Kamis, 26 September 2013

Negara Peraturan


Kompas Online tanggal 25 September 2013 memuat berita menarik tentang Perda Pengendalian Minuman Keras di DKI yang tidak pernah dilaksanakan maupun ditegakkan. Wagub DKI, Ahok, sampai mengatakan: “Di Jakarta mana ada sih peraturan yang jalan”?

Apa yang terjadi di DKI ini mungkin sekali juga terjadi di daerah lain di Indonesia, bahkan bisa jadi di tingkat nasional. Dalam hal ini, ada beberapa kemungkinan yang terjadi. Pertama, tidak ada komitmen dan kapasitas institusi.pejabat dalam mengimplementasikan kebijakan, sehingga terjadi kegagalan implementasi (implementation failure). Kedua, kebijakan disusun / dirumuskan secara asal-asalan, tidak sesuai kebutuhan, dan tidak memecahkan masalah apapun. Boleh jadi, kebijakan disusun hanya untuk mengejar target penyelesaian pembahasan dan pengundangan belaka. Seolah-olah, keberhasilan sebuah instansi atau daerah meng-gol-kan aturan adalah kinerja hebat dari instansi atau daerah tersebut. Yang terjadi kemudian, lembaga pemerintah terlalu pandai menghasilkan aturan, namun tidak pandai menjalankannya. Situasi ini akan berimplikasi semakin banyaknya peraturan (surplus aturan) namun tidak disertai dengan kepatuhan terhadap aturan (defisit ketaatan).

Dalam realita, gejala surplus aturan defisit ketaatan tadi bukan sekedar isapan jempol. Data lima tahun terakhir (2009-2013) yang saya coba kumpulkan dari website kementerian terkait menunjukkan adanya nafsu mengatur yang cukup besar di kalangan birokrasi Indonesia. Hal ini terutama terlihat sekali di Kementerian Kesehatan, Kementerian Keuangan, dan Kementerian PAN dan RB (lihat Tabel dibawah).

Jenis Peraturan
2009
2010
2011
2012
2013 *)
Undang-Undang
47
13
24
24
13 (s/d September)
Peraturan Pemerintah
77
75
79
99
59 (s/d Agustus)
Peraturan Presiden
55
88
95
126
62 (s/d Agustus)
Permen Dalam Negeri
55
66
73
78
42 (s/d Juni)
Permen PAN dan RB
20
29
70
233
31 (s/d September)
Permen Keuangan
216
259
258
239
117 (s/d Agustus)
Permen Kesehatan
1249
1799
2415
58
39 (s/d Mei)
Permen PU
24
20
20
7 (s/d Agustus)
Permen Nakertrans
25
19
18
20
6 (s/d Juni)
Permen PPN/Bappenas
6
5
6
8
3 (s/d Juni)

Terus terang akal sehat saya belum bisa menerima fakta bahwa sebuah kementerian dapat menghasilkan Peraturan Menteri lebih dari 100 dalam satu tahun. Ini sama artinya dalam satu bulan ada 9-10 Permen yang dihasilkan, atau 2-3 Permen dalam satu minggu. Terlebih Kemenkes, pada tahun 2011 menghasilkan 2.415 Permen, yang berarti dalam satu hari kerja menghasilkan kurang lebih 10 Permen, dengan asumsi hari kerja efektif per bulan adalah 20 hari. Pertanyaan saya kemudian adalah, apakah mereka hanya bekerja untuk membuat aturan, yang nota bene membatasi ruang gerak masyarakat, menimbulkan beban baru bagi masyarakat, dan menambah panjang rantai pelayanan kepada publik? Tidak adakah pekerjaan lain selain mengatur? Dan, benarkah aturan itu dibutuhkan oleh masyarakat? Adakah perbedaan signifikan yang dihasilkan oleh aturan tersebut? Dan, pernahkah dan mampukah mereka melakukan evaluasi terhadap penerapan ribuan peraturan tersebut? Jika mereka sudah terlalu disibukkan oleh proses membuat aturan, lantas bagaimana dan kapan mereka akan melaksanakan dan mengevaluasi aturan tersebut?

Meskipun tidak separah Kementerian Kesehatan dan belum menembus jumlah 100 Permen/tahun, Kementerian Dalam Negeri nampaknya juga terjangkit nafsu mengatur. Hal ini terlihat dari jumlah aturan yang selalu naik dari tahun ke tahun. Situasi sama juga terjadi dengan produk hukum berupa Peraturan Presiden yang trend-nya selalu meningkat. Sementara di lingkup Kementerian PAN dan RB, terjadi lonjakan yang luar biasa dengan menghasilkan 233 Permen pada tahun 2012, dari tahun sebelumnya yang “hanya” 70 Permen. Hal ini tentu menjadi sebuah ironi maha besar mengingat terjadi di era reformasi birokrasi (RB), dan dilakukan oleh kementerian yang bertanggung jawab di bidang RB. Bukankah RB justru mengusung semangat deregulasi, pemangkasan rantai birokrasi (red tape), dan pelonggaran ruang-ruang baru untuk inovasi dan partisipasi publik? Mengapa RB justru dijawab dengan melonjaknya jumlah regulasi?

Inilah yang menurut saya merupakan salah kaprah dengan reformasi kita. Birokrasi pelayan yang harus dibangun, justru menjelma menjadi rezim regulasi baru. Negara pelayan menjadi negara pengatur. Kita seperti terjangkit amnesia dan lupa dengan sejarah bangsa bahwa tumbangnya Orde Baru pada tahun 1998 salah satunya disebabkan oleh tabiatnya yang terlalu banyak mengatur (over regulasi).

Saya tidak mengatakan bahwa lembaga pemerintah tidak boleh lagi menjalankan regulatory function di era reformasi saat ini. Aturan baru sesungguhnya adalah sebuah kelaziman sepanjang tidak overdose dan cenderung dipaksakan. Kasus UU No. 17/2013 tentang Ormas (Organisasi Kemasyarakatan) barangkali dapat menjadi contoh faktual adanya kesan pemaksaan tadi. Ketika terjadi penolakan dari berbagai ormas secara bertubi-tubi karena nilai kemanfaatan yang kecil, serta sudah diberikan alternatif penggantinya dengan cara merevisi UU Yayasan, toch tetap saja UU ini diundangkan. Meskipun ada ancaman akan segera digugat ke Mahkamah Konstitusi begitu diundangkan, tidak menyurutkan langkah pemerintah bersama DPR untuk memberlakukan aturan ini.

Bagi saya, akan lebih baik bagi pemerintah untuk melakukan evaluasi terhadap efektivitas implementasi peraturan lama. Jika terbukti masih efektif, tinggal dilanjutkan. Dan jika sebaliknya, maka perlu segera direvisi tanpa harus memunculkan aturan baru sama sekali. Dengan demikian, perbaikan sistem kebijakan tidak dilakukan secara radikal melainkan lebih secara inkremental. Dengan cara seperti ini pula maka kesan masyarakat awam bahwa “ganti pejabat ganti aturan” dapat dihindari.


Jakarta 26 September 2013

Rabu, 25 September 2013

Sekali Lagi "Menggugat" Sistem Remunerasi PNS


Kemaren, hari Rabu, 25 September 2013, saya mengikuti workshop yang diselenggarakan KPK mengenai harmonisasi pendidikan anti korupsi. Peserta yang diundang berasal dari berbagai Pusdiklat Kementerian/Lembaga, termasuk LAN selaku instansi pembina diklat aparatur. Saya tidak akan membahas soal kurikulum, program diklat, pengajar diklat, durasi, metode dan media pembelajara, dan unsur-unsur diklat lainnya. Namun saya ingin menyoroti sisi lain dari dinamika di kelas kemaren, yakni persoalan akar masalah yang menyebabkan maraknya korupsi.

Awalnya diskusi melebar, dimana beberapa peserta berargumentasi bahwa diklat saja tidak mungkin mampu menghasilkan generasi bangsa yang anti korupsi, apalagi durasi diklat yang relatif pendek, serta sasaran kompetensi diklat aparatur yang beragam sesuai jenis diklat dan instansi penyelenggaranya, sehingga tidak semua diklat memiliki sasaran kompetensi untuk membentuk pribadi anti korupsi. Karakter anti korupsi dibangun tidak secara instan, namun melalui proses panjang sejak dini, serta melalui berbagai upaya termasuk pendekatan keagamaan, kesejahteraan, dan sebagainya. Seorang peserta dari Pusdiklat Luar Negeri memberikan contoh bahwa di Havana, Kuba, tidak ada pendidikan anti korupsi, namun perilaku pejabat dan masyarakat disana jauh dari kriteria koruptif. Bahkan seorang anggota polisi yang menjaga kantor Kedubes asing, misalnya, akan menolak secara halus suatu pemberian sekecil apapun, atau hanya sekedar ajakan untuk minum bersama, dari pejabat Kedubes asing tersebut. Uniknya, Kuba adalah negara Atheis dan tingkat kesejahteraan masyarakatnya juga biasa-biasa saja. Ini menunjukkan banyak faktor yang berpengaruh terhadap pembentukan sikap dan perilaku anti korupsi sebuah bangsa.

Diskusi kemudian berkembang lagi hingga perlunya role model atau keteladanan dalam sistem kebijakan secara nasional. Perlakuan diskriminatif adalah sebuah bentuk tidak adanya role model. Dalam kaitan ini, seorang peserta “menggugat” ketidakadilan dalam sistem remunerasi PNS. Dia memberi contoh, di Kementerian Perdagangan dan Kementerian Perdagangan hingga saat ini belum menerima remunerasi, padahal mereka telah membina para pengusaha kecil, menengah, besar, hingga pengusaha multi-nasional sebagai pembayar pajak yang amat besar untuk negara. Sementara Kementerian Keuangan yang hanya tinggal memungut pajak justru mendapatkan remunerasi yang sangat besar. Diskriminasi begitu nyata di depan mata, dan ini membuat kecemburuan antar lembaga yang begitu dalam.

Kebetulan, diantara peserta banyak juga yang berasal dari Kementerian Keuangan, baik dari Pusdiklat Bea Cukai, Pusdiklat Pajak, dan STAN. Salah seorang peserta dari Kementerian Keuangan yang merasa tersindir memberikan klarifikasi bahwa perbedaan dalam besaran remunerasi disebabkan faktor kemampuan anggaran negara yang terbatas. Pada suatu ketika, semua PNS akan memperoleh hak yang sama. Pertanyaannya, kapan kesamaan hak antar PNS itu akan terjadi? Mengapa Kementerian Keuangan harus didahulukan pembayaran remunerasinya dibanding dengan instansi pemerintah lainnya? Sayangnya, fasilitator dari KPK tidak turut memberikan pendapat dan standing position mereka. Padahal, KPK juga disinggung sebagai institusi yang memberikan gaji, remunerasi, atau take home pay yang wah. Sering kita dengar orang berucap: “kalau pendapatan kita sudah sama seperti KPK, tentu saja kita juga bisa professional seperti mereka”. Sekali lagi, sayang mereka tidak turut merespon polemik ynng sedang berkembang di kelas workshop kemaren. Mereka cenderung membiarkan polemik bergulir, tidak membenarkan namun juga tidak membantah. Secara tersirat saya menangkan kesan bahwa KPK pun setuju dengan argumen peserta yang menceritakan adanya diskriminasi tadi.

Atas penjelasan peserta dari Kementerian Keuangan, secara bisik-bisik salah seorang peserta di sebelah saya mengatakan bahwa argumen keterbatasan anggaran yang dikemukakan peserta dari Kementerian Keuangan tadi sangat tidak masuk akal. Itu bukan alasan untuk membenarkan diskriminasi antar kementerian/lembaga. Seharusnya, pembayaran remunerasi diberikan bertahap dari nilai nominal yang seharusnya diterima, namun harus diberlakukan sama secara inklusif kepada seluruh PNS di Republik ini. Artinya, pentahapan bukan berdasarkan instansi penerima, melainkan atas dasar besaran remunerasi. Tentu saja, saya sangat sepakat dengan pandangan kawan di sebelah saya ini.

Diluar konteks workshop kemaren, saya juga sering mendengar kawan-kawan dari Kementerian Keuangan berargumen bahwa mereka sudah melakukan reformasi 100% sehingga merasa layak untuk mendapatkan remunerasi 100%, bahkan lebih. Mereka selalu meremehkan instansi pemerintah lain yang mereka anggap belum melakukan reformasi sepenuhnya. Argumen seperti inipun menurut saya adalah pandangan picik dan keblinger. Mereka ibarat katak dalam tempurung yang hanya bisa melihat diri mereka sendiri namun buta terhadap realita diluar tempurung tempat tinggalnya. Jika kita tanyakan kepada PNS di instansi manapun: siapa yang lebih bekerja keras dan siapa yang lebih berkontribusi terhadap negara, atau siapa yang lebih reformis, saya yakin semua akan menonjolkan dirinya dan institusinya. Maka, sangatlah tidak etis “menuduh” instansi lain belum menjalankan reformasi. Nampak sekali dala hal ini adanya arogansi institusional yang terbangun di Kementerian Keuangan, sementara reformasi birokrasi lebih menuntut aparat untuk menanggalkan atribut-atribut keangkuhan dan lebih banyak “menyedekahkan” sumber daya organisasi untuk kemaslahatan umat banyak. Ketika beberapa instansi telah dengan sadar memangkas struktur organisasinya menjadi lebih flat dan streamline, Kementerian yang lain justru menambah struktur. Kasus ini saja sudah memberikan jawaban siapa yang lebih total melakukan reformasi, dan siapa yang hanya beretorika belaka.

Kembali ke dinamika workshop kemaren, saya sebenarnya sangat bergelora untuk turut memberikan pendapat, namun saya tahan karena diskusi yang berkembang sudah diluar konteks harmonisasi program diklat anti korupsi. Namun saya sepakat dengan peserta yang tadi mengusung issu ketidakadilan dalam kebijakan. Terus terang, saya belum menemukan teori manapun yang bisa mmbenarkan diskriminasi dalam tubuh birokrasi. Pengecualian kebijakan memang sering kita dengar dalam masa peralihan, namun dalam kondisi semua normal, diskriminasi dapat diidentikkan dengan sebuah kejahatan. Secara pribadi, saya bahkan memandang bahwa kebijakan yang memungkinkan terjadinya perbedaan remunerasi tadi adalah sebuah tindak pidana korupsi. Jika korupsi didefinisikan sebagai keinginan menyalahgunakan kewenangan (discretion) dan pada saat yang sama ada peluang (opportunity) untuk itu, maka demikian pula yang saat ini terjadi. Nah, bagaimana mungkin kita membangun semangat anti korupsi sementara kebijakan kita sendiri begitu koruptif?

Terlepas dari perdebatan yang cukup menegangkan kemaren, terus terang saya tidak menyangka bahwa issu ini kembali muncul di forum yang bukan didesain untuk membahas hal tersebut. Namun memang tidak terhindarkan, dimanapun forum mengangkat issu seputar korupsi, reformasi, birokrasi, keadilan, maka diskriminasi remunerasi tadi akan muncul dengan sendirinya. Ketika saya mengikuti Diklatpim I dan II, issu itupun muncul begitu saja. Di grup BBM sekalipun, issu ini tidak terhindarkan. Apa yang bisa dijelaskan dari fenomena ini? Menurut saya, ini menandakan bahwa diskriminasi kesejahteraan antar PNS sudah mengendap dalam alam bawah sadar (subconscious mind) mayoritas PNS, terutama di lembaga yang merasa mendapat perlakuan diskriminatif. Tentu saja ini adalah sebuah kondisi yang membahayakan soliditas birokrasi. Letupan-letupan protes diberbagai kesempatan semestinya disikapi sebagai sebuah early warning system bahwa ada sesuatu yang salah dengan reformasi dan kebijakan di negeri ini. Dan jika kita semua (terutama para policy makers) sadar akan adanya kesalahan seperti ini, mestinya segera dilakukan koreksi agar birokrasi kita kembali sehat, tidak dipenuhi dengan kerurigaan dan kecemburuan, bersatu padu dan solid dalam mewujudkan cita-cita negara melalui jalur pengabdiannya masing-masing.

Saya, dan berjuta PNS lain, tentu sudah bosan dengan “gugatan-gugatan” yang dilempar setiap ada kesempatan tanpa ada solusinya. Sayapun yakin bahwa teman-teman Kementerian Keuangan sudah jengah mendengar keluhan, bahkan kadang makian dari koleganya sesama PNS di seluruh Indonesia. Maka, 2014 sebagai tahun politik yang akan menghasilkan pemimpin nasional baru, hendaklah menjadi tahun refleksi dan kontemplasi kebangsaan dari seluruh elemen bangsa untuk kembali kepada nilai-nilai luhur bangsa Indonesia yang berke-Tuhan-an, mengedepankan kemanusiaan, memperkokoh persatuan, menghargai keragaman melalui permusyawaratan, serta terus meningkatkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, termasuk keadilan antar sesama PNS.


Jakarta, 26 September 2013

Asset Tak Berwujud dan Kemanfaatan Pen


Beragam pertanyaan tadi mewakili kegalauan saya selaku peneliti di lembaga pemerintah. Lantas, apa kontribusi saya selama 20 tahun terakhir ini kepada negara? Apakah saya hanya mengukir kehampaan dalam kurun waktu dua dekade tadi? Jika benar demikian, sungguh sebuah ironi terbesar dalam hidup saya dan ribuan peneliti lainnya, khususnya peneliti ilmu sosial. Peneliti ilmu alam atau ilmu pasti masih bisa bernafas lega, karena hasil penelitian yang dipatenkan tetap tercatat sebagai asset negara yang dihasilkan oleh peneliti tersebut. Namun hasil penelitian sosial yang paling banter hanya memperoleh nomor serial KDT (Katalog Dalam Terbitan) dan ISBN dari Perpustakaan Nasional, harus gigit jari karena kekayaan intelektualnya tetap tidak dapat diregistrasi sebagai asset negara.

Dilihat dari kebijakan yang berlaku saat ini, perlakuan atas hasil kajian/penelitian yang dihasilkan dari pelaksanaan kegiatan, berdasarkan standar akuntansi pemerintahan (SAP) ditetapkan sebagai bagian dari kelompok “Aset Lainnya” sub kelompok “Aset Tak Berwujud (ATB)”. Namun tidak semua hasil kajian/penelitian secara otomatis masuk kategori ATB tadi. Hasil kajian/penelitian yang dapat digolongkan sebagai asset tak berwujud hanyalah hasil kajian/penelitian yang diidentifikasikan dengan jelas akan memberikan manfaat ekonomi dan/atau sosial dimasa yang akan datang. ATB akan dilaporkan dalam neraca sebesar nilai belanja yang dikeluarkan. Sementara untuk hasil kajian/penelitian yang tidak dapat diidentifikasikan dengan jelas akan memberikan manfaat ekonomi dan/atau sosial, hanya diinformasikan pada Catatan Atas Laporan Keuangan (CALK), dan nilai belanja yang dikeluarkan tidak perlu dilaporkan sebagai asset dalam neraca.

Nah, ketentuan seperti itulah yang menurut saya merugikan negara, sekaligus juga menegasikan profesionalisme peneliti. Negara dirugikan karena anggaran APBN/APBD untuk membiayai kajian/penelitian tidaklah sedikit, jika diakumulasi secara nasional mungkin bisa mencapai ratusan milyar atau lebih. Nilai ratusan milyar itu jika kemudian tidak dihitung sebagai ATB, menurut saya sama artinya dengan inefisiensi belaja pemerintah. Jika sejak siklus perencanaan telah dilakukan pembahasan secara tripartit antara Bappenas, Kementerian Keuangan, dan K/L terkait, dan telah mendapat persetujuan semua pihak, maka dapat diasumsikan bahwa program dan kegiatan kajian/penelitian yang diusulkan, dibahas, dan disetujui tadi telah memenuhi kriteria kemanfaatan, dan oleh karenanya harus masuk dalam ATB. Jika kemudian terbukti bahwa hasil kajian/penelitian tadi tidak memiliki kemanfaatan, berarti ada yang salah pada tahap awal sistem perencanaan dan penganggaran.

Selain itu, harus diakui pula bahwa kajian/penelitian sosial cenderung lebih sulit dinilai kemanfaatannya secara sosial maupun ekonomi. Selain tidak adanya standar nilai kemanfaatan, juga sifatnya yang lebih terbuka terhadap perbedaan konsep, opini, maupun penafsiran. Sebagai contoh, penelitian yang sama-sama mengkaji tentang desentralisasi, bisa saja menghasilkan kesimpulan dan rekomendasi yang berbeda. Kajian yang satu merekomendasikan penguatan otonomi di tingkat provinsi, sementara yang lain justru mendukung penguatan otonomi di tingkat kabupaten/kota. Dalam hal seperti ini, sangat sulit membandingkan keduanya kemudian menyimpulkan bahwa penelitian pertama tidak memiliki kemanfaatan sosial, sementara penelitian yang lain lebih baik dalam hal kemanfaatan. Sama halnya ketika ada dua penelitian yang sama-sama menganalisis aspek kelembagaan OPD atau SKPD. Hasil kajian pertama misalnya mengajukan model efisiensi sebagai strategi penataan kelembagaan melalui upaya perampingan struktur dan penggabungan dinas/lembaga teknis daerah. Sedangkan kajian kedua boleh jadi justru melihat model efektivitas sebagai rekomendasi paling tepat, sehingga disarankan untuk dibentuk kelembagaan daerah dengan pola maksimal. Dalam kasus seperti inipun, akan sulit mengukur kemanfaatan sosial ekonomi.

Dengan demikian, kemanfaatan penelitian sosial lebih bersifat kontekstual atau situasional. Artinya, dengan rekomendasi yang sama belum tentu akan menghasilkan dampak/manfaat yang sama di daerah atau tempat yang berbeda. Efektivitas pilihan kebijakan tertentu masih akan tergantung pada berbagai prakondisi terkait, seperti ada/tidaknya political will dan komitmen seluruh pihak, cukup/tidaknya dukungan sumber daya, dan sebagainya. Dan prakondisi tadi jelas berbeda-beda antar daerah, sehingga akan memberikan efek yang berbeda pula. Kompleksitas situasi seperti ini relatif tidak ditemui dalam penelitian ilmu pasti. Sebagai contoh, hasil penelitian berupa teknologi tepat guna pengolahan air laut menjadi air mineral. Ini bisa diterapkan dimanapun, dengan kapasitas produksi yang sama per detiknya, dengan langkah yang sama, kualitas hasil yang sama, serta nilai ekonomi yang sama pula. Hal seperti ini jelas akan sangat memudahkan pengukuran tingkat kemanfaatannya.

Oleh karena itu, meskipun secara sosial ekonomi penelitian sosial tidak dapat diukur secara pasti tingkat kemanfaatannya, namun bukan berarti tidak memiliki kemanfaatan. Kemanfaatan hasil kajian/penelitian sosial lebih variatif, misalnya sebagai bahan bacaan, rujukan dalam menulis karya tulis ilmiah, kutipan dalam membuat pidato seorang pejabat, dan seterusnya. Selain itu, tidak menutup kemungkinan hasil kajian/penelitian sosial juga akan menumbuhkan inspirasi bagi orang tertentu untuk mendorong perubahan dan melahirkan inovasi, sebagai bahan dalam pengajaran atau diklat, atau bahkan sebagai landasan akademik untuk mengubah suatu kebijakan. Ini semua adalah spektrum kemanfaatan dari kajian/penelitian sosial. Maka, saya masih tidak bisa memahami cara berpikir yang keukeuh menyatakan kajian/penelitian sosial tidak memiliki kemanfaatan. Mungkin secara sosial ekonomi kemanfaatannya rendah, namun secara akademis tidak bisa dibantah bahwa kajian/penelitian sosial merupakan kekayaan intelektual bangsa yang sangat besar nilainya.

Kalaupun harus dipaksa memiliki nilai ekonomis sebenarnya mudah saja, sepanjang sistem keuangan memungkinkan. Caranya adalah dengan menjual buku-buku hasil kajian/penelitian di berbagai toko buku. Dengan cara seperti ini, bahkan ada peluang untuk break event point, dalam arti modal awal dalam melaksanakan kajian/penelitian hingga menghasilkan output laporan, bisa kembali dan melampaui modal awal tersebut. Sayangnya, selama ini menjual buku hasil penelitian dilarang dan bahkan merupakan pelanggaran hukum. Padahal, menurut saya tidak ada yang salah sama sekali dengan ide menjual buku hasil kajian/penelitian sosial. Ini justru merupakan manifestasi dari prinsip mewirausahakan birokrasi (entrepreneurial government: earning rather than spending). Dengan kata lain, nilai ATB berupa hasil kajian/penelitian sosial tadi akan berlipat, bukan saja dihitung dari nilai belanja yang dikeluarkan, namun juga potensi pendapatan yang akan diperoleh.

Selain itu, melempar hasil kajian/penelitian sosial ke “pasar kompetisi” ditengarai akan memacu peneliti untuk bekerja lebih baik lagi agar produknya dapat diterima ditengah masyarakat. Dan dengan demikian, disatu sisi akuntabilitas para peneliti dan akuntabilitas program kajian/penelitian sosial dapat lebih ditingkatkan, sementara disisi lain pemerintah tidak rugi hanya gara-gara pengeluaran untuk kajian/penelitian tidak tercatat sebagai ATB.

Jakarta, 25 September 2013