Ketika
berniat untuk menulis tentang kelemahan/kekurangan reformasi birokrasi (RB),
sesungguhnya saya sempat merenung agak lama: etiskah saya mengkritik konsep dan
implementasi reformasi, sementara saya adalah seorang PNS (bahkan lebih
spesifik lagi seorang pejabat) yang semestinya bertanggungjawab terhadap
keberhasilan reformasi tersebut? Persoalan etika daalm otokritik seperti ini
juga pernah mengemuka ketika Adnan Buyung Nasution mempublikasi rekomendasinya
selaku anggota Dewan Pertimbangan Presiden, yang menurut banyak kalangan
bersifat rahasia. Nah, dengan berbagai pertimbangan pula, akhirnya saya
memberanikan diri untuk mengkritisi habitat saya sendiri.
Selain
dengan niat dan semangat untuk memperbaiki diri, saya juga berharap catatan
saya ini dapat dibaca dan didengar oleh pejabat-pejabat yang memang memiliki
otoritas dalam hal reformasi, untuk kemudian menjadi perenungan terhadap
perjalanan reformasi yang telah ditempuh bangsa ini. Harapan lebih jauh, tentu
saja ide saya ini akan dapat memberi sumbangsih terhadap mimpi mewujudkan sosok
birokrasi yang hebat dan berkelas dunia.
Secara
umum, saya melihat banyak distorsi, deviasi, atau anomali praktek RB dari
filosofi dasarnya. Tentu saja pandangan saya mungkin sekali keliru dan sulit
diterima banyak pihak. Jika memang demikian, semoga tulisan ini bisa memancing
diskusi dan dialog kreatif untuk menemukan akan permasalahan yang terbesar dari
program RB sekaligus menawarkan alternatif yang cerdas untuk evaluasi dan
solusi RB kedepan.
Anomali
pertama, saya melihat RB justru
menimbulkan situasi bertitel high-cost
bureaucracy. Ini bertolak belakang dengan spirit dasar RB untuk menekan
pemborosan anggaran dan meningkatkan efisiensi penggunaan sumber daya
organisasi, khususnya keuangan. Dengan adanya kewajiban untuk menyediakan
dokumen usulan RB bagi setiap Kementerian maupun Lembaga Pemerintah Non
Kementerian (K/L), banyak sekali K/L yang meng-hire konsultan dengan budget yang
diluar jangkauan akal sehat. Saya pernah mendengar sebuah Lembaga yang
menganggarkan penyusunan SOP sebesar kurang lebih Rp 2 milyar. Seorang Kabag
Perencanaan bergelar Doktor di sebuah Kementerian yang berkarakter holding company bahkan menyebutkan bahwa
hanya untuk merumuskan nilai-nilai organisasi (organizational values), kementeriannya membayar puluhan milyar
kepada konsultan asing. Selain menjadi sumber pemborosan baru, pemanfaatan
konsultan untuk menyiapkan insfrastruktur RB ini menurut saya tidak akan
menumbuhkan sense of belonging di
kalangan pegawai. Usulan, penyiapan dokumen, serta pelaksanaan kegiatan dalam
rangka RB, sekecil apapun itu, semestinya dilakukan secara mandiri oleh SDM di
institusi tersebut. Keberadaan konsultan tentu bukan barang haram, namun
semestinya tidak diposisikan sebagai pemain utama dalam organisasi, sementara
pegawai lainnya justru menjadi penontonnya.
Pemborosan
akibat RB juga semakin besar karena berimplikasi pada pemberian tunjangan
kinerja bagi PNS yang berjumlah sekitar 4 juta orang. Meskipun penghasilan
seorang PNS selama ini diakui relatif rendah, namun kebijakan pemberian
remunerasi (istilah yang lebih populer dipakai untuk menggantikan istilah
tunjangan kinerja), tetap saja membebani anggaran negara secara signifikan. Buktinya,
atas inisiatif Kementerian Keuangan, lahirlah Peraturan Bersama 3 Menteri (PAN
dan RB, Dalam Negeri, dan Keuangan) tahun 2011 tentang Penundaan Sementara
Penerimaan CPNS, atau yang lebih dikenal dengan Moratorium CPNS. Kebijakan
inipun sebuah kesalahan besar dalam RB, yang akan saya ulas pada bagian bawah
nanti.
Ironisnya,
pembayaran tunjangan kinerja di banyak instansi dibebankan pada DIPA instansi
yang bersangkutan, tepatnya diambilkan dari pos yang selama ini masuk dalam
alokasi program dan kegiatan. Akibatnya cukup fatal, proporsi biaya program (belanja
langsung) dengan belanja tidak langsung seperti gaji, tunjangan, honorarium,
pemeliharaan, dan lain-lain menjadi semakin timpang. Organisasi berubah menjadi
“pemangsa” sumber daya yang dimiliki, karena sebagian besar dana yang dimiliki
hanya diperuntukkan membayar pegawainya dan pemeliharaan gedungnya. Inilah yang
saya sebut sebagai fenomena predatory
bureaucracy. Jika selama ini fenomena seperti ini lebih banyak melanda
daerah, terutama daerah otonom baru (DOB), maka dengan RB fenomena tersebut
menjadi lebih meluas. Bagi saya, ini sudah bukan lagi lampu kuning, namun sudah
lampu merah RB.
Anomali
kedua, saya juga melihat bahwa RB
bukannya menghasilkan PNS yang brilian, kompeten, dan berkualifikasi unggulan,
malah mendegradasi kompetensi organisasi. Dan ini jelas sekali bertentangan
dengan maksud dilakukannya RB untuk menghasilkan birokrasi kelas dunia (world class bureaucracy). Didahului
dengan PP Nomor 48/2005 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi CPNS, dan
dilanjutkan dengan Pp Nomor 45/2007 Tentang Persyaratan dan Tata Cara Pengangkatan
Sekretaris Desa Menjadi PNS, kebijakan RB malah menambah runyam persoalan
birokrasi dengan memberlakukan moratorium CPNS. Sebagaimana disadari secara
luas, tenaga honorer dan Sekretaris Desa pada umumnya adalah mereka yang
berpendidikan rendah, tidak memiliki keahlian khusus kecuali hanya mengerjakan
tugas-tugas administratif, dan belum teruji keunggulan kepribadian maupun
potensinya. Dengan fakta seperti itu, tetap saja mereka “dipaksa” menjadi PNS
tanpa melalui sebuah sistem rekrutmen yang ketat dan kompetitif. Bagaimana
mungkin kita akan menuju birokrasi kelas dunia kalau yang diangkat adalah SDM
kelas kampong? Bagaimana kita akan menjadi birokrasi bintang lima kalau para
pelakunya masih sekelas kaki lima?
Celakanya
lagi, kesalahan sejarah seperti ini diulang melalui moratorium CPNS. Kandidat
yang masih segar, pintar, dan kreatif ditutup peluangnya masuk birokrasi
kecuali untuk tenaga kesehatan dan pendidikan. Sementara disisi lain, para pegawai
yang tua-tua, atau yang tidak berkinerja, atau yang hanya menjadi trouble maker, atau yang tidak bisa
dikembangkan lagi potensinya, justru dipertahankan dalam wilayah kenyamanan (comfort zone) bernama birokrasi. Saya
sering mengibaratkan birokrasi sebagai kolam ikan. Jika kolam itu ditutup
aliran pembuangannya yang berfungsi untuk mengurangi kekotoran dan polusinya,
serta tidak dibuka saluran baru untuk mengalirkan air besih, maka dapat
dipastikan kolam itu semakin lama semakin kotor, berbau busuk, bahkan beracun.
Maka, tidaklah aneh jika birokrasi kita selalu diidentikkan dengan keranjang
sampah.
Semestinya,
kebijakan RB berani menempuh langkah tegas, misalnya dengan pemberhentian
secara hormat maupun tidak hormat pegawai yang layak untuk diberhentikan, atau
“memaksakan” pensiun dini degan tunjangan khusus (golden shake hand) kepada pegawai yang biasa-biasa saja. Dengan
demikian, birokrasi hanya akan dihuni oleh manusia-manusia yang berpikrian,
berperilaku, dan berkarya positif. Birokrasi sebaiknya juga tidak diisi oleh
berbagai situasi nyaman (rendah tuntutan, gaji dan tunjangan tetap, jaminan
pensiun, penegakan disiplin rendah, kenaikan gaji dan pangkat berkala,
banyaknya peluang perjalanan dinas, dsb). Secara ideal, birokrasi justru harus
melengkapi dirinya dengan berbagai ketidaknyamanan (tuntutan kebaruan / inovasi
bagi setiap pejabat, penegakan disiplin yang ketat, pembudayaan demosi bagi
yang berkinerja rendah, dan seterusnya).
Anomali
ketiga, teramat sering kita dengarkan
keluhan adanya diskriminasi dan ketiadaan standar kesejahteraan sesama PNS.
Kementerian Keuangan, BPK, dan Mahkamah Agusng, sudah sejak 2007/2008 menerima
remunerasi sebesar 100 persen, sementara banyak K/L yang baru menerima pada
tahun 2012, itupun hanya sebesar 40 persen. Namun ada pula yang sama sekali
belum menerima hingga tahun 2013 ini. Maka tidak aneh jika sering muncul jokes bahwa birokrasi saat ini sudah
berkasta. Ada yang masuk kasta brahmana (yang sudah menerima tunjangan kinerja
100 persen), kasta ksatria (yang sudah menerima tunjangan kinerja 70 persen),
kasta waisya (yang sudah menerima tunjangan kinerja 40 persen), dan kasta sudra
(belum menerima tunjangan kinerja sama sekali). Ironisnya, diskriminasi seperti
ini berjalan hingga bertahun-tahun tanpa ada langkah yang pasti untuk
mensejajarkan sistem kompensasi bagi PNS Republik Indonesia. Ironis juga bahwa
ternyata institusi yang telah menerima remunerasi sangat besar masih saja
terjadi kasus-kasus korupsi dalam jumlah besar. Maka, sudah saatnya agar
kebijakan pembayaran remunerasi ini ditinjau kembali, meski secara pribadi saya
lebih setuju untuk dihentikan sama sekali. Lebih ekstrem lagi, saya sering
berpikir bahwa semestinya penghentian kebijakan remunerasi ini disertai dengan
kewajiban untuk mengembalikan ke negara bagi yang sudah mendapatkannya. Sebagai
gantinya, pemerintah harus segera merevisi peraturan gaji PNS dengan
memberlakukan sistem tunggal (one single
payment system). Dengan sistem ini, gaji PNS akan cukup signifikan namun
tidak ada lagi sumber-sumber pendapatan lainnya seperti tunjangan, honorarium,
upah pungut, persentase atau apapun namanya.
Anomali
keempat, saya mencermati bahwa di era
RB dewasa ini tumbuh kecenderungan lahirnya banyak sekali aturan-aturan baru,
namun lupa mengevaluasi efektivitas aturan yang telah ada. Akibatnya, saya
menyebut adanya fenomena “surplus regulasi defisit ketaatan”. Padahal kalau
kita simak pengalaman berbagai negara seperti Korea, RB justru diterjemahkan
sebagai upaya deregulasi atau pemangkasan aturan secara drastis hingga mencapai
50 persen dari regulasi yang ada sebelumnya. Meski Indonesia juga memiliki
semangat awal deregulasi di awal bergulirnya RB, namun di lapangan ternyata
diterjemahkan secara berbeda. Dampaknya, negara yang mestinya lebih banyak
melayani menjadi lebih banyak mengatur. Negara yang seharusnya lebih fokus
mencapai tujuan nasionalnya (mission and
vision driven) justru lebih fokus pada pembuatan dan pelaksanaan aturan
secara kaku (rule driven).
Sayangnya,
banyaknya aturan tadi tidak berkorelasi dengan meningkatnya ketertiban sosial
dan stabilitas politik sebagai tujuan dari pembentukan sebuah aturan. Fenomena
empirik sering menyajikan fakta sebaliknya, berupa banyaknya keributan sejak
tahap perumusan hingga implementasi sebuah peraturan. Proses pembuatan aturan
dan kebijakan publik malah sering menghasilkan kebijakan yang divergen,
simbolik, dan involutif.
Anomali
kelima, RB nampaknya juga menyuburkan
budaya formalistik dan mengaburkan esensi sebuah kebijakan. Sebagai contoh,
tunjangan kinerja atau tunjangan berbasis kinerja sesungguhnya lebih tepat
disebut sebagai tunjangan kehadiran belaka, dan tidak memperhitungkan penilaian
kinerja individu sama sekali. Sehebat apapun kinerja seorang pegawai, dia tetap
terancam tidak menerima tunjangan kinerja sama sekali jika sering terlambat
datang kantor. Sebaliknya, meski seseorang tidak menunjukkan kontribusi berarti
bagi organisasi, tetap saja dapat memperoleh tunjangan penuh jika selalu datang
dan pulang tepat waktu. Inisiatif individual seorang pegawai untuk menambah jam
kerja diluar waktu standar karena beban kerja yang besar, tidak pernah dihargai
dengan tunjangan kinerja, atau sekedar untuk mengganti keterlambatan masuk
kantor. “Waktu kerja” (07.30 – 16.00 wib) adalah waktu yang secara formal
dihitung untuk menentukan tunjangan kinerja, bukan “jumlah jam kerja” yang
secara riil dilakukan, bukan pula “kinerja nyata” yang terukur.
Di
tengah kemajuan teknologi informasi dan siatuasi lalu lintas Jakarta yang
semakin parah tingkat kemacetannya, ternyata RB masih menuntut kehadiran
dibanding kinerja riil. Ini menjadi ironi yang sangat besar, karena
sesungguhnya pertemuan tatap muka dapat diganti dengan tele conference (bahkan juga dengan Skype yang gratis), dokumen
dapat dikirim melalui email, komunikasi dapat diganti dengan telepon/sosial
media/blackberry, tata persuratan internalpun dapat dilakukan dengan electronic office. Maka, RB yang
menegasikan dukungan teknologi ICT ini adalah sebuah fakta yang anakronik.
Formalisme
birokrasi juga nampak dari sistem monitoring dan evaluasi RB yang dikenal
dengan PMPRB (Penilaian Mandiri Pelaksanaan RB). Pengisian lembar kerja yang harus
disertai dengan bukti-bukti fisik seperti daftar hadir, foto-foto kegiatan,
atau dokumen-dokumen lain yang tangible,
mengilustrasikan betapa para penilai RB lebih memperhatikan dan mempercayai
dokumen yang amat mudah dimanupulasi dibanding pernyataan komitmen dan jaminan
integritas seorang pegawai/pejabat. Maka, tidak aneh pula jika banyak yang
menyebut kualitas RB saat ini hanyalah “reformasi dokumen”, bukan reformasi
pola pikir, budaya kerja, dan orientasi kinerja.
Masih
terlalu banyak yang bisa dikritisi dari desain dan praktek RB selama ini. Namun
saya ingin menyudahi sampai disini untuk memberi kesempatan rekan lain
menggarap bidang kosong lain dari RB. Semoga momentum suksesi kepemimpinan
nasional 2014 akan melahirkan sosok pimpinan nasional yang kuat, tegas, cerdas,
merakyat, dan “telah selesai dengan dirinya” sehingga sepenuhnya dapat mengabdi
untuk kebaikan negeri dan segenap penghuninya, yaitu kita semua …