SETELAH hampir satu dekade reformasi bergulir, hasil positif mulai dapat dirasakan oleh bangsa Indonesia. Dalam bidang ekonomi pada umumnya, dan sektor investasi pada khususnya, kemampuan daya saing (competitiveness index) Indonesia mengalami peningkatan yang cukup berarti. Index yang dikeluarkan oleh WEF (World Economic Forum) berdasarkan 3 (tiga) komponen utama, yakni makro ekonomi, kelembagaan, serta teknologi tadi menunjukkan bahwa Indonesia berhasil “naik kelas” dari peringkat ke-69 dari 107 negara pada tahun 2005, menjadi peringkat ke-50 dari 125 negara pada tahun 2006. Namun, dalam laporan berjudul The Global Competitiveness Report 2006-2007 itu juga nampak dengan jelas bahwa peringkat Indonesia tetap jauh berada di bawah Singapura (urutan ke-5), Jepang (ke-7), Malaysia (ke-26), Thailand (ke-35), dan India (ke-43).
Laporan diatas paling tidak mengimplikasikan 2 (dua) hal. Pertama, Negara telah memainkan peran yang cukup berhasil dalam memperbaiki persoalan-persoalan domestik, sekaligus menciptakan iklim yang kondusif bagi berkembangnya investasi asing maupun investasi dalam negeri. Dan peran inilah yang perlu terus dimantapkan untuk membangun kinerja ekonomi yang lebih fenomenal di masa mendatang. Dalam buku terbarunya berjudul State-Building: Governance and World Order in the 21st Century (2004), Francis Fukuyama mengatakan bahwa inilah saatnya untuk memperkuat peran negara, guna mengatasi kegagalan-kegagalan negara pada periode sebelumnya seperti aksi-aksi terorisme, penyebaran penyakit, meningkatnya angka kemiskinan, serta merebaknya perang sipil. Jika kalimat ini dibalik, maka berbagai peristiwa tadi sesungguhnya bersumber dari kegagalan negara menjalankan tugas dan fungsinya.
Pada era 1980-an, peran negara memang sedikit mengalami distorsi ketika reaksi terhadap paham “statisme” dan gelombang pemikiran tentang deregulasi, debirokratisasi, dan privatisasi yang menuntut terjadinya perampingan organisasi sektor publik dengan fungsi sesedikit mungkin (minimum state), berlangsung dengan derasnya. Fenomena liberalisasi ini dalam beberapa hal, alternatif ini membawa hasil yang luar biasa seperti pertumbuhan ekonomi dan integrasi pasar mondial. Namun dalam beberapa hal lainnya, justru menimbulkan problematika baru yakni merosotnya kapasitas negara (Rizal Mallarangeng, 2006). Bahkan dengan sangat terbuka Fukuyama menyatakan bahwa selama lebih dari satu generasi, kecenderungan dalam politik dunia adalah melemahkan negara, baik karena alasan normatif maupun alasan ekonomi. Fakta inilah yang menjadi basis utama pemikiran Fukuyama tentang perlunya langkah-langkah secara sistematis untuk memperkuat peran negara.
Implikasi kedua, meskipun menunjukkan trend peningkatan, kinerja ekonomi Indonesia dinilai tetap terendah dibandingkan negara-negara di Asia. Disini, WEF menunjukkan persoalan klasik yang harus diperbaiki Indonesia yakni masalah infrastruktur, ketidakefisienan birokrasi, dan ketidakstabilan penentuan kebijakan. Seolah memperkuat argumen Fukuyama, rekomendasi WEF tadi menyiratkan bahwa birokrasi negaralah yang menjadi penyebab utama (primus inter pares) dari berbagai permasalahan ekonomi di suatu negara, seperti kesenjangan sektoral / regional, kemiskinan, pengangguran, pertumbuhan yang melambat, dan sebagainya. Padahal, pemerataan dan keadilan ekonomi merupakan syarat mutlak tercapainya kesejahteraan pada jangka panjang (World Bank, World Development Report 2006 on Equity and Development, 2006).
Dewasa ini, banyak negara yang telah memiliki komitmen untuk menghilangkan kesenjangan ekonomi maupun sosial politik, dengan memberikan peluang yang lebih besar dan lebih seimbang kepada seluruh warga negaranya. Dalam hal ini, Development Outreach Edisi Februari (World Bank, 2006), misalnya, memberikan ilustrasi yang sangat gamblang bagaimana 9 negara di Eropa Timur (Bulgaria, Kroasia, Republik Ceko, Hungaria, Makedonia, Rumania, Serbia dan Montenegro, dan Slovakia) mengeluarkan deklarasi bersama untuk menghapus kemiskinan, diskriminasi dan kesenjangan yang akut antar penduduk di Eropa. Deklarasi tadi selengkapnya berbunyi: “Building on the momentum of the 2003 conference, ‘Roma in an Expanding Europe: Challenges for the Future,’ we pledge that our governments will work toward eliminating discrimination and closing the unacceptable gaps between Roma and the rest of society, as identified in our Decade Action Plans. We declare the years 2005–2015 to be the Decade of Roma Inclusion, and we commit to support the full participation and involvement of national Roma communities in achieving the Decade's objectives and to demonstrate progress by measuring outcomes and reviewing experiences in the implementation of the Decade's Action Plans. We invite other states to join our effort.”
Deklarasi diatas dengan sangat jelas menekankan tentang janji dan komitmen Negara untuk bekerja keras mengurangi diskriminasi dan kesenjangan antar kelompok masyarakat. Caranya, mereka memfokuskan pada 4 (empat) area utama, yakni pendidikan, ketenagakerjaan, kesehatan, dan perumahan. Keempat sektor ini secara simultan diharapkan dapat mengatasi persoalan pendapatan, diskriminasi dan gender.
Pangalama Cina juga sangat layak untuk kita simak. Semenjak menjabat sebagai Presiden dan Perdana Menteri, Hu Jintao dan Wen Jiabao komit menjalankan program xiaokang (well-off society atau masyarakat yang relatif sejahtera). Xiaokang sendiri berasal dari Buku Nyanyian klasik Cina, yang dipersepsikan Deng Xiaoping sebagai tahap pembangunan diantara terpenuhinya kebutuhan dasar dengan kesejahteraan yang nyata (true prosperity). Dengan program xiaokang ini, koefisien Gini yang mencapai angka 0.45 pada tahun 2004, yang berarti kesenjangan sudah berada pada tahap ”alert”, namun sekarang sudah dapat ditekan hingga dibawah 3. Resepnya cukup sederhana, yakni transformasi birokrasi yang lebih terbuka dan aktif (more transparent and participatory government), serta reorientasi peran pemerintah dari rekayasa pembangunan ekonomi, investasi dalam infrastruktur fisik, pemberian pelayanan publik secara langsung, hingga pengembangan SDM (investing in human capital). Sekali lagi, pelajaran yang dapat ditarik adalah bagaimana komitmen dalam pembangunan dan aksi nyata untuk menjalankan program pembangunan, yang ditopang oleh kemampuan yang memadai, benar-benar dimiliki oleh pemerintah, baik di tingkat pusat maupun di daerah.
Pertanyaan yang menggelitik adalah, bagaimana dengan Indonesia? Bagaimana pula di daerah-daerah di Indonesia? Harus diakui bahwa Indonesia masih berkutat dengan kesenjangan ekonomi. Data BPS (Statistik 60 Tahun Indonesia Merdeka, 2005) menyebutkan bahwa kesenjangan pendapatan rumah tangga periode 1995-2000 perbandingan pendapatan terendah dengan tertinggi adalah 1 : 4,63. Hal ini tentu saja masih cukup memprihatinkan, mengingat pada tahun 1985 perbandingannya adalah 1 : 3,81, sementara pada tahun 1990 tingkat kesenjangannya mencapai 1 : 4,29. Data diatas mencerminkan bahka hingga saat ini kita belum bisa benar-benar keluar dari belenggu krisis ekonomi. Atau dengan kata lain, kinerja ekonomi makro Indonesia saat ini masih belum menggembirakan, meskipun peringkat daya saing telah mengalami peningkatan.
Sementara itu dalam skala regional, Kalimantan Timur dikenal sebagai salah satu daerah terkaya di Indonesia dalam hal potensi sumber daya alam dan potensi ekonomi lainnya. Hal ini diindikasikan oleh tingginya PDRB per kapita di Kalimantan Timur serta di kabupaten/kota di provinsi ini. Namun dilihat dari kinerja pembangunan sosial ekonomi, masih kurang menggembirakan, dilihat dari fenomena kemiskinan yang cukup tinggi, fasilitas pendidikan dan kesehatan yang kurang memadai, jaringan transportasi darat maupun udara yang belum dapat menghubungkan seluruh daerah, dan sebagainya.
Atas dasar gambaran diatas, maka penguatan kapasitas institusional negara merupakan opsi kebijakan yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Dalam hal ini, Fukuyama menawarkan satu format institusi negara yang kecil namun lebih kuat. Pemerintah sebaiknya juga tidak hanya mengedepankan prinsip keterwakilan (representativeness) sebagai elemen kunci demokratisasi, namun juga perlu memberi porsi besar terhadap kemampuan menjalankan pemerintahan (governability). Dengan kata lain, pemerintah tidak semata dituntut mengembangkan tata pemerintahan yang demokratis (democratic regime) namun lebih dari itu harus mengedepankan tata pemerintahan yang berkinerja tinggi dalam pembangunan (development regime). Selain itu, keberpihakan pemerintah kepada kelompok masyarakat lemah atau miskin harus benar-benar dibentuk melalui perumusan kebijakan yang pro-poor dan pro-growth.
Dalam skala yang lebih riil di level daerah, perlu terus dipelihara dan ditingkatkan iklim investasi yang kondusif terhadap pencapaian visi dan misi daerah. Dengan kata lain, harus dibangun adanya hubungan timbal balik (reciprocal) antara potensi sumber daya alam dengan kebijakan investasi di daerah. Dalam hal ini, faktor SDA merupakan pull factor yang dapat merangsang atau mengundang investasi; sebaliknya investasi bisa dipandang sebagai push factor yang dapat memberi nilai tambah (value added) terhadap potensi SDA yang berlimpah. Dan jika hal ini dapat dilakukan, maka investasi telah mampu membawa proses transformasi dari basis keunggulan berbanding (comparative advantage) suatu daerah menjadi keunggulan bersaing (competitive advantage). Tri Widodo W.U.
Jumat, 26 Maret 2010
Kinerja Ekonomi dan Peran Strategis Negara
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar