Senin, 01 November 2021

Quo Vadis Lembaga Pemikir Kebijakan Strategis?

Oleh: Tri Widodo W. Utomo

Deputi Kajian Kebijakan dan Inovasi Administrasi Negara, LAN


Dalam artikelnya berjudul “Pemikir Strategi Kebijakan” (Kompas 11/06/2019), Prof. Anwar Nasution menulis bahwa dewasa ini pemerintah tidak punya lembaga pemikir yang memberikan nasihat kepada presiden dan pemerintah berdasarkan analisis dan opini keahlian yang dilandasi oleh fakta lapangan, grafik, ataupun riset yang serius.

Meskipun issu tentang think tank atau lembaga pemikir tidak cukup seksi bagi banyak kalangan, namun esensi yang ingin disampaikan oleh Prof. Anwar sesungguhnya sangat penting. Sebab, jangankan untuk level negara; keberadaan kelompok pemikir sangat penting dalam menentukan eksistensi dan relevansi sebuah organisasi, sekecil apapun itu, ditengah arus deras perubahan lingkungan strategisnya. Artinya, ketiadaan pemikir bagi sebuah organisasi akan mempengaruhi kualitas kebijakan, daya saing, dan hasil kerja (outcomes) organisasi tersebut secara negatif.

Tentang pentingnya think tank ini, Rohinton Medhora, Presiden Centre for International Governance Innovation (CIGI), memberi penjelasan bahwa manfaat terbesar think tank adalah memberi pengaruh dan mendorong perubahan melalui ide dan network. Think tank yang baik, menurut Medhora, bukanlah apakah yang dihasilkan olehnya benar atau salah, tetapi apakah itu menuntun pada diskusi dan pilihan kebijakan berbasis bukti atau tidak. Sebagaimana diyakini secara luas, kebijakan yang berkualitas adalah kebijakan yang diformulasikan berdasarkan bukti yang valid, reliabel, dan kredibel (evidence-based policy). Maka, lemahnya fungsi pemikir di sebuah institusi atau negara, akan berkorelasi positif terhadap rendahnya kualitas kebijakan di institusi atau negara tersebut.

Lantas, bagaimana potret think tank di Indonesia? Benarkah kita (pemerintah Indonesia) tidak memiliki lembaga pemikir sebagaimana disinyalir oleh Prof. Anwar? Argumen dalam tulisan ini tidak berpretensi untuk membenarkan, tidak pula sebagai counter terhadap pandangan Prof. Anwar, namun lebih untuk menggugah kesadaran kolektif bangsa dalam mengelola sumber daya intelektual secara lebih terstruktur agar memberi kontribusi maksimal bagi kemajuan bangsa.

James G. McGann, dalam publikasi berjudul “2018 Global Go to Think Tank Index Report” (2019) menyebut bahwa Indonesia hanya memiliki 31 lembaga think tank, sangat jauh tertinggal dari AS (1871), India (509), China (507), Inggris (321), dan Argentina (227), sebagai 5 negara dengan jumlah lembaga pemikir terbanyak. Namun Indonesia masih yang terbaik dibanding negara tetangga seperti Malaysia yang hanya memiliki 23 lembaga pemikir, atau Singapura (18), Thailand (15), Vietnam (11), Brunei (8), Laos (4), dan Timor Leste (1). Laporan McGann juga menyebutkan bahwa CSIS (Centre for Strategic and International Studies) adalah think tank terbaik di wilayah Asia Pasifik, mengalahkan Institute of Defense and Strategic Studies (Singapore), Australian Institute for International Affairs, Centre for Strategic Studies (New Zealand), Centre for Public Policy Studies (Malaysia), Taiwan Foundation for Democracy, dan seterusnya. Selain CSIS, masih ada 3 think tank Indonesia yang masuk kategori Top Think Tanks in Southeast Asia and Pacific, yakni Economic Research Institute for ASEAN and East Asia di peringkat 11, Lembaga Studi Kapasitas Nasional (Institute of National Capacity Studies, 53), Center for Indonesian Policy Studies (74). Selain ke-4 lembaga tersebut, CIFOR dan ICW juga dinobatkan sebagai salah satu think tank terbaik di bidangnya masing-masing.

Selain think tank dari kalangan NGO diatas, dalam pandangan penulis Indonesia juga memiliki pemikir maupun lembaga pemikir yang cukup banyak dan bonafid dari kalangan pemerintahan atau non-NGO. Keberadaan perguruan tinggi negeri maupun swasta dengan sederet civitas akademiknya yang bergelar Master, Doktor hingga Profesor, pada dasarnya adalah asset intelektual milik kita. Demikian pula institusi pengkajian dan penelitian seperti LIPI, Lemhannas, Bappenas, LAN, hingga Balitbang di setiap K/L/D, adalah entitas yang oleh Henry Mintzberg disebut sebagai technostructure, yakni lembaga yang memiliki fungsi utama melakukan analisis dan perumusan rekomendasi bagi pimpinan organisasi.

Di level individu pegawai, program pembinaan bagi kelompok pemikir juga terus digalakkan, salah satunya oleh LAN melalui jabatan fungsional Analis Kebijakan (AK). AK adalah jabatan fungsional yang relatif baru, yang dibentuk sebagai respon terhadap tuntutan reformasi birokrasi yang semakin tinggi. Salah satu spirit reformasi yang cukup menonjol dibalik pembentukan jabatan fungsional ini dapat dibaca dari pasal 42 Permenpan RB No. 5/2012 yang berbunyi: “Dengan ditetapkannya jabatan fungsional Analis Kebijakan, jabatan struktural eselon III dan eselon IV di masing-masing instansi perlu ditinjau kembali. Tegas dan gamblang sekali amanat Permenpan RB bahwa pembentukan Analis Kebijakan berorientasi pada perampingan struktur birokrasi sekaligus penguatan profesionalisme jabatan. Para analis kebijakan inilah yang diarahkan sebagai critical mass dalam birokrasi yang berfungsi selaku knowledge intermediary atau jembatan antara akademisi dengan pengambil keputusan.

Permasalahan yang harus dijawab sekarang adalah: jika secara faktual kita telah memiliki banyak pemikir dan lembaga pemikir, mengapa terkesan kita tidak merasakan manfaatnya, sehingga presiden (juga pimpinan organisasi di level tertentu) tidak cukup input yang bergizi untuk merumuskan kebijakan-kebijakan strategisnya? Ini adalah problem tentang manajemen modal intelektual. Ketika belum lama ini media diramaikan oleh diskusi seputar perlu tidaknya pembentukan BRN (Badan Riset Nasional), sementara sudah ada puluhan – bahkan ratusan – lembaga penelitian, itupun adalah problem pengelolaan tadi. Maka, sulit dicegah munculnya sinisme bahwa fungsi analisis dan pengkajian dalam institusi publik hanyalah sebuah pemborosan belaka.

Oleh karena itu, kritik Prof. Anwar harus dijadikan sebagai momentum untuk membenahi tata kelola lembaga pemikir. Sangat kebetulan bahwa saat ini tengah digodok arsitektur kabinet 2019-2024, sehingga issu fragmentasi lembaga pemikir ini perlu dikanalisasi kedalam fungsi salah satu kementerian yang akan dibentuk. Penulis sendiri berpendapat bahwa Kemenristekdikti saat ini perlu direstrukturisasi. Fungsi pendidikan tingginya dikembalikan kepada Kementerian Pendidikan agar terwujud sistem pendidikan yang terintegrasi (integrated national education framework). Sedangkan fungsi penelitian dikembangkan bukan hanya melakukan penelitian dasar dan terapan, namun juga mengkoordinasikan seluruh aktivitas keilmuan (think tank) yang dilakukan oleh tiga pilar governance (pemerintah, swasta, masyarakat madani). Untuk itu, nomenklatur kementerian perlu disesuaikan dari Kementerian Ristek menjadi Kementerian Riset dan Ilmu Pengetahuan.

Selain pendekatan kelembagaan diatas, upaya pembenahan juga harus dilakukan melalui penciptaaan big data sebagai perangkat yang mewadahi hasil-hasil kajian lintas lembaga pemikir. Dengan adanya big data ini akan dapat dihindarkan tumpang tindih kajian, sekaligus dapat menjadi basis dilakukannya meta-riset, sebuah aktivitas yang amat langka dilakukan oleh lembaga pemikir saat ini. Instrumen big data inipun akan sangat bermanfaat sebagai virtual market yang mempertemukan kebutuhan konsumen (presiden, menteri, atau para pimpinan organisasi) dengan produsen (lembaga pemikir). Dengan kata lain, presiden akan dengan cepat mendapatkan input untuk merumuskan kebijakan strategis melalui big data riset dan ilmu pengetahuan ini.

Tidak ada komentar: