Minggu, 14 Juli 2013

“Semua Bermula dari Kebijakan, dan Semua Berpusat pada Kebijakan” dan Kritik Terhadap Kebijakan Publik


Semenjak agak intensif mempelajari kebijakan publik, saya mempunyai satu premis yang masih saya yakini hingga saat ini, yakni bahwa “segala bermula dari kebijakan, dan semua berpusat pada kebijakan”. Definisi Thomas R. Dye yang menyatakan bahwa public policy is whatever government chooses to do or not to do, merupakan salah satu dasar argument munculnya premis saya tersebut. Juga pendapat dari James E. Anderson yang menyebut kebijakan sebagai perilaku actor dalam aktivitas tertentu (the behavior of some actor or set of actors, such as an official, a governmental agency, or a legislature, in an area of activity such as public transportation or consumer protection). 

Dari dua definisi ini saja sudah terlihat betapa lausnya cakupan kebijakan publik. Kebijakan bukan hanya hukum tertulis (peraturan perundang-undangan), namun juga perilaku (kebiasaan, sikap dalam komunikasi, atau apapun yang dapat menjadi contoh baik maupun buruk) dari aktor pemerintah tertentu. Kebijakan juga bukan hanya tindakan/perbuatan yang nyata-nyata dilakukan, namun juga sesuatu yang tidak dilakukan. Artinya, tidak melakukan sesuatu-pun adalah kebijakan. Inilah yang dimaksud dengan prokrastinasi atau the policy of doing nothing. 

Dengan pengertian seperti itu, maka peristiwa apapun yang terjadi di tengah masyarakat, atau apapun yang ada di sekitar kita, dapat dikatakan berhubungan dengan kebijakan. Ketika kita melihat jalan berlubang, maka itu adalah kebijakan pemerintah yang tidak melakukan sesuatu (misalnya menambal jalan). Kasus seorang warga negara yang meninggal karena kekurangan makanan, atau merebaknya wabah busung lapar dan lumpuh layu, adalah juga wujud kebijakan publik yang gagal mencapai tujuannya mewujudkan kesejahteraan rakyat. Kasus lain seperti mobil yang parkir di lokasi resmi dan tertimpa pohon tumbang saat hujan angin, adalah juga akibat dari kebijakan yang kurang antisipatif mengukur kekuatan pohon terhadap kecepatan angin, atau kesalahan dalam menentukan lokasi parkir. Bahkan seorang pendaki yang tewas karena terperosok jurang juga bisa dikatakan sebagai konsekuensi kebijakan yang tidak menjangkau wilayah pendakian, sehingga pemerintah tidak dapat mengeluarkan early warning system tentang ancaman bahaya di jalur pendakian tersebut sekaligus membangun infrastruktur keamanannya. 

Maka, pada hakekatnya pemerintah sebagai pihak yang paling bertanggungjawab dalam pembuatan dan implementasi kebijakan, harus siap mempertanggungjawabkan segala sesuatu di tengah masyarakat. Inilah esensi dari asas omni presence atau serba hadirnya pemerintah kapanpun dan dimanapun warga negara membutuhkan. Kebijakan yang terbangun sempurna tidak akan menimbulkan kesan di tengah masyarakat bahwa pemerintah mendiamkan suatu masalah, atau meninggalkan gelanggang saat dibutuhkan (misalnya dalam keadaan lalu lintas macet total namun tidak ada aparat yang mengaturnya). 

Dari ilustrasi diatas dapat ditarik sebuah pelajaran bahwa kebijakan publik sesungguhnya adalah sesuatu yang sangat vital bagi sebuah negara maupun bagi masyarakat. Dan oleh karena “segala sesuatu bermula dari kebijakan, dan semua berusat pada kebijakan”, maka kebijakan yang baik, berkualitas, dan unggul, benar-benar menjadi kebutuhan mendesak bagi sebuah negara dan masyarakatnya. Kebijakan publik adalah instrumen utama untuk mewujudkan tujuan negara. Kualitas dan keunggulan suatu negara akan sangat ditentukan oleh kualitas dan keunggulan kebijakan publik negara tersebut. 

Sayangnya, ada indikasi lemahnya (untuk tidak mengatakan kegagalan) kebijakan. Jangankan di tingkat implementasi, pada tahap perumusan-pun teramat banyak kebijakan rencana yang telah menimbulkan kontroversi dalam masyarakat, dan membuang energi bangsa secara sia-sia. Contoh terkini adalah RUU Ormas yang telah dibahas bertahun-tahun dengan biaya milyaran rupiah namun tetap saja ditolak banyak kalangan civil society karena dinilai tidak menawarkan kemanfaatan sama sekali. Kebijakan juga seringkali memicu demonstrasi bahkan konflik terbuka di tingkat akar rumput, seperti kasus-kasus diberikannya perijinan pertambangan. Bahkan banyak kebijakan yang disinyalir merupakan entry point terjadinya tindak pidana korupsi seperti kebijakan di lapangan pengadaan barang dan jasa, perijinan pemanfaatan kayu, dan lain-lain. Belum lagi perlawanan secara konstitusional melalui judicial review, berapa banyak UU digugat dan akhirnya dinyatakan tidak berlaku oleh Mahkamah Konstitusi. Berbagai contoh kasus diatas menyiratkan adanya masalah besar dalam sistem kebijakan publik di Indonesia yang belum mampu menjalankan fungsi sebagaimana mestinya. 

Dalam kaitan itu, penulis ingin sedikit mengulas tentang bentuk-bentuk kebijakan yang kurang baik sehingga tidak mampu mencapai tujuan dari dibuatnya kebijakan tersebut. Dalam hal ini, kebijakan disebut tidak cukup baik jika memenuhi kriteria Involusi Kebijakan, Symbolic Policy, dan Divergensi Kebijakan. Penjelasan terhadap masing-masing situasi dapat diberikan sebagai berikut. 

1.      Involusi Kebijakan. Involusi kebijakan adalah suatu kebijakan yang baik secara proses dan rumusannya namun tidak memberikan kebaikan bagi publik. Hal ini terjadi karena politisi atau birokrat pembuatnya terjebak dalam ilusi untuk membangun citra tentang kebaikan suatu rezim atau kekuasaan politik (Riant Nugroho, Public Policy, Elex Media Komputindo, 2012). 

2.      Symbolic Policy. Symbolic policy sering dilawankan dengan evidence-based policy. Dalam hal ini, ada 4 (empat) kriteria symbolic policy yang membedakannya dari evidence-based policy, yakni: 1) Being simplistic in its presentation (sederhana dalam penyajian); 2) Ignoring contextual features (mengabaikan fitur kontekstual); 3) Disregarding empirical analysis (mengabaikan analisis empirik); and 4) Resulting in policies benefiting the already advantaged group (menghasilkan kebijakan yang menguntungkan kelompok yang sudah mendapat banyak keuntungan) (Michiel S. de Vries, “Distinguishing symbolic and evidence-based policies: the Brazilian efforts to increase the quality of basic education”, International Review of Administrative Sciences, 77(3), Sage Publication, 2011). 

3.      Divergensi Kebijakan à kebijakan yang dibuat oleh lebih dari satu aktor/instansi, yang semestinya menghasilkan efek saling memperkuat dalam mencapai tujuan yang sama, namun ternyata tidak saling terkomunikasikan, tidak saling mengisi dalam mencapai tujuan, bahkan seringkali menghasilkan efek konplikasi bagi kebijakan yang lain (Tri Widodo W. Utomo). 

Sekedar contoh, kebijakan subsidi BBM yang selama ini dilakukan adalah symbolic policy karena lebih menguntungkan dan lebih banyak dimanfaatkan orang kaya dibanding orang miskin. Menurut iklan layanan dari pemerintah yang hampir setiap hari ditayanglan di televise menjelang kenaikan harga BBM bulan Juni 2013 lalu, 80 persen subsidi BBM ternyata salah sasaran karena dinikmati bukan masyarakat miskin. Terkait dengan kenaikan BBM tersebut, pemerintah mengambil kebijakan kompensasi berupa pemberian BLT (Bantuan Langsun Tunai) atau BLSM (Bantuan Langsung Sementara Masyarakat). Kebijakan inipun bisa terjebak sebagai symbolic policy jika tidak cermat dalam pendataan calon penerimanya. Kebijakan ini juga bisa divergen dengan kebijakan yang bertujuan untuk memberdayakan dan memandirikan masyarakat karena BLT/BLSM hanya memberi “ikan” kepada masyarakat, bukan “kail” apalagi “keterampilan memancing”. 

Sementara itu, RUU Ormas atau rancangan kebijakan lain yang sejak “pagi-pagi” telah ditolak dan cenderung “dipaksakan” sebagai indikator kinerja DPR/DPRD atau institusi pengusul, maka dapat diklasifikasikan sebagai situasi involusi kebijakan, karena tidak membawa manfaat luas, yang direpresentasikan oleh kalangan penolaknya. Meskipun isinya baik dan prosesnya benar, namun masyarakat tidak membutuhkan pengaturan semacam itu. Untuk itu, perancangan kebijakan seyogyanya benar-benar didasarkan pada kebutuhan, bukan keinginan dari para policy makers. 

Contoh lain, kebijakan Dinas Perhubungan yang memberikan ijin kepada kendaraan yang melampaui batas maksimal tonase adalah kebijakan yang divergen dengan kebijakan Dinas Pekerjaan Umum yang membangu jalan tersebut. Kebijakan yang membuka keran impor produk pertanian (misalnya beras) pada saat musim panen adalah juga sebuah divergensi kebijakan karena menghancurkan harga komoditas tertentu (beras) dan merugikan kepentingan petani secara langsung.

Tentu saja masih banyak sekali contoh-contoh yang bisa diungkapkan disini. Sekali lagi, ini bukan ingin mencari kekurangan dalam sistem kebijakan saat ini, namun lebih untuk menyediakan sebuah kerangka sederhana untuk mengevaluasi sebuah kebijakan. Jika sebuah kebijakan tidak memenuhi kriteria sebagai symbolic policy, involusi, atau divergensi, maka ada harapan kebijakan tersebut sudah masuk kategori kebijakan yang baik dan unggul, meskipun tidak ada jaminan untuk itu. Sebab, kebijakan yang baik dan unggul boleh jadi membutuhkan kriteria lain yang tidak dibahas disini.

Tidak ada komentar: