Rabu, 18 Juni 2014

Komisi Regulasi dan Tata Niaga Properti Nasional: Apa Itu?



Setiap kali saya berangkat ke kantor atau pulang ke rumah, saya selalu melewati Alam Sutera, sebuah kawasan hunia berkelas di wilayah Tangerang Selatan. Kawasan ini tumbuh dengan sangat pesat, ditandai oleh munculnya mall dan ruko-ruko baru, cluster perumahan mewah, dan tentu saja apartemen. Situasi yang sama bisa diamati di kawasan yang berdekatan dengan Alamt Sutera seperti BSD, Gading Serpong, atau Karawaci. Bahkan kota-kota penyangga Jakarta lain seperti Bogor, Depok, dan Bekasi juga terjangkit booming properti yang sama. Terlintas pertanyaan dalam hati saya, mengapa apartemen-apartemen itu begitu laku keras, bahkan sering sudah terjual habis (sold out) sebelum pembangunan dimulai? Benarkah itu cerminan dari kebutuhan pokok masyarakat akan papan (kebutuhan pokok selain sandang dan pangan)?

Saya memiliki hipotesis bahwa itu bukan kebutuhan pokok (primer), namun sudah menjadi kebutuhan tersier atau bahkan kuarter. Saya yakin bahwa golongan kaya yang membeli apartemen itu sudah memiliki rumah atau apartemen yang lain. Mereka membeli bukan untuk memenuhi kebutuhan pokoknya, namun sebagi bagian dari investasi, bisnis, atau bahkan sekedar foya-foya. Ya, sebuah apartemen memiliki nilai investasi yang menggiurkan, karena hanya dalam waktu 3-5 tahun dia akan bisa mendapat nilai properti yang lebih besar dari pada saat dia membelinya. Apartemen juga memiliki nilai bisnis karena bisa disewakan untuk ruko, kantor, dan sebagainya. Tidak jarang pula apartemen hanya menjadi “sarang” bagi seseorang untuk “menyembunyikan” istri-istri mudanya.

Oleh karena pembangunan apartemen itu bukan untuk memenuhi kebutuhan primer akan papan, maka persoalan kebutuhan rumah bagi sebagian besar masyarakat juga tidak pernah terpenuhi. Kondisi ini menimbulkan kerugian ganda. Disatu sisi, pembangunan apartemen dan rumah mewah itu menyita lahan-lahan produktif dan daerah serapan air. Akibatnya, potensi banjir dan pemanasan global semakin tinggi, ruang terbuka hijau semakin langka, dan segregasi sosial semakin kuat. Disisi lain, masyarakat kebanyakan yang tidak memiliki kemampuan untuk membeli aparteme bahkan RS sekalipun, terpaksa menduduki lahan-lahan kosong di bantaran sungai, dibawah kolong jembatan, atau di pinggir rel kereta, yang menimbulkan kawasan kumuh dan merusak tata kota.

Sehubungan dengan hal tersebut, tersirat pemikiran dalam benak saya untuk mengatur tata niaga properti yang lebih berpihak pada kepentingan rakyat banyak, berpihak pada perlindungan lingkungan, sekaligus berpihak pada penataan kota yang tertib, seimbang, inklusif, dan berkeadilan. Untuk menjalankan fungsi regulasi ini, ada baiknya dibentuk Komisi Regulasi dan Tata Niaga Properti Nasional. Beberapa substansi yang perlu diatur misalnya bahwa sepasang suami istri tidak boleh memiliki hunian (rumah atau apartemen) lebih dari satu. Agar dapat dikontrol tingkat kepemilikan seseorang atas sebuah hunian, maka Komisi ini harus membangun database yang dikumpulkan dari data BPN, Notaris, serta data transaksi dari seluruh developer. Termasuk yang harus dimiliki adalah data tentang catatan pernikahan atau perceraian dari KUA atau Kantor Catatan Sipil. Sedapat mungkin, data-data tadi harus saling terkoneksi sehingga memudahkan dalam pengendalian pembangunan, peruntukan, dan distribusi properti, khususnya rumah dan apartemen.

Namun masalahnya, seseorang dapat membeli rumah dengan mengatasnamakan anaknya. Maka, Komisi tadi harus mengatur bahwa hak kepemilikan rumah hanya dapat dipegang oleh seseorang yang telah mencapai batas usia dewasa (misalnya 23 tahun menurut Burgelijke Wetboek atau KUH Perdata). Nah, bagaimana jika seseorang membeli beberapa unit rumah atau apartemen yang bersebelahan atau berhimpitan, kemudian menyatukan sertifikatnya, seolah-olah beberapa bangunan itu adalah satu bangunan besar? Maka, Komisi tadi juga harus mengatur luas minimal dan maksimal lahan yang dapat dimiliki. Pengaturan seperti ini selain untuk mencegah ketimpangan dalam kepemilikan rumah, juga untuk mengurangi kesenjangan sosial antara golongan kaya dan miskin. Sekaya apapun seseorang, bukan berarti ia dapat membeli apapun yang diinginkannya. Dalam kondisi dimana masih jutaan masyarakat belum memiliki rumah seperti saat ini, maka rumah merupakan public goods murni. Ketika rumah diperlakukan sebagai private goods dengan memberlakukan hukum ekonomi, maka terjadilah disparitas sosial beserta problematika yang kita saksikan selama ini.

Implikasi dari perlakuan rumah hunian sebagai public goods murni ini adakah bahwa rumah hunian harus dikembalikan sebagai komoditas pokok untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia, dan bukan sebagai komoditas komersil belaka. Rumah memang memiliki nilai komersial, namun bukan untuk dikomersialisasikan. Rumah memang barang ekonomi, namun pemerintah tetap perlu mengatur agar harga tesebut tidak bergerak liar. Sama halnya ketika pemerintah mengatur harga eceran tertinggi atau terencah dalam komoditas minyak tanah, beras, atau komoditas lainnya pada saat terjadi shortage. Nah, faktanya, saat inipun mengalami keterbatasan supply rumah untuk rakyat, sehingga wajar jika pemerintah memperlakukan sebagai public goods yang butuh intervensi langsung pemerintah. Jika rumah diperlakukan sebagai private goods maka harga komoditi ini bergerak tidak rasional dan hanya berpihak kepada pemilik modal yang kuat, sementara bagi sebagian yang lain memiliki rumah hanyalah sebuah mimpi di siang bolong.

Jakarta, 19 Jun 2014.

Berenang Dalam Kolam Inovasi

Menyaksikan gerai-gerai dari berbagai instansi dan daerah selama penyelenggaraan event Simposium Inovasi Pelayanan Indonesia, 16-17 Juni 2014 yang lalu, saya seperti masuk dalam kolam inovasi. Ya, ternyata sudah begitu banyak inovasi di berbagai bidang yang dilakukan oleh jajaran pemerintah dari Barat hingga Timur Indonesia. Saya mencoba untuk mendeskripsikan beberapa dianatranya, karena tidak mungkin dalam waktu begitu singkat saya mampu melaporkannya secara lengkap.

Saya mulai dari wilayah Timur Indonesia, khususnya di pulau Sulawesi. Di Kabupaten Luwu Utara ada inovasi menarik yakni distribusi guru PNS proporsional (DGP). DGP sendiri adalah pemindahan guru PNS antar satuan pendidikan, antar jenjang, antar jenis pendidikan, atau antar kecamatan agar tercapai rasio, kualifikasi akademik dan komposisi guru yang lebih seimbang dan sesuai kebutuhan riil masing-masing satuan pendidikan. Hasil evaluasi sementara menunjukkan bahwa program ini dapat menghasilkan beberapa dampak positif, misalnya: menurunnya ketimpangan kualitas layanan pendidikan antar sekolah, guru dapat memenuhi jam mengajar minimal 24 jam, 1.348 guru telah bersertifikasi, mutasi yang memperhatikan jarak juga berampak pada peningkatan disiplin guru, serta meningkatnya produktivitas dan efektivitas PBM.

Sementara itu, Kabupaten Buton Utara memperkenalkan sistem penjaringan aspirasi masyarakat yang dinamakan Waraka (musyawarah perencanaan kesehatan). Waraka dilakukan melalui media yang ada di desa, yang ditindaklanjuti dengan aksi nyata melalui proses pelacakan dari rumah ke rumah oleh tenaga kesehatan, baik dari Puskesmas maupun langsung dari Dinas Kesehatan. Tahun 2011 saat penerapan Waraka pertama kali, hasil musyawarah dan pelacakan menemukan 47 kasus gizi buruk, 56 gizi kurang, 5 AFP (lumpuh layu), 2 desa terjangkit filariasis (kaki gajah), dan kematian ibu bersalin. Fakta ini langsung mendorong pemerintah setempat melakukan inovasi seperti pengembangan kemitraan bidan – dukun – kader posyandu, pemberian insentif bagi ibu hamil resiko tinggi, pengembangan konsep desa sehat (Kampo Waraka), serta mengakselerasi pembangunan sarana kesehatan.

Kabupaten Kolaka Utara memperkenalkan layanan SMScluster sebagai sebuah aplikasi yang memanfaatkan ponsel / HP dengan kemampuan multi fungsi yang bekerja secara otomatis. Dengan aplikasi ini, masyarakat dapat langsung terhubung dengan pusat data kesehatan di Dinas Kesehatan. Sejak diterapkan akhir tahun 2012, aplikasi ini sudah mampu berkontribusi dalam meningkatkan kepedulian dan partisipasi masyarakat dalam memanfaatkan fasilitas kesehatan. Aplikasi ini juga membantu pemerintah setempat untuk menangani issu kesehatan secara lebih efektif. Dalam hal ini pemerintah setempat mengalokasikan dana sebesar Rp 57 juta sebagai insentif bagi kader kesehatan di pedesaan.

Dari wilayah Sulawesi kita turun ke selatan, tepatnya di Nusa Tenggara Timur. Sebagai daerah yang masih relatif tertinggal, akses internet dan pemanfaatan teknologi informasi masih sangat minim. Untuk itulah didirikan RC (Resource Center) yang menjadi “oase” bagi penduduk setempat. Disinilah para pelajar dapat memperoleh layanan buku-buku bacaan dan akses internet. Saat ini, keberadaan RC selain memberikan layanan informasi, juga menjadi pusat data pembangunan dan program kemitraan yang dijalankan Pemprov NTT, termasuk menjadi mediator layanan data antara kabupaten/kota dengan provinsi dan pemerintah pusat. RC juga telah menjadi pusat kegiatan data online untuk mengirim data ke Bappenas terkait dengan usulan atau program pemkab/pemkot di NTT.

Tetangga satu rumpunnya, yakni NTB, tidak mau kalah dengan mengusung inovasi bernama Kampung Media (KM). Perlunya KM ini dilatarbelakangi oleh beberapa masalah seperti: terbatasnya media informasi antara masyarakat dengan pemda, kondisi geografis dengan sebaran penduduk yang tidak merata yang mengakibatkan keterlambatan informasi, serta kurangnya kapasitas publikasi yang digunakan pemda dalam menampung informasi dari masyarakat. Atas dasar masalah itu, diciptakanlah sebuah sistem informasi terpadu yang dikerjakan oleh warga, muncul dari warga, dan untuk kepentingan warga. Dicanangkan pada Desember 2008, Kampung Media dituangkan secara resmi dalam RPJMD NTB sebagai program terobosan bidang penyebarluasan informasi berbasis komunitas. Tugas warga dalam kerangka KM itu adalah menjadi pewarta bagi dirinya, menjadi motivator penggerak pembangunan desa, serta membuat ide kreatif untuk pengembangan potensi diri dan warga masyarakat. Dan jika kita akses link mereka di www.kampung-media.com, akan dapat kita lihat betapa ketiga tugas warga itu dapat terwujud dengan sangat optimal. Beragam informasi penting ada disana, bahkan menu “Inspirasi Kampung” dan sub-menu “Ide Kreatif”, tersedia informasi yang benar-benar kreatif, misalnya Sepatu Dari Ikan Pari, Dari Sampah Menjadi Kerajinan Unik, Membuat Tas Dari Bibir Gelas Minuman, dan seterusnya.

Sekarang mari kita beralih ke pulau Jawa. Di Jawa Timur, Pemkot Surabaya mengeluarkan inisitif berjudul GRMS (government resources management systems). Inisiatif ini didorong oleh fakta belum terintegrasinya sistem pengelolaan keuangan, mulai penyusunan anggaran, perencanaan kegiatan, pengadaan barang/jasa, pencairan pekerjaan, hingga pengendalian dan pengukuran kinerja. Dari situlah kemudian secara bertahap dibangun perangkat sistem yang terdiri dari e-budgeting, e-project palnning, e-procurement, e-delivery, e-controlling, dan e-performance, yang saling terkait satu dengan lainnya. Boleh jadi, sistem yang menghubungkan rantai manajemen dari hulu hingga hilir seperti ini hanya ada di Surabaya.

Selanjutnya, Kota Solo, terlepas dari berbagai inovasi yang telah dikenal selama ini, ada juga inovasi lain yang dikenal dengan konsep KIA (Kartu Insentif Anak). Anak di Solo akan menerima kartu seperti KTP, yang memang berfungsi sebagai kartu identitas. Dengan kartu ini pula, setiap anak Solo akan memperoleh diskon tidak hanya saat berbelanja di took buku, ikut kursus bahasa Inggris atau seni dan musik, bahkan juga potongan harga di hotel, restoran dan tempat-tempat wisata yang telah memiliki kerjasama dengan Pemkot Solo. Tentu tidak berarti bahwa semua diskon tadi akan menjadi beban APBD secara keseluruhan, karena terdapat ada 45 CSR yang terlibat dalam program pemberian diskon ini. Singkatnya, program ini bertujuan untuk menjamin dan melindungi hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan menuju Solo sebagai Kota Layak Anak (KLA).

Tetangga sebelah barat Solo, Yogyakarta, juga memiliki inovasi unit yang disebut UPIK (Unit Pelayanan Informasi dan Keluhan). Apapun yang membuat anda jengkel saat berada di Yogya, kirimkan saja keluhan anda melalui SMS 08122780001. Jika anda merasa terganggu oleh pengamen saat makan di lesehan Malioboro, atau anda merasa kesulitan mendapatkan taxi, atau kena copet, atau apapun dan jam berapapun, petugas terkait akan merespon keluhan anda paling 1x24 jam.

Agak ke barat lagi, di Bandung ada inisiatif yang disebut Km 0 Pro-poor Jabar. Program ini dilatarbelakangi banyaknya indikasi program pengentasan kemiskinan yang tidak tepat sasaran atau overlap dan tidak merata. Untuk itu, diciptakanlah sistem pendukung pengambil keputusan (decision support system) berbasis web dan sistem informasi geografis dengan memanfaatkan data rumah tangga sasaran (RTS) yang disajikan secara by name, by address, by picture, dan by coordinat. Dengan program ini, penduduk miskin beserta rumah tinggalnya dapat dimonitor langsung oleh Kepala Daerah (Gubernur atau Bupati/Walikota) dan diukur jauhnya dari Km 0, yakni kantor Gubernur di Gedung Sate.

Reportase saya berakhir di Aceh Singkil. Di kabupaten yang berlokasi jauh di selatan Banda Aceh ini memiliki inovasi berupa kemitraan bidan dan dukun. Dengan program yang sementara baru berlaku di Kecamatan Singkil ini, dukun dilarang melakukan persalinan, namun harus membantu bidan dalam proses persalinan serta bantuan non-medis lainnya seperti penerjemahan bahasa Indonesia ke bahasa daerah atau sebaliknya, memijit ibu dan bayi pasca persalinan, atau layanan non medis lainnya. Dalam hal ini, dukun akan mendapat insentif sebesar Rp 50 ribu per bulan. Program kemitraan ini diharapkan dapat menekan jumlah kematian ibu hamil sebanyak 7 orang, bayi lahir meninggal 34 kasus, dan kematian bayi 32 kasus, yang terjadi pada tahun 2013.

Dari berbagai inisiatif inovasi diatas, saya memiliki dua catatan ringan. Pertama, nampaknya banyak diantara mereka yang belum memiliki instrumen dan metode untuk melakukan monitoring dan penilaian kemanfaatan hasil inovasi tersebut. Ini agak disayangkan, karena inovasi yang baik itu adalah yang bisa mengatasi masalah dan menawarkan kemanfaatan. Jika ternyata belum mampu mencapai manfaat yang diharapkan, tentu hasil evaluasi ini akan menajdi feedback untuk penyempurnaan model inovasi yang lebih baik. Kedua, saya juga melihat bahwa belum ada satu wadah yang akan menampung seluruh inovasi tadi menjadi database nasional tentang inovasi. Dalam hal ini, saya memandang penting adanya sebuah portal inovasi secara nasional yang akan berfungsi sebagai media interaktif antar inovator (individu maupun institusi), sharing pengalaman, tukar pengalaman, dan bahkan diskusi tentang kebutuhan penguatan inovasi untuk dijadikan sebagai agenda dalam perumusan kebijakan di bidang inovasi.

Paling tidak, inisiatif inovasi tadi sudah memberikan jawaban terhadap keraguan sebagian pihak bahwa inovasi itu sulit, atau bahwa aparat itu cenderung enggan untuk berinovasi. Meski jumlahnya masih belum sebanyak yang kita harapkan, namun dari penampilan beragam inovasi itu sudah membuat saya “berenang di kolam inovasi”. Nah, suatu saat nanti, saya yakin bahwa kita semua akan memiliki kesempatan untuk “berenang di samudera inovasi”.


Jakarta, 18 Juni 2014

Selasa, 17 Juni 2014

Inovasi Itu Mudah

Sebagai sebuah kata, inovasi sudah lama dikenal dalam peradaan umat manusia. Namun sebagai sebuah konsep, banyak yang belum memiliki pemahaman memadai sehingga sering menimbulkan penafsiran yang sangat kontras tentang inovasi. Apalagi sebagai sebuah praktek dalam manajemen pemerintahan, masih amat sedikit produktivitas pegawai dan instansi pemerintah dalam melahirkan kebaruan-kebaruan dalam pelaksanaan tugas dan fungsi mereka. Karena belum adanya pemahaman yang relatif utuh tentang makna inovasi dan belum terbiasa melakukannya, maka wajarlah jika inovasi itu dipahami sebagai sesuatu yang sulit. Terlebih lagi dengan mengkaitkan inovasi dengan berbagai resiko hukum, maka inovasi benar-benar menjelma menjadi sesuatu yang sangat tidak menarik.

Seiring dengan berjalannya proses reformasi di berbagai bidang, pandangan terhadap inovasi juga turut berubah. Meski masih ada sisa-sisa mindset lama bahwa inovasi itu sulit dan beresiko, paling tidak saat ini sudah bisa diamati banyaknya inisiatif inovasi yang dihasilkan oleh berbagai instansi di tingkat pusat maupun daerah.  Memang pada dasarnya inovasi itu mudah. Jangan bayangkan inovasi itu sebagai sesuatu yang rumit, hanya terjadi di laboratorium, penuh rumus ilmu pasti, banyak hubungan sebab akibat yang harus diurai, atau harus menguasai teknologi terkini. Bayangkan saja inovasi itu sebagai keseharian anda, yang saking sudah biasanya sampai tidak anda sadari bahwa anda sedang berinovasi. Inovasi itu bahkan bisa menjadi sesuatu yang sangat menyenangkan (fun) atau menjadi bagian dari hobby kita.

Apa contoh konkrit bahwa inovasi itu mudah? Jika inovasi diterjemahkan sebagai pemberian nilai tambah terhadap sesuatu, maka menciptakan children playground di Puskesmas atau di Kelurahan atau dimanapun meski hanya memanfaatkan teras sempit yang ada, itu adalah sebuah inovasi. Dengan adanya area bermain tadi, anak-anak menjadi tidak takut pergi ke Puskesmas, dokternya juga bisa melakukan pemeriksaan di tempat bermain, sedangkan orang tua yang anaknya sakit dapat mengatakan “Ayo kita bermain ke tempat bu dokter”, dari pada “Ayo kita pergi ke Puskesmas”. Inilah konsep healing while playing (berobat sembari bermain) yang sudah diterapkan di banyak Puskesmas di Indonesia. Kita dapat juga belajar dari pengalaman sebuah lembaga di Roma yang memanfaatkan ruangan kosong dibawah tanah (basemen) sebagai “sekolah” bagi anak-anak para pegawai di lembaga tersebut. Dengan begitu, para orang tua dan anak-anaknya tidak terpisah dalam waktu yang cukup lama setiap harinya, sehingga si orang tua dapat konsentrasi bekerja dan si anakpun terurus dengan baik terkait pendidikan dan kebutuhan hariannya.

Sementara itu jika inovasi diartikan sebagai sesuatu yang baru di satu tempat namun sudah ada di tempat lain, maka mengadopsi model survey di Toyota Astra 2000 berupa tiga koin bergambar wajah cemberut (tidak puas), datar (puas), dan tersenyum (sangat puas), dapat disebut sebagai sebuah inovasi. Atau, jika selama ini filing cabinet di kantor kita sulit dipindahkan karena terlalu berat, cobalah berinovasi dengan memberi roda di keempat sudutnya. Ini akan memberikan kemudahan saat terjadi mutasi pegawai. Biarkan seorang pegawai pindah ruangan beserta berkas-berkas dalam filing cabinet “pribadinya”, tidak perlu bongkar pasang berkas yang membuang waktu, tenaga, dan peluang untuk berkinerja. Seorang inovator ulung sekaliber Ignasius Jonan (Dirut PT KAI) sekalipun mengakui bahwa beberapa inovasi di perusahaannya dilakukan dengan mengadopsi praktek terbaik di perusahaan lainnya. Sebagai contoh, sistem pemesanan tiket melalui agen host-to-host diadopsi dari industri penerbangan, sedangkan metode pemesanan tiket drive thru diadopsi dari restoran cepat saji seperti Mc Donald atau KFC.

Selanjutnya, jika inovasi itu dimaknakan sebagai penyederhanaan dan/atau pengintegrasian tata laksana (business process), maka pengurangan waktu dan komponen biaya dalam sebuah perijinan, atau penggabungan dua ijin menjadi satu, adalah sebuah inovasi. SOP yang panjang dan birokratis kemudian diubah menjadi lebih simple dan sesuai kebutuhan pemakai (users friendly) sehingga mampu menawarkan keuntungan berupa meningkatnya kesadaran masyarakat atau dunia usaha untuk mengajukan perijinan, itupun adalah sebuah inovasi. Kemungkinan lain, jika selama ini pelayanan dibatasi jam kerja hanya sampai jam 16.00 wib, namun batasan waktu menjadi hilang karena penggunaan Kotak Pos untuk menampung berkas pengajuan ijin, hal ini juga dapat disebut sebagai sebuah inovasi.

Itu hanya beberapa contoh bahwa inovasi itu mudah. Mudah, karena ruang berinovasi itu tiada berbatas. Mulai dari dimensi kelembagaan, kepegawaian, manajemen operasional (penganggaran, perencanaan, pengawasan), hingga soal logistik dan seterusnya, semuanya adalah dimensi organisasi yang selalu menyisakan ruang kosong  untuk inovasi. Selain itu, mudahnya melakukan inovasi juga dikarenakan tidak adanya keharusan menemukan sesuatu yang baru sama sekali, namun bisa dengan cara mengadopsi atau mereplikasi inovasi yang telah ada di tempat lain. Artinya, inovasi itu cukup dilakukan dengan rumus ATM (amati, tiru, modifikasi) atau dalam istilah bahasa Jawa adalah 3N, yakni niteni, nirokke, nambahi. Tidak ada tuntutan penemuan (invensi, nemokke) disana. Kemudahan inovasi juga didorong oleh fakta bahwa tidak semua inovasi membutuhkan dana besar. Penataan ruang tunggu yang dikemas seperti pusat informasi karena dilengkapi dengan poster, video, mesin informasi touch screen, atau jaringan wi-fi, adalah salah satu inovasi tanpa harus mengalokasikan banyak dana.

Dalam perspektif kedepan, diyakini bahwa berinovasi itu semakin mudah. Selain adanya kerangka regulasi yang semakin berpihak kepada inovasi, sebagaimana halnya konsep RUU Pemerintahan Daerah, juga program-program Kementerian/Lembaga yang semakin mempromosikan inovasi, misalnya Kementerian Dalam Negeri dengan IGA (Innovative Government Award), Kementerian PAN dan RB dengan OIOI (One Institution One Innovation), atau UKP4 dengan kompetisi “Inovasi Solusi”nya. Belum lagi LSM seperti JPIP, Yappika, atau KPPOD, serta berbagai lembaga donor yang begitu semangat membantu sektor pemerintahan di Indonesia untuk semakin inovatif dan berdaya saing tinggi. Tidak sampai disitu, LAN juga sedang mengembangkan “masterplan” dan e-directory Inovasi untuk memudahkan siapapun mencari inspirasi dari kisah sukses berbagai instansi atau daerah dalam mengelola inovasi. LAN juga akan terus mengembangkan model training inovasi beserta modul-modul atau pedoman pelengkapnya. Itu semua memberikan peluang bagi seluruh lini pemerintahan untuk berlomba mencapai kinerja organisasi yang terbaik melalui inovasi.

Untuk itu, yang paling dibutuhkan adalah keberanian untuk mencoba sesuatu yang berbeda, atau sesuatu yang unik dan tidak biasa. Di dalam sesuatu yang berbeda atau tidak biasa tadi, tentulah terkandung unsur kebaruan (novelty). Iklim belajar dan budaya kompetisi juga perlu semakin diperkuat untuk melahirkan pemikiran-pemikiran cerdas dan kreatif dari seluruh anggota organisasi tanpa kecuali. Tentu, dukungan anggaran dan teknologi akan memberi pengaruh yang semakin kuat untuk keberhasilan inovasi. Namun komitmen dan teamwork yang solid antar seluruh pihak tetaplah menjadi prasyarat utama. Tanpa adanya kedua faktor ini, semudah apapun inovasi yang dikembangkan, akan tetap terasa sulit. Sebaliknya, segalanya akan terasa mudah jika dilandasi oleh komitmen dan teamwork yang solid dalam organisasi.


Jakarta, 18 Juni 2014

“Kampanye” Dalam Pemilu Presiden

Dalam Pemilu Presiden 2014 ini, awalnya saya memiliki pilihan yang sudah pasti. Banyak alasan mengapa saya tidak lagi ada keraguan untuk mendukung salah satu kandidat. Namun belakangan ini saya mengubah sikap untuk “berdiri di tengah”, meskipun saya akan tetap menggunakan hak pilih pada saat hari “H” nanti.

Dengan sikap “baru” saya tadi, saya mencoba untuk melakukan “kampanye” yang saya sebut sebagai kampanye untuk “politik yang sehat dan pintar” (smart campaign for healthy and smart politics). Istilah ini saya rumuskan karena saya mengamati dari berbagai diskusi di media massa, sosial media, maupun berbagai forum, ada kecenderungan penyebaran virus kebencian dan kebohongan dari pihak-pihak tertentu. Mereka mem-posting beragam berita, pendapat, interpretasi, bahkan fakta yang sangat subyektif dan tidak proporsional, serta cenderung menjadi fitnah dan black campaign. Meski hanya bersifat sementara, namun saya melihat fenomena ini berpotensi menumbuhkan distrust atau sikap saling tidak percaya, serta ungroup atau renggangnya hubungan antar kelompok sosial dalam masyarakat. Dalam skala kecil mungkin hal ini bisa ditolerir, namun jika tidak dikelola dengan conflict management yang baik, maka akan bisa menjadi menimbulkan efek bola api yang semakin luas.

Itulah sebabnya, saya memutuskan untuk bergeser ke wilayah “tengah” dengan melempar berbagai postings atau status yang berhaluan “tengah”. Tujuan saya adalah membangun collective awareness, collective solidarity, collective vision, sekaligus collective action, bahwa beragam perbedaan bangsa Indonesia (termasuk perbedaan pilihan calon presiden), akan tetap disatukan oleh kesamaan visi, nasib, tujuan, dan cita-cita mewujudkan bangsa yang bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.

Dengan semangat inilah, saya menulis berbagai status guna mengurangi friksi antar individu dan antar kelompok, sekaligus menguatkan ikatan sosial diantara sesama anak bangsa. Adapun status yang saya unggah melalui media Facebook tersebut adalah sebagai berikut:

1.   Memilih calon presiden itu banyak alasannya: 1) karena taqlid dengan seorang tokoh tertentu, pokoke pasrah bongkokan, pejah gesang ndherek panjenengan; 2) karena kesesuaian visi dan program yang ditawarkan kandidat dengan harapan pemilihnya; 3) karena relasi dan ikatan sosial (teman, kerabat, tetangga, asal daerah yang sama, dll); 4) karena taat aturan dan sudah terlanjur mendapat undangan untuk mencoblos meski gak tahu siapa yang akan dipilih dan untuk apa memilih; 5) karena faktor pengaruh tertentu (money politics, iming-iming mendapat jabatan, harapan dapat proyek, dll); dan alasan-alasan lainnya (silakan ditambahkan sendiri).
Apapun alasan anda semua, tetaplah memilih. Tidak masalah pilihan anda menang atau kalah. Apapun hasilnya adalah pilihan rakyat yang harus dihormati. Rakyatlah yang akan menentukan siapa pemimpin terbaik diantara mereka. Maka, jika anda dan kita semua merasa menjadi rakyat, inilah saatnya anda menjadi penentu arah kemana bangsa ini akan dibawa .... 

2.     Media terbelah, Kiai terbelah, Jenderal terbelah, LSM terbelah, Birokrat terbelah, Mahasiswa terbelah, Tetangga terbelah, bahkan Keluarga juga terbelah. Semua hanya karena fanatisme sempit No. 1 dan No 2. Ayo ah kita melihat hal yang lebih besar dari sekedar 1 atau 2, yaitu: kepentingan bersama, tujuan bersama, kehidupan bersama, kemanfaatan bersama, kesejahteraan bersama ... 
Selamat menentukan pilihan tanpa prasangka, serta cerca dan cela yang tanpa etika. Ayo kita bangun budaya politik yang sehat dan kokoh untuk membuktikan bahwa konsolidasi demokrasi di Indonesia sudah berhasil !!

3.  Tidak ada 1 kalau tidak ada 2, dan tidak ada 2 kalau tidak ada 1. Sama seperti siang dan malam, keduanya selalu berdampingan, bergantian, berhubungan, dan berpelukan. 
No 1 dan No 2 memang berbeda, namun keduanya sama-sama bertemu dalam cawan yang sama bernama Indonesia yang toleran, beradab, dan indah. Sama juga seperti asam dan garam, meski datang dari tempat yang berjauhan namun ketemu dalam cawan yang sama yang menjadikan rasa enak, gurih, dan lezat.
So, jangan pertentangkan 1 dengan 2. Biarkan keduanya bergerak dinamis dalam suasana harmonis. Ayo kita buat keduanya menggelorakan spirit silih asah, silih asih, dan silih asuh, seperti siang dan malam, atau seperti asam dan garam.

4.   Obama dari negeri Paman Sam memberi contoh yang baik untuk kedua kandidat capres kita dengan mengatakan "yesterday's competitor is today's collaborator", sehingga beliau mengangkat Hillary Clinton sebagai Menteri LN. Saya sedang berandai-andai, andai saja prinsip itu juga bisa berlaku di negeri ini nantinya ...
Ya, kompetisi selalu bersifat musiman, sedang kolaborasi itu abadi. Semoga prinsip ini tidak dibolak-balik oleh para pendukung kedua kubu yang nampaknya semakin kehilangan akal sehatnya, hehe ... 

5.      Saya yakin, Gerindra itu memperjuangkan demokrasi Indonesia. Sayapun yakin, PDIP itu punya gerakan mewujudkan Indonesia Raya. 1 dan 2 itu, atau Gerindra dan PDIP itu ibarat satu keping mata uang dengan dua sisi yang berbeda. Mau dibolak-balik berapa kalipun, nilai mata uang itu tetaplah sama. Jadi, yang suka bagian gambar, lanjutkan; dan yang suka bagian angka, teruskan saja. Yang 1 itu sesungguhnya 2, dan yang 2 itu hakekatnya 1. Siapapun yang nantinya dipilih lebih banyak, pasti akan menjadi mitra bagi yang dipilih lebih sedikit dalam sistem pemerintahan yang partisipatif dan kolaboratif. Jadi, untuk apa kita pertentangkan apalagi permusuhkan keduanya? Ayo kita simpan energi untuk masa depan negeri, jangan hanya berpikir untuk hari ini.

6.  Sekedar mengingatkan bagi yang lupa, beberapa butir pengamalan Pancasila, khususnya dari Sila Kemanusiaan itu meliputi: 1) saling mencintai sesama manusia; 2) mengembangkan sikap tenggang rasa, dan 3) tidak semena-mena terhadap orang lain.
Nah, saat menulis status, membuat komentar, memforward berita, dll, sudahkah anda memperhatikan semangat tsb? Jika belum, boleh jadi anda harus mengikuti lagi Penataran P4 Pola 100 jam, hehe ...

7.    Mencintai Indonesia itu tanpa syarat, tidak boleh terdistorsi oleh kecintaan terhadap partai politik tertentu, terhadap tokoh tertentu, terhadap golongan tertentu, terhadap suku tertentu, terhadap aliran tertentu, dst. Mencintai Indonesia itu tidak boleh luntur hanya karena diantara kita beda status sosial, beda tingkat pendidikan, beda latar belakang budaya, atau beda pilihan calon presiden. Mencintai Indonesia itu apa adanya ... Ayo, buktikan kecintaanmu pada negerimu Indonesia !!

8.      Bagi saya, program-program yang ditawarkan oleh Prabowo dan Jokowi itu tidak perlu dilihat sebagai dikotomi. Kedua tokoh itu juga tidak sedang memainkan strategi “zero-sum game” atau “negative-sum game”. Visi mereka berdua itu bukanlah thesis dan antithesis, melainkan diskursus yang bermutu untuk dijadikan sebagai konsensus nasional. Bagi saya, materi kampanye dan debat yang diusung keduanya akan saling menghasilkan energi bagi kedua belah pihak, karena yang satu akan belajar dari yang lain. Jadi, debat Capres itu adalah strategi “positive-sum game” dalam membangun sistem politik yang cerdas. Sungguh aneh jika kemudian para supporter dan simpatisan kedua kubu menjadikannya kesempatan untuk saling ejek dan saling ledek, saling pojok dan saling olok, saling pancing dan saling banting, dan seterusnya.

9.      Nasionalisme itu adalah tidak marah atau terusik ketika sahabat kita berbeda pendapat. Nasionalisme itu adalah tidak kehilangan kepercayaan sesama teman meski beda aliran. Nasionalisme itu adalah menjaga harmoni dan toleransi sekalipun saudara kita berada di seberang sana. Nasionalisme itu adalah terus optimis dan berharap yang terbaik untuk bangsa & negara. Nasionalisme itu adalah terus bekerja keras dan menjaga konsistensi di jalur masing-masing.
Politik yang sehat membutuhkan nasionalisme yang sehat pula, dan pemilu yang cerdas membutuhkan nasionalisme yang cerdas pula. Ayo kawan-kawan, kita tunjukkan bahwa kita semua memiliki semangat nasionalisme yang sehat dan cerdas itu !!

Sampai dengan artikel ini saya tulis, akan sangat boleh jadi jumlah postings / status saya akan semakin bertambah. Bagi saya, ini adalah kontribusi saya untuk negeri yang telah rela menjadi tempat kelahiran saya, dan tempat kelak saya akan kembali. Meski mungkin tidak berarti, paling tidak saya telah mencoba sesuatu. Sebab, kecintaan saja (kepada bangsa, keluarga, lembaga, dan sebagainya) tidaklah cukup. Kecintaan terhadap sesuatu haruslah dibuktikan dengan sesuatu yang nyata, sekecil apapun itu.


Jakarta, 17 Juni 2014

Kamis, 12 Juni 2014

Tentang Jokowi

Bicara tentang Jokowi pada masa-masa menjelang Pemilu Presiden seperti saat ini, sungguh dilematis bagi seorang PNS seperti saya yang dituntut untuk netral. Meskipun secara politik netral dan tidak menunjukkan dukungan secara tersamar sekalipun, tetap saja bicara tentang dia dengan seabreg prestasinya akan dianggap sebagai bagian dari “kampanye”.

Dulu, sewaktu masih menjadi Walikota Solo, Jokowi begitu dielu-elukan dengan segudang keberhasilannya menyulap Solo menjadi kota yang inovatif dan humanis. Persoalan pedagang kaki lima (PKL) yang kumuh atau tata kota yang semerawut, bisa diselesaikan dengan cara-cara yang tidak terpikirkan oleh banyak pimpinan daerah. Tidak aneh jika kemudian beliau diundang ceramah kemana-mana, dan Solo dikunjungi oleh ribuan orang dan ratusan instansi hanya untuk bisa melihat bagaimana transformasi kota ini bisa terjadi dengan begitu baik. Jokowi-pun menjadi idola media (media darling) dan kekasih publik (public darling). Itulah sebabnya, ketika dicalonkan sebagai Gubernur DKI, meskipun dikeroyok oleh partai-partai lain, namun dengan modalnya sebagai idola tadi Jokowi dapat meluluhlantakkan semua prediksi, poling dan survey, untuk keluar sebagai pemenang Pilgub DKI dengan angka yang telak. Jokowi seolah menjawab kerinduan masyarakat akan datangnya pemimpin yang mampu menyelesaikan banyak masalah kronis dan klasik di tengah masyarakat. Pendeknya, Jokowi adalah sebuah fenomena tentang satria piningit dan juru selamat.

Namun dalam sistem politik kontemporer dewasa ini, “juru selamat” sekalipun akan mendapat perlawanan dari para kompetitornya. Pada saat Jokowi mulai maju sebagai kandidat gubernur, Amien Rais mulai “berani” mengkritik Jokowi yang dianggap tidak berhasil memimpin Solo karena masih banyak penduduk miskin dan berbagai alasan lainnya, suatu hal yang tidak pernah dilakukannya saat Jokowi masih berstatus sebagai Walikota Solo. Jokowi juga dianggap bohong dan ingkar janji untuk menyelesaikan tugasnya sebagai walikota hingga masa baktinya berakhir. Untunglah, semua keraguan itu dijawab Jokowi dengan kinerja. Saat menjadi Gubernur DKI, kiprah Jokowi semakin menjadi-jadi. Dengan senjata barunya bernama “blusukan”, media semakin gencar memuat berita atas aktivitas hariannya yang makin fenomenal. Tidak ada lagi suara-suara yang menyebutkan Jokowi bohong, karena dia berhasil memberi kemanfaatan yang jauh lebih luas untuk masyarakat kelas bawah yang semakin banyak. Tidak sampai 100 hari, Jokowi langsung meluncurkan Kartu Jakarta Sehat, terlepas dari kontroversi yang muncul. Pasar Tanah Abang beres ditata dengan apik, Waduk Ria-Rio dan Waduk Pluit disulap menjadi ruang terbuka hijau dan dikembalikan fungsinya menjadi wilayah serapan guna menahan banjir. Konsep kampung deret diperkenalkan untuk mengatasi permasalahan permukiman kumuh, sementara sistem rekrutmen pejabat dibuat terbuka dan kompetitif. Pendeknya, rentetan gebrakan yang dilakukan menjadikannya semakin menjadi fenomena. Itulah sebabnya, ketika mekanisme kepemimpinan nasional bergulir, banyak pihak berharap Jokowi akan naik mimbar sebagai kandidat presiden pengganti SBY. Ditambah lagi dengan stok pemimpin lama yang sudah uzur dan terbukti tidak membawa perubahan signifikan terhadap nasib bangsa, Jokowi tampil sebagai sosok dengan elektabilitas tertinggi dalam seluruh survey yang dilakukan kapanpun dan oleh lembaga survey manapun.

Nah, dengan terpilihnya Jokowi sebagai kandidat Presiden saat ini, sentimen anti Jokowi semakin merebak. Peribahasa yang mengatakan “semakin tinggi pohon akan semakin kencang anginnya”, benar-benar terjadi pada diri Jokowi. Blusukan yang semula diberi label sangat indah, tiba-tiba dianggap hanya sekedar upaya pencitraan yang bisa digantikan dengan pemanfaatan teknologi informasi. Tanpa bermaksud “membela” Jokowi (karena memang dia tidak butuh pembelaan dari saya dan sayapun tidak mendapat keuntungan apapun dari Jokowi), bagi saya blusukan itu akan selalu relevan sampai kapanpun. Aksi Sayidina Umar dan raja-raja terdahulu yang melakukan penyamaran untuk mengetahui secara langsung masalah rakyat, pada hakekatnya adalah aksi blusukan. Blusukan ini adalah media yang memungkinkan terjadinya hubungan interpersonal antara pemimpin dengan warganya, sehingga tidak boleh digantikan dengan teknologi secanggih apapun. Selain itu, masyarakat secara teknologi belum memiliki kemajuan yang sama, sehingga gejala digital divide akan selalu mengemuka. Dalam kondisi seperti itu, teknologi jelas tidak dapat menggantikan peran dan kehadiran seorang pemimpin.

Selain penolakan terhadap aksi blusukan, Jokowi juga dicitrakan sebagai capres boneka. Mungkin ada benarnya kalau mengingat fakta bahwa selama ini capres selalu berasal dari ketua umum partai atau ketua dewan pertimbangan partai, sementara Jokowi tidak memiliki darah biru politik sama sekali, melainkan benar-benar berasal dari rakyat. Bagi saya, kemampuannya menyeruak diantara para petinggi dan elit partai, dan akhirnya terpilih sebagai kandidat capres, justru menunjukkan kehebatan seorang Jokowi, sekaligus kehebatan partai pengusung yang rela tidak menonjolkan elitnya. Ini adalah budaya politik baru yang saya yakin akan lebih berkembang pada proses pemilihan presiden di masa mendatang. Secara teori, partai memang bertugas sebagai mesin rekrutmen politik untuk melahirkan negarawan berbobot, namun tidak ada kewajiban hanya petinggi partailah yang diusung sebagai kandidat negarawan tadi.

Terlepas dari itu semua, saya melihat Jokowi memiliki kemampuan yang luar biasa sebagai kolaborator dalam menangani masalah sosial atau masalah perkotaan. Sejak di Solo hingga di Jakarta, beliau telah membuktikan dalam banyak kasus, sebut saja salah satunya adalah penataan Pasar Tanah Abang dan penataan Waduk Pluit. Jokowi dalam pandangan saya juga seorang inovator ulung yang selalu menawarkan kebaruan dalam kebijakan yang digulirkan. Sebut saja misalnya saat di Solo dia memperkenalkan Kartu Solo Sehat dan Solo Pintar. Konsep ini langsung diterapkan di Jakarta menjadi Kartu Jakarta Pintar dan Jakarta Sehat. Dan jika terpilih menjadi presiden, diapun sudah berancang-ancang untuk memberlakukan Kartu Indonesia Sehat dan Indonesia Pintar. Teknik adopsi best practice ini adalah salah satu teknik dalam mendorong inovasi. 

Jika saya menulis tentang Jokowi ini, sama sekali bukan bagian dari kampanye. Namun saya sadar bahwa orang bisa saja memiliki pendapat berbeda sekuat apapun saya meyakinkan bahwa itu tidak benar. Tadinya=pun saya tidak tertarik untuk menulis tentang hal ini, terlebih dalam situasi seperti saat ini. Namun akhirnya saya tulis juga sebagai bentuk “curhat” saya karena kasus-kasus yang menyangkut Jokowi (bahkan juga Rismaharini, walikota Surabaya) untuk sementara harus saya tangguhkan untuk tidak saya sampaikan dalam berbagai kesempatan mengajar atau ceramah. Sebab, meski materi ceramah saya arahkan pada substansi, dan saya jamin tidak ada pretensi dukungan terhadap salah satu capres, namun ada saja yang berprasangka bahwa saya membawa pesan terselubung dibalik ceramah saya. Saya sudah jelaskan bahwa jika saya ceramah terkait pembangunan ekonomi, maka saya pasti akan membawa MP3EI yang karya pak Hatta Rajasa selaku Menko Perekonomian. Dan kalau itu yang terjadi, bukan berarti pula bahwa saya mendukung kandidat presiden dan wapres nomor 1. Masalahnya adalah saya bicara tentang inovasi sektor publik dan kepemimpinan kolaboratif, maka Jokowi (termasuk Risma) adalah kasus yang sangat tepat menurut saya. Memang masih ada pemimpin daerah yang inovatif dan kolaboratif, namun karena miskinya publikasi menjadikan aksi positif mereka tidak terpotret dengan maksimal, sementara bicara kasus ini harus ada bukti-bukti yang bisa dipertanggungjawabkan (evidence-based). Pertanyaannya, apakah memang selama masa pemilu seperti ini kita dilarang (secara etika) bicara tentang program seorang kandidat dalam jabatan lamnaya, dan bukan bicara soal pribadinya? Jika ya, bagi saya itu adalah kesempatan yang hilang untuk belajar sesuatu yang baik, namun menjadi buruk karena melekat status politik dari pelakunya sebagai kandidat presiden. Dan ini menunjukkan bahwa kita belum dewasa dalam berpolitik, dan lebih mengedepankan emosi dari pada logika dan rasionalitas.

Semoga bangsa Indonesia akan semakin dewasa secara politik dan kultural, bisa memisahkan mana yang baik dan tidak, bisa memilah mana yang tulus dan mana yang mengandung pamrih. Semoga momentum Pemilu Presiden 2014 akan memperkuat persatuan dan kesatuan antar elemen bangsa, dan bukan sebaliknya.


Jakarta, 12 Juni 2014.

Minggu, 08 Juni 2014

Government Shutdown dan Urgensi Reformasi Sektor Keuangan



Catatan saya kali ini masih terkait dengan Inpres No. 4/2014 tentang Penghematan dan Pemotongan Belanja K/L Dalam Rangka Pelaksanaan APBN 2014. Keinginan Presiden untuk melakukan efisiensi sebesar Rp 100 trilyun dengan memangkas anggaran K/L, dirasakan selaksa killing punch-nya Mike Tyson yang membuat K/L pingsan atau mati suri. Pemotongan anggaran itu secara langsung menghentikan pembicaraan tentang program-program prioritas nasional atau prioritas bidang. Jangankan untuk membiayai kegiatan strategis, pemeliharaan gedung dan kebersihan-pun terancam berhenti. Aparat pemerintah terancam “menganggur” karena tidak dapat menjalankan aktivitas yang telah direncanakan.

Jika mau jujur, maka hakekatnya pemerintah sedang mengalami hibernasi atau government shutdown. Kebijakan penghematan yang super ketat ini harus dibayar mahal dengan merosotnya produktivitas lembaga secara drastis, bahkan banyak program yang berhenti sama sekali. Negara nampak sekali sudah berada pada kondisi gawat darurat, yang secara de facto bisa dikatakan sudah bangkrut. Jika dianalisis dengan teknik SWOT, situasi seperti ini nampaknya masuk dalam kuadran ke-4 dimana organisasi menghadapi ancaman dari luar dan pada saat yang bersamaan memiliki kelemahan internal yang sangat besat, sehingga strategi yang bisa diambil hanyalah bertahan agar masalah yang dihadapi tidak semakin parah. Dan memang, Inpres No. 4/2014 tidak memiliki spirit untuk mengembangkan strategi ofensif yang berorientasi pertumbuhan atau bahkan juga strategi diversifikasi. Fakta seperti ini tentu saja menjadi legacy yang tidak diharapkan dari Kabinet Indoensia Bersatu II di ujung masa baktinya, karena tidak mengakhiri tugas dalam kondisi yang baik (husnul khatimah).

Meskipun “krisis” keuangan dapat dirasakan secara nyata (tanpa harus dinyatakan), sungguh disayangkan bahwa pemerintah seperti tidak memiliki contingency plan selain memangkas anggaran K/L secara besar-besaran. Jika faktor yang menyebabkan beban APBN meledak adalah subsidi BBM yang membengkak, pemerintah tidak berani mengambil resiko dengan menaikkan harga BBM, padahal itu adalah kebijakan yang paling rasional, meskipun memang tidak populis. Pemerintah juga seperti gagal mendongkrak kinerja sektor riil dan UMKM maupun sektor non-migas lainnya sebagai andalan sumber penerimaan negara. Neraca perdagangan Indonesia dengan berbagai negara semakin timpang dengan defisit di pihak Indonesia dan surplus di negara lain. Bahkan dengan Vietnam-pun neraca perdagangan kita semakin tidak seimbang. Pemerintah ternyata lebih memilih memangkas anggaran sendiri ketimbang mencari opsi kebijakan yang lebih tepat. Dengan memotong anggaran sendiri, maka sindrom “penyakit perut diobati dengan obat sakit kepala” menjadi tidak terelakkan.

Disayangkan pula bahwa dalam menghadapi krisis besar saat ini pemerintah tidak belajar dari pemerintah AS yang belum lama ini mengalami government shutdown. Pada waktu itu, pemerintah AS mengambil kebijakan yang sangat tidak populis dengan merumahkan ribuan PNS dan menutup instansi-instansi tertentu yang memang tidak produktif. Sementara di Indonesia, sangat tidak jelas apa skenario jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang untuk memastikan krisis seperti ini tidak lagi terjadi di kemudian hari.

Itulah sebabnya, saya mencoba melempar ide tentang reformasi sektor keuangan yang harus dilaksanakan dengan sangat segera. Bagi saya, pengalaman pahit dalam penyelenggaraan pemerintahan kali ini – untuk tidak menyebut kegagalan pemerintah – adalah momentum yang sangat baik untuk melakukan reformasi total sistem keuangan/penganggaran kita selama ini. Sebagai orang yang tidak berasal dari disiplin ekonomi dan keuangan, sangat mungkin ide saya dinilai tidak layak oleh mereka yang berlatar pendidikan ekonomi atau bekerja di sektor keuangan. Tidak ada masalah bagi saya. Namun sebagai praktisi yang turut menggunakan dan sedikit mengetahui seluk beluk perencanaan hingga pemanfaatan anggaran publik, saya memiliki pengalaman yang mengantarkan pada kesimpulan bahwa sistem keuangan dan/atau penganggaran kita saat ini memang amat sangat buruk yang terbukti telah melahirkan krisis besar saat ini. Pendapat saya ini tidak berbasis pada teori ekonomi apapun, namun lebih pada refleksi berbasis hal-hal yang saya temui dalam tugas-tugas saya selaku PNS yang menduduki jabatan struktural.

Pertama, saya sangat tidak setuju sejak awal tentang sistem at cost, dimana PNS dalam perjalanan dinas dibiayai sesuai biaya riil yang dibayarkan, sepanjang tidak melampaui batas yang ditetapkan. Sebagai contoh, seseorang boleh membeli tiket Garuda atau Lion yang promo, atau bahkan boleh pula bepergian dengan kereta api atau bis kota. Pemerintah hanya mengganti sesuai bukti tiket. Tentu saja, tidak ada pegawai yang ingin melakukan penghematan dengan memberi tiket Lion yang promo, apalagi kereta api. Contoh lain, untuk pejabat setingkat Eselon II dapat menginap di hotel berbintang dengan tarif berkisar Rp 1 juta. Jika dia memilih tidur di losmen yang tarifnya hanya Rp. 200 ribu, maka hanya itulah yang dibiayai oleh negara. Tentu saja, semua pejabat cenderung mengambil kelas kamar yang maksimal sesuai standar, dan tidak ada kesadaran untuk menghemat. Singkatnya, kebijakan at cost itu adalah model pemborosan yang dibalut oleh dalih efisiensi. Oleh karena itu, sistem ini harus dibuang jauh-jauh dan diciptakan model incentive dan disincentive dalam penggunaan dana perjalanan dinas. Instansi dan pejabat yang bisa melakukan penghematan anggaran perjalanan dinas mereka, mestinya mendapat penghargaan. Penghargaan ini tidak perlu berupa uang, namun bisa berupa plakat seagai pegawai berintegritas, atau pengumuman secara resmi dalam website instansi pemerintah, atau diundang dalam forum tertentu di kantor kepresidenan, dan seterusnya.

Terkait dengan upaya penghematan sebagaimana dikemukakan diatas, maka reformasi kedua yang bisa dilakukan adalah dengan mengubah sistem zero budget yang diterapkan selama ini. Dengan sistem zero budget ini, pemerintah selalu “harus” menghabiskan anggaran setiap akhir tahun. Ketidakmampuan menyerap anggaran dianggap sebagai kinerja yang rendah dan diancam dengan pengurangan anggaran pada tahun berikutnya. Sebenarnya ini tidak terlalu salah, mengingat kebutuhan program dan anggaran sudah harus direncanakan secara matang, sehingga logikanya tidak akan terjadi sisa anggaran. Namun faktanya, dalam pelaksanaan anggaran dan kegiatan ada beberapa hal yang bisa diefisienkan, misalnya mengurangi jumlah pegawai dalam perjalanan dinas, atau mengurangi hari dan lokus kunjungan, mengganti pesawat dengan maskapai yang menyediakan tiket murah, menginap di hotel standar atau di rumah saudara/teman, mengurangi jumlah nara sumber, menjalankan kegiatan sepenuhnya di kantor dan menghundari rapat-rapat di hotel, dan masih banyak lagi cara untuk menempuh efisiensi tanpa harus mengganggu output dari kegiatan.

Maka, mindset efisiensi itu harus melekat pada setiap pegawai/pejabat, baik yang menggunakan uang maupun yang merencanakan (Bappenas), mengalokasikan (Kementerian Keuangan), membahas (Komisi dan Badan Anggaran DPR), maupun yang memeriksa (BPK). Dengan mindset efisiensi tadi, maka besaran sisa anggaran (SILPA) di sebuah instansi justru akan menjadi indikator kemampuannya melakukan efisiensi anggaran. Dalam kaitan ini, maka akan lebih baik jika SILPA tadi dikembalikan kepada instansi yang bersangkutan untuk dapat dimanfaatkan dalam perencanaan anggaran tahun berikutnya. Ini akan menimbulkan motivasi besar untuk self-assessment bahkan self-blocking terhadap mata-mata anggaran yang tidak prioritas, untuk dialihkan dalam program yang lebih mendesak, atau untuk membiayai investasi fisik maupun personil. Sistem ini sudah lama berlaku untuk kalangan pemerintah daerah, sehingga tidak ada salahnya untuk diadopsi dalam sistem anggaran K/L.

Alternatif ketiga untuk mereformasi sektor keuangan adalah dengan mengubah pola perencanaan yang selalu berbasis baseline anggaran tahun sebelumnya untuk menetapkan pagu anggaran tahun berjalan atau tahun yang akan datang. Dengan sistem ini, setiap instansi mendapat tambahan anggaran dengan persentase yang relatif sama, misalnya antara 10-15 persen setiap tahunnya. Celakanya, penambahan anggaran itu tidak didasarkan pada analisis kebutuhan pembiayaan program, tidak didukung oleh skala prioritas yang bisa dibandingkan antar instansi, dan tidak ada sistem kompetisi yang sehat untuk mendapatkan anggaran. Akibatnya, instansi yang telah terlanjur memiliki anggaran sangat besar, akan mendapat tambahan yang besar pula, sementara instansi yang anggarannya kecil, penambahannyapun kecil. Sebagai contoh, sehebat apapun LAN berkontribusi dalam membangun kompetensi pegawai, dan sestrategis apapun program diklat kepemimpinan perubahan, tetap saja tidak memungkinkan mendapat tambahan anggaran yang signifikan. Fenomena ini menagaskan bahwa sistem anggaran berbasis kinerja (performance based budgeting) sesungguhnya belum berjalan di negeri ini. Padahal, secara teori telah lama kita kenal konsep competitive government, dimana sebuah instansi untuk bisa memperoleh anggaran harus berlomba untuk meyakinkan bahwa proposalnya memiliki nilai dan urgensi sangat tinggi untuk pembangunan dan perbaikan bangsa. Dari mekanisme kompetisi itulah kemudian ditetapkan mana program yang menjadi prioritas dan mana yang hanya sekedar rutinitas belaka.

Reformasi keempat yang saya pikirkan adalah perlunya keseimbangan antara cost-center dengan revenue center. Selama ini instansi pemerintah adalah cost center yang hanya bisa menghabiskan anggaran tanpa kemampuan entreprenership dan berpikir kreatif untuk mengurangi ketergantungannya terhadap anggaran negara. Akibatnya, begitu kebijakan seperti Inpres No. 4/2014 keluar, instansi banyak yang bingung dan kehilangan orientasi dalam pelayanan publik yang harus mereka jalankan. Padahal, sejak lama sudah banyak gagasan tentang perlunya pemerintah untuk berpikir seperti swasta. Sebagai contoh, awal 1990-an lahir buku karangan David Osborne dan Peter Plastrik berjudul Reinventing Government, yang sempat menjadi perbincangan banyak orang di Indonesia. Buku yang ditulis karena hasil poling yang menunjukkan bahwa “pemerintahan AS sudah mati” ini menawarkan nilai baru yang harus diadopsi oleh pemerintah, salah satunya adalah prinsip wirausaha yang harus lebih menghasilkan sesuatu dari apda membelanjakan (earning rather than spending). Prinsip ini dapat dilakukan, misalnya dengan menetapkan biaya yang harus dibayarkan pengguna atas dampak positif yang dihasilkan dari pelaksanaan fungsi pemerintah tertentu (impact fees); atau pendapatan atas investasi yang dilakukan sehingga dapat digunakan sebagai insentif seperti dana usaha (swadana). Sayangnya, ketika kita telah memiliki sistem pembiayaan organisasi melalui Inpres No. 38/1991 tentang Unit Swadana dan Tata Cara Pengelolaan Keuangan, justru aturan ini hilang setelah semangat pemerintahan wirausaha diperkenalkan.

Secara alamiah memang karakter pemerintah sangat berbeda dengan swasta, namun seiring dengan perkembangan jaman, batas-batas antara keduanya semakin menipis, sementara ruang irisan (interseksi) semakin membesar. Artinya, banyak fungsi pemerintah yang bisa diserahkan kepada swasta, sementara beberapa sistem dan budaya kerja swastapun perlu diadopsi oleh kalangan sektor publik. Dalam hubungan ini, dibutuhkan pemerintah dengan DNA baru, kecerdasan baru yang tidak sekedar mengedepankan prinsip rule driven namun mengabaikan mission driven, serta mindset baru yang menempatkan anggaran pemerintah bukan sebagai sumber daya yang harus dihabiskan melainkan untuk dikembangkan menjadi benefit yang semakin besar untuk seluruh rakyat Indonesia. Inilah lesson learned yang perlu dipikirkan agar bangsa ini tidak terjerumus di lubang yang sama di masa mendatang.

Makasar, 9 Juni 2014
*kamar 1017 hotel clarion, melanjutkan ide semalam yang tertunda karena laptop low-bat*