Pepatah “jangan lihat sesuatu
dari kulitnya” mungkin ada benarnya. Namun bukan berarti bahwa melihat sesuatu
secara singkat, acak, sedikit, dan dari luarnya saja, adalah hal yang sia-sia.
Ketika membeli buah, pastilah yang kita amati adalah kulitnya dulu, apakah ada
yang cacat atau tidak. Meskipun tidak ada jaminan bahwa kulit yang bagus berarti
buah tersebut baik dan manis, paling tidak probabilitas untuk mendapatkab buah
yang berkualitas lebih besar dibanding tidak melakukan pengamatan sama sekali
terhadap kondisi kulit buah tersebut. Demikian pula, solusi paling cerdas
terhadap sebuah permasalahan selalu diawali dengan pengamatan atau pertanyaan
ringan terhadap fenomena surface
(diatas permukaan) terkait masalah tersebut. Sekali lagi saya meyakini bahwa proses
observasi terhadap sebuah obyek secara cepat dan acak dapat memberi manfaat
tertentu, sekecil apapun itu.
Nah,
pengamatan “sepele” seperti inilah yang ingin saya elaborasi lebih dalam
terhadap Shanghai, sebagai bentuk pembejalaran dalam rangka benchmarking Diklatpim I/33. Ada dua
kelompok fenomena yang saya amati, yakni fenomena positif yang sangat pantas
untuk diteladani dan diadopsi, serta fenomena negatif yang membutuhkan
terobosan agar tidak mengurangi citra kota ini di mata pendatang.
Cukup banyak hal
positif yang saya temukan di Shanghai, khususnya yang berhubungan dengan tata
kota dan pelayanan publik di perkotaan. Hal paling sederhana adalah
dibersihkannya tempat sampah dengan lap basah, sehingga terlihat tetap bersih
dan tidak jorok seperti layaknya tempat sampah di kota-kota besar di Indonesia.
Petugas kebersihan memang sebaiknya tidak direduksi menjadi penyapu jalan atau
pengumpul sampah semata, namun juga memelihara kebersihan fasilitas umum, baik
berupa tempat sampah, kursi taman, halte, telepon umum, taman bermain
anak-anak, dan sebagainya. Dengan menjaga kebersihannya, maka umur dari
fasilitas publik tadi akan jauh lebih lama sehingga dapat dicegah orientasi
untuk pengadaan fasilitas publik yang baru karena kondisinya yang jorok, bau,
karatan, dan cepat rusak. Meskipun yang dilakukan petugas kebersihan di
Shanghai tadi terkesan “menambah pekerjaan”, namun manfaat bagi pemerintah
justru lebih signifikan pada jangka panjang.
Masih terkait penataan
kota, keberadaan jembatan penyeberangan orang (JPO) saya lihat memegang peran
penting dalam layanan publik bagi warga kota. Di Shanghai, setiap JPO selalu
terlihat indah. Dilihat dari bawah maupun dilalui dari atas, JPO menawarkan
daya tarik tersendiri. Banyak pelancong yang menikmati landscape perkotaan atau sengaja berfoto-foto di JPO. Apa
rahasianya? Menurut pengamatan saya, tidak ada satupun JPO di Shanghai yang
dimanfaatkan untuk memasang iklan baliho dalam ukuran besar, kontras sekali
dengan situasi negeri kita. Kondisi JPO di Indonesia cukup memprihatinkan
karena kotor, gelap, banyak pengemis, bahkan sering terjadi kasus kriminalitas.
Hal itu bisa terjadi karena JPO tertutup oleh papan reklame disamping kanan
kirinya. Alih-alih ingin berpose diatas JPO kita, banyak orang menghindari
karena takut dengan hal-hal yang tidak diharapkan diatas JPO tersebut. Meskipun
demikian dapat dipahami mengapa banyak pemerintah daerah yang sengaja membangun
JPO. Selain untuk menekan kemacetan dan mengurangi risiko kecelakaan, JPO juga
dibuat dengan maksud sebagai sumber pendapatan daerah berupa pajak reklame.
Menggabungkan beberapa fungsi sekaligus
seperti ini sesungguhnya merupakan sebuah teknik berinovasi. Hanya saja,
mestinya dipikirkan agar hal-hal yang kurang baik dari adanya reklame tadi bisa
diminimalisir. Selain tanpa reklame, JPO di Shanghai juga banyak yang
dilengkapi dengan fasilitas toilet yang terjaga kebersihannya. Bagi saya
pribadi, hal ini sangat membantu. Ketika saya jogging di pagi hari dan tiba-tiba ingin buang air kecil, dengan
mudah saya menemukan toilet. Jika hal itu terjadi di lingkungan tempat tinggal
saya, mungkin saya akan mencari tempat dibalik pepohonan atau diujung bangunan
yang sepi untuk dapat menuntaskan hajat.
Layanan
perkotaan lain yang terkesan “biasa-biasa saja” namun faktanya tidak mampu
dilakukan oleh pemerintah kota di Indonesia adalah penyediaan sarana parkir
khusus sepeda. Kota-kota besar seperti Jakarta dan Bandung sudah memiliki
program untuk mendorong peralihan moda transportasi dari kendaraan bermotor ke
sepeda. Sayangnya, kebijakan itu tidak diimbangi dengan sarana parkir sepeda. Perlakuan
bagi pengguna sepeda dan sepedanya mestinya sebanding dengan perlakuan bagi
pengendara kendaraan bermotor. Tanpa pemihakan yang kuat terhadap transportasi
sepeda dan penggunanya, rasanya mustahil bangsa ini akan bisa mengubah
mentalitas berkendaranya. Dengan pembangunan MRT di Jakarta, saya tidak bisa
membayangkan jika pemerintah tidak juga menyediakan sarana parkir sepeda.
Selain parkir sepeda, di sepanjang trotoar di seluruh penjuru kota juga
tersedia telepon umum yang dilengkapi dengan sarana wi-fi. Kesan saya, meski jarang sekali terlihat ada warga yang
memanfaatkannya, namun tidak dijadikan alasan bagi pemerintah setempat untuk
menghapus layanan tersebut. Sementara di Indonesia, fasilitas telepon umum
sudah seperti barang langka yang sangat sulit sekali ditemukan. Benar bahwa era
teknologi informasi sudah sedemikian canggih sehingga hampir setiap orang telah
memiliki smart-phone yang dilengkapi
dengan akses internet. Namun faktanya, layanan wi-fi masih dicari-cari untuk alasan efisiensi. Betapa indahnya
jika di semua ruas jalan protokol Jakarta dan kota-kota di Indonesia sudah
terpasang fasilitas wi-fi gratis
untuk rakyat, bukankah itu akan menjadikan kota-kota itu sebagai cyber city yang mampu mempercepat proses
pencerdasan kehidupan berbangsa?
Hal
terunik diantara semua obyek yang saya amati adalah adanya polisi bersepeda.
Jika di militer ada korps infanteri (jalan kaki), artileri (lapis baja), atau kavaleri
(berkuda), maka korps
kepolisian-pun bisa memunculkan patroli bersepeda, disamping patroli mobil atau
sepeda bermotor yang telah ada selama ini. Penggunaannya tentu bukan untuk
mengejar penjahat atau pengawalan pejabat negara, melainkan lebih untuk
kepentingan sosialisasi door to door,
kampong to kampong, atau layanan kepolisian
lain dengan jangkauan wilayah yang tidak terlalu luas. Polisi bersepeda menurut
saya juga mengesankan lebih bersahabat dan lebih merakyat dibanding korps
bermotor. Saya yakin, secara teknis operasional polisi bersepeda juga akan
lebih mampu menjalin komunikasi interpersonal dengan warga sehingga dapat
terbangun kemanunggalan polisi dengan warga, dan pada gilirannya akan
meningkatkan citra polisi di mata masyarakat luas.
lssu minoritas
di China pada umumnya dan di Shanghai pada khususnya adalah topik menarik lain
yang sayang untuk dilewatkan. Beberapa waktu lalu, banyak berita memberitakan
langkah represif pemerintah China terhadap etnis Uighur dan komunitas muslim
Xin Jiang, bahkan sempat muncul kebijakan untuk membatasi aktivitas keagamaan.
Namun yang saya rasakan dan alami, umat minoritas muslim dapat melakukan ibadah
dengan tenang tanpa kekhawatiran kemungkinan munculnya intervensi dari aparat
keamanan. Pada saat kami melakukan shalat Jumat tanggal 13 Mei 2016 di Masjid
Xiao Tao Yuan, kesan kuatnya toleransi antara umat Islam dari beragam etnis
dengan lingkungan sekitarnya terjaga dengan sangat baik. Dalam bidang usaha dan
perdagangan, banyaknya rumah makan muslim atau halal food restaurant juga mengindikasikan dihormatinya hak-hak sipil
kaum minoritas. Iklim politik di Shanghai saya perhatikan semakin fleksibel.
Faham komunisme nampaknya hanya berlangsung di ruang-ruang formal pemerintahan,
sementara dalam kehidupan pribadi, pilihan untuk beragama atau tidak beragama
menjadi preferensi mutlak dari setiap warga negara.
Pada saat
kunjungan ke Distrik Jiading, salah satu distrik termaju diantara 17 distrik
lain di Shanghai, saya mendapat pembelajaran yang sangat mengesankan. Salah
satu visi dari pemerintah distrik Jiading adalah menjadi kota sejarah dan
budaya. Visi ini tidak berlebihan mengingat di Jiading inilah Dinasti Ming
bertahta ratusan tahun yang lalu. Untuk mendukung visi tersebut, terdapat satu
unit kerja yang khusus menangani soal manajemen kemasyarakatan (Community Management Office). Salah satu
programnya adalah “Ramah Tetangga”, dimana kantor ini menyelenggarakan
aktivitas yang bervariasi dan mengajak setiap penduduk disebuah permukiman
untuk keluar rumah dan terlibat pada aktivitas tersebut. Kantor ini juga
membentuk organisasi sosial yang beranggotakan penduduk yang bertetangga. Salah
satu program yang diinisiasi adalah crowd
funding (iuran secara gotong royong) untuk memperbaiki kondisi lingkungan
yang tidak berfungsi optimal, seperti taman, saluran air, dan sebagainya. Terkait
dengan program “Ramah Tetangga” ini, saya menyaksikan sendiri sebuah pertemuan
pagi hari saat antar orang tua yang menunggu bis sekolah dan mengantarkan anak
atau cucunya hingga bis berangkat. Kesempatan selama 15-20 menit itu
dimanfaatkan untuk saling bertemu, berbincang-bincang, dan menjalin silaturahmi
diantara mereka. Di sebuah kota super metropolitan seperti Shanghai yang sudah
cenderung individualistik, adanya gagasan “Ramah Tetangga” atau berkumpul
secara rutin sekedar untuk bersapa, menurut saya adalah sesuatu yang sangat
penting.
Disamping
layanan sosial kemasyarakat diatas, ada layanan khas lain yang kami terima.
Begitu rombongan duduk dan acara dimulai, masulah dua orang office girls yang menuangkan air digelas
yang telah tersedia sebelumnya. Tak lama kemudian, mereka membawakan handuk
panas selayaknya layanan yang biasa tersedia di penerbangan internasional. Memang
tidak seberapa dan boleh juga disebut sebagai hal “sepele”, karena hanya mereplikasi
atau mengadopsi dari praktek yang telah terjadi di organisasi/perusahaan lain. Namun,
adopsi sesungguhnya adalah salah satu teknik untuk berinovasi. Coba simak
bagaimana Motorola dulu belajar dari Domino’s Piza untuk mengurangi waktu
produksinya. Atau Hewlett Packard yang menciptakan
printer karena terinspirasi cara bekerja mesin pembuat kopi. Tengok juga
bagaimana PT. KAI mengimitasi Call
Center (Contact 121) dari industri perbankan, menerapkan sistem pemesanan
tiket melalui agen host-to-host dari industri penerbangan, dan teknik
pemesanan tiket drive thru dari restoran cepat saji. Maka, apa yang
dilakukan oleh Distrik Jiading bagi saya adalah sebuah pembaharuan dalam teknik
melayani tamu, dan itu adalah sebuah inovasi.
Diantara berbagai
sisi positif yang saya sebutkan diatas, ada sisi negatif yang sata temukan di
Shanghai. Saya menemukannya justru di pusat keramaian di Nanjing Road, sebuah
kawasan yang berdekatan dengan kawasan The Bund disisi Huang Po River. Ribuan turis
lokal dan asing tumpah di lokasi yang sangat modern dengan pencahayaan yang
menakjuban. Sayangnya, disinilah batuk saya kambuh seketika akibat bau rokok
yang teramat menyengat. Polusi udara sudah sangat buruk di Shanghai, ditambah
dengan bau rokok yang memuakkan, membuat saya sulit bernafas. Meskipun tempat
ini sangat indah, rasanya saya tidak tertarik untuk kembali lagi. Selain itu,
hal yang merusak keindahan Nanjing Road adalah perilaku pedagang-pedagang yang
menawarkan dagangannya dengan harga berlipat ganda diluar akal sehat. Mereka juga
cenderung memaksa dan terus menempel kemanapun kita melangkah. Sungguh, ini
pengalaman yang paling tidak saya harapkan. Ketika saya tanyakan apakah hal
seperti ini dibiarkan, seorang pejabat dari Konjen RI menjelaskan bahwa pemerintah
setempat sudah berulang kali menertibkan kawasan tersebut, namun kelakuan
pedagang yang datang dari desa-desa miskin diluar Shanghai juga tidak bisa
dibendung. Masih banyak tugas otoritas Shanghai Municipal Government untuk
menciptakan inovasi-inovasi di bidang sosial untuk menjadikan kota ini lebih
ramah dan bersahabat.
GA 895 Shanghai-Jakarta, 14 Mei
2016; finishing di Villa Melati Mas,
15 Mei 2016