Semenjak
agak intensif mempelajari kebijakan publik, saya mempunyai satu premis yang
masih saya yakini hingga saat ini, yakni bahwa “segala bermula dari kebijakan,
dan semua berpusat pada kebijakan”. Definisi Thomas R. Dye yang menyatakan
bahwa public policy is whatever
government chooses to do or not to do, merupakan salah satu dasar argument munculnya
premis saya tersebut. Juga pendapat dari James E. Anderson yang menyebut kebijakan
sebagai perilaku actor dalam aktivitas tertentu (the behavior of some actor or set of actors,
such as an official, a governmental agency, or a legislature, in an area of
activity such as public transportation or consumer protection).
Dari
dua definisi ini saja sudah terlihat betapa lausnya cakupan kebijakan publik. Kebijakan
bukan hanya hukum tertulis (peraturan perundang-undangan), namun juga perilaku
(kebiasaan, sikap dalam komunikasi, atau apapun yang dapat menjadi contoh baik
maupun buruk) dari aktor pemerintah tertentu. Kebijakan juga bukan hanya
tindakan/perbuatan yang nyata-nyata dilakukan, namun juga sesuatu yang tidak
dilakukan. Artinya, tidak melakukan sesuatu-pun adalah kebijakan. Inilah yang
dimaksud dengan prokrastinasi atau the
policy of doing nothing.
Dengan
pengertian seperti itu, maka peristiwa apapun yang terjadi di tengah masyarakat,
atau apapun yang ada di sekitar kita, dapat dikatakan berhubungan dengan
kebijakan. Ketika kita melihat jalan berlubang, maka itu adalah kebijakan
pemerintah yang tidak melakukan sesuatu (misalnya menambal jalan). Kasus
seorang warga negara yang meninggal karena kekurangan makanan, atau merebaknya
wabah busung lapar dan lumpuh layu, adalah juga wujud kebijakan publik yang
gagal mencapai tujuannya mewujudkan kesejahteraan rakyat. Kasus lain seperti mobil
yang parkir di lokasi resmi dan tertimpa pohon tumbang saat hujan angin, adalah
juga akibat dari kebijakan yang kurang antisipatif mengukur kekuatan pohon
terhadap kecepatan angin, atau kesalahan dalam menentukan lokasi parkir. Bahkan
seorang pendaki yang tewas karena terperosok jurang juga bisa dikatakan sebagai
konsekuensi kebijakan yang tidak menjangkau wilayah pendakian, sehingga
pemerintah tidak dapat mengeluarkan early
warning system tentang ancaman bahaya di jalur pendakian tersebut sekaligus
membangun infrastruktur keamanannya.
Maka,
pada hakekatnya pemerintah sebagai pihak yang paling bertanggungjawab dalam
pembuatan dan implementasi kebijakan, harus siap mempertanggungjawabkan segala
sesuatu di tengah masyarakat. Inilah esensi dari asas omni presence atau serba hadirnya pemerintah kapanpun dan dimanapun
warga negara membutuhkan. Kebijakan yang terbangun sempurna tidak akan
menimbulkan kesan di tengah masyarakat bahwa pemerintah mendiamkan suatu masalah,
atau meninggalkan gelanggang saat dibutuhkan (misalnya dalam keadaan lalu
lintas macet total namun tidak ada aparat yang mengaturnya).
Dari
ilustrasi diatas dapat ditarik sebuah pelajaran bahwa kebijakan publik
sesungguhnya adalah sesuatu yang sangat vital bagi sebuah negara maupun bagi
masyarakat. Dan oleh karena “segala sesuatu bermula dari kebijakan, dan semua
berusat pada kebijakan”, maka kebijakan yang baik, berkualitas, dan unggul,
benar-benar menjadi kebutuhan mendesak bagi sebuah negara dan masyarakatnya. Kebijakan
publik adalah instrumen utama untuk mewujudkan tujuan negara. Kualitas dan
keunggulan suatu negara akan sangat ditentukan oleh kualitas dan keunggulan
kebijakan publik negara tersebut.
Sayangnya,
ada indikasi lemahnya (untuk tidak mengatakan kegagalan) kebijakan. Jangankan di
tingkat implementasi, pada tahap perumusan-pun teramat banyak kebijakan rencana
yang telah menimbulkan kontroversi dalam masyarakat, dan membuang energi bangsa
secara sia-sia. Contoh terkini adalah RUU Ormas yang telah dibahas
bertahun-tahun dengan biaya milyaran rupiah namun tetap saja ditolak banyak
kalangan civil society karena dinilai
tidak menawarkan kemanfaatan sama sekali.
Kebijakan juga seringkali memicu demonstrasi bahkan konflik terbuka di
tingkat akar rumput, seperti kasus-kasus diberikannya perijinan pertambangan. Bahkan
banyak kebijakan yang disinyalir merupakan entry
point terjadinya tindak pidana korupsi seperti kebijakan di lapangan
pengadaan barang dan jasa, perijinan pemanfaatan kayu, dan lain-lain. Belum lagi
perlawanan secara konstitusional melalui judicial
review, berapa banyak UU digugat dan akhirnya dinyatakan tidak berlaku oleh
Mahkamah Konstitusi. Berbagai contoh kasus diatas menyiratkan adanya masalah
besar dalam sistem kebijakan publik di Indonesia yang belum mampu menjalankan
fungsi sebagaimana mestinya.
Dalam
kaitan itu, penulis ingin sedikit mengulas tentang bentuk-bentuk kebijakan yang
kurang baik sehingga tidak mampu mencapai tujuan dari dibuatnya kebijakan
tersebut. Dalam hal ini, kebijakan disebut tidak
cukup baik jika memenuhi kriteria Involusi Kebijakan, Symbolic Policy, dan Divergensi Kebijakan. Penjelasan terhadap
masing-masing situasi dapat diberikan sebagai berikut.
1.
Involusi Kebijakan. Involusi
kebijakan adalah suatu kebijakan yang baik secara proses dan rumusannya namun
tidak memberikan kebaikan bagi publik. Hal ini terjadi karena politisi atau
birokrat pembuatnya terjebak dalam ilusi untuk membangun citra tentang kebaikan
suatu rezim atau kekuasaan politik (Riant Nugroho, Public Policy, Elex Media Komputindo, 2012).
2.
Symbolic Policy. Symbolic policy sering dilawankan dengan
evidence-based policy. Dalam hal
ini, ada 4 (empat) kriteria symbolic
policy yang membedakannya dari evidence-based
policy, yakni: 1) Being simplistic in its presentation (sederhana dalam
penyajian); 2) Ignoring contextual
features (mengabaikan fitur kontekstual);
3) Disregarding empirical analysis (mengabaikan analisis empirik); and 4) Resulting in policies benefiting
the already advantaged group (menghasilkan kebijakan yang menguntungkan
kelompok yang sudah mendapat banyak keuntungan) (Michiel S. de Vries, “Distinguishing
symbolic and evidence-based policies: the Brazilian efforts to increase the
quality of basic education”, International
Review of Administrative Sciences, 77(3), Sage Publication, 2011).
3.
Divergensi Kebijakan à kebijakan yang dibuat oleh lebih
dari satu aktor/instansi, yang semestinya menghasilkan efek saling memperkuat
dalam mencapai tujuan yang sama, namun ternyata tidak saling terkomunikasikan,
tidak saling mengisi dalam mencapai tujuan, bahkan seringkali menghasilkan efek
konplikasi bagi kebijakan yang lain (Tri Widodo W. Utomo).
Sekedar contoh, kebijakan subsidi
BBM yang selama ini dilakukan adalah symbolic
policy karena lebih menguntungkan dan lebih banyak dimanfaatkan orang kaya
dibanding orang miskin. Menurut iklan layanan dari pemerintah yang hampir
setiap hari ditayanglan di televise menjelang kenaikan harga BBM bulan Juni
2013 lalu, 80 persen subsidi BBM ternyata salah sasaran karena dinikmati bukan
masyarakat miskin. Terkait dengan kenaikan BBM tersebut, pemerintah mengambil
kebijakan kompensasi berupa pemberian BLT (Bantuan Langsun Tunai) atau BLSM
(Bantuan Langsung Sementara Masyarakat). Kebijakan inipun bisa terjebak sebagai
symbolic policy jika tidak cermat
dalam pendataan calon penerimanya. Kebijakan ini juga bisa divergen dengan kebijakan
yang bertujuan untuk memberdayakan dan memandirikan masyarakat karena BLT/BLSM hanya
memberi “ikan” kepada masyarakat, bukan “kail” apalagi “keterampilan memancing”.
Sementara itu, RUU Ormas atau
rancangan kebijakan lain yang sejak “pagi-pagi” telah ditolak dan cenderung “dipaksakan”
sebagai indikator kinerja DPR/DPRD atau institusi pengusul, maka dapat
diklasifikasikan sebagai situasi involusi kebijakan, karena tidak membawa
manfaat luas, yang direpresentasikan oleh kalangan penolaknya. Meskipun isinya
baik dan prosesnya benar, namun masyarakat tidak membutuhkan pengaturan semacam
itu. Untuk itu, perancangan kebijakan seyogyanya benar-benar didasarkan pada
kebutuhan, bukan keinginan dari para policy
makers.
Contoh lain, kebijakan Dinas
Perhubungan yang memberikan ijin kepada kendaraan yang melampaui batas maksimal
tonase adalah kebijakan yang divergen dengan kebijakan Dinas Pekerjaan Umum
yang membangu jalan tersebut. Kebijakan yang membuka keran impor produk
pertanian (misalnya beras) pada saat musim panen adalah juga sebuah divergensi
kebijakan karena menghancurkan harga komoditas tertentu (beras) dan merugikan
kepentingan petani secara langsung.
Tentu saja masih banyak sekali
contoh-contoh yang bisa diungkapkan disini. Sekali lagi, ini bukan ingin
mencari kekurangan dalam sistem kebijakan saat ini, namun lebih untuk
menyediakan sebuah kerangka sederhana untuk mengevaluasi sebuah kebijakan. Jika
sebuah kebijakan tidak memenuhi kriteria sebagai symbolic policy, involusi, atau divergensi, maka ada harapan
kebijakan tersebut sudah masuk kategori kebijakan yang baik dan unggul,
meskipun tidak ada jaminan untuk itu. Sebab, kebijakan yang baik dan unggul
boleh jadi membutuhkan kriteria lain yang tidak dibahas disini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar