Jumat, 26 Maret 2010

Manajemen Kepulauan dan Daratan

SELAMA ini, Indonesia dikenal sebagai negara dengan karakter geopolitik berupa kepulauan (archipelago state). Sebagai negara dengan 17.508 pulau, memang sangat logis jika konsep pembangunan wilayah di Indonesia berbasis dan/atau berwawasan kepulauan. Prinsip pembangunan berwawasan kepulauan inipun sesungguhnya telah tercantum dalam Deklarasi Juanda 13 Desember 1957, yang memandang wilayah laut dan darat sebagai suatu kesatuan yang utuh dengan filosofi Tanah Air. Dalam prakteknya, tetap saja wilayah kepulauan belum terbangun secara optimal, bahkan cenderung tertinggal oleh pembangunan di wilayah daratan.

Sebagaimana dikemukakan oleh Direktur Jenderal Pembinaan dan Pengembangan Masyarakat Kawasan Transmigrasi, Depnakertrans, 42 kabupaten dari 52 kabupaten yang terdapat di 7 provinsi kepulauan (Maluku, Maluku Utara, Sulawesi Utara, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Bangka Belitung, dan Kepulauan Riau) tergolong sebagai kabupaten tertinggal (Suara Pembaruan, 16/10/2006). Senada dengan pernyataan tersebut, Direktur Pemberdayaan Pulau-pulau Kecil, Departemen Kelautan dan Perikanan, menegaskan bahwa saat ini tidak ada aturan yang berpihak pada pembangunan wilayah kepulauan, yang tanpa disadari, merupakan bentuk diskriminasi nasional (Kompas, 01/06/2006). Ironisnya, provinsi kepulauan seperti Maluku Utara justru dikelola dengan pendekatan kontinental atau daratan, padahal 76,27 persen wilayahnya berupa laut, sedangkan daratan hanya 23,73 persen (Suara Pembaruan, 01/04/2006).

Boleh saja provinsi kepulauan merasa lebih tertinggal dibanding wilayah lain yang berkarakter daratan, atau merasa dianaktirikan oleh pemerintah pusat yang memberi prioritas lebih bagi pembangunan provinsi non-kepulauan. Namun faktanya, pembangunan provinsi non-kepulauan-pun juga tidak kalah tertinggal. Dari 26 provinsi non-kepulauan, masih terdapat 152 kabupaten tertinggal. Ini berarti bahwa jumlah rata-rata daerah tertinggal baik di provinsi kepulauan maupun non-kepulauan adalah 6 kabupaten per provinsi. Adapun peta sebaran kabupaten tertinggal adalah 123 berada di Indonesia Timur, 58 di Sumatera, 1 di Bali, dan hampir nol di Jawa atau hanya 17 kabupaten saja (Antara News, 01/09/2009; 21/06/2009).

KALIMANTAN adalah salah satu kontinen yang masih menghadapi masalah ketertinggalan pembangunan. Sebagai kesatuan daratan, Kalimantan dengan luas 743.330 km2 masih kalah dibanding luas Papua yang 890.000 km2. Namun dilihat bagian kontinen yang masuk sebagai yurisdiksi NKRI, maka wilayah Kalimantan lebih luas dibanding Papua. Dalam hal ini, luas wilayah 4 provinsi di Kalimantan adalah 507.412,18 km2 (dengan rincian Kalbar 120.114,32 km2; Kalteng 153.564,50 km2; Kalsel 38.884,28 km2; dan Kaltim 194.849,08 km2), sedangkan total luas 2 provinsi di Papua adalah 424.500,80 km2 (Papua Barat 114.566,40 km2 dan Papua 309.934,40 km2). Dengan ukuran yang sedemikian besar, mudah ditebak bahwa kualitas pembangunan di wilayah tadi tidaklah sebaik yang diharapkan, baik dalam arti pertumbuhan pembangunan maupun pemerataan hasil-hasilnya.

Dalam prakteknya, di wilayah daratan ataupun di kepulauan, sering ditemukan masalah yang serupa (common problem). Problem utama adalah masih banyaknya isolasi daerah dan keterputusan interaksi sosial ekonomi antar daerah. Meskipun secara geografis berdekatan, namun hubungan antar daerah tidak terbangun karena keterbatasan infrastruktur dasar (jalan, jembata, listrik, telepon) atau ketiadaan moda transportasi darat, sungai, laut maupun udara. Akibatnya, daerah-daerah yang berdekatan tidak memiliki saling ketergantungan atau hubungan saling membutuhkan. Problem mendasar lainnya adalah kenyataan bahwa kawasan yang kaya sumber daya alam ini justru menjadi kantong-kantong kemiskinan dengan kualitas sumber daya manusia yang rendah.

Ilustrasi diatas menjelaskan bahwa problema pembangunan di daerah terjadi bukan karena faktor kondisi geografis, namun lebih pada sistem dan pola manajemennya. Baik provinsi kepulauan maupun provinsi daratan membutuhkan model-model kebijakan pembangunan yang sesuai dengan karakteristik obyektifnya. Pola kepulauan tentu saja tidak dapat diterapkan untuk wilayah kontinen, dan sebaliknya. Selain itu, keunggulan berbanding (comparative advantages) antar kedua wilayah tadi jelas berbeda, dan oleh karenanya perlu dieksplorasi agar dapat bertransformasi menjadi keunggulan bersaing (competitive advantages).

Dari perspektif perencanaan pembangunan, berbagai permasalahan tadi muncul karena tidak terintegrasinya pembangunan daerah kedalam skema pembangunan wilayah. Untuk itu, salah satu langkah strategis untuk mengatasi kondisi tersebut adalah dengan merumuskan kerangka pembangunan makro (grand design). Artinya, pola manajemen sebuah kontinen (pulau besar) ataupun kepulauan harus didasarkan pada strategi umum (generic framework), meskipun masing-masing daerah otonom memiliki kewenangan pengaturan yang lebih spesifik di wilayahnya (implementation policy).

Langkah lain yang perlu dikembangkan adalah menciptakan mekanisme solidaritas antar kawasan. Solidaritas antar kawasan ini bisa terwujud jika ada 2 (dua) kondisi yang berbeda, misalnya: 1) antara daerah penghasil komoditas tertentu dengan daerah yang berfungsi mengolah, memasarkan, atau memanfaatkan komoditas tersebut; atau 2) antara daerah bagian hulu (yang memberi dampak tertentu) dengan daerah di bagian hilir (yang menerima dampak), misalnya dalam konteks DAS (daerah aliran sungai). Dalam konteks pengelolaan Sungai Besar, misalnya, bentuk solidaritas yang konkrit bisa terjadi antara daerah di hulu dengan daerah di hilir (upstream – downstream solidarity). Pola yang dapat dipilih misalnya: daerah hulu bertanggungjawab terhadap keberlangsungan supply air dan kemurnian dari polutan yang dapat mencemari air sungai; sedangkan daerah hilir perlu menyediakan dana sebagai kompensasi atau insentif bagi penduduk di daerah hulu.

Jika mekanisme solidaritas tadi bisa dibangun, maka akan tercipta hubungan saling membutuhkan dan saling ketergantungan antar daerah di kawasan tertentu, baik dalam konteks kepulauan maupun daratan. Selanjutnya, pola solidaritas tadi akan bermanfaat untuk memperkokoh posisi daya tawar (bargaining power) daerah terhadap pasar atau aktor ditingkat nasional, regional, dan internasional.

Pertanyaannya, bagaimana cara membangun mekanisme solidaritas antar daerah dalam sebuah kawasan tersebut?

Langkah pertama adalah lakukan identifikasi / pemetaan daerah-daerah yang memiliki kesamaan dalam keunggulan komparatif, misalnya sesama penghasil batu bara, sesama daerah sebagai basis konservasi lingkungan, sesama daerah dengan potensi sumber daya kelautan, dan lain-lain. Daerah-daerah ini kita masukkan dalam kelompok (pool) A. Selanjutnya, lakukan identifikasi / pemetaan daerah-daerah yang tidak masuk dalam kelompok tersebut, namun memiliki kepentingan dalam proses produksi atau pemanfaatan keunggulan komparatif tertentu. Daerah-daerah ini kita masukkan dalam kelompok (pool) B. Setelah terbentuk pool A dan B, maka langkah berikutnya adalah membentuk asosiasi antar daerah dengan kesamaan keunggulan komparatif yang telah teridentifikasikan pada tahap pertama. Sebagai contoh, ”asosiasi daerah penghasil batu bara dan asosiasi pengusaha batu bara Kalimantan”.

Asosiasi-asosiasi seperti inilah yang harus berfungsi sebagai ”regulator” yang berhubungan dengan eksploitasi keunggulan komparatif tadi, khususnya dalam hubungan dengan daerah atau pelaku bisnis batu bara diluar Kalimantan. Dan dengan adanya asosiasi lokal yang diisi oleh pelaku bisnis dan pelaku kebijakan antar daerah dalam satu kawasan ini, maka daya saing produk lokal dapat lebih dijaga sekaligus mempertahankan posisi tawar terhadap pelaku bisnis dan pelaku kebijakan dari luar kawasan.

SATU hal lain yang perlu diperhatikan adalah kemungkinan adanya efek negatif dari pemberlakuan otonomi daerah. Sebagaimana indikasi yang sering terlihat, kebijakan desentralisasi membawa implikasi dimilikinya kewenangan yang semakin bulat oleh daerah otonom terhadap wilayahnya. Hal ini menjadi trade-off bagi upaya membangun sinergi dan kohesi pembangunan antar daerah / wilayah. Setiap daerah menjadi semakin selfish atau memiliki ego yang lebih tinggi dalam memikirkan daerahnya sendiri. Padahal, dari teori ekonomi lokasi (spatial economy), sebuah daerah jelas memiliki keterkaitan dan ketergantungan dengan daerah lain. Konsekuensinya, kebijakan pembangunan sebuah daerah harus selalu ditempatkan dalam konteks pembangunan regional (embedding local policy into broader context of development).

Dalam konteks Kalimantan, misalnya, pembangunan jalan trans Kalimantan tidak mungkin dapat tercapai jika sistem perencanaan pembangunan masih terkonsentrasi secara spasial provinsi, apalagi level kabupaten/kota. Demikian pula, arus komoditas pertanian atau barang-barang ekonomi juga semestinya tidak dibatasi oleh batas wilayah. Itu dalam konteks kontinen Kalimantan. Sementara itu dalam lingkup yang lebih sempit, pembangunan di Kalimantan Timur, misalnya, juga membutuhkan konsep-konsep lintas wilayah, misalnya keberadaan Teluk Balikpapan dan Sungai Mahakam. Kedua asset ini saja pemanfaatannya sudah sangat multi sektor, lintas daerah, dan lintas pendekatan, sehingga kebijakan yang dirumuskan juga harus betul-betul mempertimbangkan kepentingan lintas wilayah tersebut. Singkatnya, otonomi daerah dapat menjelma menjadi ancaman bagi daerah karena menguatnya egoisme regional dan melupakan kohesivitas wilayah.

Dalam kaitan inilah, perlu adanya manajemen yang terintegrasi dalam pembangunan regional. Dalam konteks Kalimantan, penulis mengusulkan sebuah konsep tentang Kalimantan Incorporated. Dengan konsep ini, setiap aktivitas usaha yang dijalankan, setiap kebijakan yang dirumuskan dan diaplikasikan, dan setiap perubahan yang diinginkan dalam skala kontinen Kalimantan, harus merepresentasikan kebutuhan bersama untuk kemajuan bersama. Dan dengan sinergi lintas daerah inilah, keluhan-keluhan abadi tentang rendahnya kualitas pembangunan di wilayah daratan/kontinen (termasuk wilayah kepulauan) dapat diatasi secara perlahan namun sistemik.  Tri Widodo WU.

3 komentar:

Encik Akhmad Syaifudin mengatakan...

assww pak saya mau nulis di majalah LAN, boleh ya pak, sedikit bergaya strategis-lah hehe.. tapi jangan cepat2 ditagih ya pak, karena baru diawali dengan niat, dan basmalah, nih.

saya suka blog bapak ini, sederhana dan membacanya enak, khususnya yg Indonesia, klu yg inggrisnya, harus pelan2 saya membaca (karena bukan bahasa mamak saya pak.. hehe, lagian toefl saya cuma 450 itupun pake nawar haha..)

wassww ..

Tri Widodo W Utomo mengatakan...

pak encik,
terima kasih byk lah sudah berkenan membari komen.
makasih juga atas apresiasinya, tapi kalau masih jelek ya mohon bantuannya dibaikin lah, hehe ...
untuk jurnal lan, kami terbuka 24 jam/hari, 12 bulan/thn untuk bapak, dan kami akan sangat bangga memuat artikel bpk di jurnal borneo administrator.
oya, jangan lupa, nulis di jurnal kami honornya menggiurkan loh, hahaha ...

Encik Akhmad Syaifudin mengatakan...

sebetulnya adalah saya mau share ide, jika ada lampiran lain2nya nggak nolak haha...