Urbanisasi merupakan salah satu masalah yang sangat mendasar yang terjadi di berbagai kota besar. Dalam banyak hal, urbanisasi menghasilkan efek bola salju seperti kesemerawutan lalu lintas, pertumbuhan PKL yang tidak terkendali, produksi sampah yang berlebih, serta munculnya kemiskinan di perkotaan. Atas dasar itu, pemerintah perlu memberi perhatian seius guna menemukan strategi kebijakan yang manjur untuk mengatasi problem tersebut. Dalam rangka menggali solusi terbaik untuk mengatasi permasalahan akibat urbanisasi, tulisan ini menekankan pentingnya kebijakan administratif, disamping kegiatan non-administratif yang selama ini telah biasa dijalankan. Selain itu, tulisan ini juga mendukung gagasan untuk memperkuat kebijakan yang telah ada sekaligus untuk mengembangkan strategi-strategi baru untuk mengendalikan arus urbanisasi.
Urbanization constitutes one of basic problems encountered by city government. To many extents, it produces ‘snowball’ effects such as traffic congestion, uncontrolled informal traders, excessive volume of garbage, and urban poverty. That’s why local governments have to pay adequate attention to find out a comprehensive policy in dealing with such problems. In the context of exploring best solution for urbanization-caused problems, this paper emphasizes the importance of administrative policies instead of non-administrative policies. In addition, this paper supports the idea to strengthen current efforts as well as to encourage inventive strategies.
Pengantar
Semenjak munculnya Revolusi Industri di Eropa abad ke-18 yang diikuti oleh tumbuhnya wilayah-wilayah perkotaan (urban areas), arus perpindahan penduduk dari desa ke kota menjadi fenomena yang abadi hingga saat ini. Hal ini sangat wajar, mengingat fenomena kota-kota baru selalu ditandai oleh berkembangnya kegiatan ekonomi sebagai trigger utama laju urbanisasi. Urbanisasi sendiri merupakan suatu kondisi terkonsentrasinya penduduk di wilayah perkotaan, baik yang disebabkan oleh arus migrasi desa-kota maupun karena perubahan fungsi wilayah pedesaan menjadi wilayah yang bercorak perkotaan.
Di Jawa Barat, misalnya, fenomena urbanisasi juga sangat menyolok. Sebagai indikasinya, pada tahun 2005 nanti total penduduk di Jawa Barat di perkirakan berjumlah 38,67 juta jiwa. Padahal, pada tahun 2000, jumlah penduduk Jawa Barat baru 35,72 juta jiwa, dan pada tahun 2002 berjumlah 36,91 juta jiwa (tidak termasuk data kabupaten/kota di wilayah Banten yang telah menjadi propinsi tersendiri semenjak tahun 2000). Ini berarti, laju pertumbuhan penduduk antara tahun 2000-2002 di propinsi terpadat di Indonesia ini adalah 1,65% per tahun, dan periode 2002-2005 menurun menjadi 1,56% (Setiawan, 2004: 143-146). Dilihat dari peta persebarannya, ternyata penduduk Jawa Barat lebih banyak berada di wilayah perkotaan dibanding daerah pedesaan. Selain faktor migrasi desa-kota, proporsi penduduk perkotaan yang lebih besar dibanding penduduk pedesaan ini juga disebabkan oleh banyaknya perubahan status desa menjadi kelurahan, serta munculnya kota-kota otonom baru.
Dari data diatas dapat diperkirakan bahwa urbanisasi merupakan faktor yang berkontribusi terhadap meledaknya jumlah penduduk di perkotaan. Hal ini diperkuat oleh data SP 2000 dan Susenas 2002 yang melaporkan bahwa tingkat urbanisasi di Jawa Barat meningkat dari 50,31% (2000) menjadi 51,83% (2002). Dari sini dapat diestimasikan bahwa tingkat urbanisasi di Jawa Barat tahun 2005 menjadi 54,40% (Setiawan, 2004: 158). Dengan demikian, secara umum dapat disimpulkan bahwa tingkat mobilitas penduduk di Jawa Barat sangat tinggi dan cenderung mengalami peningkatan dari waktu ke waktu.
Adanya fakta tingginya jumlah penduduk, laju pertumbuhan penduduk, serta arus urbanisasi di Jawa Barat ini, harus benar-benar diperhatikan para pemegang kebijakan, baik di lingkungan eksekutif maupun legislatif. Sebab, laju pertumbuhan penduduk dan urbanisasi yang tidak terkendali akan membawa dampak yang tidak menguntungkan baik bagi masyarakat Jawa Barat maupun bagi proses pembangunan yang berlangsung di tatar Jawa Barat. Sementara disisi lain harus diakui bahwa kebijakan yang ada selama ini kurang efektif untuk mengendalikan laju kependudukan (khususnya arus urbanisasi).
Atas dasar pemikiran diatas, makalah ini mencoba menguraikan beberapa persoalan yang muncul yang bersumber dari mobilitas penduduk yang tinggi di Jawa Barat. Secara substantif, makalah dibagi dalam 2 (dua) materi yakni tentang pemahaman tentang urbanisasi dan berbagai implikasi yang ada, serta permasalahan dan kebijakan penanganan urbanisasi di Jawa Barat, baik yang bersifat aktual (kebijakan saat ini) maupun prospektif (peluang implementasi dimasa mendatang).
Anatomi Urbanisasi
Pengertian urbanisasi sesungguhnya berbeda dengan migrasi desa-kota. Secara teoretis akademis, urbanisasi diartikan sebagai bertambahnya penduduk kota , baik karena adanya perluasan wilayah kota , kelahiran di perkotaan, maupun terjadinya migrasi desa-kota. Dari pengertian ini jelaslah bahwa migrasi desa-kota merupakan bagian dari fenomena urbanisasi secara keseluruhan. Namun dalam pemahaman sehari-hari, urbanisasi lebih sering disamakan dengan proses berpindahnya penduduk desa ke perkotaan (migrasi desa-kota).
Secara umum, motif utama terjadinya arus urbanisasi adalah alasan ekonomi. Dengan mengutip Wilkinson (1973) dan Brock (1996), Tjiptoherijanto (1999) menyebutkan bahwa menurut teori neoclassical economics, perpindahan penduduk merupakan keputusan pribadi yang didasarkan atas keinginan secara sukarela (voluntary planned migration) untuk mendapatkan kesejahteraan maksimum dan merupakan proses untuk mempertahankan hidup. Hasil SUPAS !995 mengemukakan 7 (tujuh) alasan utama perpindahan dari perkotaan ke pedesaan, yakni 1) pekerjaan, 2) mencari pekerjaan, 3) pendidikan, 4) perubahan status perkawinan, 5) ikut suami / istri / orang tua / anak, 6) ikut saudara kandung / famili lain,dan 7) perumahan.
Tentu saja banyak variabel yang menyebabkan tingginya arus urbanisasi. Michael Lipton dalam Hendrizal (2004) pernah mengatakan bahwa orang berurbanisasi merupakan refleksi dari gejala kemandekan ekonomi di desa yang dicirikan oleh sulitnya mencari lowongan pekerjaan dan fragmentasi lahan, serta daya tarik kota dengan penghasilan tinggi. Dengan demikian, faktor pendorong (push factors) dan faktor penarik (pull factors) sama-sama menjadi determinan penting dalam proses urbanisasi tersebut. Oleh karena itu, urbanisasi sesungguhnya merupakan pilihan yang rasional bagi penduduk desa dalam upaya mendapatkan pendapatan yang lebih baik dibandingkan sewaktu mereka tetap bertahan di desa. Dengan kata lain, urbanisasi muncul karena adanya kesenjangan atau gap dalam penyediaan fasilitas umum (public utilities) antara desa dan kota , seperti fasilitas pendidikan, kesehatan, hiburan, komunikasi dan informasi, hingga lapangan pekerjaan di berbagai bidang.
Ditinjau dari segi dampak, urbanisasi sebenarnya bersifat netral, dalam arti dapat menimbulkan efek positif maupun negatif, tergantung dari intensitas urbanisasi tersebut. Dalam beberapa hal, urbanisasi dapat memberi keuntungan baik bagi penduduk pedesaan maupun perkotaan (Utomo, 2003). Bagi penduduk desa, urbanisasi dapat mengurangi terjadinya informasi yang keliru (asymmetric information) tentang suatu hal, sekaligus meningkatkan hak masyarakat desa untuk ikut mengakses berbagai layanan umum. Sedangkan bagi masyarakat perkotaan, arus urbanisasi bermanfaat sebagai penyedia tenaga kerja yang mendukung proses industrialisasi dan perdagangan di perkotaan. World Bank (dalam Setiawan, 2004) sendiri pernah melaporkan adanya korelasi positif antara tingkat urbanisasi di suatu negara dengan tingkat pendapatan per kapita. Dalam kasus seperti ini, untuk mempercepat pembangunan diperlukan peningkatan jumlah migran dan frekuensi urbanisasi atau migrasi desa-kota.
Dari perspektif sebaliknya, urbanisasi juga dapat menimbulkan akibat yang merugikan. Bagi wilayah pedesaan, urbanisasi akan mendorong terjadinya de-populasi di pedesaan, sehingga mengurangi jumlah penduduk yang bermatapencaharian di bidang pertanian. Pada gilirannya, kondisi ini berpotensi mengurangi produksi pangan dan pemenuhan kebutuhan pangan bagi penduduk kota . Sementara di wilayah perkotaan, urbanisasi sering menjadi sumber bagi kasus-kasus pengangguran, perumahan kumuh, serta kemiskinan yang akut akibat tidak imbangnya penawaran dan permintaan tenaga kerja (excess of labor supply). Situasi seperti ini akan mengantarkan pada situasi lain berupa rendahnya produktivitas dan meningkatnya inflasi (Utomo, 2003). Sejalan dengan hal itu, Smith and Nemeth (dalam Setiawan, 2004) juga menyatakan bahwa urbanisasi harus dikendalikan. Sebab, urbanisasi yang tidak terkendali bisa menimbulkan dampak buruk bagi penduduk kota dan desa, serta pengaruh makro bagi negara.
Sementara itu Hendrizal (2004) mengemukakan beberapa kerugian dari urbanisasi. Ia menyatakan bahwa terjadinya peralihan tenaga kerja yang pindah dari pedesaan ke perkotaan yang tidak mampu ditampung dalam sektor formal, mengakibatkan timbulnya deformasi secara drastis dan meluas pada sektor jasa dalam penyerapan tenaga kerja. Kondisi itu terjadi bukan karena adanya permintaan yang melonjak akan jasa-jasa di sektor industri, namun lebih disebabkan oleh ketidakmampuan sektor industri dalam menyerap tenaga kerja. Dalam dimensi penataan kota , keberadaan sektor jasa maupun informal juga melahirkan masalah dilematis di dalam formulasi kebijakan tata kota . Di satu sisi pemerintah tetap ingin menghormati hak-hak ekonomi mereka, tetapi di sisi lain eksistensi mereka cenderung membuat kota menjadi semrawut dan tidak nyaman. Dalam kasus-kasus tertentu juga tampak, banyak kota sudah kehilangan nilai-nilai historis dan budayanya yang disebabkan oleh meningkatnya aktivitas perekonomian di kawasan itu. Pengelompokan tempat tinggal berdasarkan asal daerah/etnik, juga menjadi salah satu ekses negatif yang timbul sehubungan dengan arus urbanisasi. Adanya kampung Cina, kampung Jawa, kampung Batak, kampung Madura dan lainnya, tentunya sangat potensial dalam menciptakan konflik antarwarga yang berbasis pada perbedaan etnik.
Masalahnya sekarang adalah bahwa urbanisasi adalah realitas yang kita hadapi. Oleh karena itu, yang terpenting adalah memikirkan berbagai kebijakan yang komprehensif untuk mengatasi dampak-dampak buruk yang ditimbulkan oleh urbanisasi. Membangun fasilitas umum pedesaan seperti di perkotaan jelas suatu upaya yang teramat sulit. Dalam konteks seperti ini, Utomo (2003) menawarkan 3 (tiga) upaya yang dapat ditempuh oleh pemerintah, yaitu sebagai berikut: membangun fasilitas umum secara bertahap di pedesaan sehingga dapat mengurangi kesenjangan desa-kota (providing some public utilities or social services in rural area); mengemballikan beberapa kaum migran ke daerah asal setelah memperoleh keterampilan tertentu (returning migrants to the region they come from); serta memberikan bantuan keuangan dan pelatihan kepada kaum migran di bidang pengolahan pertanian dan industri kecil (giving both financial assistance to agriculture and training unskilled labor force).
Dalam kaitan dengan upaya pengendalian urbanisasi ini, Hendrizal (2004) mengkritik pendekatan ekonomi yang selama ini dipakai oleh pemerintah. Ia mengatakan bahwa “pembangunan pusat-pusat pertumbuhan (growth center) maupun program kawasan terpadu (melalui peningkatan produktivitas dan diversifikasi usaha tani, peningkatan kemampuan sumber daya manusia, penguatan kelembagaan, pengembangan usaha ekonomi non-pertanian, peningkatan sarana fisik desa, dan peningkatan landasan mutu lingkungan hidup) ternyata kurang efektif dalam mencegah arus migrasi yang masuk ke kota ”. Sebagai gantinya, ia menawarkan pendekatan budaya, dimana desa yang punya potensi budaya, sebetulnya bisa diangkat sebagai desa wisata percontohan yang pada akhirnya bisa memberikan kontribusi besar terhadap perkembangan ekonomi desa dan daerah.
Diatas telah disinggung bahwa dilihat dari aspek dampaknya, migrasi atau urbanisasi sesungguhnya merupakan konsep yang netral. Namun kenyataannya, fakta ini sudah melahirkan problem perkotaan yang cukup akut. Hal ini disebabkan oleh tumbuhnya kawasan perkotaan secara pesat tanpa disertai dengan upaya pengendalian dan penyediaan fasilitas-fasilitas baru di perkotaan. Sebagai gambaran, sebagaimana dilaporkan oleh BPS Jawa Barat (2000), penduduk yang tinggal di wilayah perkotaan di Jawa Barat pada tahun 1980 hanya 21,02% dari total penduduk. Namun hanya dalam kurun waktu 10 tahun berikutnya, persentase tadi melonjak menjadi 34,51%, dan meningkat lagi menjadi 42,69% pada tahun 1995. Ini berarti, rata-rata laju pertumbuhan penduduk perkotaan di Jawa Barat adalah sebesar 7,78% (periode 1980-1990), dan 6,51% (periode 1990-1995).
Dalam hubungan ini, paling tidak terdapat 4 (empat) issu besar yang dihadapi oleh sebagian besar kota-kota di Jawa Barat sebagai ekses dari arus urbanisasi yang kurang terkendali, yakni: transportasi (khususnya kemacetan lalu lintas), PKL (Pedagang Kaki Lima), kebersihan (volume sampah yang berlebih), serta kemiskinan kota . Permasalahan tadi secara langsung maupun tidak langsung, sangat dipengaruhi oleh kondisi kependudukan, khususnya yang berhubungan dengan pertumbuhan penduduk yang kurang terkendali.
Dari data nominal, SP 2000 mencatat bahwa arus migran masuk risen ke Jawa Barat sebesar 1.097.021 jiwa, atau 1.74 kali lebih besar dibanding arus migran keluar risen sebesar 631.753 jiwa. Dilihat dari asalnya, arus migrasi ke Jawa Barat sebagian terbesar datang dari DKI Jakarta (39,80%), disusul oleh Jawa Tengah (24,72%), Banten (9,70%), Jawa Timur (6,46%), Sumatera Utara (4%), DI Yogyakarta (2,65%), dan daerah lainnya sebesar 12,67%. Dari jumlah migran yang masuk, penerima terbesar adalah wilayah Bekasi (kabupaten/kota) sebesar 24,92%, wilayah Bogor (kabupaten/kota) sebesar 17,34%, wilayah Bandung (kabupaten/kota) sebesar 13,70%, Kota Depok sebesar 11,34%, dan sisanya tersebar di wilayah Jabar lainnya. Sementara daerah / propinsi yang menjadi tujuan migran asal Jawa Barat adalah Banten sebesar 31,52%, DKI Jakarta 29,46%, Jawa Timur 2,64%, dan sisanya menyebar ke daerah lainnya (Dwitjahyono, 2004).
Data diatas menunjukkan bahwa migrasi masuk di Jawa Barat lebih besar dibanding mgrasi keluar. Keadaan ini agak berbeda dengan kondisi kota-kota besar di Jawa Barat seperti Kota Sukabumi, Kota Bogor, dan Kota Cirebon, dimana arus migrasi masuk ke kota-kota tadi ternyata lebih kecil dibanding dengan arus keluar. Untuk wilayah yang berkarakter pedesaan dan pertanian seperti Indramayu, Sumedang, Majalengka, Kab. Tasikmalaya, Ciamis, Subang, dan sebagainya, arus migrasi keluar jauh lebih besar dibanding arus migrasi masuk, dan hal ini sangat logis dan wajar. Meskipun demikian, ada juga kasus dimana wilayah kabupaten tertentu seperti Cianjur, Kab. Bandung , Kab. Purwakarta, dan Kab. Karawang, justru menjadi daerah penerima migrasi daripada sebagai pengirim. Artinya, daerah-daerah ini menerima arus migrasi masuk yang lebih besar. Dalam kasus demikian, dapat diinterpretasikan bahwa daerah-daerah tadi merupakan daerah yang secara ekonomis sedang tumbuh secara pesat (developing regions) sehingga menjadi tujuan yang sangat potensial bagi kaum migran.
Namun perlu ditekankan bahwa fakta seperti ini tidak berarti telah terjadi pergeseran tujuan migrasi/urbanisasi ke wilayah pedesaan (non kota besar). Kesimpulan yang lebih rasional adalah menurunnya daya dukung perkotaan (carrying capacity) seperti lahan dan sarana perumahan untuk menampung migran baru. Dengan demikian, kawasan perkotaan tetap menarik arus pendatang dari pedesaan, namun mereka cenderung tinggal di wilayah pinggiran kota , yang secara administratif merupakan wilayah kabupaten yang bertetangga dengan kota besar tadi.
Selain empat issu pokok (transportasi, PKL, kebersihan, dan kemiskinan), banyaknya penduduk dan laju pertumbuhannya juga berpotensi menimbulkan masalah sosial (social problems) seperti pengangguran, dan bahkan kriminalitas di perkotaan. Oleh karena itu, kebijakan bidang kependudukan harus diperhatikan benar-benar, bukan hanya untuk mencapai tertib administrasi kependudukan, namun juga memberi dasar yang kokoh untuk berjalannya kebijakan di bidang lain secara optimal.
Kebijakan Penanganan Urbanisasi di Jawa Barat
Selama ini, kebijakan yang banyak diterapkan di berbagai daerah untuk mengendalikan laju urbanisasi dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua), yakni kebijakan administratif, dan kebijakan non-administratif (ekonomis). Kebijakan administratif antara lain berupa operasi yustisi (razia KTP, KIPEM – Kartu Identitas Penduduk Musiman, KIK – Kartu Identitas Kerja, dll), serta Registrasi Penduduk Berbasis NIK (Inpres No. 14/1999). Sedangkan kebijakan non-administratif antara lain adalah pembangunan pedesaan / growth pole dan pemberdayaan masyarakat pedesaan, peningkatan sarana fisik pedesaan, diversifikasi usaha tani, serta penguatan kelembagaan masyarakat pedesaan (P3A, LMD, LSM, dll).
Namun dalam prakteknya, kebijakan diatas belum mampu menjadi instrumen yang efektif untuk menahan dan mengerem laju urbanisasi. Bahkan kebijakan tentang SIAK (Sistem Informasi Administrasi Kependudukan) secara nasional sehingga dapat menghasilkan satu nomor registrasi untuk satu penduduk (NIK), belum dapat terelaisasikan hingga saat ini karena terbentuk oleh kendala software dan hardware penunjangnya. Sementara kebijakan ekonomis seperti pengembangan industri di pedesaan serta peningkatan sarana fisik pedesaan jelas kurang feasible, karena membutuhkan anggaran yang teramat besar serta jangka waktu yang teramat panjang.
Itulah sebabnya, perlu segera dipikirkan adanya kebijakan baru yang bersifat terobosan dan lebih inovatif, sehingga dapat mencairkan kebuntuan kebijakan yang terjadi selama ini. Adapun beberapa alternatif kebijakan baik yang telah ditetapkan maupun yang prospektif untuk dikembangkan, dapat ditawarkan sebagai berikut.
1. Kebijakan tentang 8 Kawasan Andalan (Perda No. 2 tahun 2003 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi Jawa Barat).
Kebijakan ini diarahkan untuk menciptakan pertumbuhan dan pemerataan pemmbangunan wilayah sesuai dengan kegiatan utamanya melalui penyediaan prasarana wilayah, sehingga diharapkan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi bagi kawasan yang bersangkutan maupun kawasan sekitarnya. Adapun ke-8 Kawasan Andalan tersebut adalah:
a. Kawasan Andalan Bogor – Depok – Bekasi (Bodebek) dengan kegiatan utama industri, pariwisata, jasa, dan sumberdaya manusia.
b. Kawasan Andalan Bogor – Puncak – Cianjur (Bopuncur) dengan kegiatan utama agribisnis dan pariwisata.
c. Kawasan Andalan Sukabumi dan sekitarnya dengan kegiatan utama agribisnis, pariwisata dan bisnis kelautan.
d. Kawasan Andalan Priangan Timur dan sekitarnya (Priatim dsk) dengan kegiatan utama agribisnis, bisnis kelautan, dan pariwisata.
e. Kawasan Andalan Cekungan Bandung dengan kegiatan utama pengembangan sumberdaya manusia, jasa, agribisnis, pariwisata, dan industri.
f. Kawasan Andalan Pangandaran dan sekitarnya dengan kegiatan utama pariwisata dan bisnis kelautan.
g. Kawasan Andalan Cirebon – Indramayu – Majalengka – Kuningan (Ciayumajakuning) dengan kegiatan utama agribisnis, jasa, pariwisata, industri, sumberdaya manusia, dan bisnis kelautan.
h. Kawasan Andalan Purwakarta – Subang – Karawang (Purwasuka) dengan kegiatan utama industri, agribisnis, pariwisata, dan bisnis kelautan.
Adanya kebijakan tentang pengembangan kawasan andalan tersebut berpotensi menimbulkan perubahan terhadap pola urbanisasi, khususnya yang menyangkut aspek lokus / tujuan. Sebelum adanya penetapan kawasan andalan, wilayah yang menjadi sasaran kaum pendatang adalah ibukota daerah kabupaten maupun kota . Namun dengan adanya kawasan pengembangan baru, maka arus pendatang dapat terpecah dan tersebar secara lebih merata ke wilayah lain dalam batas-batas kawasan pengembangan tersebut. Dengan demikian, kebijakan tentang kawasan andalan ini paling tidak dapat menghasilkan 2 (dua) efek positif, yaitu:
a. Mengurangi tingkat konsentrasi penduduk pada suatu wilayah tertentu (biasanya ibukota kabupaten/kota), sehingga dapat tercapai kondisi penyebaran penduduk yang lebih merata.
b. Menunjang proses pembangunan di berbagai wilayah sehingga dapat tercapai hasil-hasil pembangunan yang lebih merata pula. Pada gilirannya, kondisi ini diharapkan dapat mengurangi kesenjangan antar daerah serta kesenjangan desa – kota dalam suatu daerah otonom tertentu (regional disparity).
Kedua efek positif padi hanya dapat tercapai jika 2 (dua) asumsi berikut terpenuhi: 1) di kawasan andalan tersebut terjadi investasi / penanaman modal dalam skala yang memadai dan berlangsung tidak hanya untuk jangka pendek (capital intensive), serta 2) aktivitas ekonomi di wilayah kawasan andalan tersebut membutuhkan tenaga kerja dalam jumlah besar (labor intensive). Tanpa adanya kedua prasyarat ini, maka kebijakan penetapan kawasan andalan di Jawa Barat tidak akan membawa perubahan yang berarti terhadap besaran dan sebaran urbanisasi.
2. Persyaratan surat jaminan adanya pekerjaan tetap dan tempat tinggal tetap dari Migran, yang didukung pula oleh penjamin (pimpinan perusahaan tempat bekerja, orang tua / wali, dosen pembimbing, dll).
Kebijakan seperti ini telah banyak dipraktekkan di negara maju seperti Jepang, dan mulai banyak diadopsi oleh negara-negara berkembang termasuk Indonesia . Di Indonesia sendiri baru Kota Balikpapan yang dapat dikatakan berhasil menerapkan kebijakan seperti ini. Di KotaBandung sendiri telah ada pengaturan serupa, namun belum dapat berjalan dengan baik. Dalam perspektif kedepan, kebijakan ini perlu diprioritaskan karena diyakini akan mampu menjadi instrumen yang cukup ampuh untuk mendeteksi penduduk dan pendatang secara lebih akurat. Yang perlu segera dilakukan adalah membuat desain kebijakan sejelas mungkin dan mensosialisasikannya kepada penduduk.
3. Pengenaan jaminan finansial (semacam retribusi orang asing), sebagai bentuk dis-insentif bagi pendatang.
Ide dasar kebijakan ini adalah bahwa terhadap seorang pendatang baru akan dikenakan “pungutan” untuk membayar sejumlah uang tertentu (misalnya Rp 100 ribu). Jika pendatang tersebut dapat memenuhi kewajiban tertentu (misalnya pekerjaan tetap dan tempat tinggal tetap) maka uang jaminan tersebut akan dikembalikan kepada yang bersangkutan. Namun jika ternyata orang tersebut gagal memenuhi kewajibannya, maka uang jaminan tadi akan masuk ke kas daerah. Aturan yang cukup “berat” ini diharapkan dapat menghambat atau membatasi arus pendatang masuk ke suatu daerah. Kebijakan seperti ini juga telah lama dipraktekkan di negara maju, seperti Jepang. Jika seseorang akan masuk lembaga pendidikan atau menyewa apartemen, misalnya, selalu dibutuhkan syarat berupa photo copy rekening sebagai bentuk bahwa yang bersangkutan tidak akan menjadi beban bagi orang lain maupun bagi negara.
4. Mengadakan kerjasama / kesepakatan (MoU) dengan daerah sekitar (sending region).
Kebijakan seperti ini dipandang cukup efektif untuk menghambat laju migrasi antar daerah. Artinya, daerah yang terikat oleh kerjasama tadi dapat memberlakukan persyaratan yang lebih ketat kepada warganya yang ingin berpindah / beralih domisili ke daerah lainnya. Dalam hal ini, ijin mutasi (alih domisili) penduduk hanya dapat diberikan oleh pemerintah daerah asal jika pemohon ijin mutasi tersebut benar-benar memiliki alasan yang kuat untuk pindah ke daerah lain, serta memiliki jaminan pekerjaan di daerah yang dituju. Dengan kata lain, kebijakan pengendalian urbanisasi / migrasi tidak hanya dilakukan oleh daerah penerima atau daerah tujuan saja, namun juga oleh daerah pengirim atau daerah asal migran yang bersangkutan. Sayangnya, kebijakan ini masih belum diterapkan karena faktor kendala seperti belum jelasnya konsep tentang bentuk kerjasama dan materi / muatan kerjasama. Meskipun demikian, pada masa mendatang kebijakan ini sangat perlu dikembangkan dan diprioritaskan sebagai model kebijakan alternatif penanganan migrasi antar daerah yang makin tidak terelakkan.
5. Transmigrasi.
Dewasa ini, kebijakan pemindahan penduduk dari wilayah padat ke wilayah lain yang masih relatif kosong nampaknya sudah tidak populer. Padahal secara konseptual, relokasi penduduk ini sangat bermanfaat baik bagi daerah asal maupun daerah tujuan. Kalaupun praktek-praktek transmigrasi selama ini banyak mengalami hambatan, bahkan kegagalan, bukan berarti kebijakan ini harus dihentikan. Yang terpenting adalah membenahi kekurangan-kekurangan yang ada namun tetap melanjutkan upaya ini. Dalam konteks kebijakan transmigrasi ini, Kota Bogor sudah menuangkan kedalam Rencana Strategi 2005-2009, dengan target 25 KK/tahun pada 2005 dan 2006, serta 30 KK/tahun mulai 2007 hingga 2009.
6. Pengembalian migran ke daerah asal (dalam hal-hal tertentu sesuai aturan).
Kebijakan ini juga layak untuk dikembangkan, dengan beberapa upaya persiapan tertentu. Upaya yang diperlukan antara lain adalah penyusunan landasan hukum yang matang, pemberian pelatihan atau bekal keterampilan kepada pendatang yang akan dipulangkan, serta mekanisme pemulangan itu sendiri. Selain itu, perlu pula dikaji beberapa hal masih yang menyangkut sistem penjaringan pendatang yang akan dikembalikan, kriteria atau persyaratan yang harus dipenuhi untuk mengembalikan pendatang ke daerah asalnya, serta issu HAM (hak asasi manusia).
7. Kebijakan-kebijakan pendukung (supporting efforts) lain seperti pembangunan pedesaan / growth pole dan pemberdayaan masyarakat pedesaan, peningkatan sarana fisik pedesaan maupun perkotaan, diversifikasi usaha tani, penguatan kelembagaan masyarakat pedesaan (P3A, LMD, LSM, Pos Pembantu KB Desa), dan sebagainya.
Kebijakan diatas pada hakekatnya adalah kebijakan yang berfungsi sebagai penunjang bagi kebijakan lain yang lebih substantif. Itulah sebabnya, kebijakan ini tidak mungkin berkontribusi langsung mengatasi masalah kependudukan (termasuk urbanisasi). Meskipun demikian, harus disadari bahwa efektifnya suatu program dan/atau kebijakan, tidak dapat dilaksanakan secara parsial, namun harus komprehensif. Demikian pula dalam bidang kependudukan (khususnya masalah urbanisasi), berbagai kebijakan yang ada baik administratif maupun non-administratif, tidak banyak dampaknya terhadap laju pertumbuhan penduduk serta kondisi umum kependudukan yang tertib dan terkendali. Oleh karena itu, berbagai kebijakan tadi harus dijalankan secara simultan dan komprehensif.
Catatan Penutup
Ditengah-tengah permasalahan kompleks dan multidimensional di bidang pemerintahan dan kemasyarakatan, kebijakan publik harus didesain secara multidimensional pula. Dalam bidang kependudukan pada umumnya dan urbanisasi pada khususnya, pendekatan lintas disiplin dan lintas sektor perlu ditempuh untuk mendapatkan hasil optimal. Dalam hubungan ini, terdapat 3 (tiga) upaya yang secara sinergis dapat dipandang sebagai kebijakan yang komprehensif dalam mengatasi masalah kependudukan, yakni: 1) intensifikasi kebijakan yang telah ada dan telah dilaksanakan seperti operasi yustisi, pelayanan administrasi kependudukan, serta pembangunan prasarana fisik pedesaan dan pengembangan masyarakatnya; 2) memperkuat dan mempercepat kebijakan yang sedang dirintis seperti pemberlakuan SIAK, implementasi Kawasan Andalan Jawa Barat, program transmigrasi, dan persyaratan jaminan bagi pendatang; serta 3) mensosialisasikan dan mengkaji sematang mungkin kebijakan baru yang bersifat terobosan seperti pengembalian migran ke daerah asal, penggalangan kerjasama / kesepakatan dengan daerah lain, dan sebagainya.
Dengan pendekatan yang sinergis tadi, diharapkan mobilitas penduduk di Jawa Barat dapat terkendali dan membawa manfaat positif, bukan sebaliknya sebagaimana kondisi saat ini. Dengan kata lain, mobilitas penduduk akan menjadi modal dan faktor penunjang (stimulating factors) bagi proses pembangunan, dan bukan faktor penghambat (impediment factors).
Daftar Pustaka
BPS Jawa Barat, 2000, Karakteristik Penduduk Jawa Barat Hasil Sensus Penduduk 2000, Bandung .
Dwitjahyono, Anggoro, 2004, Pola Umur Migran Propinsi Jawa Barat Menggunakan Model Migrasi Skedul Hasil Sensus Penduduk 2000, usulan penelitian pada Program Pascasarjana IPB.
Hendrizal, 2004, “Problem Arus Urbanisasi”, dalam Sinar Harapan, 25 Nopember. Tersedia online di http://www.sinarharapan.co.id/berita/0411/25/opi02.html
Setiawan, Nugraha, 2004, “Penduduk Kabupaten/Kota Jawa Barat: Proyeksi Tahun 2005”, dalam Jurnal Kependudukan Padjadjaran, Vol. 6, No. 2, Juli, hal. 140-162.
Tjiptoherijanto, Prijono, 1999, “Mobilitas Penduduk Sebagai Penggerak Otonomi Daerah“, dalam Jurnal Kependudukan Padjadjaran, Vol. 1, No. 1, Januari, hal. 1-28.
Utomo, Tri Widodo W., 2003, “Does Moving Capital Matter for Reducing Developmental Complexities in A State Capital (Jakarta Case)”, dalam Jurnal Wacana Kinerja, Vol. 6, No. 4, Desember, hal. 19-26.