Rabu pagi, tanggal 1 Juli 2015,
sekretaris saya, mbak Suti melaporkan bahwa tanggal 3 Juli ada kegiatan FGD di
Pusat Inovasi Pelayanan Publik. Saya bertanya, apa yang dibahas, dan siapa yang
memberi tahu tentang kegiatan tersebut? Mbak Suti menjawab bahwa ini info dari
mbak Ria, yang memancing pertanyaan saya lebih lanjut, kok bukan bu Kania saja yang memberitahu saya tentang kegiatan itu,
kok malah mbak Ria melalui mbak Suti?
Saat itulah saya tersadar bahwa
sudah 3 hari terakhir saya tidak bertemu bu Kania, yang sering saya panggil teh
Nia. Teh Nia adalah kolega di kantor yang paling sering mendatangi saya. Beliau
bisa secara tiba-tiba nongol di depan
pintu ruangan saya yang memang tidak pernah saya tutup sepanjang saya berada di
kantor. Jedal-jedul ke ruangan saya menjadi
sesuatu yang sangat lazim beliau lakukan, untuk sekedar menginformasikan hasil
pekerjaan unitnya, atau untuk minta pendapat tentang sesuatu, bahkan untuk
memberi aneka macam nasihat untuk saya. Ya, kami merasa tidak ada sekat jabatan
sama sekali. Sebagai teman seangkatan dengan usia yang sedikit diatas saya,
saya memperlakukan beliau lebih sebagai kakak dibanding sebagai anak buah.
Maka, ketika 3 hari terakhir saya
tidak bertemu, tiba-tiba muncul rasa “kangen” dan rasa ingin tahu ada apa
dengan beliau. Saya berencana untuk mendatangi ke ruangannya, seperti yang
biasa lakukan juga kepada staf lain secara insidentil. Namun, betapa
terkejutnya saya ketika sekitar jam 3 sore ada permintaan segera untuk menghubungi
bu Sri Hadiati (bu Atik). Saya langsung menelpon bu Atik, dan beliaulah orang
pertama yang mengabarkan bahwa teh Nia sudah tidak ada. Saya bertanya, apa maksudnya?
Terus terang, saat itu saya tidak berani menafsirkan “tidak ada” sebagai
kematian. Namun, justru itulah yang dimaksudkan bu Atik.
Tentu saja, saya kaget luar biasa
dan merasa tidak percaya. Dalam pertemuan terakhir saya pada hari Jum’at
tanggal 28 Juni, tidak nampak sama sekali ada keluhan kesehatan yang beliau
rasakan. Sejujurnya, sebagai sesama penderita Hipertensi, saya mengamati
kesehatan beliau lebih prima dibanding saya. Jika saya masih teratur minum obat
penurun tensi setiap hari, frekuensi beliau sudah lebih jarang yakni 2 hari
sekali. Beliau bahkan memberi banyak saran kepada saya untuk mengkonsumsi herbal
seperti mentimun atau seledri. “Resep tradisional” beliau ini masih saya
praktikkan sampai sekarang.
Saya juga melihat bahwa teh Nia
adalah tipe orang yang periang, open-mind,
dan seperti tidak memiliki permasalahan apapun. Kesan saya, hidupnya begitu ringan
seakan tanpa beban, berjalan lempang seolah tanpa lika-liku. Tidak pernah
sekalipun saya melihat beliau bermuka masam atau muram, apalagi marah-marah. Meskipun
saya tahu ada hal-hal yang bisa membuatnya kurang bahagia dengan kondisi
pekerjaannya, beliau selalu menonjolkan sikap keibuan dan kewanitaannya yang
bisa menimbulkan kesejukan. Beliau-pun sangat tekun dengan tugasnya selaku
Kepala Pusat. Dalam berbagai keterbatasannya selaku ibu dari anak dengan
kebutuhan khusus, beliau mampu membagi waktu dengan sangat baik. Meskipun beberapa
kali beliau ijin dengan alasan mengurus anaknya, tidak sedikitpun saya merasa
kinerjanya berkurang. Komitmen terhadap amanah dan tanggung jawab jabatan, saya
nilai utuh dan bulat, tidak tercela sedikitpun.
Bagi Kedeputian Inovasi,
kepergian teh Nia adalah sebuah kehilangan dan kerugian besar. Direktori
Inovasi yang terbangun cukup baik selama ini adalah jasa utama dan peninggalan terpenting
beliau. Saya tahu benar bahwa beliau masih memendam mimpi dan rencana besar
untuk terus memperbaiki display maupun
content dari Direktori ini, sehingga
suatu ketika akan menjadi sumber paling kredibel penelusuran beragam inovasi sektor
publik di negeri ini. Sungguh kami berharap bahwa salah satu amal jariyah
beliau ini menjadi sumber pahala yang terus mengalir setiap kali anak negeri mendapatkan
manfaat dari Direktori ini. Dan sebagai bentuk sayang kami di Kedeputian
Inovasi kepada teh Nia, kami akan terus menjadikan spirit beliau untuk
membenahi dan menyempurnakan Direktori ini.
Bagi saya pribadi, mungkin tidak akan
ada lagi kawan yang jedal-jedul ke
ruangan saya sesering yang teh Nia lakukan. Kepergiannya telah membuka mata
saya betapa beliau selalu menawarkan keakraban dalam sebuah teamwork dan kehangatan dalam persahabatan.
Beliau adalah kohesi dalam sebuah organisasi yang membuat elemen-elemen di
dalamnya tetap terikat secara erat, sekaligus tetap cair dan mengalir.
Saya, dan kami semua para sahabat
teh Nia di kantor dan dimanapun, pasti akan sangat merindukan kehadirannya. Namun,
kerinduan itu akan kami wujudkan dalam bentuk doa, semoga beliau tenang dan
bahagia di alam keabadian. Kami begitu yakin bahwa Allah jauh lebih menyayangi teh
Nia dibanding kami semua. Kami bermunajat semoga Allah SWT memperlakukan teh Nia
sebagai hamba-Nya yang taat dan solihah, serta menganugerahinya husnul
khatimah. Selamat jalan teh Nia …
Veteran 10 lantai 5, Jum’at
mubarok, 3 Juli 2015.