-nya juga menyebabkan status raja tidak lagi sakral dan keramat, namun menjadi profan atau turun derajatnya menjadi manusia biasa. Sekali lagi, hal ini dikhawatirkan merusak struktur ideologis-sosiologis masyarakat Yogya.

Meskipun kemudian dalam RUUK-DIY muncul konstruksi baru tentang Gubernur Utama atau Paradya yang memiliki hak veto dan hak-hak khusus lainnya, tetap saja mendapatkan penolakan. Sebab, konstruksi ini tidak lagi mendudukan Raja sebagai Kepala Pemerintahan (Daerah), namun lebih sebagai simbol dari entitas budaya dan sejarah.

Pertanyaan menarik selanjutnya adalah, masih relevankah mempertahankan warisan filsafat sejarah tradisional seperti itu di jaman globalisasi dan demokrasi? Apakah semangat kebatinan itu tidak bertentangan dengan semangat konstitusi modern?

Paham Konstitusionalisme
Secara konseptual, terdapat perbedaan antara konstitusi dengan konstitusionalisme. Konstitusi adalah dokumen politik dan hukum yang berfungsi sebagai sertifikat kelahiran sebuah negara dan berisi aturan pokok ketatanegaraan yang bersifat luhur dan kekal. Sedangkan konstitusionalisme adalah paham kebangsaan yang menghendaki jaminan penggunaan kekuasaan menurut hukum, adanya keseimbangan kekuasan, serta penghormatan terhadap hak-hak dasar masyarakat. Atas dasar pemahaman tersebut, maka implementasi konstitusionalisme dalam UUD 1945 termasuk penghormatan terhadap hak asal-usul, otonomi bawaan, keragaman, keistimewaan daerah, dan belief system masyarakat tradisional. Ketika konstitusi sudah memberi pengakuan dan penghormatan, maka hal-hal tersebut tidak dapat dicabut kembali sekalipun oleh Konstitusi.

Secara tegas semangat konstitusionalisme tadi sudah tertuang dalam Pasal 18 dan penjelasannya, yang kemudian diperjelas lagi dalam UU pembentukan Provinsi DIY No. 3/1950. Pasal 4 ayat (4) UU ini menegaskan: “Urusan-urusan rumah tangga dan kewajiban-kewajiban lain dari pada yang tersebut dalam ayat (1) diatas, yang dikerjakan oleh DIY sebelum dibentuk menurut UU ini, dilanjutkan sehingga ada ketetapan lain dengan UU”. Klausul seperti ini tidak ada dalam UU pembentukan provinsi lain, sekaligus merupakan penegasan terhadap wewenang untuk melanjutkan sistem pemerintahan yang telah berjalan sebelumnya di Kasultanan Yogyakarta.

Pengakuan dan penegasan terhadap sistem pemerintahan Kasultanan sendiri adalah hal yang sangat lumrah, mengingat pada tahun 1945 melalui Maklumat Sri Sultan dan Sri Paku Alam, Ngayogyakarta hanya menyerahkan kedaulatan kepada NKRI namun kekuasaan lainnya masih dipegang dan terus berlaku. Dalam realitanya, pemerintah DIY secara perlahan menyerahkan kekuasaan tertentu lainnya, misalnya kekuasan di bidang pertahanan/militer dan bidang hukum. Sebagaimana diketahui, berdasarkan politiek contract antara Sri Sultan HB IX dengan Gubernur Jenderal Hindia Belanda 18-03-1940 (Stb. 1941 No. 47), Kasultanan masih memiliki kekuasaan antara lain: 1) peradilan sendiri sebagai badan yudikatif yang berwenang mengadili perkara dari keturunan Sultan Yogyakarta mulai graad 1 s/d 4; dan 2) kelompok prajurit bersenjata sebanyak 1000 orang (100 orang x 10 Bregada). Selain itu, kekuasaan bidang pertanahan juga dikembalikan kepada pemerintah pusat, yang ditandai lahirnya Keputusan Presiden No. 33/1984 yang memberlakukan UU No. 5/1960 (UU Pokok Agraria) di seluruh wilayah DIY.

Dengan demikian dapat disimak bahwa peralihan kekuasaan dari pemerintah Kasultanan kepada pemerintah RI adalah secara bottom up melalui penyerahan, dan bukan secara top down melalui penarikan. Dan diantara berbagai kekuasaan yang ada, kekuasaan pemilihan pimpinan daerah adalah kekuasaan yang belum diserahkan. Maka wajarlah jika muncul reaksi keras dari bawah ketika RUUK-DIY terkesan akan menarik kekuasaan tersebut melalui ketentuan pemilukada langsung bagi Gubernur DIY.

Tawaran Solusi
Konsep yang ditawarkan RUUK-DIY saat ini secara esensial ingin tetap mempertahankan keistimewaan bagi Yogyakarta. Oleh sebab itu, penulis mendukung upaya mengokohkan paham konstitusionalisme dalam UUD 1945 dengan memperkuat segala jenis keistimewaan Yogya yang masih tersisa. Jika kemudian muncul ekses berupa tuntutan pemberian keistimewaan kepada wilayah eks kerajaan seperti Bone, Luwu, dan Gowa di Sulawesi, atau  Kutai, Bulungan, Pontianak, dan Banjar di Kalimantan, dan seterusnya, justru harus dijadikan sebagai momentum untuk mengembalikan kekayaan budaya dan warisan sejarah bangsa masa silam. Hal ini bukanlah sesuatu yang patut ditakuti, apalagi dicurigai sebagai ancaman terhadap NKRI.

Selain itu, sudah saatnya pemerintah mempertimbangkan dengan sungguh-sungguh penerapan desentralisasi asimetris sesuai dengan fakta historis dan kebutuhan aktual masing-masing daerah. Saat inipun Aceh, Papua dan DKI telah merasakan desentralisasi asimetris tersebut, sehingga berlebihan jika peluang bagi daerah lain tertutup dalam mengembangkan kekhasan masing-masing berdasarkan warisan sejarah, budaya, maupun nilai-nilai filosofis dan kebatinan yang berkembang. Meminjam analisis Krabbe & Leon Duguit, desentralisasi asimetris memiliki korelasi positif dengan semangat konstitusionalisme karena ditujukan untuk memenuhi rasa keadilan (rechtsgefuhl) dan keinsyafan keadilan (rechtsbewustzijn) yang hidup pada sanubari rakyat. Oleh karena itu, pemberian desentralisasi asimetris justru akan semakin menjamin tegaknya NKRI yang ber-Bhinneka Tunggal Ika.


Penulis adalah wong Yogya, saat ini
Kepala Pusat Kajian Manajemen Kebijakan, LAN-RI.

Belajar Reformasi dari Korea Selatan


Kata “reformasi” dewasa ini telah menjadi mantra sakti yang paling sering dikumandangkan di berbagai forum dan media. Jika dihitung dari tonggak awal reformasi 12 tahun yang lalu, proses reformasi dapat dikatakan sangat lambat dan hasilnya-pun masih kurang signifikan. Pedoman umum program reformasi secara nasional baru terbit tahun 2008 melalui Permenpan No. 15/2008, sementara Perpres tentang Grand Design Reformasi Birokrasi dan Permenpan tentang Roadmap Reformasi Birokrasi belum juga terbit hingga saat ini, sementara disisi lain, visi pemerintah untuk menciptakan Birokrasi Kelas Dunia 2025 semakin dekat.

Kondisi diatas mensyaratkan pemerintah untuk lebih sungguh-sungguh menjalankan program reformasi sekaligus menemukan strategi percepatan reformasi birokrasi. Dan untuk memberikan pemikiran dan pengalaman alternatif, tidak ada salahnya pemerintah belajar dari proses serupa yang terjadi di Korea Selatan.

Program reformasi di Korsel sendiri didorong oleh adanya krisis moneter yang melanda Asia tahun 1997-1998. Krisis ini telah mengantarkan Korea dari rezim militer yang sentralistik dibawah Chun Do-hwan menjadi rezim demokratis dibawah Presiden Kim Dae-jung yang berasal dari sipil. Oleh Presiden Kim (1998-2003), krisis tadi dijadikan sebagai momentum untuk memulai reformasi secara fundamental dan sistemik. Belakangan terbukti bahwa komitmen total Presiden Kim merupakan faktor determinan yang mampu membuat Korea keluar dari krisis sekaligus mentransformasi Korea sebagai negara industri maju yang didukung oleh birokrasi yang sangat modern. Pada tahun 2010 ini, misalnya, Korea memperoleh penghargaan terbaik di dunia dalam bidang e-Government yang diberikan oleh PBB. Selain itu, Korea juga menduduki peringkat atas dalam industri semi-konduktor, otomotif, peralatan elektronik, serta industri perkapalan.

Apa yang telah ditempuh Presiden Kim hingga mampu mengubah wajah bangsanya? Dalam hal ini, reformasi di Korsel dibagi menjadi tiga bagian utama, yakni reformasi birokrasi (public sector reform) reformasi perekonomian (public company reform), serta reformasi regulasi (regulation reform). Ketiga bentuk reformasi tersebut difokuskan pada beberapa hal strategis, yakni perampingan kementerian dan penggabungan lembaga-lembaga pemerintah, outsourcing fungsi-fungsi tertentu, serta restrukturisasi dan privatisasi perusahaan milik negara.

Selain itu, reformasi regulasi juga diberi bobot/prioritas yang sangat tinggi, dimana Presiden Kim menginstruksikan dilakukannya pencabutan peraturan (deregulasi) sebesar 50% di seluruh kementerian atau sektor-sektor pembangunan, khususnya yang berkenaan dengan perijinan. Tujuan dari deregulasi ini adalah untuk menyederhanakan prosedur perijinan dan lebih memberikan kepastian hukum terhadap masyarakat, termasuk sektor bisnis. Reformasi regulasi juga dimaksudkan untuk menutup ruang-ruang kepatuhan semu dan potensi korupsi. Sebagai contoh, aturan tentang batas kecepatan maksimal kendaraan di jalan tol diubah dari 100 km/jam menjadi 130 km/jam. Dalam prakteknya, banyak kendaraan yang mematuhi aturan tersebut jika ada polisi, dan jika terdapat pelanggaran akan terjadi upaya ‘negosiasi’ sebagai model resolusinya.

Di Korea, kepemimpinan politik yang diperankan oleh Presiden adalah pimpinan reformasi nasional (first layer) yang memberi dukungan penuh terhadap kepemimpinan lapis kedua (second layer) yang dilakukan oleh lembaga khusus yang menangani program reformasi (reform-driving organization). Selanjutnya, grand design, roadmap, strategi, mekanisme maupun arah reformasi yang ditetapkan oleh reform-driving organization ini harus dilakukan setiap kementerian/lembaga/pemerintah daerah (third layer) yang akan melakukan reformasi insitusional.

Sebagaimana lazimnya sebuah perubahan, reformasi di Korea juga mendapat resistensi dari institusi yang akan direform. Banyak pihak yang khawatir bahwa roda reformasi akan berdampak pada hilangnya kenyamanan yang selama ini dinikmati. Bahkan seorang guru besar di Korea Development Institute, Jin Park, mengatakan bahwa every reform creates enemies. Namun, resistensi semacam ini relatif mudah diatasi karena ada komitmen yang kuat dan tegas dari pimpinan nasional. Sebagai contoh, ketika Tim Reformasi Birokrasi Kementerian Perencanaan dan Anggaran selaku reform-driving organization merencanakan penggabungan 2 (dua) BUMN, Menteri PU (Ministry of Construction) menolak dan melaporkan kepada Presiden. Dalam situasi munculnya perbedaan kepentingan seperti itu, Presiden Kim ternyata lebih mendukung langkah yang ditempuh Tim Reformasi. Presiden Kim menyediakan diri sebagai bumper terhadap kekuatan yang menginginkan status quo maupun yang resistance terhadap reformasi.

Namun, komitmen total dari Presiden saja tidaklah cukup. Presiden juga harus ditopang oleh lapis kedua yang sangat kuat. Selain harus memiliki perencanaan yang matang, reform-driving organization juga dituntut  memiliki jiwa pemburu (hunter) dari pada semangat petani (farmer). Artinya, institusi ini harus berani mengambil inisiatif untuk mengarahkan agenda reformasi di institusi lainnya, bahkan dapat memberi penalti berupa pengurangan anggaran untuk institusi yang tidak mengikuti program yang telah dirumuskan. Untuk dapat menjalankan peran yang sangat kuat seperti itu, maka Unit Reformasi Birokrasi hanya memiliki tanggungjawab tunggal untuk melakukan reformasi, dan relatif dilepaskan dari tetek-bengek administratif seperti penyusunan rencana anggaran, implementasi program, pelaporan kegiatan, dan sebagainya.

Bagaimana dengan Indonesia? Pada akhir dekade 1990-an, Indonesia juga mengalami krisis ekonomi yang sangat hebat. Indonesia juga mengalami peralihan dari rezim militer yang sentralistik ke rezim sipil yang lebih demokratis. Dengan demikian, Indonesia juga memiliki momentum ini sangat tepat untuk dijadikan sebagai golden chance dalam melakukan pembenahan total terhadap sistem penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan publik. Sayangnya, proses reformasi di Indonesia nampaknya terhambat oleh transisi demokrasi yang ditandai oleh eforia berlebihan. Maka, yang terjadi kemudian bukan koreksi terhadap kesalahan-kesalahan pada rezim terdahulu, melainkan upaya untuk menonjolkan nafsu politik dan kepentingan individual seperti lahirnya sistem multi partai, munculnya daerah-daerah otonom baru, atau pembentukan lembaga-lembaga baru, sesuatu yang tidak pernah terjadi di Korea Selatan. Tanpa disadari, inflasi parpol, daerah otonom dan lembaga non struktural di tingkat pusat telah menjadikan proses reformasi birokrasi semakin sulit.

Kesalahan lainnya, reformasi di Indonesia diikuti oleh lahirnya rezim regulasi baru. Deregulasi bukan dimaknakan sebagai penghapusan aturan-aturan yang menghambat investasi dan ruang gerak masyarakat, namun justru dijadikan kesempatan membuat aturan tanpa kendali. Indikasinya jelas. Pada kurun 2003-2009, terdapat permohonan uji materi terhadap 325 Undang-Undang, dan 72 diantaranya dikabulkan MK (Refleksi Kinerja MK, 29/12/2009). Sementara di level daerah, dari periode 2001-2008 telah dibatalkan sebanyak 11.401 Perda (Kompas, 12/12/2008). Ternyata, di era reformasi kita masih saja asyik dengan hobby membuat aturan, bukan melaksanakan peraturan yang ada dengan konsisten.

Di lapis kedua, kondisi diatas diperparah dengan lemahnya reform-driving organization yang sangat tergantung pada komitmen pimpinan nasional disatu pihak, dan ketiadaan otoritas untuk memaksakan kementerian tertentu untuk menerapkan reformasi birokrasi dipihak lain. Antara Kementerian PAN, UKP4R, Tim Independen, Tim Quality Assurance dan instansi terkait lainnya (Keuangan, Bappenas, dll) nampaknya belum terbangun sebuah mekanisme koordinasi yang baik. Dengan status yang mengambang seperti ini, tidak aneh jika reformasi birokrasi tidak mampu menjelma menjadi program afirmasi nasional.

Sekarang, harus diakui bahwa Indonesia sudah tertinggal 10 tahun untuk memulai kembali reformasi yang sesungguhnya. Maka, yang harus dilakukan adalah percepatan reformasi. Beberapa hal berikut mungkin perlu dipertimbangkan untuk akselerasi reformasi tersebut.

Pertama, perlu adanya driving force di setiap level. Di tingkat nasional, Timnas RB Kantor Menpan misalnya yang diberi peran sebagai the driving force. Sedangkan di level kementerian/lembaga, dapat dipertimbangkan pembentukan unit khusus yang menangani perencanaan hingga implementasi RB untuk lingkup instansi masing-masing. Unit tersebut misalnya berupa Pusat Kebijakan Strategis, yang akan menjadi mitra bagi Timnas RB Kantor Menpan dalam menjamin terselenggaranya RB. Dalam waktu bersamaan, Pusat Kebijakan Strategis di setiap kementerian/lembaga ini perlu didukung dengan ahli/konsultan di bidang RB untuk menjamin obyektivitas pelaksanaan RB.

Kedua, perlu pula dibangun mekanisme koordinasi yang lebih baik antar kementerian/ lembaga agar terjadi efek pembelajaran lintas instansi dan mengurangi kemungkinan tingkat diskrepansi konseptual maupun metodologis penerapan RB di masing-masing instansi. Belajar dari Korea, maka koordinasi yang paling dipersyaratkan adalah antara Kementerian Keuangan dengan Bappenas. Ketiga, Perpres tentang Grand Strategy dan Permenpan tentang Road Map RB perlu dipercepat pengundangan dan diseminasinya sebagai bukti komitmen sekaligus sebagai pedoman bagi seluruh instansi yang akan menerapkan RB.

Penulis adalah Kepala Pusat Kajian Manajemen Kebijakan LAN dan peserta Bureaucratic Reform Leader’s Workshop di Korea International Cooperation Agency (KOICA) – Korea Productivity Center (KPC),
Seoul, 4-11 Desember 2010

Artikel ini dimuat di Media Indoesia, 22 Desember 2010